Share

6. sedih

Terbangun di pagi hari dan menyadari kalau tempat tidurku sudah sepi, hanya jejak bekas tidur Mas Hengki yang masih terasa, aroma tubuh dan parfumnya masih tertinggal di bantal. Entah kenapa, setiap kali meninggalkan tempat tidur, tiap kali meninggalkan rumah, dia tak lagi berpamitan dan mencium diri ini.

Aku meringkuk sambil merangkul diri, kasur ini terasa dingin, dengan gaun tidur yang masih melekat, aku tetap merasa dingin dan kesepian. Jujur saja, aku merindukan kasih sayang. Aku merindukan suamiku, bukan hanya sosoknya... aku merindukan dia yang dulu, yang romantis dan penuh cinta.

Kupejam mata sembari mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali ranjang kami memanas oleh cinta dan pergumulan penuh kasih antara aku dan dia. Dan ya, itu sudah lama, lama sekali bahkan, sampai aku lupa bahwa aku juga wanita biasa yang memerlukan perhatian dan cinta.

Andai kami tidak terlalu sibuk dengan rutinitas masing-masing, mungkin ini tidak akan terjadi. Andai aku mampu mengisi kekosongan hati suamiku sampai kasih sayangnya meluber tumpah ruah, mungkin dia tidak akan mencari hiburan di luar sana. Tapi, apakah ini sepenuhnya salahku? Tidak, dialah yang bersalah karena tidak bisa mengendalikan dirinya.

**

"Aku lupa sarapan, bisakah kamu mampir ke kantor dan membawakan kotak bekal?" Tiba-tiba dia menelponku dan minta dibawakan makanan, biasanya dia akan makan siang di kantin kantornya atau keluar bersama teman-temannya, tapi, entah kenapa tiba-tiba minta dibawakan bekal.

"Baik, Kamu mau makan apa Mas?"

"Hmm, apa saja, yang penting masakanmu."

"Apa ini caramu untuk mengambil hatiku? Apa ini caramu untuk membuatku terhibur dengan membuatku merasa masih dibutuhkan?"

"Aku tidak berpura-pura membutuhkanmu karena sejatinya aku memang butuh, sungguh, aku bergantung padamu," jawabnya dengan nada bergetar.

"Jam berapa?"

"Bawakan saja setelah salat zhuhur."

"Baiklah, akan kukirimkan."

"Tidak, sekalian kamunya yang datang. Aku ingin nunjukin sesuatu," balasnya sambil mengucapkan salam dan izin untuk menutup panggilan kami.

*

Pukul 12.00 siang aku bersama kotak bekal di tangan menyusuri taman luas di depan tower kantor suamiku. Kantor bursa saham, Di mana pusat perekonomian juga ada di sini.

Aku hendak naik ke lantai 5 di mana kantor Mas Hengki berada, tapi baru tiba di lobby utama aku sudah terkejut bukan main.

Bagaimana tidak kulihat Mas Hengky sedang berdebat dengan Cantika, di sudut paling jauh loby samping, wanita itu menangis dan ingin memegang tangan suamiku, tapi suamiku terus menepis dan hendak mengusirnya dari tempat itu. Aku yang memantau dari kejauhan hanya bisa menarik nafas panjang dan mengelus dadaku sendiri.

"Ada apa itu? Kenapa Mas Hengky tidak mengendalikan Cantika agar tidak sampai datang ke kantor ini!" Astaga, ini tidak bisa dibiarkan. Aku membatin dan mendekat pada mereka sampai bisa mendengar percakapannya.

"Mas!"Cantika seperti memohon.

"Pergilah Cantika, kita bicara nanti. Jangan datang ke sini karena ini adalah tempat pekerjaanku."

"Aku putus asa mencarimu, aku... harus bagaimana!" Wanita itu menangis dan air matanya bercucuran seperti hujan deras, Kenapa Mas Hengky menghardiknya jika memang selama ini wanita itu adalah anak magang di kantor tersebut.

Apa masalah yang kita lihat begitu cemas dan ketakutan, apa dia telah membohongiku tentang latar pekerjaan Cantika?

"Mas, kunjungi aku dan temui aku!"

"Iya nanti!"

"Jangan menghindar Mas ...aku nggak bisa diginiin!"

"Cantika! Jika kamu terus memaksakan diri seperti ini maka aku terpaksa harus melapor pada pihak berwenang!"

"Melapor? Melapor katamu?! Silakan saja lapor, ayo lapor!!" Tentang wanita itu sambil mendorong-dorong mas Hengky di bagian dadanya. Pria yang dipukul dan didorong itu hanya terdiam sambil terus berusaha melerai Cantika.

"Jika kau melaporkanku maka akan kuungkap semua perbuatan dan aibmu! Jika aku harus terseret dan jatuh maka akan kubawa kau bersamaku!" Balas wanita itu sambil mengusap air matanya.

"Cantika!"

"Sekarang juga aku akan ke kampus anakmu Dan kukatakan kalau aku adalah calon ibu tirinya!"

"Cantika!!!" Hari ini Mas Hengky berteriak dan beberapa orang langsung menatap mereka.

Dia nampak sangat marah dan merah padam wajahnya, segera menarik nafas dan berusaha mengendalikan dirinya.

"Dengar, pergilah sekarang akan kutemui kau dalam satu jam!" desis lelaki itu sambil menahan kesabaran ya.

"Kau yakin!"

"Iya, pergilah." Mas Hengki menjawab sambil mendorong wanita itu keluar dari pintu lobi, keluar dari pintu Timur yang berlawanan dengan arah masukku tadi.

Dia tidak menyadari kalau aku berdiri tepat di belakangnya, tepat di punggung pria yang sedang panik dan mengusir kekasihnya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status