Sekian lama berlalu, Levi - kakak semata wayang Dea tengah berdandan rapi untuk mengajak dinner pujaan hatinya. Dua tahun setelah perceraiannya dengan mantan istrinya, ia menjadi pria work holic hingga membuat kedua orangtuanya cemas. Namun, dikala ia melihat kesembuhan adiknya, dia menyadari harus melanjutkan hidup."Sampai kapan aku harus galau begini?" pikirnya kala itu, saat Rita dan Gito menawarkan Dea untuk menikah dengan Andre. Meskipun Dea belum siap, tetapi sudah dipastikan jika hubungan keduanya akan semakin dekat. Tinggal menunggu waktu saja.Levi sebagai kakak dari Dea, menyadarkan diri untuk segera menikah kembali. Ini juga demi adiknya. Apabila tetap menjadi duda, ia rasa akan ada rasa sungkan pada Dea, jika wanita itu ingin melangsungkan pernikahan dengan Andre. Maka dari itu, Andre memutuskan untuk menjalin kasih dengan gadis yang sempat menjadi rekan kerjanya. Evelyn, wanita cerdas yang ia temui sebagai rekan kerja, kini menjadi sosok yang ia rasa mampu membawa warna
Pelayan itu mendekat dengan membawa kue di tangannya. Ia menatap Levi dengan pandangan yang sulit dibaca, tetapi tersirat sebuah emosi yang tidak bisa diabaikan. Levi terkejut, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Evelyn yang tidak menyadari perbedaan frekuensi di sektirarnya, tersenyum menantikan bonus yang dikatakan Levi.“Halo, Pak Levi,” sapa Nina. Suaranya terdengar tenang, tapi matanya berbicara sebaliknya. “Ini cake pesananmu.”Levi merasa seolah dunianya berhenti berputar. Tidak mungkin Nina ada di sini, di saat penting seperti ini. Jantungnya berdebar semakin kencang, tetapi ia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang di hadapan Evelyn.Evelyn memandang Nina dengan senyum ramah. Wanita itu belum menyadari situasi yang sebenarnya. “Terima kasih, Mbak. Wow, cake-nya cantik sekali!” katanya dengan suara penuh kekaguman.Nina tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak mengandung keceriaan. Matanya terpaku pada Levi, seolah ingin mengungkapkan ribuan perasaan yang tertaha
Evelyn mengangguk pelan, air matanya mulai jatuh membasahi pipi. "Ya! Levi aku mau."Suasana terasa sangat romantis dan Levi merasa lega mendengar jawaban itu. Namun, kebahagiaannya segera terusik saat melihat Nina memalingkan wajah dan berlalu pergi.Levi menatap punggung Nina yang perlahan menjauh, perasaan bersalah berdesir di hatinya. Dia menggenggam tangan Evelyn lebih erat, mencoba menahan perasaannya agar tetap fokus pada kebahagiaan yang baru saja diterimanya. Namun, perasaan itu tetap ada jauh ke dalam hatinya.“Levi?” Evelyn memanggil pelan, menarik perhatian Levi kembali ke hadapannya. Matanya berbinar penuh cinta, tetapi ada ketidakpastian yang mulai tampak di dalamnya. “Apa, ada sesuatu yang harus kuketahui?”Levi menelan ludah, menyesali kebimbangannya yang sulit ia sembunyikan dari tatapan Evelyn. “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan,” katanya lembut.Evelyn mengangguk perlahan, meski senyumnya kini tampak sedikit menurun. “Baiklah, Levi. Aku percaya padamu.” Suaranya
Levi terdiam, menatap Evelyn dengan perasaan campur aduk. Evelyn yang ada di depannya adalah sosok yang begitu pengertian, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Perlahan, Levi mengangguk dan menggenggam tangan Evelyn, menunjukkan betapa ia menghargai dukungan wanita itu.“Terima kasih, Evelyn. Kamu benar-benar mengerti aku,” ucap Levi dengan suara serak, lalu ia menghela napas dalam. “Aku akan kembali secepatnya.”Evelyn tersenyum dan mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam mobil, memberinya ruang untuk menyelesaikan apa yang perlu ia tuntaskan. Levi pun berbalik dan berjalan cepat ke arah Nina, yang masih berdiri di ambang pintu restoran, menatap ke depan dengan pandangan kosong.“Nina,” panggil Levi pelan saat ia sampai di dekatnya. Nina menoleh, tetapi wajahnya tetap tanpa ekspresi, hanya sepasang mata yang menunjukkan sisa emosi yang tampak terpendam.“Ada apa? Apa kamu mau mengasihaniku karena jadi pelayan yang mengantarkan kue tunanganmu?” tanya Nina dengan suaranya terdengar g
