Alvino mengacak rambut karena frustrasi. Sekarang saja orang tuanya sudah marah besar dan kecewa, bagaimana jika nanti mengetahui kesalahan yang lain? Entah mengapa Rosaline berada di kamar itu, apa mungkin disengaja?
Bingung, dia melangkah cepat menuju kamar, mengabaikan teguran sang ayah. Alvino ingin menenangkan diri jangan sampai amarah meledak dan timbul masalah dalam keluarga. Semenjak dekat dengan seorang gadis—bukan sebagai teman biasa—dirinya mulai dirundung duka.Ah, andai saja di kalender tertera hari sial, maka Alvino tidak akan pernah keluar dari rumah. Lelaki itu mengepalkan tangan, dia ingat bahwa dirinya seolah dipaksa tadi malam.Sementara itu, suasana di luar kamar masih seperti tadi. Zanna terus saja merasa sedih karena ikut disalahkan dan memang benar, tadi malam dia ikut membujuk Alvino agar mau menemani tunangannya ke pesta."Memang pembawa aib tuh anak, dari awal dia lahir sampai segede sekarang selalu aja ngerepotin!" seruHari yang dinanti-nanti telah tiba. Semua orang menampilkan senyum paling indah. Dekorasi yang didominasi warna putih itu sesuai pilihan mempelai wanita. Betapa cantiknya mengenakan baju pengantin seperti seorang putri dalam sebuah dongeng.Di kepala Rosaline terdapat sebuah mahkota putih dengan permata biru yang bersinar. Rambutnya ditata sedemikian indahnya dengan bayaran tidak sedikit. Menelan saliva, dia menoleh pada Clara saat melangkah ke samping calon suaminya.Kini, mereka duduk berdampingan bagai seorang raja dan permaisuri. Alvino begitu tampan dengan kemeja biru senada dengan gaun Rosaline walau sedikit lebih gelap. Mereka saling pandang, menampilkan gigi berderet rapi.Acara demi acara berlangsung begitu khidmat. Gadis cantik itu tidak pernah melepaskan senyuman, bahkan ketika bertemu pandang dengan Rena dan Lucky. Dia merasa bahwa gadis yang duduk di kursi undangan sedang mencoba menelan kesedihan di antara deburan ombak yang membuatnya kehilangan keseimbangan."Alvino At
"Alvino! Buka pintu kamarmu!" Suara Zanna menggelegar ketika berada di rumah dan mendapati anaknya menutup pintu kamar dari dalam.Sejak tadi Zanna berteriak seperti orang kesetanan di hadapan mertua, besan dan lainnya. Dia mulai gelap mata dan terus menendang pintu kamar itu. Sekali lagi, dia meneriakkan nama sang putra.Akmal sudah bilang akan merusak pintu kamar apabila Alvino tidak juga membukanya. Namun, wanita cantik itu menolak. Dia merasa bisa mengendalikan anak sendiri.Benar saja, dalam hitungan detik, pintu kamar tersebut mulai terbuka. Alvino muncul dengan memakai celana bahan dan kaos oblong polos. "Tadi aku lagi mandi, Bun. Ada apa?""Ada apa?!" Akmal membentak. Jari telunjuk kanannya bergerak mengarah ke belakang. "Lihat gadis yang kamu nikahi dan talak dalam waktu bersamaan. Dia menangis, Al!""Oh." Alvino memalingkan wajah. Dia sudah sangat muak melihat gadis itu.Dulu saat masih menjadi teman, dia merasa baik-baik saja dan tidak ada keinginan untuk membuatnya terluka
"Iya, Mpok. Aku aja kemarin pas di acara nikahan mereka malah kaget. Pantes aja acaranya di hotel, ternyata biar kita gak ada kesempatan ke sana. Aku mah karena kepo, maksa anakku buat nganter.""Aku malah nggak nyangka. Bu Zanna kan pake jilbab gitu ya, kok gak bisa ngedidik anak sendiri ke jalan yang bener? Mau disekolahin ke mana aja pun mereka mampu.""Justru karena mereka mampu, jatuhnya malah mandang rendah orang lain. Lagian dia juga di masa lalu kata Bu Ika dia dimadu sama suami pertamanya sampai ada balas-balas dendam gitu lah. Ngeri tahu hidupnya. Jadi, mungkin agak gimana gitu, gak heran kalau anaknya malah nyakitin anak gadis orang. Siapa tahu dia terlibat di masa lalu.""Udah puluhan tahun berlalu, masa masih dendam? Lagian dunia ini luas loh. Rasanya gak mungkin kalau gadis malang itu bagian dari masa lalu, Bu Za."Mereka terus mengobrol, tepatnya membicarakan perkaran Alvino yang tiba-tiba menjatuhkan talak tiga pada istrinya tanpa rasa kasihan. Namun, memang terbilang
"Sengaja?" Rosaline tersenyum miring. "Memang ada orang yang mau jadi buah bibir netizen?""Bisa aja, demi membuat aku terlihat seperti pelaku." Alvino menjawab tanpa ekspresi karena berusaha meredam amarah yang meledak-ledak di dalam hati.Dia begitu benci pada dua manusia beda usia di depannya. Mengingat masa lalu yang selalu Zanna ceritakan, dendam pasti membara. Apakah di dunia ini ada sosok anak, bahagia jika orang tuanya dirundung duka dan berbagai masalah?"Takut banget datang ke sini sampai bawa pasukan. Memang apa hubungannya sama Rena sampai ikutan ke sini?""Lalu apa hubungannya sama Ivan? Kenapa dia di sini?" pungkas Alvino cepat. Tentu saja dia tidak mau kalah dari gadis itu."Aku di sini karena ingin menghibur Rosa, Al. Dia pasti sedih kamu ceraikan di hari pernikahan dan malu banget berita menyebar ke mana-mana. Mungkin kamu ngerasa biasa aja karena kamu lelaki. Gimana sama dia? Rosa itu seorang perempuan. Nanti kalau ada yang mau melamar, bisa jadi gagal karena jejak d
Alvino mendelik pada Rosaline lantas menarik tangannya kasar, keluar dari rumah tanpa peduli teriakan Sandra. Amarah semakin mendarah daging, kejahatan mereka harus dihentikan.Sementara itu, terlihat Xavier yang ingin mengejar, tetapi dihalang oleh Rena. Sandra yang mengamuk berhadapan langsung dengan musuh bebuyutannya. Situasi semakin mencekam, mereka saling menatap tajam."Kamu gak ada hak menghalangi aku, Za!""Kamu yang gak ada hak ikut campur!" sentak Zanna dengan emosi semakin membara. "Sudah banyak korban dari keegoisanmu. Dimas, Bu Tika, Nila, Xavier, Vita, Gunawan, anak-anak mereka, Alvino, bahkan Rosaline!""Korban dari keegoisanku? Bukannya kamu yang nyiksa mertua, suami dan ipar sendiri sampai mereka kehilangan harapan untuk hidup? Aku juga korban sama Mas Gun. Gara-gara kamu bawa Vita ke rumah hari itu, aku mendekam di penjara. Tersiksa setiap hari!""Itu karena kelakuanmu sendiri, Sandra. Andai saja kamu tahu kalau lelaki yang menemuimu hari itu sudah meninggal.""Maks
Sore hari Alvino tiba di rumah. Dia sengaja berlama-lama di luar demi mencari tahu sesuatu sekaligus berharap agar Rena segera pulang. Meskipun gadis itu baik dan bersedia membantu, tetapi Alvino harus mengerti keadaan juga. Dia harus fokus pada tugas kuliah dan tidak perlu terlibat dalam masalah besar yang diciptakan orang lain karena dendam kesumat.Benar saja, Rena sudah pulang karena sang bunda terlihat sibuk sendirian di dapur. Rasa lapar yang mendera membuat lelaki itu langsung menyambar hidangan untuk makan siang tadi.Zanna yang masih sibuk memasak lauk bertanya tanpa menoleh, "Dari mana aja kamu, Al? Kenapa baru pulang?""Tadi abis ngurus sesuatu. Bunda ... masih ingat sama Tante Nila?"Wanita paruh baya itu menghentikan gerakan tangannya, mematikan kompor karena memang sudah cukup matang. Sekarang dia beralih duduk di depan sang putra yang sedang menikmati makan sore."Ada apa? Tadi kamu ketemu sama dia, Al?""Tidak, Bun."Alvino pun mulai menceritakan apa saja yang dia bica
"Za-zanna, sejak kapan kamu di sini?" Suara Sandra terdengar gemetaran.Wanita itu mendengkus kesal. Bagaimana bisa dia menanyakan hal itu? Sekarang dia beralih menatap tamu pertama, mengukir senyum seramah mungkin. "Lama tidak ketemu. Makin cantik aja. Sudah berapa anaknya?" sapa Zanna langsung menuju kursi untuk duduk di sampingnya, sementara Alvino memilih duduk di kursi teras."Zanna, lama sekali tidak ketemu. Anak aku sudah lima. Setelah pisah dari Mas Gun, aku menikah sama sepupu jauh dari keluarga Ibu. Sekarang kami bahagia.""Aku nggak nyangka kita bakal ketemu di sini, Mbak Vit. Memangnya ada urusan apa sama Sandra?"Wanita paruh baya yang selalu cantik karena merawat diri dengan baik itu menjawab, "Aku ke sini untuk menyelesaikan kisah di masa lalu. Sandra harus membayar semuanya. Dia menyusun rencana bersama Nila untuk mencelakaimu dan ... Alvino, bagaimana kabarnya?""Dia baik. Mbak Vit tahu dari mana kalau Sandra sama Nila menyusun rencana itu?""Selama setahun terakhir, a
Xavier berhasil mengejar Nila dan membawa wanita itu ke suatu tempat dalam keadaan terikat. Dia sengaja memungut tali rafiah di pinggir jalan tadi. Sekarang dia berada di rumah orang tua angkat Xavier yang kebetulan sedang tidak di rumah karena mengunjungi suatu kota sebagai agenda tahunan selama seminggu terakhir.Hanya ada mereka berdua dan seorang asisten rumah tangga di sana. Xavier menatap penuh kebencian pada wanita yang berusia jauh di atas dirinya itu. Tepat di belakang rumah ada sebuah ruangan berukuran dua meter persegi sebagai tempat penyimpanan barang yang tidak lagi terpakai."Jangan mengira aku akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini dalam keadaan hidup. Kamu telah membunuh Mama dan nyawa harus dibalas dengan nyawa!" ucap Xavier menatap tajam, serupa elang yang siap menerkam mangsa.Nila justru tersenyum miring. Wanita itu bisa memastikan bahwa nyawanya justru akan diselamatkan oleh Xavier sendiri. Dia telah lama hidup, menikmati pahit, manis serta asinnya kehidupan. S