Dea menarik napas panjang, mencoba mengatur gemuruh di hatinya. Kata-kata Andre terus berputar di pikirannya, menciptakan gelombang emosi yang tak bisa ia kendalikan. Ia tak pernah membayangkan bahwa hari ini akan datang. Hari di mana seorang pria dengan tulus memintanya untuk menjadi bagian dari hidupnya lagi. Dan pria itu adalah Andre, sosok yang selama ini ia kagumi dari kejauhan, yang berkali-kali berusaha ia tepis tapi selalu kembali.“Mas Andre,” suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Aku nggak tahu harus bilang apa. Ini terlalu tiba-tiba.”Andre mengangguk, wajahnya tetap tenang meski ada kegelisahan yang tersirat. “Aku paham, Dea. Aku tahu kamu butuh waktu. Aku hanya ingin kamu mempertimbangkannya. Aku nggak ingin membuatmu terburu-buru, tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar serius. Tolong serakahlah.”Dea menundukkan kepala, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuannya. Serakah? kata terakhir itu membuat wanita itu terdiam. Bagaimana dia bisa ser
Setelah Icha mengetahui chat Zahra. Kevin melangkah masuk ke rumah kecil istri keduanya dengan langkah berat. Wanita itu sedang duduk di ruang tamu, mengenakan baju sederhana, sembari menyuapi anak-anaknya. Pandangannya langsung tertuju pada Kevin, yang wajahnya terlihat penuh tekanan."Zahra," panggil Kevin, suaranya rendah. "Aku harus bicara denganmu."Zahra mengangguk pelan, mendudukkan anak-anaknya di sofa sebelum mendekati Kevin. "Ada apa, Mas?" tanyanya lembut.Kevin menghela napas panjang, menatap istri keduanya dengan raut wajah tertekuk erat. “Kita harus mengunjungi orang tuaku. Aku ingin mereka tahu tentang pernikahan kita.”Zahra menatapnya dengan kaget, tangan gemetar di sisi tubuhnya. “Mas yakin? Bukannya orang tua Mas..." Wanita itu menggantungkan kalimatnya. Ia tau seluk beluk kehidupan suaminya. Ia sengaja mencari tau dan tidak sengaja mendengar bagaimana suaminya pernah beristri dua hingga akhirnya ada yang mundur salah satu. Zahra juga tau bagaimana perangai orang tu
"Mama sama Papa, mau ke mana?" tanya Kevin. Ia sangat risau diusir seperti ini. "Kami mau ke rumah Pak David. Dea hari ini tunangan! Sana pergi!"Namun, jawaban Papanya semakin membuatnya gusar bahkan matanya terbelalak dengan lebar. "Apa!" pekiknya tak percaya. "Dea tunangan?" Kevin nyaris berteriak, napasnya tersengal dan ekspresinya penuh keterkejutan. “Dengan siapa?”Gito menatap putranya dengan dingin, seolah-olah pertanyaan itu adalah lelucon yang tidak pantas. “Bukan urusanmu, Kevin. Kamu sudah kehilangan hak untuk mencampuri hidup Dea sejak kamu menghancurkan pernikahan kalian.”“Tapi, Pa!” Kevin mencoba mendekat, tetapi Gito mengangkat tangan menghentikannya.“Jangan coba-coba menghalangi kami atau mengganggu hidup Dea lagi. Dia sudah cukup menderita karena ulahmu,” ujar pria paruh baya itu tegas. “Kamu pikir dia akan terpuruk selamanya, setelah apa yang kamu lakukan? Tidak, Kevin. Dia pantas bahagia dengan seseorang yang lebih baik darimu.”Rita menyambung ucapan suaminya. “
Kevin menarik napas panjang, berusahq mencari kata-kata yang tepat tanpa harus mengungkapkan kebenaran. “Cha, kerjaanku lagi banyak. Pengunjung toko akgir-akhir ini membeludak, jadi aku harus memastikan semuanya berjalan lancar.” Icha tidak puas dengan jawaban itu. “Aku tahu kamu sudah banyak bekerja, tapi kenapa kamu nggak pernah cerita apa saja yang kamu kerjain, Mas? Aku curiga kamu rahasiain sesuatu dariku.” Kevin mendecak sangat keras. Jantungnya berdetak kencang. “Rahasia apaan, sih, Cha.” tanpa sadar suaranya meninggi. Icha masih terlihat ragu, tetapi ia memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan. “Oke gausah dibahas, tapi jangan buat aku semakin curiga, ya, Mas.” Kevin mengangguk, langsung melengos pergi meninggalkan istrinya. Sementara itu, di rumah Zahra, Kevin dan Zahra sedang merencanakan langkah selanjutnya. Mereka tahu bahwa pernikahan mereka harus tetap rahasia dari Icha, tetapi juga ingin mempersiapkan diri untuk masa depan bersama. “Mas, kita harus lebih hati