Levi kembali terkekeh. Ia tak menyangkan Evelyn bisa membaca gerakannya dengan sangat tepat. "Benar. Ini juga demi adikku, Dea." Pria itu memandang netra tunangannya penuh cinta. "Keberanianku untuk segera meminangmu juga karena adikku." Levi menggenggam tangan Evelyn dengan sangat erat. "Aku sudah lama suka denganmu, tapi aku masih bimbang. Tapi setelah tau adikku melanjutkan hidup dan keluarga mendorongnya untuk menikah. Aku jadi sadar agar tidak mengulur waktu lebih lama lagi untuk mengikatmu."Bibir Evelyn mengembang bak mawar merah dalam buket. "Sepertinya aku harus berterima kasih pada adikmu." Levi hanya tersenyum dan mengecup kening tunangannya.Sedangkan di sisi lain, Dea menghela napas dalam di tengah lamunannya. Ia tak menyangka dirinya bisa merasa begitu nyaman di dekat Andre, lelaki yang dulu berusaha ia jauhi tapi kini perlahan mengisi ruang hatinya. Kenangan akan senyuman dan perhatian Andre membuat pipinya semakin bersemu merah. Ia mencoba menepis perasaan itu, menyak
Gito langsung mengernyit mendengar pertanyaan Levi. Ia menatap putra angkatnya dengan ekspresi tegas, menunjukkan ketidaksenangan yang masih kuat pada Kevin. "Aku rasa tidak perlu, Levi," ucap Gito pelan. "Kevin memilih jalannya sendiri. Dia tidak memerlukan undangan keluarga."Levi tampak ragu, tetapi ia mencoba memahami keputusan mantan mertua adiknya, tetapi ia sudah menganggap pria itu seperti ayahnya sendiri. "Aku mengerti, Pak," jawab Levi dengan suara lembut. "Tapi, mungkin kehadirannya bisa menjadi kesempatan untuk memperbaiki hubungan..."Gito segera memotong, wajahnya berubah muram. "Levi, Kevin tahu apa yang dia lakukan. Dia yang memutuskan untuk menjauh. Kalau memang dia ingin kembali, itu harus datang dari dirinya sendiri, bukan karena undangan."Rita yang duduk di samping Gito mengangguk pelan, menyetujui ucapan suaminya. "Levi, kami tahu kamu ingin yang terbaik. Tapi Kevin belum menunjukkan tanda-tanda ingin berubah atau kembali. Bahkan sepertinya dia melupakan kami, or
Kerumunan tamu wanita yang berkerumun menanti lemparan bunga dari Evelyn terlihat bersemangat, sorak sorai dan tawa mewarnai suasana. Beberapa tamu wanita, terutama yang masih lajang, mulai mengambil posisi terbaik, berharap bisa menangkap buket bunga pengantin yang dipercaya membawa keberuntungan.Levi merangkul Evelyn dengan penuh cinta, membantu menuntunnya menaiki panggung kecil di tengah ruangan. “Kamu siap?” bisik Levi sambil tersenyum.Evelyn mengangguk mantap, lalu membalikkan tubuhnya, memegang buket bunga dengan tangan terangkat tinggi. Dengan hitungan tiga, ia melempar buket itu ke arah tamu. Bunga melayang di udara sebelum akhirnya jatuh tepat di tangan seorang gadis yang tak terduga, Dea.Sorakan semakin ramai, tawa dan tepuk tangan memenuhi ruangan saat Dea berdiri terpaku, terkejut dengan bunga yang kini ada di tangannya. Pipi Dea memerah saat semua mata tertuju padanya. Bahkan Levi dan Evelyn pun tertawa kecil melihat kejadian tersebut.“Wah, Dea! Mungkin ini pertanda,
Sudah dua bulan berlalu semenjak kecemburuan Icha saat Kevin melihat foto pernikahan Levi di story Nino. Kehidupan pria itu luntang-lantung karena tidak bisa menyuplai pasokan baju di tokonya. Permintaan memang membludak, tetapi modal tiba-tiba habis dipakai Icha shopping."Aku tidak menduga dia mencuri uang toko lagi," geramnya saat menghitung keuangan sebulan ini. "Kalau begini bagaimana bisa aku menyetok baju baru?"Kevin meremas kepalanya yang mendadak nyeri. Ia menyandarkan tubuhnya ke tepi ranjang. "Mas, aku butuh uang buat USG," celetuk Icha yang terbangun dari tidurnya."Ck!" tanpa sadar Kevin mendecak. Hal itu lantar menyulut emosi wanita hamil trimester pertama. "Mas! Ini juga demi anakmu!"Hembusan panjang keluar dari hidung Kevin. Ia berusaha memendam emosinya yang akan meledak. "Iya, iya. Besok aku usahakan ya, Dek." Ia mengelus lembut perut istrinya. Perasaan gedek ingin mencuat apabila berinteraksi dengan Icha. Namun, kemarahannya segera terpendam saat ia menyadari wan
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng