Aline tidak bisa mencegah air mata untuk keluar semakin deras, sejak masuk ke dalam mobil. Ditumpahkan dengan isakan cukup kencang. Namun, tidak takut jika akan ada orang yang mendengar. Mustahil rasanya.
Dada turut sesak dikarenakan kekecewaan mendalam. Ingin Aline tidak memercayai semua yang baru dilihatnya. Bahkan, ia juga hendak menganggap pengakuan Fantino tak pernah didengar. Tetapi, harapan kontras akan kenyataan yang sudah dirinya terima.
Setiap wanita pasti merasakan hal seperti tengah ia alami. Patah hati yang hanya bisa ditumpahkan dengan tangisan deras. Tidak ada pilihan lain. Tak mungkin bagi dirinya untuk marah di depan Fantino. Aline masih menjaga harkat dan juga martabatnya.
"Kau payah! Kau menyedihkan, Miss Whitney."
Darmo Vandara menyeringai lebih lebar, walaupun belum memperoleh perhatian dari Aline. Terus saja ditatap wanita itu. Ia tahu Aline masih menangis. Kedua bahu bergetar tertangkap jelas oleh matanya. Jika nanti Aline mengelak, dirinya tak bisa percaya.
"Bersikaplah yang kuat. Kau tidak malu terlihat lemah hanya demi pria itu? Sungguh menyedihkan."
Kedua tangan yang menutupi wajah cepat saja dilepaskan oleh Aline, pasca mendengar suara seseorang. Sangat familier untuknya. Kepala pun ditolehkan segera ke kanan guna memastikan keberadaan orang itu, Darmo Vandara. Tak mungkin ia berhalusinasi. Belum cukup gila melakukannya.
"Aku tidak suka melihatmu begini, Miss Whitney. Dia tidak pantas kau tangisi. Dia pria bajingan."
"Tutup mulutmu! Berhentilah berkomentar." Aline pun berseru kencang. Penuh akan kemurkaan.
Tepat setelah pembalasan sengit lanjutan terlontar, maka Darmo Vandara tampak memalingkan wajah. Respons yang diharapkannya. Walaupun demikian, tak mampu dengan mudah mengatasi amarah yang telah terkobarkan karena kalimat-kalimat Darmo.
"Mau apa kau ke sini? Kau mengikuti sejak tadi? Benar?" Aline meluncurkan tuduhan dengan nada yang semakin dingin. Ada tuduhan di dalamnya.
Diberikan jeda untuk beberapa saat. Ia masih coba berbaik hati menunggu jawaban sekiranya hendak diloloskan Darmo Vandara. Walau, ia sendiri tidak yakin akan bisa menerima. Apa pun yang pria itu katakan, tidak dapat dipercayainya. Mustahil saja, setelah hubungan di antara mereka memburuk.
"Cepat jawab! Kau mengikutiku? Apa tujuan yang kau sedang incar dan inginkan?" Aline meninggikan intonasi suara secara spontan. Emosi membuncah.
"Bisakah kau jangan menuduhku dengan dugaan negatif? Aku justru berniat baik datang kemari."
Aline menajamkan tatapan sembari mengarahkan jari telunjuk ke sang atasan. "Kau lupakah dengan kata-katamu tadi? Kau menghinaku, Mr. Vandara."
"Ckck." Aline berdecak sinis. "Apa yang kau katakan? Kau punya niatan baik? Apa aku tidak salah mendengar? Kau itu busuk, Mr. Vandara."
"Aku busuk? Kau benar. Aku akan terima cacian apa pun darimu. Kau bebas katakan makian kepadaku jika bisa membuatmu lebih baik. Jangan kau tahan. Katakan semua di depanku sekarang. Aku siap menerima apa pun kau ingin katakan."
"Aku pria yang busuk! Bajingan! Sialan!"
Darmo Vandara mengatur napas sejenak agar bisa kembali menetralkan, selepas mengeluarkan seruan keras kepada dirinya sendiri dengan nada kesal. Ia akan melakukan segala hal diminta oleh Aline. Tak ada istilah pelit berkorban baginya demi wanita itu.
"Kau memang pantas mendapat makian begitu, Mr. Vandara. Kau tidak jauh berbeda dengan Fantino."
"Kau busuk! Kau kurang ajar! Kau seorang bajingan! Kau egois! Aku muak denganmu. Aku ingin membencimu!" seru Aline begitu marah.
Deru napas Aline semakin tak stabil. Dada naik dan turun. Emosinya tentu mengalami peningkatan lagi. Amarah pun semakin siap ia ledakan di hadapan Darmo Vandara.
Dan, tak akan memikirkan risiko apa pun yang terjadi esok hari jika sampai dilakukanya perlawanan sengit kepada pria itu sekarang. Tidak terasa matanya berkaca-kaca.
"Mr. Vandara …," Aline memanggil lemah.
"Ada apa, Miss Whitney? Katakan saja apa maumu. Jika kau ingin aku memberi pelajaran padanya, aku akan lakukan. Aku bersedia menolongmu."
Aline menggeleng segera. "Bukan dia yang aku ingin beri pelajaran. Tapi, kau, Mr. Vandara!"
"Jika aku tidak berhenti ikut campur urusanku, kau akan menyesal. Aku akan membuat perhitungan."
Darmo menyeringai sembari meraih cepat wajah Aline. Tangan kanan memegang dagu wanita itu dengan cukup erat. "Kau mau mengancamku?"
"Kau pasti kalah, Miss Whitney. Aku yang akan menang. Kau akan menjadi milikku. Tubuh dan hati yang kau punya hanya aku bisa menikmatinya."
Darmo menarik Aline. Tangan sudah berpindah ke tengkuk wanita itu. "Tidak akan lama lagi waktunya tiba. Aku harap kau mempersiapkan diri. Kau tidak akan pernah bisa lepas dariku," bisiknya sinis.
Aline sudah ingin tahu cita rasa makanan yang ia buat, sejak Darmo Vandara menyuap sendok pertama ke dalam mulut.Dipandang sang atasan dengan begitu lekat, bahkan tanpa berkedip. Tujuannya tentu agar bisa melihat ekspresi Darmo Vandara."Bagaimana menurutmu? Apakah enak?"Darmo Vandara segera mengangguk, tepat setelah Aline Whitney menyelesaikan pertanyaan. Ia imbuhkan kuluman senyum sembari masih terus mengunyahkan pasta di dalam mulutnya agar bisa cepat ditelan.Ditatap sosok Aline dengan lekat. Pancaran mata yang sangat jelas menunjukkan kasih sayang besar. Memang lebih tepat terlihat seperti cinta penuh akan gairah juga. Wajah cantik wanita itu sungguh memikat."Enak pasta yang kau buat. Aku suka. Kau selalu pandai membuat makanan lezat. Kau berbakat." Darmo memuji dengan alunan suara yang begitu lembut."Terima kasih, Mr. Vandara."Aline memperlebar senyuman. "Hmm, rasa makananku biasa saja dan tidak istimewa. Kau juga selalu saja meny
Pikiran Aline semakin penuh. Sosok Darmo Vandara terus terbayang di dalam benaknya. Atasan yang sekaligus juga dianggap sebagai teman cukup dekat, berbuat hal yang tidak pantas. Simpulan tersebut muncul di kepala.Aline pun masih belum bisa percaya akan perlakuan tak menyenangkan ia dapatkan dari Darmo Vandara. Seperti buah mimpi buruk. Tetapi, kenyataan tak menyenangkan ini memang sedang terjadi kepada dirinya.Cumbuan kasar Darmo Vandara kian tidak terkendali. Mulutnya terpaksa harus dibuka.Ruang gerak pun tambah terbatas. Namun, pantang untuk menyerah begitu saja.Perlawanan sudah terus ditunjukkan. Namun, tenaga yang telah dikerahkan dengan sepenuhnya, tak dapat membuahkan hasil apa pun. Tenaga kalah jauh dari Darmo Vandara. Pria itu berhasil menguasai.Semakin dirinya mencoba menunjukkan pemberontakan, maka Darmo Vandara juga memerlihatkan kekuatan besar juga dalam menghalangi. Ia tidak akan pernah menang.Pada akhirnya, Aline membiarkan
"Terima kasih untuk pasta yang kau berikan ini. Enak sekali. Kau memang hebat dalam urusan memasak. Kau salah satu terbaik."Aline cepat membalas dengan senyumannya walaupun terkesan dipaksakan. Ujung-ujung bibir terasa kaku untuk digerakkan ke atas.Harusnya senang menerima pujian dari pria yang ia sukai. Namun, justru kecemasanlah melanda. Ketenangan terus terkikis.Suasana hati masih belum mampu kembali seperti semula, sebab tidak bisa melupakan kejadian kemarin dengan sang atasan.Ya, tentang pertengkarannya dengan Darmo Vandara, sahabat baik sekaligus juga atasan di kantor. Ancaman dan persyaratan yang diminta oleh pria itu masih diingatnya jelas.Jelas ada kecemasan jika sang atasan akan benar-benar merealisasikan apa yang telah dikatakan. Sangat dipercayai pria itu dapat mewujudkan dengan berbagai cara."Kau kenapa, Aline? Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau melamun?"
"Sebuah kehormatan bagi saya bisa makan bersama dengan Mr. Vandara lagi siang ini."Darmo Vandara menaikkan salah satu ujung bibirnya. "Kau terlalu berlebihan.""Saya senang saja bisa makan siang bersama Anda, Mr. Vandara. Belum tentu pegawai lain bisa mendapatkan kesempatan bagus seperti saya peroleh hari ini."Sudut bibir diangkat lagi semakin tinggi oleh Darmo Vandara. Membentuk senyum yang terkesan angkuh. Memang disengaja.Arah pandangnya lebih banyak ke sosok Aline, dibanding Fantino. Walaupun, dirinya terlibat percakapan dengan pemuda itu."Banyak pegawai yang ingin bisa satu meja bersama bos utama perusahaan, yakni Anda, Mr. Vandara. Saya termasuk beruntung."Dipusatkan sebentar fokusnya pada Fantino. Kepala dianggukan. "Baiklah. Kau anggap saja sebagai sebuah keberuntungan.""Tapi, jangan sungkan denganku. Kau sudah lama bekerja di perusahaan. Rileks saja. Anggap aku bukan atasanmu, saat kita tidak berada dalam pe
Darmo Vandara sudah menghabiskan tiga gelas vodka guna menghindari kebosanan karena menunggu detektif sewaannya yang tidak kunjung datang. Ia tidak akan marah sebab sudah diberitahukan alasan Marvell Wiser datang terlambat. Bisa dipahami.Hanya saja, informasi yang telah berhasil dikumpulkan sang detektif membuatnya jadi semakin penasaran. Bahkan, cenderung ia sangat ingin mengetahui keseluruhan data berkaitan dengan Fantino Creo yang masih sebagai dugaan belaka. Dan, sang detektif sudah menemukan bukti nyata beberapa hari belakangan. Sungguh, menyenangkan."Kenapa kau menyuruhku ke sini?"Segenap pemikiran dan simpulan muncul di dalam kepala Darmo Vandara pun seketika hilang karena pertanyaan dilontarkan oleh seseorang. Wanita yang memang dinantinya untuk datang juga. Benar, Aline Whitney.Darmo Vandara segera memasang seringai lebar pada wajah dan melemparkan tatapan tajam ke arah Aline. Wanita itu berdiri di hadapannya, tepat dibalik meja kerja."Aku
Darmo Vandara pun langsung menyerahkan semua bukti yang sudah dikumpulkan oleh detektif sewaannya kepada Aline. Tentang kecurangan dan juga penggelapan dana dilakukan Fantino Creo di perusahaan.Aline pun menjadi titik fokus utama dari pandangannya. Terus diperhatikan wanita itu yang sedang membaca satu demi satu dokumen dengan detail dan serius.Ekspresi Aline pun tidak luput diamatinya. Tampak ketegangan sangat nyata. Beberapa detik lalu, bahkan Aline terlihat terkejut."Bagaimana menurutmu, Miss Whitney?"Darmo Vandara tak bisa lagi lebih lama larut dalam kesunyian. Diputuskan melontarkan pertanyaan. Namun, Aline tak menjawab."Data-data yang sangat menakjubkan bukan? Aku tidak salah menilai. Instingku ternyata benar. Aku sudah menduga dia bukanlah orang baik seperti dugaanmu.""Ataupun pantas menjadi pria idaman."Setelah melontarkan kata demi katanya bernada sinis, Darmo Vandara langsung saja melemparkan kembali tatapan tajam ke
Darmo Vandara pun menambah laju ketika berjalan dengan kedua kakinya menuju ke sebuah areal khusus untuk menerima tamu di vila pribadinya. Kurang dari dua meter lagi, ia akan mencapai pintu besar ruangan.Dan, tidak sampai 20 detik, Darmo Vandara telah berhasil mendorong daun pintu tanpa berhenti melangkah. Langsung berjalan ke dalam dengan raut wajah yang serius.Sosok seorang wanita berparas tidak cukup cantik tengah tersenyum terkesan dipaksa manis, menyambutnya. Ditambah pakaian yang dikenakan seksi hingga dapat secara jelas memerlihatkan lekuk tubuh wanita itu.Bagi Darmo Vandara, pemandangan tengah tersaji di hadapannya tak mampu langsung menciptakan gairah. Ia masih menjadi pria yang normal dengan hasrat tinggi jika telah dirangsang. Dan, wanita itu tak berhasil.Ya, gagal dalam membuatnya tertarik. Tentu keinginan lebih pun tak ada. Hanya perlu menuntaskan rencana awal yang dirancang. Darmo Vandara sangat yakin akan mampu mendapatkan informasi diingin
"Jika kau masih meragukan semua foto yang aku berikan ini. Aku akan memanggil ahli yang mahir dalam ilmu teknologi untuk memastikan jika aku tidak memanipulasi."Darmo Vandara langsung saja membungkam mulutnya, setelah menyelesaikan ucapan. Tak ada lagi yang hendak diucapkan. Hanya menunggu reaksi akan diberikan oleh Aline Whitney atas ide cemerlangnya tadi.Darmo Vandara tentu ingin mendapat cepat respons setuju wanita itu. Namun, tak bisa sesuai kehendaknya jika melihat bagaimana Aline masih menunjukkan pengabaian. Ia yakin tidak dilakukan sengaja, kali ini.Darmo Vandara menduga bahwa wanita itu belum mampu menghilangkan keterkejutan atas sejumlah foto yang ditunjukkan olehnya beberapa menit lalu. Tampak sangat nyata di sepasang mata indah Aline yang masih saja membulat. Ia memerhatikan dengan teliti."Bagaimana menurutmu tentang rencanaku tadi? Kau setuju atau tidak? Bisakah kau memberikan aku jawaban secepatnya? A--""Aku memercayaimu. Kau berkata
Aline tidak bisa mencegah air mata untuk keluar semakin deras, sejak masuk ke dalam mobil. Ditumpahkan dengan isakan cukup kencang. Namun, tidak takut jika akan ada orang yang mendengar. Mustahil rasanya.Dada turut sesak dikarenakan kekecewaan mendalam. Ingin Aline tidak memercayai semua yang baru dilihatnya. Bahkan, ia juga hendak menganggap pengakuan Fantino tak pernah didengar. Tetapi, harapan kontras akan kenyataan yang sudah dirinya terima.Setiap wanita pasti merasakan hal seperti tengah ia alami. Patah hati yang hanya bisa ditumpahkan dengan tangisan deras. Tidak ada pilihan lain. Tak mungkin bagi dirinya untuk marah di depan Fantino. Aline masih menjaga harkat dan juga martabatnya."Kau payah! Kau menyedihkan, Miss Whitney."Darmo Vandara menyeringai lebih lebar, walaupun belum memperoleh perhatian dari Aline. Terus saja ditatap wanita itu. Ia tahu Aline masih menangis. Kedua bahu bergetar tertangkap jelas oleh matanya. Jika nanti Aline mengelak, dir
"Aku berharap dia tidak ada di dalam," ujar Aline dengan kesungguhan sangat besar.Tarikan napas panjang diambil. Dibuangnya secara cepat dan kasar. Hal tersebut wanita itu lakukan untuk menetralkan detak dari jantungnya semakin mengencang saja.Bukan karena perasaan yang muncul ketika sedang berada di hadapan pria disukainya. Melainkan, menahan emosi dan kekecewaan bersamaan. Memang masih menyangkut satu pria. Benar, tentang Fantino Creo."Aku harus memastikan supaya aku dapat mengambil kesimpulan akan bagaimana."Tepat setelah menyelesaikan ucapan, Aline pun bergegas keluar dari kendaraan roda empatnya. Ditutup pintu tak sabaran. Cukup kencang. Walau demikian, Aline kembali berhenti sejenak. Menyenderkan punggung di mobil mininya yang berwarna hitam.Kedua mata ditutup juga. Hanya sebentar saja. Tidak sampai satu menit. Kemudian, ia berdiri tegap kembali. Arah pandang sudah dipusatkan ke arah bar yang hendak dirinya datangi. Banyak orang keluar dan ma
"Jika kau masih meragukan semua foto yang aku berikan ini. Aku akan memanggil ahli yang mahir dalam ilmu teknologi untuk memastikan jika aku tidak memanipulasi."Darmo Vandara langsung saja membungkam mulutnya, setelah menyelesaikan ucapan. Tak ada lagi yang hendak diucapkan. Hanya menunggu reaksi akan diberikan oleh Aline Whitney atas ide cemerlangnya tadi.Darmo Vandara tentu ingin mendapat cepat respons setuju wanita itu. Namun, tak bisa sesuai kehendaknya jika melihat bagaimana Aline masih menunjukkan pengabaian. Ia yakin tidak dilakukan sengaja, kali ini.Darmo Vandara menduga bahwa wanita itu belum mampu menghilangkan keterkejutan atas sejumlah foto yang ditunjukkan olehnya beberapa menit lalu. Tampak sangat nyata di sepasang mata indah Aline yang masih saja membulat. Ia memerhatikan dengan teliti."Bagaimana menurutmu tentang rencanaku tadi? Kau setuju atau tidak? Bisakah kau memberikan aku jawaban secepatnya? A--""Aku memercayaimu. Kau berkata
Darmo Vandara pun menambah laju ketika berjalan dengan kedua kakinya menuju ke sebuah areal khusus untuk menerima tamu di vila pribadinya. Kurang dari dua meter lagi, ia akan mencapai pintu besar ruangan.Dan, tidak sampai 20 detik, Darmo Vandara telah berhasil mendorong daun pintu tanpa berhenti melangkah. Langsung berjalan ke dalam dengan raut wajah yang serius.Sosok seorang wanita berparas tidak cukup cantik tengah tersenyum terkesan dipaksa manis, menyambutnya. Ditambah pakaian yang dikenakan seksi hingga dapat secara jelas memerlihatkan lekuk tubuh wanita itu.Bagi Darmo Vandara, pemandangan tengah tersaji di hadapannya tak mampu langsung menciptakan gairah. Ia masih menjadi pria yang normal dengan hasrat tinggi jika telah dirangsang. Dan, wanita itu tak berhasil.Ya, gagal dalam membuatnya tertarik. Tentu keinginan lebih pun tak ada. Hanya perlu menuntaskan rencana awal yang dirancang. Darmo Vandara sangat yakin akan mampu mendapatkan informasi diingin
Darmo Vandara pun langsung menyerahkan semua bukti yang sudah dikumpulkan oleh detektif sewaannya kepada Aline. Tentang kecurangan dan juga penggelapan dana dilakukan Fantino Creo di perusahaan.Aline pun menjadi titik fokus utama dari pandangannya. Terus diperhatikan wanita itu yang sedang membaca satu demi satu dokumen dengan detail dan serius.Ekspresi Aline pun tidak luput diamatinya. Tampak ketegangan sangat nyata. Beberapa detik lalu, bahkan Aline terlihat terkejut."Bagaimana menurutmu, Miss Whitney?"Darmo Vandara tak bisa lagi lebih lama larut dalam kesunyian. Diputuskan melontarkan pertanyaan. Namun, Aline tak menjawab."Data-data yang sangat menakjubkan bukan? Aku tidak salah menilai. Instingku ternyata benar. Aku sudah menduga dia bukanlah orang baik seperti dugaanmu.""Ataupun pantas menjadi pria idaman."Setelah melontarkan kata demi katanya bernada sinis, Darmo Vandara langsung saja melemparkan kembali tatapan tajam ke
Darmo Vandara sudah menghabiskan tiga gelas vodka guna menghindari kebosanan karena menunggu detektif sewaannya yang tidak kunjung datang. Ia tidak akan marah sebab sudah diberitahukan alasan Marvell Wiser datang terlambat. Bisa dipahami.Hanya saja, informasi yang telah berhasil dikumpulkan sang detektif membuatnya jadi semakin penasaran. Bahkan, cenderung ia sangat ingin mengetahui keseluruhan data berkaitan dengan Fantino Creo yang masih sebagai dugaan belaka. Dan, sang detektif sudah menemukan bukti nyata beberapa hari belakangan. Sungguh, menyenangkan."Kenapa kau menyuruhku ke sini?"Segenap pemikiran dan simpulan muncul di dalam kepala Darmo Vandara pun seketika hilang karena pertanyaan dilontarkan oleh seseorang. Wanita yang memang dinantinya untuk datang juga. Benar, Aline Whitney.Darmo Vandara segera memasang seringai lebar pada wajah dan melemparkan tatapan tajam ke arah Aline. Wanita itu berdiri di hadapannya, tepat dibalik meja kerja."Aku
"Sebuah kehormatan bagi saya bisa makan bersama dengan Mr. Vandara lagi siang ini."Darmo Vandara menaikkan salah satu ujung bibirnya. "Kau terlalu berlebihan.""Saya senang saja bisa makan siang bersama Anda, Mr. Vandara. Belum tentu pegawai lain bisa mendapatkan kesempatan bagus seperti saya peroleh hari ini."Sudut bibir diangkat lagi semakin tinggi oleh Darmo Vandara. Membentuk senyum yang terkesan angkuh. Memang disengaja.Arah pandangnya lebih banyak ke sosok Aline, dibanding Fantino. Walaupun, dirinya terlibat percakapan dengan pemuda itu."Banyak pegawai yang ingin bisa satu meja bersama bos utama perusahaan, yakni Anda, Mr. Vandara. Saya termasuk beruntung."Dipusatkan sebentar fokusnya pada Fantino. Kepala dianggukan. "Baiklah. Kau anggap saja sebagai sebuah keberuntungan.""Tapi, jangan sungkan denganku. Kau sudah lama bekerja di perusahaan. Rileks saja. Anggap aku bukan atasanmu, saat kita tidak berada dalam pe
"Terima kasih untuk pasta yang kau berikan ini. Enak sekali. Kau memang hebat dalam urusan memasak. Kau salah satu terbaik."Aline cepat membalas dengan senyumannya walaupun terkesan dipaksakan. Ujung-ujung bibir terasa kaku untuk digerakkan ke atas.Harusnya senang menerima pujian dari pria yang ia sukai. Namun, justru kecemasanlah melanda. Ketenangan terus terkikis.Suasana hati masih belum mampu kembali seperti semula, sebab tidak bisa melupakan kejadian kemarin dengan sang atasan.Ya, tentang pertengkarannya dengan Darmo Vandara, sahabat baik sekaligus juga atasan di kantor. Ancaman dan persyaratan yang diminta oleh pria itu masih diingatnya jelas.Jelas ada kecemasan jika sang atasan akan benar-benar merealisasikan apa yang telah dikatakan. Sangat dipercayai pria itu dapat mewujudkan dengan berbagai cara."Kau kenapa, Aline? Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau melamun?"
Pikiran Aline semakin penuh. Sosok Darmo Vandara terus terbayang di dalam benaknya. Atasan yang sekaligus juga dianggap sebagai teman cukup dekat, berbuat hal yang tidak pantas. Simpulan tersebut muncul di kepala.Aline pun masih belum bisa percaya akan perlakuan tak menyenangkan ia dapatkan dari Darmo Vandara. Seperti buah mimpi buruk. Tetapi, kenyataan tak menyenangkan ini memang sedang terjadi kepada dirinya.Cumbuan kasar Darmo Vandara kian tidak terkendali. Mulutnya terpaksa harus dibuka.Ruang gerak pun tambah terbatas. Namun, pantang untuk menyerah begitu saja.Perlawanan sudah terus ditunjukkan. Namun, tenaga yang telah dikerahkan dengan sepenuhnya, tak dapat membuahkan hasil apa pun. Tenaga kalah jauh dari Darmo Vandara. Pria itu berhasil menguasai.Semakin dirinya mencoba menunjukkan pemberontakan, maka Darmo Vandara juga memerlihatkan kekuatan besar juga dalam menghalangi. Ia tidak akan pernah menang.Pada akhirnya, Aline membiarkan