Meyra berdiri di sudut yang berbeda saat Nehan bersama Sekar sedang menjalani prosesi adat pernikahan. Meyra bertahan menyaksikan semua itu sembari ingatannya tanpa bisa cegah mulai berkelindan di masa lalu kala dirinya dan Nehan juga melakukan semua prosesi yang sama seperti itu. Setelah delapan tahun berselang Meyra sungguh tak menyangka jika dirinya harus menyaksikan suaminya melakukan prosesi pernikahan itu kembali bersama dengan wanita lain, wanita yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya. Saat dirinya dan Nehan menikah dulu, Meyra masih bisa ingat dengan jelas ketika itu Sekar malah membantunya mempersiapkan segalanya. Bahkan Meyra masih bisa mengingat gurat kebahagiaan yang juga terpancar di wajah Sekar untuknya. Meyra tak tahu apakah kebahagiaan yang ia lihat di wajah Sekar waktu itu adalah semua aksi pura-pura karena nyatanya sekarang Sekar malah terlihat sama sekali tak ada beban bahkan menjadi sangat bahagia menjalani prosesi pernikahan mereka, disaksikan oleh Meyra
Meyra tercenung saat mendapati lelaki yang masih berstatus sebagai suaminya itu kini sudah berdiri di ambang pintu sedang memandangnya penuh makna. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya Nehan menunjukkan rasa khawatirnya. Meyra membalasnya dengan tatapan datar sebelum kemudian ia memalingkan wajahnya lalu balik badan untuk melangkah ke dalam kamarnya lagi. Nehan segera menyusul sebelum ia menutup pintu kamar mereka terlebih dahulu. Nehan melirik sekilas pada Arka yang berada di dekat istrinya, lalu menyunggingkan segaris senyum untuk putra pertamanya itu, lelaki kecil yang membuatnya pertama kali menyandang gelar sebagai seorang ayah setelah sekian tahun ia menanti. “Arka di sini bersama mama?” tanya Nehan lembut sembari mengusap lembut kepala putra sulungnya. Meyra memperhatikan dari jauh interaksi ayah dan anak itu, dengan hati yang kembali dihampiri perih. Sekali lagi Meyra menyusut bening di matanya. Sampai kemudian Nehan meliriknya. “Kenapa kamu meninggalkan pelaminan, bukanka
Meyra meminta Kenrich untuk mengantarkannya ke rumah bundanya.Wanita itu ingin menenangkan dirinya. Hatinya masih merasakan sakit yang teramat perih menyaksikan pesta resepsi pernikahan suaminya dengan sahabatnya sendiri. Bahkan dia dipaksa untuk berpura-pura tegar di hadapan semua tamu undangan yang datang, mengesankan bahwa pernikahan itu adalah atas kehendaknya juga.“Terima kasih sudah mengantarku, sekarang pulanglah, aku ingin beristirahat,” ucap Meyra ketika Kenrich menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Rida.Kenrich memandang Meyra lurus. Ia melihat dengan sangat lugas kesedihan Meyra yang juga membuatnya merasa sangat prihatin.“Jika kamu membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi aku.”Meyra tersenyum tipis lalu menggeleng pelan.“Aku akan baik-baik saja, lagipula besok aku akan bertugas ke klinik jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.”“Apa kamu yakin?” Kenrich masih saja mengkhawatirkan Meyra.“Iya aku yakin.”Kenrich kemudian menarik nafas panjang, memandang
Meyra memandang lesu pada wajah sang suami yang menunjukkan gurat gusar. Wanita itu kemudian mendesah panjang dan memalingkan wajahnya dari tatapan Nehan yang semakin lekat. Tapi sebelum ia mengucapkan sepatah katapun mendadak Rida yang baru saja pulang dari rumah sakit karena mendapatkan giliran jaga malam langsung menyapa Nehan saat melihat sosok menantunya sudah bersama putrinya. “Nehan, pagi sekali kamu datang?” tanya Rida. Tatapan wanita berambut cepak itu kemudian semakin menelisik pada wajah Nehan yang sekarang tampak tegang. “Bukannya kemarin adalah pesta resepsi pernikahan kamu sama Sekar kenapa pagi-pagi sekali kamu sudah mendatangi Meyra? Apa Sekar tahu kalau kamu datang ke sini?” Nehan menahan kekesalannya saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Untuk beberapa saat Nehan hanya memandang lurus pada Meyra yang kini malah mengarahkan tatapannya pada Rida. “Bunda sudah pulang?” tanya Meyra. “Iya,” jawab Rida datar sembari mulai memperhatikan Meyra lebih lanjut. “Apa kam
Meyra kembali menelisik ekspresi wajah suami dan bundanya. Mereka terlihat sangat tegang, aura resah menguar sangat nyata dari wajah mereka.“Aku melihat ada sesuatu yang sedang kalian sembunyikan.”Tatapan Meyra kemudian beralih pada sang bunda.“Apa yang sudah Bunda katakan pada Mas Nehan?”Pertanyaan Meyra terdengar agak mendesak.Rida menanggapi dengan sebuah tatapan sarkas ke arah Nehan yang sekarang lebih memilih untuk diam.“Aku mengatakan apa yang seharusnya aku katakan.”Setelah itu Rida kembali menyergap Meyra dengan tatapan lebih lekat.“Kalau kau tak mampu menggenggam bara di telapak tanganmu, sebaiknya kamu lepaskan. Karena bara yang panas hanya akan memberikan luka.”Meyra tercenung ketika mendengar ucapan bundanya. Ia tak mampu berkata-kata apapun. Bahkan ia hanya bisa memandang Rida yang kemudian lebih memilih pergi meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sarapannya walau masakan buatan Nana selalu saja membangkitkan seleranya.Setelah Rida tak lagi berada di tengah-te
“Aku sudah bisa menebak kamu pasti bersama Meyra, Mas,” tegas Sekar yang memang sengaja mendatangi klinik tempat Meyra berpraktek demi bisa bertemu dengan suaminya yang di awal pagi sudah pergi dari rumah tanpa mengucapkan apapun.Nehan memandang istri keduanya itu dengan tatapan nyalang. Gurat ketidaksukaannya terunggah nyata.“Apa yang kamu lakukan di sini?” sergah Nehan tegas.Sekar menyergap wajah tampan suaminya itu dengan sorot mata kecewa.“Tentu saja aku ingin bertemu dengan kamu. Kita bahkan sudah terlambat untuk mendaftarkan Arka ke sekolah. Bukankah kamu sudah berjanjii bahwa hari ini kita akan mendaftarkan Arka ke sekolah, karena seluruh surat-surat pernikahan kita sudah selesai diurus.”Nehan kemudian mendesah jengah.Sementara Meyra hanya bisa bergeming bahkan tak tahu harus berucap apa. Dalam situasi apapun dirinya seolah berada dalam posisi yang salah, semua karena sikap Nehan yang selalu ingin mempertahankan kebersamaan mereka.Sekar lalu beralih menatap Meyra dengan
Dengan memendam rasa penasaran Meyra membuka kado dari suaminya.Matanya kemudian terbeliak lebar, ketika menatap benda berkilau yang sekarang sudah ada dalam genggamannya.“Gelang ini ...?” Meyra bertanya sembari mengernyitkan dahinya karena gelang itu sama persis seperti pemberian suaminya bertahun silam ketika mereka baru saja menikah, sebuah kado yang diberikan saat dirinya berulang tahun.“Aku tahu gelang itu sudah putus, aku sempat memeriksanya saat membuka kotak perhiasan milikmu yang masih kamu simpan di wardrobe kamar kita di rumah mami.”Meyra tertegun memandangi gelang yang memiliki aksen seperti bentuk hati di tengahnya.Saat itu Meyra sempat merasakan sebuah firasat buruk saat gelang yang biasa ia pakai itu mendadak putus. Sekarang Meyra yakin jika itu adalah pertanda tentang suaminya yang sudah menduakannya dengan sahabatnya sendiri, seorang sahabat yang kini berbalik memusuhinya.Tanpa Meyra minta Nehan kemudian memasangkan gelang itu pada tangan Meyra.Meyra terdiam da
“Katakan Mey, kenapa kamu keberatan untuk menginap di hotel ini?” Nehan menegaskan pertanyaannya.Meyra mendesah jengah, meski begitu ia masih bergeming.Nehan kembali berusaha membujuk istri pertamanya itu.“Dengar Mey aku sudah meluangkan waktu ini untuk kamu, dan aku pastikan di sini tidak akan ada yang mengganggu kita.”Meyra kembali menarik nafas panjang lalu menatap lebih lekat wajah suaminya.“Lalu bagaimana dengan Sekar, istri keduamu itu?” tanya Meyra lugas.Nehan mendengus malas.“Kenapa kamu menyebut nama dia di saat kita hanya berdua seperti ini dan aku benar-benar ingin menghabiskan waktu bersama kamu?”“Nyatanya dia selalu membutuhkan kamu dan jangan lupakan pula dengan anak-anak kalian. Jadi aku pikir sebaiknya kamu pulang saja Mas.” Meyra memilih bersikap tegas, karena ia merasa sangat lelah terus menerus disalahkan oleh keluarga suaminya itu, yang selalu menganggap Meyra ingin menguasai Nehan hanya untuk dirinya saja.Hanya karena Nehan terlalu terang menunjukkan rasa
Meyra sungguh tak menduga Kenrich akan mempersiapkan pesta pernikahan yang begitu luar biasa seperti saat ini. Walau sebenarnya Meyra agak enggan menyetujui nyatanya ia tak bisa mengabaikan keinginan semua orang jika pernikahannya yang kedua ini digelar dengan meriah di salah satu hotel terbaik di Ibukota. Pesta pernikahan yang mengundang banyak orang bahkan juga mengundang anak-anak yatim dari beberapa panti asuhan itu berlangsung dengan sangat meriah. Semua orang memasang aura bahagianya, bahkan Meyra terus menerus mengumbar senyumnya. Namun ketika melihat sosok yang tak diundangnya ikut datang pada pesta pernikahannya ini, wajah Meyra segera berubah tegang. Saat melihat gurat kecewanya Meyra mendadak merasa resah. Kenrich yang berada di sisinya langsung mendekat meraih tangan Meyra dan menggenggamnya erat seakan menegaskan keberadaan dirinya yang akan selalu mendampingi. “Aku tahu cepat atau lambat kalian pasti akan melakukan ini,” tukas Nehan dengan terus mengunggah raut kecew
“Jangan sampai kamu menyesal jika Kenrich memilih yang lain karena ia sudah terlampau lelah menunggumu.”Rida kembali memberi peringatan kepada putrinya.Meyra termangu semakin galau dengan apa yang sudah ia dengar.Meski kemudian Meyra memilih untuk menyunggingkan segaris senyum walau tampak samar dan ragu.“Sudahlah Bun, aku sudah memasrahkan semuanya pada kehendakNya, jika memang Tuhan menakdirkan aku kembali menikah dan orang itu adalah Kenrich, aku akan menerimanya.”Rida menggeleng tampak sangat tak puas dengan jawaban Meyra.“Tapi jika kamu tak memberikan isyarat bahwa kamu mau menerima Kenrich, aku yakin dia tetap akan berpaling. Ingat Mey, takdir manusia meski sudah ditetapkan tapi Tuhan juga mengharuskan hambaNya untuk berusaha. Kamu seharusnya berusaha untuk menunjukkan penerimaanmu terhadap cinta Kenrich, bukan terus menerus menolaknya.”Rida kemudian menegaskan tatapannya pada Meyra yang kini tampak mulai gamang..“Aku sudah memperingatkan kamu, jangan salahkan aku kalau
“Sekar,” gumam Meyra ketika mendapati seorang wanita hamil mulai mendekat ke arah dirinya.Meyra melihat perubahan dari wanita yang sekarang sedang menghampirinya itu tampak begitu luruh dengan tubuh yang lebih kurus terlihat kontras dengan perutnya yang membuncit.Meyra menyusut sejenak bening di matanya dan memusatkan perhatian pada wanita yang pernah menjadi madu di dalam rumah tangganya bersama sang mantan suami dulu, sesuatu yang sebenarnya sudah tak ingin Meyra ingat lagi.“Aku turut berbela sungkawa atas meninggalnya Tante Lia,” gumam Sekar yang memang selalu memanggil ibu Meyra dengan sebutan Tante Lia.Meyra menganggukkan kepalanya dan merasa gamang dengan kesedihan yang terunggah di wajah wanita yang pernah menjadi seteru juga sahabatnya itu.Kesedihan yang ditampakkan Sekar saat ini memancing tanya di dalam Meyra atas kehidupan wanita itu yang s
Meyra benar-benar mengikuti kemauan Kenrich tanpa berkata apapun lagi.Kenrich segera membantu Meyra berkemas.Bahkan lelaki itu tampak sangat sibuk tak membiarkan Meyra melakukan apapun.Dalam diam Meyra menyaksikan bagaimana lelaki itu menyiapkan segala keperluannya.Dalam hatinya Meyra memendam kekaguman meski selalu saja ada rasa takut menggayuti setiap kali Kenrich mengulik tentang pernikahan.Meyra masih terlalu takut untuk memulai hubungan baru dengan keadaan dirinya yang selalu dikatakan sebagai wanita yang tidak sempurna.Meyra selalu tak bisa mempercayai Kenrich bisa menerima dirinya. Karena nyatanya dulu Nehan juga pernah mengucapkan hal yang sama tapi segalanya tetap tak berjalan dengan benar.Meyra terus saja menolak meski hatinya diliputi rasa bersalah juga pada Kenrich yang bahkan pernah hampir mengorbankan nyawanya ketika
Suara yang terdengar tegas dengan nada sarkas yang terunggah itu segera membuyarkan pelukan Meyra dan Nehan.Mereka sontak memandang ke arah Sekar yang sedang mendekat dengan menyajikan gurat sinis di wajahnya.“Kumohon jangan salah paham dulu, Sekar,” gumam Nehan yang seketika gelisah ketika mendapati kedatangan Sekar yang tak terduga.Bahkan wanita yang berstatus sebagai istri keduanya itu tadi belum ada mendampingi saat sidang awal tadi.Sekar masih memberikan tatapan sarkas bahkan menyergap Meyra dengan kesinisan.“Apa kamu masih belum bisa merelakan Mas Nehan? Bukankah sebentar lagi sidang putusan perceraian kalian akan ditetapkan lalu kenapa kamu masih sengaja menggoda Mas Nehan?”Sekar mencecar dengan tuduhan yang picik.Meyra membalasnya dengan tatapan yang sama nyalangnya.Dirinya suda
“Mey kita harus bicara sebentar!”Nehan mengutarakan keinginannya tanpa ragu.“Apa yang mesti dibicarakan?” Meyra menanggapi dengan datar ajakan Nehan.Nehan memandang lurus pada sosok yang sebentar lagi akan menjadi mantan istrinya itu. Tapi lelaki itu sekarang menampakkan kesabarannya yang besar.“Mey, maafkan aku sebelumnya, tolong beri aku kesempatan untuk berbicara.”Nehan mulai memohon.Meyra melirik dengan memendam kebimbangan.Meski kemudian ia mengiyakan dengan memberi isyarat anggukan kepala yang ringan.Pada akhirnya mereka menepi di sebuah tempat yang lebih sepi, di dekat sebuah taman.“Katakan saja apa yang ingin kamu bicarakan Mas,” ungkap Meyra ketika mendapati Nehan masih saja diam dan hanya memandanginya dengan lekat.
“Ayah Hilman!” seru Kenrich spontan sembari segera mempersilakan pria paruh baya itu segera masuk ke dalam apartemennya.Kenrich sempat terlupa jika ia memiliki janji dengan Hilman, ayah tiri Meyra yang memang sudah ia ijinkan untuk membantunya saat ia usai menjalani proses khitan.Bahkan seharusnya pria itu juga ikut mendampinginya saat masih di klinik tadi.“Maaf tadi mendadak aku ada urusan yang tak bisa ditunda jadi aku tak bisa memenuhi janjiku untuk menemani kamu di klinik.”Hilman kemudian mulai memindai seluruh detail diri Kenrich dengan lebih lekat.“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Hilman mengunggah rasa khawatirnya.“Aku baik-baik saja.”Kenrich menjawab dengan sedikit canggung, karena ia ragu dengan respon yang akan ditunjukkan Hilman saat lelaki itu tahu jika saat ini ia sedang be
“Menurutmu dokter itu melarang kita melakukan apa?”Mendengar pertanyaan Kenrich yang ambigu segera membuat wajah Meyra bersemu merah.“Aku tak perlu menerjemahkannya untukmu,” sergah Meyra kesal sembari memalingkan mukanya yang sudah seperti kepiting rebus.“Untuk sementara, selama satu hari ini sebaiknya Anda beristirahat di rumah, jangan terlalu banyak bergerak dulu.”Dokter paruh baya yang menangani Kenrich kembali memberikan pengarahan.“Tolong diperhatikan kesehatan suaminya dengan baik, saya akan resepkan obat-obatan untuk mempercepat kesembuhan lukanya.”Setelah menerima resep obat itu, Meyra kemudian segera membantu Kenrich untuk melangkah keluar dari ruang praktek dokter.Langkah Kenrich agak tertatih yang membuat mereka segera menjadi pusat perhatian pada pasien yang sedang menung
Pagi-pagi sekali ketika Meyra sedang asyik berkebun di taman depan, mendadak ia melihat mobil Kenrich memasuki halaman rumah.Meyra meletakkan sejenak pekerjaannya dan mengarahkan tatapannya pada sosok tampan yang kini sudah keluar dari dalam mobil dengan melemparkan pandangan pada dirinya.Ketika akhirnya Kenrich mulai melangkah mendekat, Meyra perlahan mulai berdiri sembari menarik sarung tangannya yang kotor penuh tanah.Kenrich melontarkan senyum terbaiknya ketika melihat tatapan Meyra yang terlihat intens.“Kurasa kamu sudah melupakan janji kamu semalam.”Meyra mengernyit tak paham sembari menautkan kedua alis indahnya.“Janji apa?”Kenrich tersenyum santai sembari ia melepaskan kacamata hitamnya hingga menampakkan dengan lugas gurat ketampanan dari sepasang matanya bercahaya.“Aku d