Dering ponsel membuatku terbangun. Malam tadi aku tertidur diatas tumpukan uang. Seumur hidup, baru kali ini aku merasakan hidup mewah dan bebas.Tertera nama Jessica di layar, dengan malas dan terpaksa aku menjawab teleponnya.“Bastian!” sentak Jessica saat telepon tersambung.“Ada apa?” jawabku malas.“Bukankah sebelumnya kamu bilang akan merayakan hari jadi pernikahan kalian, lalu apa lagi yang sedang kalian mainkan sekarang?” tanya Jessica menggebu, kesal.“Apa maksudmu?”“Aku bertanya padamu, Bastian. Sebenarnya apa yang sedang kalian berdua lakukan?” Jessica terdengar menggeram.“Apa yang terjadi setelah kami semua pulang? Sebenarnya apa yang sedang kalian mainkan?” Jessica semakin menaikkan suaranya, membuat telingaku seakan ingin pecah. Sementara dia terdengar sangat frustasi.“Entahlah, aku juga gak tau..” ucapku sambil membelai gepokan uang.“Dimana uangnya?” tanya Jessica berdesis.“Aku juga gak tau, Jess!” jawabku sambil tersenyum melirik pada tumpukan uang yang sedang tid
“Serius?” tanyaku.“Menurut mereka, surat kematian Denis itu palsu, dengan begitu, maka uang 10 miliar yang katanya dibakar itu, akan muncul dan menjadi pusat perhatian kembali. Jika hendak menyentuh uang ini, maka resikonya sangat besar. Gue gak mau lagi nyentuh barang kotor yang beresiko.” Bang Rozi mengoceh panjang lebar.“Gak mungkin.. jadi uang ini, apa yang harus aku lakukan dengan uang ini, Bang?” ucapku gugup sekaligus panik.“Bukan saatnya bagi lo buat khawatirin uang ini, masalah yang lebih besar adalah… bini lu!” Bang Rozi berujar dengan mata melotot sambil menunjukku.“Tapi dia sudah mengatakan ingin bercerai denganku...” ucapku lirih.“Apa bini lo itu beneran lepasin dan biarin lo pergi gitu aja?” desis Bang Rozi.Aku tercengang untuk beberapa saat menangkap ucapan mantan Abang iparku barusan.“Dia adalah orang yang dicurigai membunuh Denis,” imbuh Bang Rozi.“Pantas saja… aku sempat tak percaya dia menyerahkan uangnya begitu saja padaku. Ah.. sudah berapa lama aku begini
POV ElenaBagiku pernikahan seperti sebuah rumah. Sebuah tempat yang terserah aku ingin kutaruh apa saja. Dunia yang aman dan hangat, kecuali untuk satu benda. Jika dipikirkan baik-baik, apa aku benar-benar memerlukan benda itu?Pagi ini, aku seperti merasakan kebebasan. Suamiku pergi dengan uang 10 miliar. Kurasa kini dia sedang bersenang-senang menikmatinya. Sedangkan aku, sama sekali tak masalah. Jika memang itu keinginannya menganggap sebagai kompensasi perceraian. Namun aku harus mengurus beberapa hal sebelum itu.“Halo, aku Elena. Maaf jika aku merepotkanmu, tapi ada sesuatu yang harus kamu urus.” Aku berujar pada pengacaraku lewat telepon dan menjelaskan beberapa hal untuk disampaikan pada suamiku sebagai persyaratan perceraian.***Selesai sarapan, aku pergi ke kosan Jessica. Ada sesuatu yang harus aku sampaikan padanya.“Pagi.. kamu punya waktu sebentar untuk bicara?” aku menyapa saat wanita cantik yang masih menggunakan piyama itu membuka pintu.Dia menyambutku dengan tatapa
Aku tertawa lepas, “ini juga adalah imajinasimu kan?” ucapku.Pak Toni terus menatapku tajam dengan wajah seriusnya.“Tidak perlu memakan waktu begitu lama, semua ini akan menjadi kenyataan..” ucapnya mendesis.Aku bergeming, membuang pandang ke sembarang arah tak sanggup melihat tatapan tajam pria itu.“Aku sarankan kamu sebaiknya mempersiapkan diri!” ucapnya lantas bediri dan beranjak pergi.Aku tak dapat lagi bicara sepatah kata pun, menyadari sedikit kesalahan yang telah kuperbuat. Mungkin mereka merasa aku telah mempermainkan kepolisian atas sandiwara yang kubuat sendiri. Ya, aku mengakui bahwa tindakanku itu sungguh gila, hanya karena ingin membalas suamiku yang selingkuh.“Kamu sudah banyak mengalami begitu banyak hal, namun tetap begitu kuat dan masih saja datang membantu restoran suamimu,” ucap Pak Toni mendesis sebelum dia membuka pintu ruangan.“Karena tidak ada siapa pun yang lebih mempercayai suamiku dan mencintai suamiku selain diriku sendiri, dan ini merupakan hal yang
POV AuthorLima jam sebelum acara peringatan ulang tahun Bastian dan Elena yang diadakan di rumah mereka, Andre diam-diam memberi pesan kepada Raffi. Dia mencoba menipu mantan guru privat Elena itu dengan cara menaruh kotak termos es besar di depan pintu bar-nya. Di dalam kotak termos itu, Andre menuliskan bahwa dia harus membawa uang 10 miliar itu ke rumah Elena tepat pukul sepuluh malam. Andre dan Jessica yang sudah bersekongkol mengira uang itu berada di tangan Raffi.Merasa janggal, Raffi pun menghubungi Elena. Tentu saja Elena tidak merasa memberi pesan itu. Betapa bodohnya Andre tidak menyadari bahwa Raffi akan mengkonfirmasi kepada yang bersangkutan.Namun, tepat pukul sepuluh malam, Raffi tetap datang membawakan termos es besarnya. Pria berpakaian serba hitam itu memencet bel. Jessica mencoba mencegah Elena saat hendak membukakan pintu, karena dia mengira bahwa yang datang itu adalah uang, dan saat itu, Andre sudah bersiap mengambil kotak termos es besar itu dari depan pagar r
“Apa? Seorang pria?” sambung Rian.***Setelah mencari tahu siapa pria yang melaporkan kejadian perampokan itu, kedua detektif itu langsung menuju restoran milik Bastian. Mereka segera menemui Arman, sang pelapor pertama, dan menginterogasinya, didampingi oleh Bastian selaku pemilik Bos.Arman mengaku bahwa datang ke rumah Elena atas perintah Nyonya Bos-nya itu, yang katanya ingin membicarakan sesuatu. Namun saat Arman tiba di rumah Elena, keadaan sudah sangat kacau dan dia menemukan Nyonya Bos-nya itu sedang tergeletak pingsan. Begitulah penjelasan dari Arman yang sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataannya.Detektif Toni juga bertanya, kenapa tidak menyebutkan identitas saat melapor, Arman menjawab bahwa dia panik dan terburu-buru, setelah itu dia segera pergi.Selesai menginterogasi Arman dan mendapat banyak petunjuk juga dari Bastian, kedua detektif itu segera pergi untuk investigasi selanjutnya.Beberapa saat setelah kedua detektif itu pergi, Elena datang ke restoran. Wanita
Setelah berdebat dengan Mita, Toni memutuskan untuk kembali ke kantor. Tidak ada gunakanya terus berseteru, karena bagaimana pun juga, pria itu memang salah. Dia menyadari bahwa dirinya terlalu fokus bekerja sehingga kurang memperhatikan anak dan istrinya.Namun saat di kantor, Toni tidak pernah bisa fokus untuk bekerja. Selalu terngiang kata-kata istrinya. Hingga sebelum pukul sepuluh malam, dia memutuskan untuk pulang ke rumah.“Senior mau kemana?” tanya Rian, heran melihat seniornya itu pergi tergesa-gesa.Toni tidak bisa tenang, dia terus terpikirkan dengan kotak termos es besar itu. Istrinya sengaja membawanya belanja dan mengisinya dengan bahan makanan. Lalu kemana uang 10 miliar itu?“Aku mau pulang!” jawab Toni.“Waahh.. benar-benar matahari terbit dari barat!” sindir Rian, meskipun Toni sudah tak terlihat.***Sampai di rumah, Toni tidak menemukan istrinya. Si kembar di tinggal berdua saja di rumah, karena memang mereka sudah besar dan sudah sering ditinggal di rumah.“Ayah..
Mita sangat gelisah. Dia tidak bisa berpikir untuk membuat bab baru di novelnya. Berkali-kali dia mengacak rambutnya sendiri hingga berantakan. Meski pun sudah di rumah sendirian, dia mereasa tidak tenang. Suaminya sudah pergi ke kantor, sedangkan anak-anaknya sudah pergi sekolah. Kini, dia bisa menghadap laptop dengan leluasa.“Arrgghh.. ini alasan kenapa sebagai penulis novel membutuhkan kasus dan konflik.” Dia bergumam seorang diri, lalu perlahan mulai menuliskan kata demi kata pada lembar bab novelnya.Kasus itu kita temui…. Tab tab tab… ia menghapusnya kembali. Mita mendesah berat. Sepertinya alur cerita yang dia buat semakin rumit padahal dia mengikuti alur aslinya dari kasus Elena.“Aku sangat ingin menghapus kehidupanku juga..” dia membingkai kepalanya yang terasa bedenyut.Mita teringat pada hari itu. Hari dimana dia menyaksikan Elena menyeret kotak termos lalu menukar uang tebusan yang berada di tong sampah stadion baseball.Wanita itu memberanikan diri untuk mencegat Elena,