Sesampainya di rumah orang tuanya, Kevin merasa gugup. Ia tahu bahwa hubungannya dengan mereka sedang tidak baik, terutama setelah pernikahannya dengan Icha. Namun, demi masa depan anaknya, ia mengumpulkan keberanian untuk mengetuk pintu.Rita membuka pintu dan memandang putranya dengan sorot mata datar. "Ada apa, Kevin?" tanya wanita itu tanpa basa-basi. Kevin tersenyum canggung, mencoba bersikap santai meski di hatinya terasa berat."Ma, Pa, aku datang karena butuh bantuan. Situasi tokoku lagi sulit karena modalnya habis buat keperluan Icha. Kami butuh dana untuk suplai baju, dan juga untuk USG anakku," ucap Kevin sedikit berharap simpati.Gito yang duduk di ruang tamu menghela napas panjang, lalu menggelengkan kepala. “Kevin, kami sudah sering mengingatkan. Kalau kamu mau rumah tangga yang baik, harus punya kendali dan tanggung jawab lebih besar. Bukannya malah mengijinkan istrimu mengambil uang usaha sembarangan. Apa yang kamu harapkan dari kami?”"Itu lah, kalau salah memilih per
Kevin terpaku, tidak menyangka kedatangannya ke rumah Zahra akan berubah menjadi situasi yang rumit seperti ini. Zahra berdiri di depannya, tampak terkejut dan bingung, apalagi setelah ayahnya muncul di belakangnya dengan wajah penuh amarah."Astaghfirullah! Zahra! Bagaimana kamu bisa melupakan hijabmu dan membiarkan seorang laki-laki melihatmu seperti ini?!" suara berat ayah Zahra bergemuruh, memecah keheningan di antara mereka. Zahra segera berusaha menutupi wajahnya dengan tangan, jelas merasa sangat malu dan tidak tahu harus berkata apa.Kevin, yang tadinya datang untuk meminta bantuan, kini merasa bersalah dan takut. Ia tahu jika melihat penampilan Zahra yang biasanya bercadar, jadi ia bisa mengira kalau dalam budaya keluarga wanita itu, ini adalah kesalahan besar. Ia tidak berniat bertemu dengan Zahra yang tidak memakai hijab, tetapi keadaannya jadi semakin rumit.“Maaf, Pak,” Kevin mencoba berbicara dengan suara rendah dan penuh penyesalan. “Saya benar-benar tidak tahu bahwa ke
“Baiklah, Pak. Saya akan menikahi Zahra. Sebagai tanggung jawab atas kejadian ini.”Kata-kata Kevin itu membawa kelegaan untuk ayah Zahra. Sayangnya, membuat Kevin terjebak dalam situasi yang tak pernah ia duga. Pertemuan yang ia maksudkan untuk mencari bantuan justru berujung pada keputusan besar yang bisa mengubah seluruh hidupnya.Ayah Zahra mengangguk, meskipun ekspresi wajahnya masih menunjukkan kemarahan yang belum reda. “Bagus, Kevin. Ini adalah jalan terbaik untuk menebus kesalahan kalian. Mungkin ini hal tak terduga, tetapi aku yakin kamu paham bahwa ini adalah tanggung jawab yang harus kamu jalani.”Kevin hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun hatinya masih bergolak memikirkan Icha dan anak yang tengah dikandungnya. Ia merasa seakan seluruh dunia menimpanya dalam satu waktu. Di satu sisi, ia merasa iba pada Zahra yang terjebak dalam situasi ini, dan di sisi lain, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga perasaan keluarganya sendiri.Zahra, yang masih tertunduk malu, akhirny
Setelah akad selesai, Kevin termenung seolah terjebak dalam mimpi yang penuh beban mendadak. Ia mengucapkan salam pada ayah Zahra, yang kini tampak lebih tenang. Pia renta itu, memberinya beberapa wejangan tentang pentingnya menjaga kehormatan dan tanggung jawab. Semua ucapan yang tertangkap ke telinganya, hanya membuat dada Kevin semakin sesak.Zahra, istri barunya tetap duduk diam di sampingnya. Wanita itu menunduk, sementara seluruh keluarga bersiap untuk meninggalkan ruangan. Bahkan kedua putra Zahra yang masih balita, di ujung uminya ke dalam. Setelah beberapa saat, hanya tinggal Kevin dan Zahra di ruang tamu itu, dalam keheningan yang menyesakkan. Zahra kemudian memberanikan diri berbicara.“Kevin, kamu bisa kembali ke rumahmu. Ke keluargamu. Aku tidak akan meminta lebih dari pernikahan ini. Aku akan berusaha hidup dengan tenang dan tidak menuntut apapun,” suaranya pelan, dan wajahnya tetap tertunduk.Pria itu menatap Zahra. Entah kenapa, ada perasaan getir mendengar ucapan istr
