“Kamu disini?”Aku menoleh ke tangga, suamiku itu sedang duduk disana. Dia terkesiap saat kepergok sedang memperhatikanku."Ah, aku melihat kamu sangat bahagia hari ini. Jadi aku tidak mau mengganggu. Apa yang kamu lakukan disini?" Bastian berdiri dan bergerak mendekatiku."Aku terpikir tentang kopi," jawabku."Kamu mengingat sesuatu?" Bastian kembali bertanya."Karyawan itu yang memberitahuku. Mereka bilang aku harus ke bawah sini," jawabku lagi."Lalu bagaimana rasanya melihat tempat ini untuk pertama kalinya?" Bastian sudah berdiri di hadapanku.Aku tersenyum manis sambil memperhatikan sekeliling tempat itu."Layak sebagai tempat favoritmu. Kamu dan kopi memang sangat istimewa. Terlihat dari cara kamu menyimpan kopi-kopi ini dengan cara sendiri-sendiri. Tidak ditumpuk menjadi satu," pujiku."Kamu tidak terlalu tertarik dengan kopi ya? Itu sama artinya saat kita sedang jatuh cinta." Suamiku berkias."Benar, aku bahkan lebih menyukaimu dari pada kopi. Maka dari itu aku mengajukan dir
"Tapi kebahagiaan itu palsu, seperti pernikahan kita," ucap Bastian sambil berbalik badan menjauhiku. Dia enggan menatap mataku yang mulai berembun."Tidak, itu adalah sungguhan. Aku merasakan ketulusanmu." Air mataku menetes."Aku sudah lama mencurigaimu. Ketahuilah, aku juga sedang bersandiwara sama sepertimu." Suamiku itu tetap bersikeras, padahal jelas aku merasakan ketulusannya saat menyayangiku sebagai istrinya."Kalau begitu, aku sangat ingin kembali pada keadaan amnesia.." suara lirihku bergetar."Selama itu bisa membuatmu menyayangiku dengan tulus.. bahkan jika aku harus membayarnya dengan uang 10 miliar. Jujur, aku sangat ingin kembali pada beberapa hari terakhir, dimana kamu memperlakukanku sangat manis dengan ketulusan yang kurasakan," sambungku.Bastian berbalik badan menatapku kembali, matanya pun mulai berkaca-kaca. Namun dia masih tetap diam."Suamiku.. kita harus menemukan uang itu bersama-sama. Uang 10 miliar itu, hanya bisa kembali ke genggaman kita, walaupun semua
"Tiup lilinnya, Bos!" Teriak Risti.Begitupun yang lainnya, kecuali Jessica dan Arman. Wajah mereka bahkan tampak sinis, seperti terpaksa berada disini.Aku dan Elena meniup lilin diatas cake itu bersamaan. Mereka bersorak gembira. Elena tersenyum sangat manis. Dia memakai gaun merah muda. Wajahnya dihiasi make up minimalis, cantik sekali. Untuk sesaat aku terpana oleh penampilan istriku."Kamu terkejut?" Elena bertanya, membuatku seketika terkesiap."Ayo kita foto bersama!" Ajak Elena pada semua orang."Baiklah.." jawab mereka.Elena memasang tripod dengan kamera ponsel miliknya. "Ayo sini kumpul!" Istriku mengajak semua orang untuk berfoto. Aku sedikit canggung, lebih tepatnya risih.*** Lima jam yang lalu.Sebelum Elena pulang ke rumah saat dari restoran siang tadi, dia berpesan padaku bahwa, dia akan mengadakan pesta pernikahan."Malam nanti, aku akan mengadakan pesta ulang tahun pernikahan kita. Kamu pergi membeli anggur merah, dan pura-puralah terkejut saat sampai di rumah!" t
Saat kembali ke bawah, para karyawan sibuk memberikan hadiah untuk hari ulang tahun pernikahan kami. Elena tampak sumringah. "Wah.. terima kasih, kenapa kalian jadi repot begini.." ucap Elena sungkan."Terima kasih, aku akan menggunakannya dengan baik," ucapku saat menerima hadiah dari salah satu karyawan."Waah.. yang ini aku sangat suka, wanginya harum sekali," aku menerima hadiah parfum yang kini sedang kucoba."Tentu, itu adalah pilihanku, Bos!" Sahut Risti."Suamiku.." Elena berbisik, lalu menyalakan sesuatu yang bergetar ke pinggangku. Seketika aku terkejut, yang tadinya aku sedang berdiri mendadak terduduk diatas sofa. Elena dan yang lainnya tertawa puas seolah sedang menyaksikan pertunjukan lawak. Aku tahu, Elena sedang menyindirky atas kejadian malam itu dimana aku menyetrumnya dibagian yang sama."Woah.. alat apa ini?" Aku menarik alat berbentuk seperti pistol besar berwarna hitam itu dari tangan Elena."Itu Pistol Fascia, untuk alat pijat," ujar yang lainnya."Ah, pistol?
POV Elena.Aku sengaja mengaakan pesta kecil untuk ulang tahun pernikahanku dan Bastian yang ke enam. Aku meminta bantuan pada para karyawan di restoran suamiku untuk turut serta, dan juga ikut menjalankan sandiwara tentang anggur beracun, kemudian terkait uang 10 miliar-ku yang hilang. Kecuali Arman dan Jessica, karena aku mencurigai mereka berdua.Dan aku berhasil membuat mereka semua masuk dalam suasana tegang, termasuk suamiku. Dia bahkan mengaku jujur telah mencuri uang itu dan mengeluarkan dua tas hitam besar ke hadapan semua orang. Tak kusangka, dia mengakui semuanya dan mengungkap bahwa aku telah berbohong padanya dan telah membuat sandiwara atas kasus penculikanku bersama Denis waktu itu.Meskipun itu semua dia ungkapkan di depan semua orang, tapi tidak akan ada yang percaya begitu saja. Sebab, aku sudah memberitahu mereka bahwa suamiku juga ikut dalam sandiwara ini. tujuannya hanya untuk membuat Arman dan Jessica mengaku, bahwa uang 10 miliar itu ada pada salah satu diantara
POV Bastian.Elena duduk sambil tersenyum setelah memperlihatkan uang itu padaku. Lalu dia menyodorkan kertas berisi persetujuan cerai yang sudah lusuh keatas meja.“Selamat, ingatanmu sudah kembali!” ucapku sambil melepas cincin pernikahan lalu meletakan benda bulat itu diatas kertas tersebut.“Ini memang hadiah ulang tahun pernikahan yang kamu berikan padaku selama bertahun-tahun.” Elena berujar dengan mata berkaca-kaca.Aku tidak mempedulikannya, lantas bangkit dari dudukku dan bergegas naik ke kamar untuk mengemas pakaian ke dalam koper.Setelah selesai, aku menyeret koper itu keluar dengan perasaan campur aduk. Aku terkesiap saat melihat Elena sudah berdiri di depan pintu, menungguku keluar.“Apakah kamu juga mengalami amensia?” dia bertanya sambil melipat tangan ke dada.Aku hanya bergeming, menatap malas pada wajah istriku.“Saat-saat kita berdua bahagia bersama, lalu sekarang kamu mau meninggalkanku begitu saja?”Aku tersenyum remeh menanggapi pertanyaan Elena barusan.“Berkat
Dering ponsel membuatku terbangun. Malam tadi aku tertidur diatas tumpukan uang. Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan hidup mewah dan bebas.Tertera nama Jessica di layar, dengan malas dan terpaksa aku menjawab teleponnya.“Bastian!” sentak Jessica saat telepon tersambung.“Ada apa?” jawabku malas.“Bukankah sebelumnya kamu bilang akan merayakan hari jadi pernikahan kalian, lalu apa lagi yang sedang kalian mainkan sekarang?” tanya Jessica menggebu, kesal.“Apa maksudmu?”“Aku bertanya padamu, Bastian. Sebenarnya apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Jessica terdengar menggeram.“Apa yang terjadi setelah kami semua pulang? Sebenarnya apa yang sedang kalian mainkan?” Jessica semakin menaikkan suaranya, membuat telingaku seakan ingin pecah. Sementara dia terdengar sangat frustasi.“Entahlah, aku juga gak tau..” ucapku sambil membelai gepokan uang.“Dimana uangnya?” tanya Jessica berdesis.“Aku juga gak tau, Jess!” jawabku sambil tersenyum melirik pada tumpukan uang yang sedang tid
