Darmo Vandara sudah menghabiskan tiga gelas vodka guna menghindari kebosanan karena menunggu detektif sewaannya yang tidak kunjung datang. Ia tidak akan marah sebab sudah diberitahukan alasan Marvell Wiser datang terlambat. Bisa dipahami.
Hanya saja, informasi yang telah berhasil dikumpulkan sang detektif membuatnya jadi semakin penasaran. Bahkan, cenderung ia sangat ingin mengetahui keseluruhan data berkaitan dengan Fantino Creo yang masih sebagai dugaan belaka. Dan, sang detektif sudah menemukan bukti nyata beberapa hari belakangan. Sungguh, menyenangkan.
"Kenapa kau menyuruhku ke sini?"
Segenap pemikiran dan simpulan muncul di dalam kepala Darmo Vandara pun seketika hilang karena pertanyaan dilontarkan oleh seseorang. Wanita yang memang dinantinya untuk datang juga. Benar, Aline Whitney.
Darmo Vandara segera memasang seringai lebar pada wajah dan melemparkan tatapan tajam ke arah Aline. Wanita itu berdiri di hadapannya, tepat dibalik meja kerja.
"Aku kira kau tidak akan mau datang ke sini untuk memenuhi permintaanku." Darmo berujar dengan nadanya yang datar.
"Tapi, baguslah kau masih sadar bahwa aku adalah atasanmu di kantor. Dan, kau harus menuruti apa perintahku," imbuhnya. Suara lebih dibuat sinis. Begitu pun ekspresinya.
Masih dipandang lekat sosok Aline. Wanita itu juga belum mengalihkan fokus darinya. Menatap dengan lekat. Seperti sedang ingin menggali sesuatu lewat matanya.
Darmo tidak cukup yakin wanita itu akan bisa menebak ataupun menerjemahkan isi kepalanya. Justru, ia yang mampu melihat kecemasan nyata dalam sepasang mata milik Aline. Tak bisa disembunyikan darinya.
"Kau memikirkan apa, Miss Whitney?"
"Memikirkan tujuanmu menyuruhku ke sini. Kau pasti menugaskan hal tidak biasa."
"Kau memang staf yang baik. Aku senang dengan kepekaanmu. Aku tidak perlu repot lagi untuk memberitahumu secara detail."
"Kau harusnya mendapat pendamping baik sepertimu juga." Darmo menekan setiap kata-kata yang dilontarkannya.
"Tapi, aku rasa kau salah mencintai orang. Ya, dia bukan pria yang pantas untukmu," imbuhnya dengan nada semakin sinis.
"Berhentilah bicara omong kosong!" Aline merespons cepat, berseru cukup kencang.
"Kau tidak akan berhak menilainya seperti itu. Lagipula, aku yang menjalani. Tidak kau. Berhentilah ikut campur untuk urusan pribadiku lagi." Suara ditinggikan Aline lagi.
Darmo Vandara merasa terpancing dengan tanggapan Aline. Ia bergegas bangun dari kursi. Berjalan cepat pula mendekat ke arah Aline berada. Tatapannya hanya terpusat pada sosok wanita itu yang memandangnya dalam sorot marah begitu tampak nyata.
Tepat setelah berdiri di hadapan Aline, dua tangan Darmo Vandara langsung diletakkan di masing-masing bahu wanita itu. Hanya dicengkram dengan pelan, tak terlalu kuat.
"Aku berhak ikut campur urusanmu, Miss Whitney. Aku tidak suka kau bersama pria yang lebih buruk daripada diriku. Kau tidak pantas mendapatkan orang yang buruk. Kau harusnya memikirkan dirimu sendiri," balas Darmo Vandara dalam nada kian dingin.
"Sudah aku katakan tadi! Kau jangan mudah menilai orang buruk! Dia mungkin tidaklah kaya seperti kau!"
"Tapi, aku tahu dia cukup baik. Sampai kapanpun kau berusaha untuk memperlihatkan keburukkannya. Aku tidak akan peduli. Lakukan apa saja maumu."
Sedetik selepas Aline berbicara, wanita itu melepaskan kasar kedua tangannya. Ia pun menerima. Bahkan, melangkah mundur. Ingin menjaga jarak sebentar. Namun, tidak dilepaskan pandangan dari sosok Aline. Ia sudah menyiapkan jawaban untuk wanita itu. Tetapi, dipilih menunda mengeluarkan.
"Satu yang pasti juga, Mr. Vandara. Aku tidak akan pernah dapat membalas perasaanmu. Tolong, jangan ganggu kehidupanku lagi. Aku berhak memilih siapa yang ingin aku cintai. Kau jangan pernah menghalangi."
"Ckckck." Darmo Vandara berdecak sinis. Ia sudah berusaha tak emosi. Namun, pada akhirnya berhasil untuk dipancing.
"Kau sangat yakin dia pantas kau jadikan kekasih atau suamimu? Bagaimana jika kau hanya dibutakan cinta, tanpa bisa melihat fakta dan kenyataan bahwa dia busuk?"
Kembali, dipegang kedua lengan Aline. Erat. Tetapi, tidak mencengkram. Bagaimanapun juga ia masih bisa berpikir dengan jernih dan akal sehat tetap bekerja.
Aline adalah wanita yang dicintainya. Tak akan dilakukan hal-hal dapat melukai wanita itu secara fisik. Jika sampai terjadi, maka dirinya skan merasa sangat bersalah. Sebisa mungkin berupaya berhati-hati dalam bertindak dan bersikap.
"Bisakah kau jangan menjadi wanita yang bodoh saat kau sedang mencintai seora--"
"Bukti apa lagi kau punya, Mr. Vandara?"
Darmo menyeringai. Kontras akan tatapan kedua matanya yang kian menajam memandang Aline. "Bisakah kau jangan buru-buru menagihku?"
"Aku punya semua bukti yang sangat bisa membuatku menjebloskan Mr. Creo ke penjara."
Darmo Vandara pun langsung menyerahkan semua bukti yang sudah dikumpulkan oleh detektif sewaannya kepada Aline. Tentang kecurangan dan juga penggelapan dana dilakukan Fantino Creo di perusahaan.Aline pun menjadi titik fokus utama dari pandangannya. Terus diperhatikan wanita itu yang sedang membaca satu demi satu dokumen dengan detail dan serius.Ekspresi Aline pun tidak luput diamatinya. Tampak ketegangan sangat nyata. Beberapa detik lalu, bahkan Aline terlihat terkejut."Bagaimana menurutmu, Miss Whitney?"Darmo Vandara tak bisa lagi lebih lama larut dalam kesunyian. Diputuskan melontarkan pertanyaan. Namun, Aline tak menjawab."Data-data yang sangat menakjubkan bukan? Aku tidak salah menilai. Instingku ternyata benar. Aku sudah menduga dia bukanlah orang baik seperti dugaanmu.""Ataupun pantas menjadi pria idaman."Setelah melontarkan kata demi katanya bernada sinis, Darmo Vandara langsung saja melemparkan kembali tatapan tajam ke
Darmo Vandara pun menambah laju ketika berjalan dengan kedua kakinya menuju ke sebuah areal khusus untuk menerima tamu di vila pribadinya. Kurang dari dua meter lagi, ia akan mencapai pintu besar ruangan.Dan, tidak sampai 20 detik, Darmo Vandara telah berhasil mendorong daun pintu tanpa berhenti melangkah. Langsung berjalan ke dalam dengan raut wajah yang serius.Sosok seorang wanita berparas tidak cukup cantik tengah tersenyum terkesan dipaksa manis, menyambutnya. Ditambah pakaian yang dikenakan seksi hingga dapat secara jelas memerlihatkan lekuk tubuh wanita itu.Bagi Darmo Vandara, pemandangan tengah tersaji di hadapannya tak mampu langsung menciptakan gairah. Ia masih menjadi pria yang normal dengan hasrat tinggi jika telah dirangsang. Dan, wanita itu tak berhasil.Ya, gagal dalam membuatnya tertarik. Tentu keinginan lebih pun tak ada. Hanya perlu menuntaskan rencana awal yang dirancang. Darmo Vandara sangat yakin akan mampu mendapatkan informasi diingin
"Jika kau masih meragukan semua foto yang aku berikan ini. Aku akan memanggil ahli yang mahir dalam ilmu teknologi untuk memastikan jika aku tidak memanipulasi."Darmo Vandara langsung saja membungkam mulutnya, setelah menyelesaikan ucapan. Tak ada lagi yang hendak diucapkan. Hanya menunggu reaksi akan diberikan oleh Aline Whitney atas ide cemerlangnya tadi.Darmo Vandara tentu ingin mendapat cepat respons setuju wanita itu. Namun, tak bisa sesuai kehendaknya jika melihat bagaimana Aline masih menunjukkan pengabaian. Ia yakin tidak dilakukan sengaja, kali ini.Darmo Vandara menduga bahwa wanita itu belum mampu menghilangkan keterkejutan atas sejumlah foto yang ditunjukkan olehnya beberapa menit lalu. Tampak sangat nyata di sepasang mata indah Aline yang masih saja membulat. Ia memerhatikan dengan teliti."Bagaimana menurutmu tentang rencanaku tadi? Kau setuju atau tidak? Bisakah kau memberikan aku jawaban secepatnya? A--""Aku memercayaimu. Kau berkata
