"Diem aja. Aku tahu, kamu udah lama naksir sama dia, 'kan? Kalau iya, biar aku urus!" lanjut Lucky lagi berhasil membuat lawan bicaranya merekahkan senyuman.
Mereka sudah lama akrab, bermula dari pertemuan yang tidak disengaja di sebuah mall sampai akhirnya gadis itu sering berkunjung untuk menjadi teman, padahal usia mereka terpaut tiga tahun.Usut punya usut, ternyata dulu Rosaline kuliah di kampus yang sama dengan Lucky, hanya saja mereka tidak pernah bertemu dan satu tahun terakhir terpaksa resign dari pekerjaan karena lebih memilih mengurus sesuatu yang dianggap jauh lebih penting."Serius? Tapi sepupu kamu mau gak sama aku? Secara aku malah masih lebih tua daripada dia.""Beda setahun doang mah gampang. Ada yang pacaran beda lima tahun, tuaan ceweknya. Tergantung sih. Kebetulan juga si Al belum pernah pacaran. Kali aja dia suka sama kamu, cuma malu. Tahu sendiri kekurangannya apa, 'kan?"Rosaline manggut-manggut mengerti, menampilka"Kenapa kamu yang protes? Memangnya kamu adik Al?" Rosaline langsung memberi tatapan dingin, padahal biasanya dia akan bersikap hangat pada siapa pun. Namun, itu sekilas saja mengingat ada target di sana."Kamu pikir aku nggak tahu kamu, Ros? Kita emang jarang pergi berdua, tapi aku kamu itu gak setia! Jangan coba dekati Alvino karena aku gak bakal biarin dia sakit hati.""Bilang aja kalau kamu cinta sama dia. Beres, kan?"Rena mendelik kesal. Dia menggigit bibir bawah merasa gemetaran mendengar tuduhan tadi. Anehnya, dia tidak bisa mengelak seolah membenarkan semuanya secara gamblang.Suasana berubah menjadi hening. Gadis berambut sebahu itu tetap diam. Sesaat dia sadar, untuk apa melarang jika keputusan tetap ada di tangan Alvino?"Dugaanku benar, ternyata kamu emang cinta sama Al. Oke, aku juga cinta sama dia dan harusnya kita bersaing secara sehat. Siapa yang bisa mendapatkan hati Al, maka dialah pemenangnya. Kamu jangan protes atau n
"Akmal, kamu lebih milih dia ketimbang Ibu? Kamu pikir surga anak laki-laki ada ada anakmu?!" bentak Oma Siska semakin geram. Kedua bola mata terdapat semburat, napas memburu menandakan amarah telah mencapai puncak."Aku tahu surgaku tetap sama Ibu, tapi apa Ibu nggak sadar sudah nyakitin hati aku, Zanna sama Al? Kalau Ibu nggak mau nganggep cucu sendiri, mungkin memang benar kalau Ibu nggak usah datang ke sini lagi." Akmal memalingkan pandangan. Dia lelah berdebat dengan sang ibu selama puluhan tahun.Entah kenapa ibunya menjadi sangat keras kepala. Setelah hampir tiga dekade, apakah tidak ada rasa kasihan di dalam hatinya atau keinginan berdamai dengan takdir dari Tuhan? Akmal tidak pernah mempermasalahkan sang istri yang melahirkan anak satu telinga karena percaya bahwa semua kehendak Tuhan meskipun ada sedikit kesalahan juga dengan mengabaikan kesehatan selama trimester pertama.Jika terus meladeni, maka sampai kiamat pun mungkin tidak akan ada habisny
Pagi-pagi sekali setelah melakukan pemanasan, Alvino memasang sarung tinju boxing di kedua tangannya. Di bangunan samping rumah khusus olahraga itulah dia sering menghabiskan waktu kala kembali terluka oleh hinaan dari satu atau lebih orang.Menatap tajam samsak tinju di depan, Alvino menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Dia memang sudah lama menekuni olahraga itu walau memang kurang diminati oleh orang lain. Dia memulai dari gerakan bayangan sampai benar-benar memukul benda memanjang berwarna merah tersebut.Pelampiasan amarah. Itulah alasan Alvino latihan tinju kecuali saat pikiran sedang tenang dia akan memilih olahraga treadmill. Satu pukulan, dua pukulan hingga sepuluh pukulan, dia masih belum puas. Bayangan wajah Oma Siska membuat amarahnya semakin membakar jiwa.Apakah dia salah dan dianggap sebagai cucu durhaka karena membayangkan Oma sendiri sebagai samsak tinju? Mungkin tidak, begitu menurut Alvino. Dia terus menggerakkan tangan kanan
Selesai membersihkan diri, Alvino mengambil kunci motor hendak ke toko buku karena diminta oleh ayahnya memberi beberapa ensiklopedia sebagai pengisi di waktu luang nanti. Dengan membaca, kita bisa mengetahui dunia di luar sana, wawasan pun bertambah, perbendaharaan kata semakin banyak. Begitu nasihatnya.Akan tetapi, ketika hampir melewati pintu utama, sang bunda memanggil dengan suara pelan. Dia mendekat dan meminta putranya duduk terlebih dahulu. Jam masih menunjuk angka tiga sore, masih ada waktu karena toko tutup pukul sepuluh malam."Bunda mau tanya sesuatu sama kamu, Al!""Tanya apa, Bun?""Rosaline itu siapa? Kenapa dia ngemis-ngemis supaya ngasih izin nemuin kamu di tempat olahraga?"Alvino melipat bibir, berpikir alasan apa yang akan diberi pada sang bunda. Bukannya tidak mau jujur, tetapi khawatir ada kesalahpahaman.Sungguh, sampai sekarang masih belum yakin ada cinta untuk gadis berambut panjang itu. Jantung yang berdetak cepat bisa saja menjadi hal wajar apabila dekat den
"Menikah sama Al?"Rosaline mengangguk mantap, dia tidak lupa tersenyum lebar pada wanita yang dianggap sebagai calon mertua. Jika nanti mereka benar menikah, maka kebahagiaan akan menyelimuti jiwanya."Al bilang mau menikah sama kamu atau gimana? Maaf, soalnya Al suka tertutup masalah seperti itu.""Kami ... tadi kami resmi jadian, Tan. Aku nggak masalah kalau dinikahin dalam waktu cepat. Aku tulus sama, Al.""Ros!" Suara Alvino membuat keduanya menoleh. Lelaki itu berdiri dengan raut wajah dingin. "Aku minta kamu ngebuktiin bukan bilang ke Bunda mau nikah!""Loh, Al, apa salahnya? Ini bagian dari usaha aku untuk meyakinkan kamu kalau aku ini emang tulus. Seharusnya aku yang butuh kepastian dan bukan kamu, tapi aku selalu percaya bahwa cinta memang butuh perjuangan. Gimana pun nanti keputusan kamu, nggak ada paksaan."Alvino mendengkus kesal lalu duduk di samping sang bunda. Dia meletakkan secangkir teh di meja untuk dihidangkan
"Dia cacat, pasti pahamlah kualitas dirinya gimana. Rena anak baik, pasti mau menikah sama Alvino. Suka atau tidak, anakmu harus setuju!""Kenapa? Kenapa Al harus setuju sama keinginan Ibu? Bukannya selama ini Ibu nggak pernah nganggap dia sebagai cucu, kenapa malah ngatur pernikahannya? Ibu nggak punya hak!"Suasana berubah semakin tegang karena Zanna tidak akan pernah mengalah pada sang mertua. Dia tahu bahwa anak temannya itu memang baik, penurut dan perhatian. Akan tetapi, memaksakan kehendak diri adalah sebuah kesalahan.Dalam cinta, tidak boleh ada paksaan. Kalau Alvino suka pada gadis cantik itu, maka mereka akan segera melamar. Lantas bagaimana jika ternyata perasaannya lebih condong pada Rosaline?"Dia anak Akmal dan Ibu masih–""Dia anak Mas Akmal, tapi bukan cucu Ibu. Itu yang selalu Ibu bilang, 'kan? Lagian aku yakin Ibu pasti punya rencana busuk kenapa sampai nekat menikahkan dia sama Rena." Zanna memberi tatapan dingin tak t
"Mas!" Zanna tergopoh-gopoh menghampiri suaminya yang sedang menikmati makan siang. Lelah mengurus pekerjaan di usia yang tidak lagi muda membuatnya harus istirahat dulu sebelum ke meja makan."Ada apa? Kamu kalau gitu bisa jantungan aku, Sayang. Ada apa?" Akmal segera meneguk air yang tersisa setengah gelas tadi hingga tandas, kemudian mengubah posisi menghadap sang istri karena nasi di piring pun hampir habis disantapnya.Zanna menarik napas dalam lalu mengembuskan perlahan. Dia harus bisa tenang agar tidak membuat sang suami kaget. Setelah satu menit berlalu, dia meminta suaminya menghabiskan makan terlebih dahulu agar bisa berpikir jernih.Lelaki itu menurut saja. Dia segera menghabiskan nasi di piring dan membawanya ke wastafel untuk dicuci. Sementara sang istri membersihkan meja makan. Suasana akhirnya berubah seperti biasa. Tanpa aba-aba, mereka berdua melangkah santai menuju ruang tengah."Mas, kita harus ke rumah Haura sekarang!"
Zanna yang sudah pulang dari rumah Haura setelah didahului mertuanya mengirim pesan pada sang putra. Dia ingin berbicara dari hati ke hati, tetapi bukan di rumah karena tidak mau jika ada orang lain yang mendengar sekalipun itu suami sendiri.Pesan yang dikirim baru dibaca setelah lima belas menit berlalu. Dia jadi berpikir keras tentang keberadaan Alvino yang sebentarnya. Entah kenapa dia merasa bahwa ujian terlalu sering menghampirinya.Bermula dari kehidupan malang setelah diusir keluarga demi Dimas lalu dijadikan pembantu oleh suami sekeluarga sampai memiliki anak cacat. Bertahun-tahun Zanna menguatkan diri menghadapi berbagai hinaan yang dilontarkan mertua sendiri sampai sekarang masih juga belum bisa hidup tanpa masalah.[Iya, Bun. Share-Lock aja, ntar aku samperin.] Begitu balasan dari Alvino.Zanna langsung mengirim lokasinya. Perasaan semakin tidak tenang sampai menemukan jawaban. Sebelum pulang, dia sempat mengobrol dengan teman lamanya
“Mencintai itu insan. Rasa luka itu insan. Namun, masih mencintai di kala terluka adalah malaikat.”—Maulana Jalaluddin Rumi____________________________Cinta sejati tidak selalu lahir dari pertemuan indah yang melahirkan kenangan paling romantis. Cinta sejati bisa juga bermula dari kisah kelam, saling menghunus pedang, saling membunuh dengan harapan menang.Itu pernah terjadi di masa lalu dan dialami oleh banyak pasang manusia. Bukan hanya cinta jadi benci, tetapi benci jadi cinta pun ada. Itu kenyataan, bukan sebatas dongeng yang sering diceritakan oleh para manusia pecinta buku.Seperti Rosaline. Perempuan bergelar janda kembang itu senantiasa mengunjungi mantan suaminya bahkan kerap kali membantu Zanna untuk mengurus Alvino. Sejak dua hari yang lalu, keajaiban turun atas kemurahan hati Sang Pencipta. Lelaki itu membuka mata, keadaannya pun kian membaik. Sekarang tengah berada di ruang perawatan.Saat waktunya makan siang dan Zanna masih mengurus pekerjaan, Rosaline langsung mengam
"Minggir!" teriak Alvino sekeras mungkin di antara derasnya hujan.Enam manusia itu langsung menoleh bersamaan. Salah satu dari mereka tertawa kencang ketika yang lain mengunci pergerakan perempuan itu. Jika Alvino taksir, mungkin sekitar tiga puluh tahun.Seorang lelaki memakai ikat kepala merah di tengah. Sial. Mereka kembali bertemu. Namun, saat ini mungkin tidak ada gadis pembawa traffic cone karena sedang menuju rumah bersama kakaknya.Situasi yang sama untuk tujuan yang berbeda. Apakah ada yang memahami perasaan Alvino saat ini? Tentu saja dia ingin menyelamatkan perempuan itu. Dia paling tidak bisa melihat kekacauan apalagi mengingat bahwa dulu sang bunda pernah menderita.Tolong-menolonglah dalam kebaikan. Begitu nasihat yang selalu ayahnya tekankan."Kamu mau jadi pahlawan?!" bentak lelaki itu. Tubuhnya lebih tinggi dan kekar daripada Alvino sendiri.Dalam derasnya hujan, rasa takut mendominasi. Amarah membara di dalam dada menepis rasa dingin yang seharusnya membuat mereka s
Pada tahun itu, dia tidak melakukan kesalahan. Hanya keadaan yang memaksanya pergi; mengikuti takdir yang berjalan.Melepaskan sosok yang dicintai adalah pengorbanan besar—terutama jika demi kebaikanmu—lalu berjuang untuk lepas dari rasa sakit.Membunuh perasaan sendiri?Oh, tidak. Wajahmu telah terlukis indah di hatinya, tidak akan terlupakan, kecuali hati itu telah mati .... Kamu percaya dengan apa yang aku katakan?Jangan! Terkadang aku mengatakan sesuatu yang tidak pantas dibenarkan.~ Rosaline_________________Janda muda yang masih berstatus gadis itu menyempatkan diri untuk mengunggah status di Insta-gram ketika menepikan mobil karena minta oleh Xavier. Lelaki yang hatinya tengah menangis pilu itu ingin mengademkan siri di alfa dengan membeli minuman kesukaan juga beberapa roti.Sudah bukan hal baru apabila mendapat masalah, maka Xavier akan mengademkan diri, berusaha untuk memendam sendiri serta meninggalkan makan sekalipun terasa lapar. Rosaline sendiri duduk merenung du dala
“Keindahan yang kamu miliki telah terlukis dalam hati, Tuan. Aku tidak akan melupakannya kecuali hati ini telah mati.”—Rosaline.____________________________"Kamu yakin?" Rosaline mencekal pergelangan tangan sang kakak yang baru saja menyambar kunci mobil.Lelaki tampan, hidung bangir dan tubuh jangkung itu telah siap. Cukup memakai kemeja dan celana jeans serta tatanan rambut rapi tanpa lupa menyemprot parfum pada sisi kanan dan kiri tubuhnya. Sudah hampir pukul delapan malam dan dia harus segera ke sana karena Jenni bilang belum memberi tahu kakak dan papanya.Dia ingin pura-pura terkejut sehingga mereka tidak tahu bahwa malam itu ada rencana yang harus disusun. Lagi pula, semuanya sesuai saran dari Rena yang telah memahami betul bagaimana sifat Lucky dan papanya. Malam itu ... bisa menjadi jalan mereka bersama."Xavier!" panggil Rosaline lagi. Dia geram karena merasa diabaikan."Iya, yakin. Aku sudah bicara sama Jenni, kan? Tidak ada pilihan lain. Ini ibarat kesempatan terakhir da
“Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak bisa bersatu seperti minyak dan air dalam satu wadah. Mustahil ada cinta kalau berselimutkan benci, mustahil membenci kalau ada cinta sekalipun pujaan hati melakukan sebuah kesalahan. Jika benih cinta mulai tumbuh, maka rasa benci seketika memudar. Begitupun sebaliknya, cinta akan terkikis apabila benci sudah mulai mendominasi.”—Bintu Hasan.____________________________Waktu bergerak begitu lambat bagi Xavier karena belum menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang masih bersarang di otak. Pikiran terusik. Keinginannya untuk mempersunting Jenni semakin bulat agar tidak ada lagi alasan untuk berpisah. Sayang sekali, setitik keraguan tentang restu justru makin menyebar.Serupa virus yang menjangkiti sesuatu untuk merusaknya. Begitu juga prasangka buruk, merusak pola pikir. Xavier menghela napas panjang. Dia menyempatkan diri curhat pada Rosaline tadi dan juga ibu angkatnya. Mereka setuju untuk membuat jalinan cinta itu menyatu dengan kua
“Oh, Tuhan ... selamatkan aku dari kerinduan yang terus tumbuh.”—Jenni._______________________________Aku lelah. Rasanya terlalu pusing menjalani kehidupan setelah kejadian beberapa hari ini. Aku pikir, pulang ke rumah hanya untuk mengenang tentang Mama Naf dan Mama Lisa, berdamai dengan Papa dan juga Kak Lucky.Entah bagaimana akhir kisah cinta yang terjalin cukup lama ketika mereka justru berbalik menentang. Tidakkah cukup ketulusan Xavier—terlukis di kedua matanya—menjadi jawaban?Ini berat. Sepanjang perjalanan tadi, Kak Rena hanya sibuk meracau. Aku tidak tahu bagaimana akan memberi respon, selain kami belum terlalu dekat semenjak aku tinggal di Makassar, dia juga belum tentu benar-benar berpihak.Bercerita tentang dendam dari masa lalu, semoga Tuhan mengampuni dosa kami. Aku sudah sering mendengar cerita dari mereka ketika berkumpul di rumah. Tentu saja yang dibahas adalah hal menarik, tetapi terkadang Kak Alvino meminta saran pada Kak Lucky dan Kak Rena.Aku penasaran, pura-p
Hati atau raga, mana yang lebih penting?Kalimat itu terngiang-ngiang. Ya, tadi Xavier mengiriminya sebuah pesan, tepat ketika azan asar berkumandang merdu di semua tempat peribadatan umat muslim.Jam masih menunjuk angka lima sore dan Akmal tetap setia menunggu adiknya selesai mengurus pekerjaan yang katanya tinggal sedikit. Pembicaraan mereka tentang dua anak manusia yang saling mencintai harus terhenti karena ada panggilan dari orang penting dan Akmal bisa memahami hal demikian.Bagaimana jika ternyata Ricky menolak untuk memberi restu setelah tahu bahwa putrinya jatuh cinta pada seorang anak yang di dalam dirinya mengalir darah seorang Sandra? Siapa pun—termasuk Akmal sendiri—pasti memiliki rasa khawatir jika ternyata di kemudian hari terjadi hal-hal buruk.Sebut saja tentang pembalasan dendam. Dari wajah saja sudah tergambar dengan jelas bagaimana perangai Xavier. Garis wajah tegas menunjukkan bahwa prinsipnya tidak mudah digoyahkan, mungkin pengecualian jika dia sedang dilanda b
"Cinta itu bukan sebatas siapa yang paling berkorban, tetapi juga berjuang. Jika masih bisa diusahakan bersama, mengapa harus melangkah mundur?"—Bintu Hasan.________________________________Harapan itu menjelma menjadi sepasang sayap yang mengepak indah, melambung begitu tinggi saat kata-kata romansa lahir dari mulut-mulut mereka yang mengaku cinta, baik tulus ataupun tidak.Ketika sayap dipatahkan dengan satu atau banyak akibat, maka sulit untuk terbang sebelum luka kembali pulih. Sakit? Tentu saja. Seketika dunia terasa seperti penjara di mana anak manusia tidak lagi bisa melangkah ke mana pun dia ingin.Malam-malam meskipun dipenuhi dengan jutaan bintang serta cahaya dewi malam, tetap terlihat mendung. Tidak, mata tidak patut disalahkan, hati lah yang menjadi penyebabnya. Seseorang yang sedang dirundung duka, dia pasti menganggap bumi seolah-olah berhenti berputar.Tidak ada perbedaan besar antara kaum Adam dan Hawa. Mereka sejatinya sama. Akan tetapi, sebagian lain begitu mampu m
PoV JenniMungkin memang benar bahwa kita tidak boleh memaksakan cinta karena sesuatu yang dipaksakan selalu berakhir menyakitkan. Aku Jenni, anak bungsu dari dua bersaudara. Terlahir dari keluarga ... sulit dijelaskan apalagi sampai menggambarkan dengan kata-kata indah.Tidak ada yang indah, semua hanya kesemuan, menyakiti hati kami anak-anaknya. Andai saja boleh membuka suara, sudah lama kuminta Mama Naf untuk berpisah dari papa karena melihat bagaimana lelaki bergelar suami dan ayah itu lebih condong pada istri muda.Ini bukan tentang siapa yang melahirkan karena pada hakikatnya Mama Naf mengambil banyak peran penting dalam hidup. Lupakan tentang keluarga, aku pun selalu kalah dalam masalah cinta dan semoga kali ini memenangkannya.Jatuh cinta pada sosok lelaki yang aku kenal dari grup Whats-App karena diajak kenalan, mengobrol singkat. Sebenarnya aku tidak cinta, tetapi dia mengutarakan rasa dan katanya sudah lama dipendam. Entah seberapa lama, tetapi bagi aku baru sebentar.Sebag