"Kedatanganmu tidak diterima di tempat ini, jadi pergilah." Ale berucap tenang tapi penuh dengan aura yang begitu mencekam. Ia menatap tajam laki-laki yang beberapa hari yang lalu masih menjadi tunangannya dan detik ini menjadi salah satu manusia yang paling ia benci.
Laki-laki itu mendekat, mencoba mengikis jarak yang hanya di batasi oleh meja kerja Ale. Tapi sebelum langkahnya benar-benar mendekat Ale melembar hiasan kaca di sampingnya ke lantai tepat didepan Davin hingga serpihan-serpihan kaca tersebut menyebar keseluruh ruangan.
Aura didalam ruangan itu begitu mencekam, terlihat jelas tatapan penuh kebencian di mata Ale. Sedangkan Davin hanya mengetatkan rahangnya menahan diri akan sikap kasar Ale yang jujur saja ini pertama kalinya ia mendapatkannya tapi ia benar-benar harus menahan diri. Ia tak akan melepaskan Ale untuk apapun alasannya dan karena itu ia berdiri di sini, di hadapan Ale.
"Pergilah."
"Kita harus bicara!."
Ale menyandarkan tubuhnya, lalu melipat kedua tangannya dengan tatapan yang begitu menusuk. " Tidak ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Hubungan kita sudah berakhir, jadi pergilah."
"Bagaimana mungkin kau memutuskan hubungan semudah itu?."
Ale tertawa, namun tawa itu syarat akan kebencian, "Apa kau fikir aku sebodoh itu hingga mau menerimamu kembali?." ia menatap Davin tajam, sorot matanya yang begitu kelam membuat Davin merasakan kebencian yang mendalam untuknya, "Pergilah, sebelum aku melakukan hal yang lebih mengerikan."
Laki-laki itu tersenyum tipis melihat bagaimana keangkuhan Ale saat ini terhadapnya, tapi sampai kapanpun ia tak akan pernah melepas Ale. Walau ia telah bercinta dengan Ana ataupun dengan jalang lainnya tapi tetap saja wanita yang ia inginkan menjadi istrinya hanyalah seorang Taralle Mariam.
"Apa kau sadar? aku tidak akan bercinta dengan orang lain jika saja kau bisa memuaskanku, jadi jangan salahkan aku jika aku mencari kenikmatan dari wanita lain." Ale mengepalkan tangannya kuat, berusaha menekan dalam-dalam amarahnya. "Tapi hal itu tidak akan merubah apapun, kau akan tetap menjadi istriku."
Detik kemudian Ale tertawa dengan omong kosong yang baru saja Davin ucapkan. "Apa kau tahu Davin bahwa sebenarnya aku sudah menikah." lanjutnya berucap sembari memamerkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. "Dan maaf, aku tidak berniat memiliki 2 suami. Aku bukan orang serakah sepertimu."
"Jangan membual Ale. Aku tau kau kecewa tapi bukankah lelucon ini terlalu berlebihan."
"Dan kau perlu tahu bahwa aku juga sudah bercinta dengannya dan dia sangat-sangat memuaskanku." Ale tersenyum melihat Davin mengetatkan rahangnya yang mulai terpancing dengan ucapannya. "Jika aku tau bercinta senikmat itu pasti aku sudah dari dulu mencobanya."
"Aku tidak akan percaya dengan ucapanmu dan akan kupastikan secepatnya kita akan menikah."
Ale menurunkan gaunnya sehingga memperlihatkan bahunya yang terdapat banyak kissmark yang di tinggalkan Rainer. "Kau lihat ini, bagaimana dia menyerangku dengan sangat menggairahkan." Ale menyunggingkan senyum manisnya sebelum melanjutkan ucapannya, "Rasanya aku tidak akan pernah puas bercumbu olehnya."
"Keparat." Kepalanya laki-laki terasa panas seketika ketika melihat bagaimana bekas-bekas merah yang tertinggal di sepanjang pundak Ale. Diambilnya gelas di atas meja, lalu melemparkannya ke dinding hingga pecah berkeping-keping.
Sedangkan Ale hanya duduk di kursinya dengan tatapan tenang sembari menyunggingkan senyum tipis di bibirnya karena berhasil menyulut kemarahan Davin, karena memang inilah yang ia inginkan. Setelah apa yang mereka lakukan padanya ia bukan wanita bodoh yang hanya akan diam saja ketika tersakiti maka dari itu ia memutuskan akan mengembalikan apa yang telah ia terima dengan cara yang tidak akan pernah mereka lupakan.
"Siapa keparat itu?."
Davin menetap Ale lekat-lekat. Wajahnya sudah memerah penuh amarah karena otaknya tak berhenti membayangkan bajingan yang sudah berani menyentuh wanitanya. Ia maju selangkah semakin mengikis jarak diantara mereka, tapi itu tak mempengaruhi Ale sama sekali. Wanita itu masih duduk tenang dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada.
"Katakan, Taralle. Keparat mana yang sudah berani menidurimu?."
Ale terkikik geli mendengar pertanyaan Davin yang syarat akan kemarahan.
"Aku dengan sukarela memberikan tubuhku padanya dan aku tidak menyesal sedikitpun_" Ale terdiam sejenak, lalu menyambut tatapan Davin dengan sama tajamnya, "Untung saja aku tidak pernah memberikan tubuhku secara percuma padamu, karena bisa aku pastikan itu akan menjadi hal yang paling menjijikan dalam hidupku."
Kepala Davin semakin panas mendengar penuturan Ale. Dengan penuh amarah ia mendekat dan menarik Ale berdiri dan menghimpitnya diantara meja kerja dan tubuhnya. Ia menarik kencang rambut Ale.
"Lepaskan." Ucap Ale sembari mencengkeram tangan Davin yang semakin kuat menarik rambutnya. Tidak ada erangan kesakitan tapi tatapan mata Ale menyiratkan amarah yang siap meledak. Hingga tanpa Davin duga Ale mengambil apapun yang bisa ia gapai disampingnya lalu memukulkannya di kepala laki-laki tersebut dan membuat cengkeramannya terlepas. Ale melangkah menjauh sembari melihat kepala Davin yang mulai mengucurkan darah, tapi ia tak peduli bahkan tak ada rasa belas kasihan sama sekali.
"Jangan selalu berfikir aku hanya wanita lemah." Lanjutnya berucap seraya melempar benda yang ia pakai untuk memukul kepala Davin kelantai.
Tatapan mata Davin menajam, ia bersumpah bahwa ia akan membalas penghinaan yang telah Ale berikan.
"Pergilah, aku tidak suka ruanganku kotor karena darahmu." Ucap Ale sembari melangkah pergi dari ruangan tersebut.
Dengan amarah yang mencokol dalam hati dan otaknya Ale melangkah pergi meninggalkan ruagan tersebut. Bahkan mungkin saja ia bisa membunuh Davin saat itu juga juga tapi ia mencoba menahan sebaik mungkin. Bagaimapun kematian untuk manusia-manusi seperti mereka adalah sesuatu kemudahan dan Ale bersumpah tidak akan membiarkan berbagai kemudahan datang dalam hidup manusia-manusi pernghianat seperti mereka.
"Kunci mobil." Pinta Ale kepada Travis yang masih senantiasa mengikutinya.
"Maaf?."
Ale mengalihkan tatapan tajamnya pada Travis. Ia lebih memilih diam tanpa menjawab ucapan Travis sembari mengulurkan tangannya meminta kunci mobil.
"Kau bisa pulang, tidak perlu menungguku."
Lalu setelahnya Ale masuk kedalam mobil, dengan hati dan kepalanya yang terasa terbakar oleh amarah membuatnya menekan pedal dalam-dalam dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Tanganya mencengkeram kuat setir kemudi, matanya menggelap karena amarah yang tidak bisa ia lampiaskan. Dadanya terasa bergemuruh menahan emosi dan luka yang secara bersamaan muncul kembali. Ale semakin menambah kecepatannya, ia sama sekali tak memperdulikan klakson-klakson dari mobil lain karena ulahnya.
Hingga akhirnya laju mobil tersebut mulai melambat ketika memasuki sebuah gang sempit karena ukuran mobil yang tak bisa masuk akhirnya Ale memarkirkan mobilnya dan memutuskan berjalan kaki ketempat tujuannya. Ia memasuki sebuah toko barang-barang antik dimana terlihat seorang laki-laki paruh baya yang sedang duduk sembari menikmati teh hangat dengan buku tebal sebagai pelengkapnya.
Laki-laki tersebut memandang Ale sekilas dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya.
"Setidaknya kau harus bisa menutupi ekspresi mukamu, Tara." Lanjutnya berucap tanpa sedikitpun menatap wajah Ale.
Namun Ale tak menghiarukannya, ia melangkah masuk dan membuka sebuah pintu yang hanya bisa terbuka dengan sidik jari orang-orang tertentu. Didalam ruangan tersebut terdapat banyak sekali senjata-senjata tajam, berbagai macam senapan dan pistol. Atau lebih tepatnya ruangan tersebut bisa di sebut dengan ruangan eksekusi.
Ale telah berganti baju dengan tank top dan celana leggingnya, dengan sarung tinju yang sudah terpasang ia berjalan ke arah samsak yang siap menjadi pelampiasannya kali ini. Matanya menatap tajam samsak tersebut seolah-olah samsak itu adalah lawan yang harus ia hancurkan sembari tangannya melayangkan pukulan bertubi-tubi pada samsak tesebut.
Pikirannya saat ini tengah tertupi dengan kabut amarah. Ia bersumpah akan membalas dan menghancurkan satu persatu manusia-manusia yang menghancurkan hidupnya. Sama seperti yang saat ini ia lakukan memukuli samsak tersebut tanpa ampun dan itulah yang akan ia lakukan pada mereka nanti. Ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan bom tersebut.
Pintu di belakangnya terbuka dan seorang laki-laki melangkah menghampiri Ale. Sedangkan wanita itu yang melihat siapa yang baru saja datang hanya melirik sekilas, lalu kembali memukuli samsak di hadapannya.
"Aku membawa apa yang kau inginkan." Ucapnya seraya menarik kursi untuk duduk disamping Ale.
"Kau tau apa yang harus kau lakukan, Paul." Jawab wanita itu tanpa menghentikan kegiatannya sedikitpun.
"Ana hamil."
Ucapan itu berhasil membuat Ale terdiam sejenak. Ia melepas kedua sarung tinjunya lalu mengelap keringat yang bercucuran di tubuhnya dengan handuk kecil yang telah ia sediakan sembari menarik kursi dan duduk didepan paul.
"Gracias." Jawab Ale setelah menerima sebotol air dari laki-laki tersebut.
"Apa aku terliht peduli dengan kehamilannya? Atau, apakah aku terlihat menghawatirkannya?."
Ale menjawab dengan pertanyaan yang membuat Paul terdiam. Ia sangat tau jika di balik wajah manis seorang Taralle tersimpan sebuah kekejaman yang sangat ia ketahui. Ia bahkan tak akan segan untuk menghukum seseorang dengan cara yang tak akan pernah bisa di bayangkan. Dan itu semua hasil dari didikan keras seorang Sara yang tak lain adalah ibu Taralle.
Dan kepergian Sara membuat luka tak kasat mata yang masih menganga didalam hati seorang Taralle. Di tambah lagi dengan pengkhianatan tunangannya dengan sahabatnya sendiri semakin membuat iblis yang tertidur kini terbangun dan siap untuk menghancurkan mereka yang telah mengusik seorang Taralle Mariam karena, bagi seorang Taralle tidak ada kata maaf untuk pengkhianat.
"Lakukan seperti yang sudah aku katakan, Paul." Ale bangkit dari duduknya seraya menepuk bahu paul pelan, "Kau tau bukan, aku tidak suka kegagalan. Jadi pastikan hasilnya sempurna." Ia berlalu meninggalkan senyum manis yang justru terlihat sangat mengerikan di mata Paul.
*****
Jam sudah menunjukan pukul 7 lebih ketika Rainer tiba di rumahnya. Ale berdiri menyambutnya dengan senyum merekah yang semakin membuat wanita itu terlihat lebih mempesona. Sejenak Rainer terdiam dengan wajah datarnya yang lebih terkesan dingin. Pikirannya kini terlalu berputar-putar akan hal yang baru saja ia dengar.
Dan hal itu tentu saja tentang seorang Taralle.
"Kau terlambat." Ucap Ale lembut seraya merangkul lengan Rainer.
"Pekerjaanku terlalu banyak hari ini."
Ale hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda mengerti. "Aku membuat Basque Cheescake. " Lanjutnya berucap seraya menggiring langkah mereka memasuki dapur.
Ale menyuapkan sepotong Basque Cheescake kepada Rainer.
"Enak."
Ale menampilkan senyum lebarnya mendengar pujian Rainer. Ternyata menyenangkan memainkan peran untuk menjadi istri yang baik. "Aku bertanya kepada Mary dan dia mengatakan jika kau menyukai ini." Lanjutnya berucap dengan senyum manis yang masih bertengger di wajahnya.
Dan senyum itu tak luput dari sorot mata Rainer. Wajah yang bersemu dengan senyum yang begitu cantik, mata yang berbinar yang semakin membuatnya tampak berkilau. Walau sebenarnya Rainer tau apa arti di balik tatapan mata itu.
"Sepertinya ada yang mengganggu fikiranmu, Mr. Gravillo?."
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Mi Amor?."
Bukannya menjawab laki-laki tersebut justru mengajukan pertanyaan yang membuat Ale terdiam, melihat aura dingin yang terpancar dari wajah Rainer bisa di pastikan bahwa yang mengganggu fikiran laki-laki itu adalah hal yang berhubungan denganya.
"Apa maksudmu?."
"Aku tau bahwa bukan kau yang membuat kue ini, Jadi kemana kau pergi setelah meninggalkan Bakery dari siang hingga sore dengan sengaja membiarkan ponselmu mati?."
Ale mengerjapkan matanya, otaknya sedang berusaha keras untuk merangkai kata-kata yang pas untuk menjawab pertanyaan Rainer. Namun nihil, tak ada satu katapun yang pas yang bisa ia lontarkan.
"Jika aku bertanya maka tugasmu adalah menjawabnya, Mi Amor."
Ale masih diam jantungnya berdebar kencang mendapati ucapan Rainer yang syarat akan kemarahan.
"Aku butuh jawaban, Taralle."
"Aku......"
Otak Ale berfikir keras, jantungnya berdebar kencang akan ketakutan yang menyelimuti. Ia berusaha sangat keras untuk masuk kedalam lingkaran seorang Rainer Gravillo hingga banyak hal yang harus ia korbankan. Dan saat ini langkahnya baru saja di mulai dan tentu saja bukan waktu yang tepat untuk mengungkap siapa dia yang sebenarnya.
"Aku hanya pergi menenangkan diri."
Rainer mengernyitkan keningnya, terlihat sekali tatapan mencemooh dalam sorot mata itu. Dan harus Ale akui bahwa laki-laki didepannya ini bukan laki-laki bodoh yang bisa ia perdaya begitu saja.
Ale berjalan mendekat hingga jarak diantara mereka beberapa senti, ia mendongakkan kepalanya, memberikan tatapan lembut kepada Rainer. Dengan kedua tangan yang ia lingkarkan pada pinggang laki-laki itu. Ia menyandarkan kepalanya pada dada bidangnya, menenggelamkan wajahnya disana dengan menghirup aroma laki-laki tersebut yang begitu menyenangkan untuk indra penciumannya.
"Aku hanya pergi untuk menengkan diri." Bisik Ale lembut dengan lingkaran kedua tangannya yang semakin menguat di tubuh Rainer, "Aku milikmu, tubuh dan hidupku hanya milikmu, jadi jangan memikirkan sesuatu yang mengganggu fikiranmu karena nyatanya aku masih disini."
Rainer mengurai jarak diantara mereka, menarik dagu Ale hingga tatapan mereka bertemu.
"Tapi, kau harus tetap mendapatkan hukumanmu, Amor."
Kedua bola mata mereka menatap satu sama lain, begitu dekat, begitu intens seolah terhubung oleh sesuatu tak kasat mata. Detik berikutnya, Rainer merengkuh wajah Ale dengan kedua tangannya, lalu memberikan kecupan lembut di bibirnya.
"Dan aku pastikan bahwa hukuman ini tidak akan pernah bisa kau lupakan, Mi Amor."
Rainer terlihat sangat menakutkan di mata Ale. Sorot matanya yang menggelap di lengkapi dengan aura dingin yang mengelilinginya. Pria itu memang jenis pria yang tak banyak bicara dan lebih suka bertindak sesuka kemauannya. Dan karena itu Ale masih belum bisa
"Sampai kapan kau akan mengurungku disini?." Tanya Ale setelah menyelesaikan sarapannya.Hukuman yang ia dapat dari Rainer bukan hanya melakukan seks maraton secara keras, tapi harus berla
Ale masuk kedala ruangan eksekusi diikuti dengan Paul di belakangnya. Langkah kakinya terhenti didepan sebuah meja dengan berbagai pistol di atasnya. Ia mengambil salah satu dari pistol-pistol tersebut dan membersihkan debu-debu yang menempel di senjata itu. Paul yang melihat hal itu merasakan bagaimana mengerikannya wanita didepannya ini tapi sialnya dengan wajah cantik bak dewi itu tak akan ada yang percaya bahwa seorang Taralle adalah wanita berdarah dingin yang siap meledakan siapa saja yang mengganggunya. "Jadi, katakan padaku apa yang kau dapatkan?." Tanyanya Ale. "Sebelum ibumu meninggal ia terlibat pertengkaran dengan nyonya Eleanor. Dan dari bukti cctv yang aku dapatkan nyonya Eleanor terlihat cukup sering berada disekitaran tempat ibumu tertembak selama kurang lebih 1 bulan." Dan ucapan itu seketika membuat Kemarahan Ale terlihat jelas dari bola mata wanita itu. Ia meletakan pistol yang sudah ia bersihkan dan beralih pada pistol
Ale duduk dengan tenang sembari menatap seorang laki-laki dan perempuan yang sedang berdebat didepannya. Tangan yang menyilang didepan dada dengan kaca mata yang bertengger indah di wajah cantinknya membuat ia terlihat sangat angkuh sekaligus mempesona disaat yang bersamaan. "Tuan Demetrio, aku ingin tempat ini di kosongkan dalam waktu 1 minggu." Ale berucap tenang, Menyela perdebatan diantara mereka sejenak. Lak-laki bernama Demetrio tersebut menatap Ale sejenak lalu setelahnya kembali menatap wanita didepannya. "Kau dengar Nona Fidel, pemilik baru tempat ini ingin kau mengosongkan tempat ini dalam waktu 1 minggu." Lanjutnya berucap dengan tegas. Ana menatap tak percaya laki-laki didepannya tersebut, bagaimana bisa laki-laki itu melakukan hal mengerikan seperti ini pada dirinya. Memutuskan kontrak sewa sesuka hati dan hanya memberikan waktu 1 minggu untuk mengosongkan tempat dimana butiknya berada. Bukankah hal ini terlalu kejam untuknya.
Ale menatap gedung tinggi didepannya. Pandangannya menyapu lalu lalang manusia disana, terlihat sekali kemegahan dan kejayaan Gravillo Group. Ia melangkah masuk menghampiri resepsionis, terlihat wanita berambung pirang dengan lipstik merah menyala menatapnya dengan tatapan yang sangat ia ketahui sebagai tatapan merendahkan. "Aku ingin bertemu dengan Rainer Gravillo." Ucap Ale dingin yang penuh akan aura intimindasi. "Apakah anda sudah membuat janji, Nona?." "Dilantai berapa ruangannya?." "Sekali lagi maaf Nona. Tuan Rainer bukan tipe orang yang suka di ganggu saat sedang bekerja." "Aku bertanya dimana ruangannya?." Ale bertnya kembali dengan sorot mata tajamnya. Resepsionis itu berdeham pelan, mencoba menghilangkan kegugupan akan tatapan yang Ale layangkan untuknya. Hingga di detik selanjutnya wanita itu melakukan panggilan dan memberitahukan bahwa ada wanita yang ingin menemui atasannya. "Na
Mahkamah Agung Spanyol telah resmi membuka penyelidikan tentang dugaan keterlibatan pengusaha muda Davino Carlos dalam kontrak proyek pembangunan gedung olahraga terbesar di Real Madrid. Diduga ia telah memberikan suap kepada anggota pemerintahan untuk mendapatkan proyek tersebut. Kini, pihak Mahkamah Agung sudah mengamankan beberapa saksi untuk melancarkan pemeriksaan. Ale bersenandung pelan sembari mendengarkan berita tentang Davin dari airpodnya. Tangannya yang tengah asyik membolak-balik daging yang sedang ia pangang untuk makan malamnya dan Rainer. Ia melirik jam sekilas yang sudah menunjukan pukul 7.15 tetapi laki-laki yang ia tunggu masih belum menampakan batang hidungnya. Tak jauh dari sana ternyata Rainer sudah bersandar pada dinding sembari memperhatikan tubuh indah Ale yang berdiri memunggunginya, bokong indahnya yang bergerak menggoda dengan senandung riang yang tak henti dari mulutnya. Dengan langk
Rainer terbangun tanpa Ale disampingnya. Ia menyikap selimut dan beranjak turun dari ranjang namun sebelum ia beranjak bangun terlihat seorang wanita yang ia cari keluar dari dalam walk in closet dalam balutan dress hitam dengan tampilan yang begitu mempesona. "Buenos días." Sapa Ale dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya. "Buenos dias tambien querida." Jawabnya sembari menarik Ale kedalam pelukannya dan melabuhkan kecupan lembut di bibir merah wanita itu. "Kau terlihat bahagia pagi ini?." Ale menyunggingkan senyumnya lagi, tak menutupi suasana hatinya yang memang sangat bahagia. "Tentu saja." Jawabnya sembari mengalungkan kedua tangannya di leher Rainer, " Karena hari ini hari yang sangat menyenangkan untukku, dan aku tidak akan mengizinkan kau merusak hariku yang bahagia ini." Rainer menyipitkan matanya, menatap wajah cantik yang kini duduk di pangkuannya. Wajah yang di sudah di hias dengan make up tipis dan bibir merah
Taralle Mariam dipertemukan dengan Rainer Gravilo di saat ia berada diambang keterpurukan dengan semua skenario buruk yang terjadi dalam hidupnya. Dimulai dari ibunya yang meninggal karena pembunuhan yang disamarkan dengan sebuah kecelakaan, lalu setelahnya Ayahnya yang ia anggap sebagai laki-laki sempurna dalam hidupnya membawa pulang seorang wanita yang ia akui sebagai istri kedua dan tak berhenti disitu