Kevin menarik napas panjang, pikirannya semerawut. Rasanya seperti ada kegelisahan yang membelenggu otaknya. Kata-kata yang nyaris keluar dari bibirnya ia urungkan.Kevin menatap Icha, matanya berusaha menghindari tatapan tajam istrinya yang penuh curiga. Hatinya terdistorsi, seperti ada batu besar yang menindih dadanya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. 'Tidak. Aku tidak bisa memberitahu ini sekarang.' Pikirannya memutuskan dengan cepat.“Mas!” teriakan Icha memecah lamunannya. “Kamu kenapa sih? Kok malah diam?”Kevin memaksakan senyuman, meski gugupnya masih jelas tergambar di wajahnya. “Maaf, Cha. Aku cuma bisa dapat uang untuk USG. Ditambah hari ini banyak masalah di toko.”Icha mengangkat alis. “Masalah apa? Kenapa kamu tidak cerita dari tadi? Jangan cuma diam saja.”“Ya, itu,” Kevin mengalihkan pandangan, mencari-cari alasan yang masuk akal. “Aku ada urusan dengan salah satu supplier. Ada sedikit kendala, tapi sekarang sudah selesai.”Icha memicingkan mata, tid
Dea termenung menatap jajanan di depannya. Sekarang adalah acara 3 bulanan kakak iparnya. Berbeda dengan kakak ipar sebelumnya, kali ini wanita itu ikut bersuka cita dengan hadirnya keponakan dan cucu pertama di keluarganya. Evelyn yang memiliki paras cantik sedari tadi menggandeng tangannya. "Temenin Kakak, ya, Dek," pinta Evelyn dengan senyum hangat. Dea menganggukkan kepala. Namun, beberapa saat kemudian wanita itu berucap lagi, "Dik. Di sana ada Andre." Dea hanya mengerutkan alisnya."Sana, temenin. Dia ke sini kan sengaja biar ketemu kamu." Evelyn yang tengah mengandung itu menggodak adik apirnya dengan brutal."Enggak, lah, Mbak. Mas Andre ke sini kan buat nemuin Mas Levi, dan Mbak.""Alasan doang, itu mah. Sana temenin," paksa Evelyn. "Tuh, Ayah juga nyuruh kamu ke sana, loh." Benar saja yang dikatakan Evelyn. Ayahnya tengah melambai tangan, mengode Dea untuk segera mendekat. Dea menghela napas panjang. Ia tak punya alasan untuk menolak panggilan ayahnya sendiri. Meski hatin
Setelah sesi foto selesai, suasana di acara itu kembali meriah. Para tamu berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbincang dan menikmati hidangan. Namun, di sudut ruangan, Andre tampak duduk sendirian, memandangi Dea yang sedang membantu Evelyn mengambil beberapa makanan ringan. Hati pria itu mulai mantap. Perasaannya bukan sekadar rasa suka atau ketertarikan biasa. Andre tahu, apa yang ia rasakan untuk Dea adalah sesuatu yang lebih dalam, dan ia sudah memikirkannya sejak lama. Kini, ia merasa saatnya tiba untuk berbicara serius.Andre berdiri dan melangkah mendekati David, yang sedang berbincang dengan Levi dan Gito. Ia menunggu dengan sabar hingga pembicaraan itu selesai sebelum menyela dengan sopan."Pak David, ada yang ingin saya bicarakan," ucap Andre dengan nada yang serius, tapi tetap sopan.David memandang Andre dengan alis terangkat. “Tentu, Pak Andre. Ada apa?”Andre melirik ke arah Levi sejenak, memastikan bahwa kakaknya juga mendengar. “Saya ingin berbicara tentang Dea
Dea menarik napas panjang, mencoba mengatur gemuruh di hatinya. Kata-kata Andre terus berputar di pikirannya, menciptakan gelombang emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia tak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang. Hari di mana seorang pria dengan tulus memintanya untuk menjadi bagian dari hidupnya lagi. Dan pria itu adalah Andre, sosok yang selama ini ia kagumi dari kejauhan, yang berkali-kali berusaha ia tepis tapi selalu kembali.“Mas Andre,” suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Ini terlalu tiba-tiba.”Andre mengangguk, wajahnya tetap tenang meski ada kegelisahan yang tersirat. “Aku paham, Dea. Aku tahu kamu butuh waktu. Aku hanya ingin kamu mempertimbangkannya. Aku nggak ingin membuatmu terburu-buru, tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar serius. Tolong serakahlah.”Dea menundukkan kepala, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuannya. Serakah? kata terakhir itu membuat wanita itu terdiam. Bagaimana dia bisa ser
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng