Xavier berhasil mengejar Nila dan membawa wanita itu ke suatu tempat dalam keadaan terikat. Dia sengaja memungut tali rafiah di pinggir jalan tadi. Sekarang dia berada di rumah orang tua angkat Xavier yang kebetulan sedang tidak di rumah karena mengunjungi suatu kota sebagai agenda tahunan selama seminggu terakhir.Hanya ada mereka berdua dan seorang asisten rumah tangga di sana. Xavier menatap penuh kebencian pada wanita yang berusia jauh di atas dirinya itu. Tepat di belakang rumah ada sebuah ruangan berukuran dua meter persegi sebagai tempat penyimpanan barang yang tidak lagi terpakai."Jangan mengira aku akan membiarkanmu keluar dari ruangan ini dalam keadaan hidup. Kamu telah membunuh Mama dan nyawa harus dibalas dengan nyawa!" ucap Xavier menatap tajam, serupa elang yang siap menerkam mangsa.Nila justru tersenyum miring. Wanita itu bisa memastikan bahwa nyawanya justru akan diselamatkan oleh Xavier sendiri. Dia telah lama hidup, menikmati pahit, manis serta asinnya kehidupan. S
Waktu bergulir begitu cepat, sejak saat itu Xavier lebih banyak diam dan mengamati sekitar, hanya mengaku pada mereka semua bahwa Nila telah berhasil melarikan diri. Setelahnya, dia memposisikan dirinya sebagai anak dari jenazah yang baru saja tertimbun tanah.Lelaki itu memasang wajah murung pada semua orang yang bertemu pandang dengannya sebab amarah di dalam dada kian bergejolak. Setiap kali Alvino mengajak berbicara, pasti keinginan untuk membalas dendam semakin membara. Xavier pasti mengepalkan kedua tangannya.Sekarang, satu per satu pelayat meninggalkan kuburan yang beberapa detik lalu ditaburi bunga beragam warna dengan harum semerbak. Tertinggal Rosaline, Xavier, Alvino dan juga Vita. Sementara Rena bergegas menyusul Zanna dan ibunya menuju mobil karena ingin membicarakan sesuatu.Mendengkus kesal, Xavier membuka suara. "Aku tidak tahu harus percaya kepada siapa karena Mama telah tiada. Rosaline, menurutmu ... apa Mama itu orang baik? Katakan saja, aku tidak akan menaruh dend
Sepekan telah berlalu, Rosaline mulai tersenyum seperti biasa karena selalu dihibur sang kakak semata wayang. Rupanya mereka lebih memilih tinggal berdua di rumah peninggalan orang tua karena gadis itu merasa sungkan pada keluarga kakaknya.Setiap hari dia akan dimasakkan menu spesial yang bisa Xavier masak. Sepulang dari bekerja, dia pasti datang membawa makanan kesukaan sang adik, memberinya bunga mawar merah karena tahu bahwa perempuan memang senang diberi hadiah.Kehidupan mereka berdua berlangsung seperti orang normal pada umumnya. Kakak adik itu saling menyayangi, walau Rosaline masih sedikit sungkan. Bagaimana tidak, mereka adalah saudara yang bertemu di usia dewasa.Nila diam-diam bertemu Xavier, gadis itu tidak pernah mengetahuinya. Meski demikian, pikirannya tentang masa lalu mulai berubah. Dia membenci Alvino dan orang-orang dekatnya karena hasutan sang kakak yang disetir Nila. Tentang pernikahan yang membuatnya jadi janda di usia muda akan selalu dikenang sebagai mimpi bur
Sabtu pagi ketika Zanna, Akmal dan Oma Siska sudah berada dalam mobil, lelaki jangkung itu mulai resah. Dia sengaja tidak ikut dan memilih menyusul satu atau dua jam ke depan karena sudah berjanji pada Rena untuk menemuinya.Namun, sebelum dia kembali masuk, sebuah mobil justru berhenti di depan sana. Dia memicingkan mata dan melihat Xavier tengah melebarkan senyum padanya. Seperti biasa, seolah-olah tidak ada masalah kemarin. Apa memang dia sudah sembuh dari luka?"Al, tadi aku liat mobil kamu keluar. Ga ada siapa-siapa di sini?""Iya, tar aku nyusul mereka. Ada apa?" Alvino menggaruk kening karena merasa salah ucap. "Maksud aku apa kabar?""Aku baik, Rosa juga baik. Kamu penasaran sama dia, 'kan?"Alvino hanya mengulum senyum. Ketika tahu bahwa Ivan dan Xavier adalah orang yang sama, dia seperti harus menjaga jarak. Bukan karena kesalahan orang tua mereka di masa lalu, melainkan tentang pernikahan yang harus berujung perpisahan.Andai saja tahu bahwa Sandra akan meninggal dan ternya
"Kalian sudah lama menunggu?" Rosaline datang dengan membawa empat paper bag beda warna. Bibirnya tidak lepas dari senyuman yang merekah indah."Sudah.""Dari tadi malah. Kamu lama banget di luar. Mereka nungguin, lho!" Xavier menambahkan karena mendengar jawaban Rena yang terdengar kaku.Gadis cantik itu segera mengempas bokong di lantai serta meletakkan ke empat paper bag. "Biru punya Xavier, Pink punya Rena dan putih untuk Al. Itu buat kalian."Sebenarnya Alvino merasa tidak enak. Dia telah menyakiti hati gadis itu dengan menjatuhkan talak padanya di hari pernikahan. Sekarang dia menerima hadiah? Tidak, itu terasa berat.Melihat pada Rena, dia juga tersenyum kikuk. Raut wajah yang dia tunjukkan menjadi jawaban bahwa dia merasa sungkan menerima pemberian tersebut."Kok, nggak dibuka? Cek aja dulu. Aku sama Xavier mau ke dapur sebentar. Sebentar doang, kok. Santai aja ya, anggap rumah sendiri."Adik dan kakak itu segera ke dapur. Rena memicingkan mata, dia merasa ada yang tidak beres
Hari-hari berlalu seperti biasanya, Zanna akan tetap memantau karyawan dari rumah kecuali jika ingin berkunjung langsung secara tiba-tiba. Alvino pun mulai paham tentang dunia bisnis karena bimbingan sang ayah, sedangkan Oma Siska terkadang ikut melihat menantu yang menjadi adik madu Nafiza.Rosaline dan Xavier pun hidup seperti biasa. Tidak jarang dari mereka diajak makan malam bersama demi membalas budi serta mengeratkan tali persaudaraan. Ada sesal di hati sebagian insan yang melihat kedamaian itu karena pada akhirnya kembali pada konsekuensi bahwa tidak ada rujuk setelah talak tiga.Rena dan Lucky semaki disibukkan oleh tugas kuliah apalagi mereka mulai menyusun skripsi. Entah apa yang terjadi pada dua anak manusia itu karena kemarin kembali membicarakan tentang cuti. Kemungkinan ada agenda yang harus diselesaikan.Jika ingin segera lulus demi mendapat pekerjaan, maka itu bukan tujuan utama keduanya sebab hidup berkecukupan. Lagi pula orang tua tidak pernah menuntut mereka mencari
"Ren, pulang!" Alvino menarik lengan Rena menjauh dari tempat di mana orang-orang toxic berkumpul. Dia mengabaikan ledekan sebagian dari mereka, menembus kerumunan menuju tempat memarkir mobil.Perasaannya semakin kalut. Dia mengerti bagaimana sulitnya Rena menanggung malu karena dulu pun dirinya selalu mendapat ledekan dari orang-orang karena hanya memiliki satu telinga.Kendaraan roda empat itu melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan gedung bertingkat yang didominasi warna krem itu. Sesekali melirik ke sebelah kiri, Rena tampak murung. Matanya berembun, sementara bibir sedikit gemetar. Pandangan lurus ke depan seperti orang putus asa."Aku dikeluarkan.""Maksud kamu?" Alvino mengerutkan kening karena memang tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh Rena."Karena video kita, Al. Aku dijatuhi fitnah sampai dikeluarkan dari kampus. Ini belum fix, tetapi kabarnya sudah beredar. Lagi pula semua orang sudah tahu, Ibu bilang terima saja, masih banyak kampus lain dan tidak harus b
Saat mereka tengah sibuk mengurus jenazah, Alvino menyelinap masuk ke kamar tempat kejadian memilukan itu terjadi. Tidak ada bekas darah di lantai atau si mana saja. Di kamar itu pun aman dari benda tajam termasuk gunting. Mungkinkah memang sudah dibersihkan dan tidak ada upaya melapor ke polisi untuk dicari tahu?Meskipun Nafiza itu baik, tidak menutup kemungkinan ada orang iri padanya sehingga mengambil nyawa lantas menggantung mayatnya agar orang-orang menganggap dia telah memilih jalan itu sendiri. Memang Nafiza memiliki banyak waktu sendiri di rumah, tetapi apakah masuk akal jika dia bunuh diri?Tiba-tiba, pikiran Alvino mengarah pada surat yang dikirim oleh Nila. Jika dia mengatakan ingin mengusik semua orang yang terlibat, selain Haura ... apakah wanita tadi termasuk dalam target sekadar menambah duka?Pandangan lelaki bertelinga satu itu mengedar ke seluruh ruangan, memindai dengan sangat hari-hati berharap segera menemukan bukti. Menghela napas, dia merasa sangat tertekan deng