Beberapa Minggu Kemudian, Kevin terkejut mendapat telepon dari ART yang ia sewa untuk menjaga Icha. Seharian ini ia disibukkan dengan rekaman akhir bulan, jadi ia tak sadar mendapatkan spam telepon tersebut. Di telepon, sang ART mengatakan jika Icha telah dibawa ke ruang persalinan. Jantungnya berdegup kencang saat ia bergegas menuju rumah sakit, pikiran bercampur aduk antara rasa khawatir dan gugup. Sesampainya di sana, Kevin melihat ART-nya menunggu di depan ruang persalinan dengan wajah cemas. “Kevin, kamu di mana saja? Icha sudah hampir melahirkan!” ucap wanita paruh baya itu tegas. Cara bicara ART tersebut memang tidak sopan pada Kevin. Hal ini dikarenakan ART tersebut adalah kiriman dari Rita yang sudah bekerja di rumah orang tuanya dari lama. Waktu yang dihabiskan ART tersebut dengan orang tuanya membuat Kevin menjadi segan. Kevin hanya bisa meminta maaf dan langsung mendekati pintu ruang persalinan. Beberapa menit kemudian, seorang perawat keluar dengan senyum hangat. “Bayi
"Bicara saja, De. Aku tidak akan marah. Cukup jawab saja, apa yang membuatmu sangat resah. Bahkan selama menyiapkan pernikahan, pikiranmu seakan tidak ada di sini. Atau kamu terpaksa menikah denganku? Apa kita batalkan saja pernikahan kita?"Mata Dea langsung terbelalak mendengar pertanyaan tersebut. "Astaghfirullahaldzim! Mas, kok ngomong gitu," pekiknya hampir histeris. Ia merasa pertanyaan Andre sangat keterlaluan.Lelaki itu hanya menghela napas. Sorot matanya sangat sendu, membuat Dea semakin merasa bersalah."Aku sama sekali tidak ada pikiran untuk membatalkan pernikahan ini, Mas.""Bener? Tapi kenapa kamu seperti itu." Andre menatap calon istrinya semakin intens, seperti ia berusaha menghipnotis Dea agar mau mengeluarkan semua hal yang dipikirkannya."Aku hanya ngerasa tuhan nggak adil aja sama aku, Mas." Dea menjawabnya sambil wajah tertunduk."Nggak adil, bagaimana, Sayang?""Butuh dua tahun untuk aku keluar dari trauma. Sedangkan pelaku yang membuatku trauma, sekarang sangat
Mata Kevin langsung membelalak membaca pesan itu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera melirik Icha yang masih terlelap di sebelahnya, memastikan wanita itu tidak menyadari kegelisahannya. Dengan hati-hati, ia berdiri dan meletakkan bayi mereka di dalam boks, lalu bergegas menuju pintu depan.Saat ia membuka pintu, seorang wanita berdiri di sana dengan wajah penuh emosi yang sulit ditebak. Angin malam berhembus pelan, menambah vibes dingin di sunyinya malam. Kevin menatap tamunya dengan raut wajah terkejut.“Zahra?” bisiknya hampir tidak percaya.Wanita bercadar itu menatap suaminya dengan sendu. Kevin segera keluar dari menutup pintu. Ia menggeret istri keduanya menjauh dari rumah. "Kenapa kamu ke sini?" pertanyaannya terdengar sangat risau, karena keberadaan Zahra yang mendadak."A-aku, kangen.""Kangen?" Kevin seakan tak percaya dengan perkataan wanita itu. Namun, anggukan Zahra menjelaskan semuanya."Bukannya kamu sendiri yang tidak masalah kalau aku tak mengunjungimu. Kenap
Hari pernikahan Dea dan Andre sudah tiba. Kini Dea menatap bayangannya di cermin. Gaun putih yang indah itu membuatnya terlihat seperti seorang ratu. Dea menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa tak beraturan. Di balik senyuman lembutnya, ada perasaan gugup yang tak bisa ia abaikan. Ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh keluarganya. Hari yang menjadi babak baru dalam hidupnya. "Dea, kamu cantik sekali," puji Nala sambil menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. Ia berdiri di samping Dea, tangannya lembut membetulkan veil yang tersemat di kepala putrinya. "Andre pasti akan sangat bahagia melihatmu."Tak hanya Nala, Rita juga menatapnya penuh haru. "Kamu sangat cantik, Sayang." Wanita itu mengatakannya penuh haru. Bahkan air matanya lolos saat menggenggam tangan mantan menantunya.Dea tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Terimakasih, Mas. Sekarang aku agak gugup.”"Itu wajar, Sayang," sahut Nala sambil menggenggam tangan putrinya. "Tapi ingat, ka
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng