Keesokan paginya, Dea tengah bersiap untuk berangkat kerja. Wanita tersenyum semringah karena aksinya semalam berjalan sangat mulus. Kevin sudah menunggunya di meja makan.
“Pagi Mas,” sapa Dea dan langsung duduk di samping suaminya.
“Pagi Sayang,” jawab lelaki itu dengan mata yang berbinar. Kevin bahkan memberikan satu kecupan di pipi kanan Dea. Perempuan itu hanya tersenyum simpul mendapatkan ciuman manis di pagi hari.
“Hari ini jadi antar aku kan?” tanya Dea.
“Jadi dong Sayang, kan kamu belum bisa naik sepeda motor,” jawab Kevin yang sibuk memasukkan nasi ke dalam piring. Piring itu lalu diberikannya pada Dea.
“Makasih Mas.”
Setelah mereka selesai mengisi perut, Kevin segera mengantar istrinya ke SMAN Surabaya 1.
“Semangat ya Sayang, hubungi Mas kalau pekerjaanmu sudah selesai,” pinta Kevin dengan kecupan manis di kening perempuan itu. Dea menganggukkan kepalany
Lagi-lagi Icha menuntutnya untuk segera menceraikan Dea. Kevin hanya memejamkan matanya, menahan emosi yang terasa ingin meletus. Jika tidak berada di sekolahan mungkin ia akan membabi buta, ditambah baru saja Kevin mendapatkan Surat Peringatan.“Aku tutup teleponnya dulu, jangan menghubungiku beberapa hari ini,” perintah Kevin dan langsung memutuskan sambungan telepon itu.Dia sangat lelah mendengar omelan dari beberapa orang hari ini. Tanpa Kevin sadari ada seseorang yang memperhatikannya dalam diam. Orang itu adalah Nino.Nino segera menjauh dan mencari nomor Dea di benda pipih miliknya.“Hallo Assalamualaikum,” salam Dea di seberang.“Waalaikumsalam.” Nino menelan salivanya.“Ada apa?” tanya Dea yang penasaran dengan lelaki yang tiba-tiba menelponnya.“Em... I-itu, aku dan Kevin mendapat Surat Peringatan,” jelas Nino gelagapan.“Oh, lalu?” tanya Dea tak
Perempuan itu menghentak-hentakkann kakinya dengan kesal ketika melihat Dea yang semakin menempel pada suaminya.“Apa-apaan kamu!” kesal Icha yang langsung mendorong tubuh Dea ke belakang. Tubuh musuhnya langsung terhuyung dan akan jatuh. Untungnya Kevin dengan sigap menarik tubuh istrinya agar tidak tersungkur ke lantai. Alis lelaki itu langsung tertaut rapat, merasa kesal pada Icha.Melihat Kevin yang membantu Dea, membuat Icha semakin murka.“Kamu tidak apa-apa Sayang?” tanya Kevin pada Dea. Perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya, memberikan ekspresi melas dan mata sayu. Hal itu membuat hati Kevin terenyuh karena lagi-lagi dia menyakiti hati istrinya.Icha semakin murka melihatnya, ia segera merampas tangan lelaki itu agar mendekat kepadanya. Icha tak suka melihat pemandangan yang ada di depannya, hatinya merasa cemburu karena tatapan Kevin yang begitu dalam pada istri pertamanya dan perilakunya yang lembut.Sayangny
“Mas!” panggilnya, dia benar-benar tak terima dengan perlakuan Kevin yang pilih kasih dengan kedua istrinya. Namun, dengan sigap security itu langsung mencengkram lengannya dengan kuat lalu menyeret tubuhnya keluar dari toko. Dea sangat malu atas kejadian ini. Kevin memintanya untuk segera menjauh dari perempuan gila yang mengganggu quality time mereka. “Mas! Mas Kevin! Jahat kamu Mas!!?” teriak Icha di belakang mereka. Dea sempat menoleh ke arah perempuan itu. Ternyata ia sedang diseret paksa oleh security. “Sudah Sayang, jangan dilihat,” ucap Kevin dengan tangan yang memalingkan wajahnya agar tidak melihat kejadian memalukan di belakang. Dea tersenyum tipis, mendengar ucapan Kevin. “Maafin Mas ya. Lagi-lagi aku buat kamu sakit,” harap Kevin. Mata lelaki itu nampak sangat menyesali peristiwa buruk yang baru saja terjadi. “Kamu tidak mau maafin Dik?” tanya Kevin karena istrinya tak kunjung merespon perkataannya. “Iya Mas,” jawab Dea de
Perasaan Nino semakin kesal, dia sangat menyesal harus berurusan dengan wanita ular itu. “Aku mengajaknya ketemu, dia bilang akan menghubungiku ketika senggang,” jawab Nino apa adanya. Memang itulah kenyataannya. “Ketika senggang? Coba pastikan lagi No, itu hanya alasan halus perempuan tak tau diri itu untuk menolakmu. Ternyata dia benar-benar licik.” Icha mengepalkan tangannya dengan erat. “Ya,” jawab lelaki itu malas. “Cepat selesaikan pekerjaanmu, rumah tangga adikmu sedang dipertaruhkan sekarang,” ancam Icha pada partnernya. “Ya. Pulanglah sekarang, sudah mau magrib,” usir Nino. Tanpa merasa tersinggung Icha menuruti perkataan Nino dan langsung keluar dari rumah itu. Mendengar ada usaha yang dilakukan temannya sudah membuat Icha sedikit lega, meskipun hatinya masih kesal karena Dea beberapa kali telah menghancurkan keharmonisan rumah tangganya. Namun, sebentar lagi perempuan licik itu akan mendapat balasan yang setimpal dar
Mendengar namanya dipanggil, Dea pun membuka matanya. “Hm? Ada apa?” tanya Dea melirik suaminya. Kevin menggaruk kepalanya yang tak gatal. Hatinya benar-benar merasa gelisah, namun segan untuk mengungkapkan keinginannya pada istrinya. “Emm... I-itu,” ujar Kevin gelagapan. “Apa? Adek sudah ngantuk Mas,” rengek Dea. “Kepalaku juga sakit, tadi habis dijambak istri sirimu itu!” gerutunya yang emosi mengingat kejadian sore tadi. Kalimat ini sudah berulang-ulang dia katakan pada suaminya sejak tiba di rumah. Kevin hanya mencebikkan mulutnya mendengar penuturan Dea. Dia pun ikut kesal pada Icha, karena sudah membuatnya malu bahkan berani berbuat kasar pada istri sahnya. “Iya, iya. Yaudah cepat tidur, tutup mata sekarang,” perintah Kevin. Ia enggan mengatakan maksudnya pada Dea. Ditambah istrinya mengeluh seperti itu, tak tega hatinya. “Good night Honey,” ucap Dea dan mengecup kecil bibir suaminya. Kevin langsung tersenyum mendapat sikap manis
Kevin terdiam sejenak, ia sangat bingung harus menjawab apa. “Kamu akan undang dia kapan Dik?” tanya Kevin. “Emm... sepertinya nanti malam.” Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia tidak rela jika istrinya harus bertemu dengan Nino. Ditambah lelaki itu sudah terang-terangan mengatakan jika ingin merebut Dea darinya. Hati Kevin sangat gundah jika menolak permintaan istrinya. Beberapa hari ini Kevin bertekad untuk merebut kembali hati Dea yang ia sakiti berkali-kali. “Eh! Tidak jadi deh, aku masih ada banyak kerjaan,” tutur Dea. Kevin memandangi istrinya dengan mata yang berbinar, dia tak perlu repot-repot menolak izin wanita itu. Tanpa ada rasa curiga sedikitpun, keduanya menjalani aktivitas pagi hari seperti biasanya. Dea berkali-kali mengecek ponselnya apa programnya masih berjalan atau tidak. Perempuan itu ingin mengumpulkan banyak bukti agar rencananya dapat berjalan dengan mulus. Rasa sakitnya suda
Dea melangkahkan kakinya masuk ke ruangan itu. Hatinya berdesir tak karuan mengingat kemarin lusa dia menangis sesenggukan di pundak Andre. Andre memberikannya bingkisan kecil, perempuan itu langsung mengerutkan alisnya. “Coba buka dulu,” perintah lelaki itu yang duduk di depannya. Dengan gerakan gusar, Dea membuka bingkisan itu perlahan. ‘Kalung?’ batinnya terkejut. Ia langsung mendongakkan pandangannya pada lelaki di depannya. Andre tampak tersenyum lebar. “Ini hadiah buat kamu biar tidak sedih lagi. Maafkan Mas yang sudah memicu konflik di rumah tangga kamu. Mas benar-benar merasa bersalah,” jelas Andre. Lelaki itu benar-benar merasa bersalah pada Dea, tatapan sayu terlihat di wajah pria berjambang tipis. Dea menelan salivanya, ia paham jika Andre sedang salah paham sekarang. “Maaf Pak, tapi saya tidak bisa menerimanya,” tolak Dea halus. Mata lelaki itu melebar, ia selalu mendapat penolakan dari wani
“Astaghfirullahaladzim Bapak!?” pekik Dea pelan, ia sangat terkejut mendengar penuturan pria tua di sampingnya. Namun, wajah wakil kepala sekolah itu nampak sangat serius, tak seperti biasanya yang cengengesan.Dea terdiam cukup lama. Pikirannya tiba-tiba berhenti dan sulit diajak untuk bekerja sama.“Bapak serius?” balas Dea dengan berbisik. Dia tak ingin membuat kegaduhan di ruang kantor ini.“Serius Nak. Coba kamu lihat sendiri,” perintah teman Ayahnya. Dada Dea berdetak dengan kencang. Jika omongan Pak Jono benar, rasanya ia tak sanggup untuk berdiri.Dan dia tak pernah berpikir jika ayahnya akan memiliki anak selain ia dan Levi. Kalau memang benar, ini akan terasa sangat gila.“Temenin ya Pak,” pinta Dea melas. “Saya takut kalau dia bawa bom.”“Astaghfirullah Dea! Tidak mungkinlah,” balas lelaki itu dengan menggelengkan kepalanya. Semua orang menatap kedua orang itu
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng