"Jika kau masih meragukan semua foto yang aku berikan ini. Aku akan memanggil ahli yang mahir dalam ilmu teknologi untuk memastikan jika aku tidak memanipulasi."
Darmo Vandara langsung saja membungkam mulutnya, setelah menyelesaikan ucapan. Tak ada lagi yang hendak diucapkan. Hanya menunggu reaksi akan diberikan oleh Aline Whitney atas ide cemerlangnya tadi.
Darmo Vandara tentu ingin mendapat cepat respons setuju wanita itu. Namun, tak bisa sesuai kehendaknya jika melihat bagaimana Aline masih menunjukkan pengabaian. Ia yakin tidak dilakukan sengaja, kali ini.
Darmo Vandara menduga bahwa wanita itu belum mampu menghilangkan keterkejutan atas sejumlah foto yang ditunjukkan olehnya beberapa menit lalu. Tampak sangat nyata di sepasang mata indah Aline yang masih saja membulat. Ia memerhatikan dengan teliti.
"Bagaimana menurutmu tentang rencanaku tadi? Kau setuju atau tidak? Bisakah kau memberikan aku jawaban secepatnya? A--"
"Aku memercayaimu. Kau berkata jujur dan tidak akan mungkin kau mau berbohong."
Aline menajamkan tatapannya. "Tidak akan mungkin kau memanipulasi foto-foto ini."
"Bukti seperti data-data penting berisikan riwayat korupsi Fantino pun kau bisa untuk peroleh dengan mudah. Apalagi, hanyalah foto-foto pria itu sedang bercinta bersama wanita lain." Aline menambahkan jawaban.
"Jadi, kau dapat memercayaiku?"
"Aku percaya dengan semua foto yang kau beri ini. Tidak ada yang kau manipulasi hanya untuk menjatuhkan Fantino," perjelas Aline dalam suara tak cukup keras. Namun, penekanan yang sudah jelas di setiap kata.
"Baguslah, Miss Whitney. Aku memang ingin kau percaya. Tujuanku bisa tercapai lebih mudah dan tidak memerlukan waktu lama."
Aline masih memandang tajam dan semakin lekat sosok sang atasan yang sudah tambah memperjelas seringaian mengejek di wajah. Mata mereka pun bersitatap.
Kesinisan dari Darmo Vandara kian tampak memandang dirinya. Namun, ia tidak akan merasa takut atau gentar. Harus ditunjukkan perlawanan.
"Aku sudah menduga kau punya tujuan lain. Bukan ingin menyadar Fantino. Tapi, aku."
Darmo menaikkan lebih tinggi bagian sudut kanan bibirnya. Respons dengan spontan saja ia lakukan sebagai reaksi atas balasan yang dilontarkan oleh Aline. Sebenarnya tak cukup diduga wanita itu akan menanggapi biasa saja, tanpa emosi yang berlebihan.
"Ckck. Harus aku akui jika ucapanmu benar, Miss Whitney. Targetku jelas bukan Fantino dan wanita bernama Marlina yang sudah berulang kali tidur dengannya." Jawaban bernada sarkasme diloloskan Darmo santai.
"Memang kau yang menjadi sasaranku. Kau tahu aku bahkan rela mengeluarkan banyak uang untuk membeli foto-foto bercinta yang dikoleksi oleh Marlina."
"Video mereka lebih menjijikan, aku putuskan membatalkan membeli. Tapi, uangku tidak dikembalikan."
Dada Aline sungguh tambah memanas akan lontaran kalimat-kalimat pedas sang atasan yang begitu sengaja dilontarkan hanya demi menyindir dirinya. Ia merasa tidak pantas menerima kesalahan. Dan, tak akan mau.
"Setelah aku tahu semua fakta ini. Apakah tujuanmu, Mr. Vandara? Aku lebih merasa penasaran dengan rencanamu dibandingkan kenyataan jika Fantino tengah dekat dengan wanita lain. Katakan saja sekarang padaku. Jangan menunda lagi." Aline berujar dingin.
Darmo Vandara bereaksi dengan cepat. Ia melihat bagaimana seringaian puas pada wajah pria itu. Jelas saja, emosinya menjadi terpancing.
Sisi lain dari sang atasan yang tak diketahui selama ini, perlahan muncul akibat rasa cinta tak bisa untuk dibalasnya. Darmo Vandara adalah pria egois. Ia harus bersikap waspada atas tindakan pria itu mulai sekarang agar tidak terjerumus dalam perangkap yang mungkin akan merugikan.
"Sabar, Sayang. Aku pasti memberitahukan semua apa aku inginkan darimu lagi. Kau harus sabar sedikit? Aku perlu berpikir."
"Aku tidak bisa berada di sini sepuas yang kau inginkan. Aku akan tambah muak jika berlama-lama ada di sini bersamamu." Aline kian bersikap sinis dan membalas tegas.
"Tolong jangan memanggilku lagi dengan sebutan yang kau mau seenaknya. Kau tahu namaku apa." Aline memperjelas kembali untuk sesuatu yang baginya mengganggu.
Antisipasi pun tak dilakukan dengan segera, walau Darmo Vandara melangkah mendekat ke arah dirinya. Ia justru masih menatap pria itu dalam tatapan sinisnya.
Dan, dapat ia lihat secara jelas kobaran api amarah pada sepasang mata kelam sang atasan yang juga tak dipindahkan darinya semenjak tadi.
Saat, Darmo Vandara berdiri di depannya dan mencengkram kedua bahu. Tetap tidak dilakukan perlawanan, membiarkan saja. Ia bukan pasrah. Hanya ingin menyaksikan akan sejauh apa pria itu berani bertindak.
"Semakin kau tidak menginginkanku, maka aku jamin kau tidak akan bisa mudah lepas dariku, Miss Whitney. Akan aku buktikan."
"Aku berharap dia tidak ada di dalam," ujar Aline dengan kesungguhan sangat besar.Tarikan napas panjang diambil. Dibuangnya secara cepat dan kasar. Hal tersebut wanita itu lakukan untuk menetralkan detak dari jantungnya semakin mengencang saja.Bukan karena perasaan yang muncul ketika sedang berada di hadapan pria disukainya. Melainkan, menahan emosi dan kekecewaan bersamaan. Memang masih menyangkut satu pria. Benar, tentang Fantino Creo."Aku harus memastikan supaya aku dapat mengambil kesimpulan akan bagaimana."Tepat setelah menyelesaikan ucapan, Aline pun bergegas keluar dari kendaraan roda empatnya. Ditutup pintu tak sabaran. Cukup kencang. Walau demikian, Aline kembali berhenti sejenak. Menyenderkan punggung di mobil mininya yang berwarna hitam.Kedua mata ditutup juga. Hanya sebentar saja. Tidak sampai satu menit. Kemudian, ia berdiri tegap kembali. Arah pandang sudah dipusatkan ke arah bar yang hendak dirinya datangi. Banyak orang keluar dan ma
Aline tidak bisa mencegah air mata untuk keluar semakin deras, sejak masuk ke dalam mobil. Ditumpahkan dengan isakan cukup kencang. Namun, tidak takut jika akan ada orang yang mendengar. Mustahil rasanya.Dada turut sesak dikarenakan kekecewaan mendalam. Ingin Aline tidak memercayai semua yang baru dilihatnya. Bahkan, ia juga hendak menganggap pengakuan Fantino tak pernah didengar. Tetapi, harapan kontras akan kenyataan yang sudah dirinya terima.Setiap wanita pasti merasakan hal seperti tengah ia alami. Patah hati yang hanya bisa ditumpahkan dengan tangisan deras. Tidak ada pilihan lain. Tak mungkin bagi dirinya untuk marah di depan Fantino. Aline masih menjaga harkat dan juga martabatnya."Kau payah! Kau menyedihkan, Miss Whitney."Darmo Vandara menyeringai lebih lebar, walaupun belum memperoleh perhatian dari Aline. Terus saja ditatap wanita itu. Ia tahu Aline masih menangis. Kedua bahu bergetar tertangkap jelas oleh matanya. Jika nanti Aline mengelak, dir
Aline sudah ingin tahu cita rasa makanan yang ia buat, sejak Darmo Vandara menyuap sendok pertama ke dalam mulut.Dipandang sang atasan dengan begitu lekat, bahkan tanpa berkedip. Tujuannya tentu agar bisa melihat ekspresi Darmo Vandara."Bagaimana menurutmu? Apakah enak?"Darmo Vandara segera mengangguk, tepat setelah Aline Whitney menyelesaikan pertanyaan. Ia imbuhkan kuluman senyum sembari masih terus mengunyahkan pasta di dalam mulutnya agar bisa cepat ditelan.Ditatap sosok Aline dengan lekat. Pancaran mata yang sangat jelas menunjukkan kasih sayang besar. Memang lebih tepat terlihat seperti cinta penuh akan gairah juga. Wajah cantik wanita itu sungguh memikat."Enak pasta yang kau buat. Aku suka. Kau selalu pandai membuat makanan lezat. Kau berbakat." Darmo memuji dengan alunan suara yang begitu lembut."Terima kasih, Mr. Vandara."Aline memperlebar senyuman. "Hmm, rasa makananku biasa saja dan tidak istimewa. Kau juga selalu saja meny
Pikiran Aline semakin penuh. Sosok Darmo Vandara terus terbayang di dalam benaknya. Atasan yang sekaligus juga dianggap sebagai teman cukup dekat, berbuat hal yang tidak pantas. Simpulan tersebut muncul di kepala.Aline pun masih belum bisa percaya akan perlakuan tak menyenangkan ia dapatkan dari Darmo Vandara. Seperti buah mimpi buruk. Tetapi, kenyataan tak menyenangkan ini memang sedang terjadi kepada dirinya.Cumbuan kasar Darmo Vandara kian tidak terkendali. Mulutnya terpaksa harus dibuka.Ruang gerak pun tambah terbatas. Namun, pantang untuk menyerah begitu saja.Perlawanan sudah terus ditunjukkan. Namun, tenaga yang telah dikerahkan dengan sepenuhnya, tak dapat membuahkan hasil apa pun. Tenaga kalah jauh dari Darmo Vandara. Pria itu berhasil menguasai.Semakin dirinya mencoba menunjukkan pemberontakan, maka Darmo Vandara juga memerlihatkan kekuatan besar juga dalam menghalangi. Ia tidak akan pernah menang.Pada akhirnya, Aline membiarkan
"Terima kasih untuk pasta yang kau berikan ini. Enak sekali. Kau memang hebat dalam urusan memasak. Kau salah satu terbaik."Aline cepat membalas dengan senyumannya walaupun terkesan dipaksakan. Ujung-ujung bibir terasa kaku untuk digerakkan ke atas.Harusnya senang menerima pujian dari pria yang ia sukai. Namun, justru kecemasanlah melanda. Ketenangan terus terkikis.Suasana hati masih belum mampu kembali seperti semula, sebab tidak bisa melupakan kejadian kemarin dengan sang atasan.Ya, tentang pertengkarannya dengan Darmo Vandara, sahabat baik sekaligus juga atasan di kantor. Ancaman dan persyaratan yang diminta oleh pria itu masih diingatnya jelas.Jelas ada kecemasan jika sang atasan akan benar-benar merealisasikan apa yang telah dikatakan. Sangat dipercayai pria itu dapat mewujudkan dengan berbagai cara."Kau kenapa, Aline? Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau melamun?"
"Sebuah kehormatan bagi saya bisa makan bersama dengan Mr. Vandara lagi siang ini."Darmo Vandara menaikkan salah satu ujung bibirnya. "Kau terlalu berlebihan.""Saya senang saja bisa makan siang bersama Anda, Mr. Vandara. Belum tentu pegawai lain bisa mendapatkan kesempatan bagus seperti saya peroleh hari ini."Sudut bibir diangkat lagi semakin tinggi oleh Darmo Vandara. Membentuk senyum yang terkesan angkuh. Memang disengaja.Arah pandangnya lebih banyak ke sosok Aline, dibanding Fantino. Walaupun, dirinya terlibat percakapan dengan pemuda itu."Banyak pegawai yang ingin bisa satu meja bersama bos utama perusahaan, yakni Anda, Mr. Vandara. Saya termasuk beruntung."Dipusatkan sebentar fokusnya pada Fantino. Kepala dianggukan. "Baiklah. Kau anggap saja sebagai sebuah keberuntungan.""Tapi, jangan sungkan denganku. Kau sudah lama bekerja di perusahaan. Rileks saja. Anggap aku bukan atasanmu, saat kita tidak berada dalam pe
Darmo Vandara sudah menghabiskan tiga gelas vodka guna menghindari kebosanan karena menunggu detektif sewaannya yang tidak kunjung datang. Ia tidak akan marah sebab sudah diberitahukan alasan Marvell Wiser datang terlambat. Bisa dipahami.Hanya saja, informasi yang telah berhasil dikumpulkan sang detektif membuatnya jadi semakin penasaran. Bahkan, cenderung ia sangat ingin mengetahui keseluruhan data berkaitan dengan Fantino Creo yang masih sebagai dugaan belaka. Dan, sang detektif sudah menemukan bukti nyata beberapa hari belakangan. Sungguh, menyenangkan."Kenapa kau menyuruhku ke sini?"Segenap pemikiran dan simpulan muncul di dalam kepala Darmo Vandara pun seketika hilang karena pertanyaan dilontarkan oleh seseorang. Wanita yang memang dinantinya untuk datang juga. Benar, Aline Whitney.Darmo Vandara segera memasang seringai lebar pada wajah dan melemparkan tatapan tajam ke arah Aline. Wanita itu berdiri di hadapannya, tepat dibalik meja kerja."Aku
Darmo Vandara pun langsung menyerahkan semua bukti yang sudah dikumpulkan oleh detektif sewaannya kepada Aline. Tentang kecurangan dan juga penggelapan dana dilakukan Fantino Creo di perusahaan.Aline pun menjadi titik fokus utama dari pandangannya. Terus diperhatikan wanita itu yang sedang membaca satu demi satu dokumen dengan detail dan serius.Ekspresi Aline pun tidak luput diamatinya. Tampak ketegangan sangat nyata. Beberapa detik lalu, bahkan Aline terlihat terkejut."Bagaimana menurutmu, Miss Whitney?"Darmo Vandara tak bisa lagi lebih lama larut dalam kesunyian. Diputuskan melontarkan pertanyaan. Namun, Aline tak menjawab."Data-data yang sangat menakjubkan bukan? Aku tidak salah menilai. Instingku ternyata benar. Aku sudah menduga dia bukanlah orang baik seperti dugaanmu.""Ataupun pantas menjadi pria idaman."Setelah melontarkan kata demi katanya bernada sinis, Darmo Vandara langsung saja melemparkan kembali tatapan tajam ke
Aline tidak bisa mencegah air mata untuk keluar semakin deras, sejak masuk ke dalam mobil. Ditumpahkan dengan isakan cukup kencang. Namun, tidak takut jika akan ada orang yang mendengar. Mustahil rasanya.Dada turut sesak dikarenakan kekecewaan mendalam. Ingin Aline tidak memercayai semua yang baru dilihatnya. Bahkan, ia juga hendak menganggap pengakuan Fantino tak pernah didengar. Tetapi, harapan kontras akan kenyataan yang sudah dirinya terima.Setiap wanita pasti merasakan hal seperti tengah ia alami. Patah hati yang hanya bisa ditumpahkan dengan tangisan deras. Tidak ada pilihan lain. Tak mungkin bagi dirinya untuk marah di depan Fantino. Aline masih menjaga harkat dan juga martabatnya."Kau payah! Kau menyedihkan, Miss Whitney."Darmo Vandara menyeringai lebih lebar, walaupun belum memperoleh perhatian dari Aline. Terus saja ditatap wanita itu. Ia tahu Aline masih menangis. Kedua bahu bergetar tertangkap jelas oleh matanya. Jika nanti Aline mengelak, dir
"Aku berharap dia tidak ada di dalam," ujar Aline dengan kesungguhan sangat besar.Tarikan napas panjang diambil. Dibuangnya secara cepat dan kasar. Hal tersebut wanita itu lakukan untuk menetralkan detak dari jantungnya semakin mengencang saja.Bukan karena perasaan yang muncul ketika sedang berada di hadapan pria disukainya. Melainkan, menahan emosi dan kekecewaan bersamaan. Memang masih menyangkut satu pria. Benar, tentang Fantino Creo."Aku harus memastikan supaya aku dapat mengambil kesimpulan akan bagaimana."Tepat setelah menyelesaikan ucapan, Aline pun bergegas keluar dari kendaraan roda empatnya. Ditutup pintu tak sabaran. Cukup kencang. Walau demikian, Aline kembali berhenti sejenak. Menyenderkan punggung di mobil mininya yang berwarna hitam.Kedua mata ditutup juga. Hanya sebentar saja. Tidak sampai satu menit. Kemudian, ia berdiri tegap kembali. Arah pandang sudah dipusatkan ke arah bar yang hendak dirinya datangi. Banyak orang keluar dan ma
"Jika kau masih meragukan semua foto yang aku berikan ini. Aku akan memanggil ahli yang mahir dalam ilmu teknologi untuk memastikan jika aku tidak memanipulasi."Darmo Vandara langsung saja membungkam mulutnya, setelah menyelesaikan ucapan. Tak ada lagi yang hendak diucapkan. Hanya menunggu reaksi akan diberikan oleh Aline Whitney atas ide cemerlangnya tadi.Darmo Vandara tentu ingin mendapat cepat respons setuju wanita itu. Namun, tak bisa sesuai kehendaknya jika melihat bagaimana Aline masih menunjukkan pengabaian. Ia yakin tidak dilakukan sengaja, kali ini.Darmo Vandara menduga bahwa wanita itu belum mampu menghilangkan keterkejutan atas sejumlah foto yang ditunjukkan olehnya beberapa menit lalu. Tampak sangat nyata di sepasang mata indah Aline yang masih saja membulat. Ia memerhatikan dengan teliti."Bagaimana menurutmu tentang rencanaku tadi? Kau setuju atau tidak? Bisakah kau memberikan aku jawaban secepatnya? A--""Aku memercayaimu. Kau berkata
Darmo Vandara pun menambah laju ketika berjalan dengan kedua kakinya menuju ke sebuah areal khusus untuk menerima tamu di vila pribadinya. Kurang dari dua meter lagi, ia akan mencapai pintu besar ruangan.Dan, tidak sampai 20 detik, Darmo Vandara telah berhasil mendorong daun pintu tanpa berhenti melangkah. Langsung berjalan ke dalam dengan raut wajah yang serius.Sosok seorang wanita berparas tidak cukup cantik tengah tersenyum terkesan dipaksa manis, menyambutnya. Ditambah pakaian yang dikenakan seksi hingga dapat secara jelas memerlihatkan lekuk tubuh wanita itu.Bagi Darmo Vandara, pemandangan tengah tersaji di hadapannya tak mampu langsung menciptakan gairah. Ia masih menjadi pria yang normal dengan hasrat tinggi jika telah dirangsang. Dan, wanita itu tak berhasil.Ya, gagal dalam membuatnya tertarik. Tentu keinginan lebih pun tak ada. Hanya perlu menuntaskan rencana awal yang dirancang. Darmo Vandara sangat yakin akan mampu mendapatkan informasi diingin
Darmo Vandara pun langsung menyerahkan semua bukti yang sudah dikumpulkan oleh detektif sewaannya kepada Aline. Tentang kecurangan dan juga penggelapan dana dilakukan Fantino Creo di perusahaan.Aline pun menjadi titik fokus utama dari pandangannya. Terus diperhatikan wanita itu yang sedang membaca satu demi satu dokumen dengan detail dan serius.Ekspresi Aline pun tidak luput diamatinya. Tampak ketegangan sangat nyata. Beberapa detik lalu, bahkan Aline terlihat terkejut."Bagaimana menurutmu, Miss Whitney?"Darmo Vandara tak bisa lagi lebih lama larut dalam kesunyian. Diputuskan melontarkan pertanyaan. Namun, Aline tak menjawab."Data-data yang sangat menakjubkan bukan? Aku tidak salah menilai. Instingku ternyata benar. Aku sudah menduga dia bukanlah orang baik seperti dugaanmu.""Ataupun pantas menjadi pria idaman."Setelah melontarkan kata demi katanya bernada sinis, Darmo Vandara langsung saja melemparkan kembali tatapan tajam ke
Darmo Vandara sudah menghabiskan tiga gelas vodka guna menghindari kebosanan karena menunggu detektif sewaannya yang tidak kunjung datang. Ia tidak akan marah sebab sudah diberitahukan alasan Marvell Wiser datang terlambat. Bisa dipahami.Hanya saja, informasi yang telah berhasil dikumpulkan sang detektif membuatnya jadi semakin penasaran. Bahkan, cenderung ia sangat ingin mengetahui keseluruhan data berkaitan dengan Fantino Creo yang masih sebagai dugaan belaka. Dan, sang detektif sudah menemukan bukti nyata beberapa hari belakangan. Sungguh, menyenangkan."Kenapa kau menyuruhku ke sini?"Segenap pemikiran dan simpulan muncul di dalam kepala Darmo Vandara pun seketika hilang karena pertanyaan dilontarkan oleh seseorang. Wanita yang memang dinantinya untuk datang juga. Benar, Aline Whitney.Darmo Vandara segera memasang seringai lebar pada wajah dan melemparkan tatapan tajam ke arah Aline. Wanita itu berdiri di hadapannya, tepat dibalik meja kerja."Aku
"Sebuah kehormatan bagi saya bisa makan bersama dengan Mr. Vandara lagi siang ini."Darmo Vandara menaikkan salah satu ujung bibirnya. "Kau terlalu berlebihan.""Saya senang saja bisa makan siang bersama Anda, Mr. Vandara. Belum tentu pegawai lain bisa mendapatkan kesempatan bagus seperti saya peroleh hari ini."Sudut bibir diangkat lagi semakin tinggi oleh Darmo Vandara. Membentuk senyum yang terkesan angkuh. Memang disengaja.Arah pandangnya lebih banyak ke sosok Aline, dibanding Fantino. Walaupun, dirinya terlibat percakapan dengan pemuda itu."Banyak pegawai yang ingin bisa satu meja bersama bos utama perusahaan, yakni Anda, Mr. Vandara. Saya termasuk beruntung."Dipusatkan sebentar fokusnya pada Fantino. Kepala dianggukan. "Baiklah. Kau anggap saja sebagai sebuah keberuntungan.""Tapi, jangan sungkan denganku. Kau sudah lama bekerja di perusahaan. Rileks saja. Anggap aku bukan atasanmu, saat kita tidak berada dalam pe
"Terima kasih untuk pasta yang kau berikan ini. Enak sekali. Kau memang hebat dalam urusan memasak. Kau salah satu terbaik."Aline cepat membalas dengan senyumannya walaupun terkesan dipaksakan. Ujung-ujung bibir terasa kaku untuk digerakkan ke atas.Harusnya senang menerima pujian dari pria yang ia sukai. Namun, justru kecemasanlah melanda. Ketenangan terus terkikis.Suasana hati masih belum mampu kembali seperti semula, sebab tidak bisa melupakan kejadian kemarin dengan sang atasan.Ya, tentang pertengkarannya dengan Darmo Vandara, sahabat baik sekaligus juga atasan di kantor. Ancaman dan persyaratan yang diminta oleh pria itu masih diingatnya jelas.Jelas ada kecemasan jika sang atasan akan benar-benar merealisasikan apa yang telah dikatakan. Sangat dipercayai pria itu dapat mewujudkan dengan berbagai cara."Kau kenapa, Aline? Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau melamun?"
Pikiran Aline semakin penuh. Sosok Darmo Vandara terus terbayang di dalam benaknya. Atasan yang sekaligus juga dianggap sebagai teman cukup dekat, berbuat hal yang tidak pantas. Simpulan tersebut muncul di kepala.Aline pun masih belum bisa percaya akan perlakuan tak menyenangkan ia dapatkan dari Darmo Vandara. Seperti buah mimpi buruk. Tetapi, kenyataan tak menyenangkan ini memang sedang terjadi kepada dirinya.Cumbuan kasar Darmo Vandara kian tidak terkendali. Mulutnya terpaksa harus dibuka.Ruang gerak pun tambah terbatas. Namun, pantang untuk menyerah begitu saja.Perlawanan sudah terus ditunjukkan. Namun, tenaga yang telah dikerahkan dengan sepenuhnya, tak dapat membuahkan hasil apa pun. Tenaga kalah jauh dari Darmo Vandara. Pria itu berhasil menguasai.Semakin dirinya mencoba menunjukkan pemberontakan, maka Darmo Vandara juga memerlihatkan kekuatan besar juga dalam menghalangi. Ia tidak akan pernah menang.Pada akhirnya, Aline membiarkan