“Serius?” tanyaku.“Menurut mereka, surat kematian Denis itu palsu, dengan begitu, maka uang 10 miliar yang katanya dibakar itu, akan muncul dan menjadi pusat perhatian kembali. Jika hendak menyentuh uang ini, maka resikonya sangat besar. Gue gak mau lagi nyentuh barang kotor yang beresiko.” Bang Rozi mengoceh panjang lebar.“Gak mungkin.. jadi uang ini, apa yang harus aku lakukan dengan uang ini, Bang?” ucapku gugup sekaligus panik.“Bukan saatnya bagi lo buat khawatirin uang ini, masalah yang lebih besar adalah… bini lu!” Bang Rozi berujar dengan mata melotot sambil menunjukku.“Tapi dia sudah mengatakan ingin bercerai denganku...” ucapku lirih.“Apa bini lo itu beneran lepasin dan biarin lo pergi gitu aja?” desis Bang Rozi.Aku tercengang untuk beberapa saat menangkap ucapan mantan Abang iparku barusan.“Dia adalah orang yang dicurigai membunuh Denis,” imbuh Bang Rozi.“Pantas saja… aku sempat tak percaya dia menyerahkan uangnya begitu saja padaku. Ah.. sudah berapa lama aku begini
POV Bastian.“Aku pulang..” Elena masuk ke dalam toko ayam goreng sekaligus rumah yang selama ini Ibuku dan Kak Vira tinggali. Setelah kejadian itu, dan rumah kami terbakar, aku dan Elena pun menumpang tinggal disini.Hari ini jadwal terapi Elena, syaraf kirinya yang tertusuk mengakibat kaki kirinya lumpuh dan harus menjalani terapi agar bisa berjalan normal kembali. Dia selalu pergi ke rumah sakit sendiri, karena aku sibuk membantu Ibu dan Kak Vira mengurus toko. Istriku itu memang keras kepala, tidak mau merepotkan siapa pun dan merasa bisa menanganinya sendiri.“Kamu sudah berusaha keras, Elena. Bagaimana hasilnya hari ini?” tanya Kak Vira.“Kata dokter sudah mulai bisa berjalan tanpa kruk, apalagi jika aku rajin melakukan pengobatan beberapa hari lagi.” Elena menjawab sambil berjalan susah payah menggunakan kruk. Ibu dan Kak Vira yang sedang meracik bumbu untuk ayam goreng tersenyum senang.“Aku akan ikut membantu,” ujar Elena menghampiri.“Jangan!”“Tidak usah!”Bruk!Elena menab
Toni menyadari bahwa istrinya tengah melamun. Sejak tadi dia menatap bola baseball itu sambil memutar-mutarnya di tangan.“Novelmu itu…” Toni menggantung kalimatnya, membuat Mita mendongak. Pandangannya beralih dari bola kepada suaminya yang sedang berdiri memperhatikannya sambil bersandar di pilar dekat pintu masuk. “Cukup bagus..” sambung Toni sambil menyunggingkan senyum.Senyum yang selama ini tak pernah dilihat oleh Mita. Dia merindukannya sejak lama, dan hari ini suaminya berhasil membuatnya tersenyum juga atas pujiannya itu.Toni masih mempertahankan senyumnya, apalagi melihat Mita tersipu malu. Dia tulus, dia sadar selama ini dia terlalu keras pada Mita. Terlalu pelit dengan perhatian dan setitik senyum dari bibirnya.“Tapi.. bisakah kau mengubah nama penanya? Bukan ibu rumah tangga yang ingin menjadi penulis, tapi ibu rumah tangga yang telah menjadi penulis.”Mendengar itu, bibir Mita yang tadinya melengkung keatas membentuk senyum, mendadak melengkung ke bawah. Dia terharu
"Bukankah kamu pernah bilang, pacarmu membutuhkan uang untuk operasi?"Elena masih memaksa dan bersikeras atas kehendaknya. Sedangkan Raffi terhenyak, dia maaih bingung."Aku ingin membantumu," sambung Elena, dengan tatapan mata yang lebih serius. Dia tidak bercanda. Dia ingin dirinya diculik dan Raffi harus membantunya.Atas tawaran yang diberikan Elena, Raffi pun tergiur. Dia mengambil kesempatan ini untuk membantu membiayai pengobatan sang pacar.Aksi pun dimulai. Dengan ragu, Raffi menuruti Elena membawakan kain berwarna putih. Tangannya gemetar, dia tidak bisa melakukannya."Berikan padaku! Biar aku yang melakukannya sendiri!" Elena merebut kain itu lalu menutupkan matanya. Tangannya beralih ke belakang, lalu mengisyaratkan pasa Raffi untuk segera mengikatnya. Sebuah senyuman terbentuk dari bibir Elena remaja. Dia puas, merasa sandiwara ini nantinya akan berhasil mewujudkan keinginannya untuk pergi jauh dari hubungan rumit kedua orang tuanya.'Aku akan mengingatnya, hari ini seb
Elena Valencia Adiyatma..!" Detektif Toni memanggi nama lengkap wanita yang tengah susah payah berjalan menggunakan alat bantu. Elena, semenjak kejadian penculikan dan kebakaran rumah tiga bulan lalu, dia mengalami trauma dan cacat sementara pada kaki kirinya yang menyebabkan dirinya tak mampu berjalan sempurna.Detektif Toni berjalan mendekat, Elena tersenyum menyambut kedatangan pria yang terus berhubungan dengannya, mengamatinya sejak awal pertama kasus sandiwara penculikan dirinya."Detektif Toni..." Elena menyapa.Lalu merea duduk di taman rumah sakit. Elana tak banyak bicara, dia hanya akan menjawab jika ditanya. Beberapa menit suasana hening tanpa adanya pembicaraan."Ada satu pikiran yang selalu ada di otakku," ucap Pak Toni membuka pembicaraan.Elena mengalihkan pandangan pada pria yang berbicara di sebelahnya. "Kamu yang membantu Melisa dan Andre melarikan diri, kan?" Terus terang Toni. Dia memang bukan tipe orang yang suka basa basi.Elena tertawa. "Masalah ini lagi?" Ele
"Aku ingin membakar rumah ini.." Elena membakar kain gorden rumahnya untuk mengalihkan perhatian sang Ibu pada waktu itu, namun Kak Raffi, guru les privatnya, mencegah dan segera mematikan api sebelum menyebar terlalu besar.Mulai saat itu, Elena merencanakan sandiwara penculikan bersama Raffi dengan imbalan uang untuk berobat pacarnya yang sedang menderita kanker."Apakah kamu bisa melihat kupu-kupu berusaha keras demi bisa terbang?" Elena bertanya sambil melihag kupu-kupu yang hinggap di jendela bus yang mereka tumpangi.Mereka berdua pergi tanpa tujuan, asalkan pergi saja dari rumah dan menghilang."Tapi menurutku, dia berusaha untuk tidak terbang dan kembali pulang.." Elena melihat hewan itu mirip dengannya.Kebebasan tak pernah dia rasakan. Semua tentang hidupnya diatur oleh orang tuanya. Cita-cita, cinta, dan apapun itu. Sehingga saat itu Elena menberontak, terutama dia melihat Ibunya berselingkuh. Hidupnya ibarat terombang ambing diatas ombak lautan."Tidak ada yang tau sebera
"Suamiku... akhirnya kamu datang.." Elena tersenyum dengan sisa tenaganya."Aku... aku datang dengan otak bodohku ini.." Bastian menunjuk dirinya sendiri sambil memberikan sebuah kode melalui tangannya.Bastian menunjukkan jari manisnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Memberitahu Elena bahwa dia tersadar keberadaan istrinya ketika melihat cincin pernikahan yang dikenakan Elena.Elena tersenyum puas. Wajahnya semakin pucat tak berdaya."Akhirnya aku yang memenangkan taruhan ini, kan?" Elena menatap Melisa dengan senyuman mengejek.Wanuta berambut sebahu itu masih bertahan dengan korek yang menyala di tangannya."Aku rasa.. kalian berdua sangat ingin saling membunuh. Tidak bisakag menjadi lebib jujur? Kalian hanya takut melukai harga diri kalian, kan?" Melisa menyeringai."Maka tidak berani mengakui jika salah pilih. Makanya kalian seperti ini.." sambungnya sambil terus bergantian menatap Elena dan Bastian."Tapi... memangnya kenapa?" Bastian menyela. "Bukankah semua orang seperti
Elena memindai sekitar rumahnya. Matanya menyapu seluruh sudut, mengingat kenangan di tempat ini sebelum Melisa menjatuhkan korek apinya.'Sebenarnya kesalahannya mulai dari mana? Akhirnya, janji di depan A31 tetap tidak bisa ditepati. Aku berharap suamiku masih ingat dengan A31. Janji kita bersama A31, tidak terpenuhi.' Elena bergumam dalam hati.Hatinya hancur. Terutama ketika mengingat pertama kali menjalankan misi sandiwara penculikan, saat itu Bastian menelepon polisi setelah membaca pesan ancaman dari sang penculik A31.Bagaimana bisa dia langsung menelepon polisi dan tersenyum saat mengetahui jika hal itu dilakukan akan membuat nyawa Elena terancam. Kecewa dan marah Elena rasakan, namun tak bisa dilampiaskan pada Bastian. Dia memilih memaafkan karena dia membutuhkan seorang suami."Aku berharap suamiku tidak tersesat, dan segera melihat petunjuk yang kuberikan," ujar Elena saat bersembunyi di suatu tempat dan pura-pura diculik.A31 adalah petunjuk, namun Bastian sama sekali tid
"Pintunya tidak terkunci," gumam Toni saat masuk ke dalam restoran."Apakah ada orang di dalam?!" Toni berteriak sambil terus berjalan masuk ke dalam."Apa ini?" Rian melihat bercak darah di lantai."Cepat!" Toni berseru, berlari naik ke lantai dua."Apa yang terjadi?" Toni menemukan Jessica tergeletak bersimbah darah sambil memegang lengannya yang terluka."Apa yang terjadi?" Rian menghampiri Jessica."Sepuluh miliar sudah dirampas, penjahatnya adalah Andre, pria tetangga Bastian," jelas Jessica sambil meringis kesakitan."Andre? Cepat kejar!" perintah Toni pada juniornya."Sepuluh miliar... uang yang digunakan untuk penebusan kasus penculikan Elena?" desis Toni, matanya menyorot tajam pada Jessica.Wanita itu tak peduli, dia terus meringis sambil nenekan luka di lengannya."Aku pikir uang itu jatuh ke tangan siapa, ternyata kamu orangnya.." kembali Toni mendesis.Jessica tak berani membalas tatapan Toni. Dia terus menunduk."Aww.. sakit banget!" Pekik Jessica saat Toni memberikan sa
“Katanya mereka berkenalan saat bekerja di bar anggur merah. Istrinya itu sangat menyukai anggur merah terutama merek Cinta Abadi.” Rozi bercerita sambil menunjukkan foto Raffi bersama wanita penjaga bar, yaitu mendiang istrinya.Saat Jessica tengah memperhatikan foto tersebut, Rozi mengetuk-ngetuk koper milik Jessica.“Bukankah kamu bilang tidak tertarik?” dengan cepat Jessica menggeser kopernya itu, dan mengalihkan pandangan dari foto ke Rozi dengan tatapan tajamnya.“Toko gue gak akan mengurus barang kotor dan haram seperti ini,”ujarnya.“Tapi aku rasa kamu hanya mengurus barang kotor,” balas Jessica meremehkan.“Sudah gue bilang enggak!” tegasnya.“Kamu tau, diantara barang kotor dalam toko ini, kita lah yang paling punya aroma kotor itu.” Jessica menyeringai. “Lalu, bagaimana istrinya Raffi itu meninggal?” sambung Jessica melanjutkan ke topik pembicaraan.“Karena sudah lama sakit,” jawab Rozi sambil menyilangkan kakinya ke kaki satunya.“Jadi istrinya meninggal karena sakit?”“Ya