"Aku berharap dia tidak ada di dalam," ujar Aline dengan kesungguhan sangat besar.Tarikan napas panjang diambil. Dibuangnya secara cepat dan kasar. Hal tersebut wanita itu lakukan untuk menetralkan detak dari jantungnya semakin mengencang saja.Bukan karena perasaan yang muncul ketika sedang berada di hadapan pria disukainya. Melainkan, menahan emosi dan kekecewaan bersamaan. Memang masih menyangkut satu pria. Benar, tentang Fantino Creo."Aku harus memastikan supaya aku dapat mengambil kesimpulan akan bagaimana."Tepat setelah menyelesaikan ucapan, Aline pun bergegas keluar dari kendaraan roda empatnya. Ditutup pintu tak sabaran. Cukup kencang. Walau demikian, Aline kembali berhenti sejenak. Menyenderkan punggung di mobil mininya yang berwarna hitam.Kedua mata ditutup juga. Hanya sebentar saja. Tidak sampai satu menit. Kemudian, ia berdiri tegap kembali. Arah pandang sudah dipusatkan ke arah bar yang hendak dirinya datangi. Banyak orang keluar dan ma
Aline tidak bisa mencegah air mata untuk keluar semakin deras, sejak masuk ke dalam mobil. Ditumpahkan dengan isakan cukup kencang. Namun, tidak takut jika akan ada orang yang mendengar. Mustahil rasanya.Dada turut sesak dikarenakan kekecewaan mendalam. Ingin Aline tidak memercayai semua yang baru dilihatnya. Bahkan, ia juga hendak menganggap pengakuan Fantino tak pernah didengar. Tetapi, harapan kontras akan kenyataan yang sudah dirinya terima.Setiap wanita pasti merasakan hal seperti tengah ia alami. Patah hati yang hanya bisa ditumpahkan dengan tangisan deras. Tidak ada pilihan lain. Tak mungkin bagi dirinya untuk marah di depan Fantino. Aline masih menjaga harkat dan juga martabatnya."Kau payah! Kau menyedihkan, Miss Whitney."Darmo Vandara menyeringai lebih lebar, walaupun belum memperoleh perhatian dari Aline. Terus saja ditatap wanita itu. Ia tahu Aline masih menangis. Kedua bahu bergetar tertangkap jelas oleh matanya. Jika nanti Aline mengelak, dir
Aline sudah ingin tahu cita rasa makanan yang ia buat, sejak Darmo Vandara menyuap sendok pertama ke dalam mulut.Dipandang sang atasan dengan begitu lekat, bahkan tanpa berkedip. Tujuannya tentu agar bisa melihat ekspresi Darmo Vandara."Bagaimana menurutmu? Apakah enak?"Darmo Vandara segera mengangguk, tepat setelah Aline Whitney menyelesaikan pertanyaan. Ia imbuhkan kuluman senyum sembari masih terus mengunyahkan pasta di dalam mulutnya agar bisa cepat ditelan.Ditatap sosok Aline dengan lekat. Pancaran mata yang sangat jelas menunjukkan kasih sayang besar. Memang lebih tepat terlihat seperti cinta penuh akan gairah juga. Wajah cantik wanita itu sungguh memikat."Enak pasta yang kau buat. Aku suka. Kau selalu pandai membuat makanan lezat. Kau berbakat." Darmo memuji dengan alunan suara yang begitu lembut."Terima kasih, Mr. Vandara."Aline memperlebar senyuman. "Hmm, rasa makananku biasa saja dan tidak istimewa. Kau juga selalu saja meny
Pikiran Aline semakin penuh. Sosok Darmo Vandara terus terbayang di dalam benaknya. Atasan yang sekaligus juga dianggap sebagai teman cukup dekat, berbuat hal yang tidak pantas. Simpulan tersebut muncul di kepala.Aline pun masih belum bisa percaya akan perlakuan tak menyenangkan ia dapatkan dari Darmo Vandara. Seperti buah mimpi buruk. Tetapi, kenyataan tak menyenangkan ini memang sedang terjadi kepada dirinya.Cumbuan kasar Darmo Vandara kian tidak terkendali. Mulutnya terpaksa harus dibuka.Ruang gerak pun tambah terbatas. Namun, pantang untuk menyerah begitu saja.Perlawanan sudah terus ditunjukkan. Namun, tenaga yang telah dikerahkan dengan sepenuhnya, tak dapat membuahkan hasil apa pun. Tenaga kalah jauh dari Darmo Vandara. Pria itu berhasil menguasai.Semakin dirinya mencoba menunjukkan pemberontakan, maka Darmo Vandara juga memerlihatkan kekuatan besar juga dalam menghalangi. Ia tidak akan pernah menang.Pada akhirnya, Aline membiarkan
"Terima kasih untuk pasta yang kau berikan ini. Enak sekali. Kau memang hebat dalam urusan memasak. Kau salah satu terbaik."Aline cepat membalas dengan senyumannya walaupun terkesan dipaksakan. Ujung-ujung bibir terasa kaku untuk digerakkan ke atas.Harusnya senang menerima pujian dari pria yang ia sukai. Namun, justru kecemasanlah melanda. Ketenangan terus terkikis.Suasana hati masih belum mampu kembali seperti semula, sebab tidak bisa melupakan kejadian kemarin dengan sang atasan.Ya, tentang pertengkarannya dengan Darmo Vandara, sahabat baik sekaligus juga atasan di kantor. Ancaman dan persyaratan yang diminta oleh pria itu masih diingatnya jelas.Jelas ada kecemasan jika sang atasan akan benar-benar merealisasikan apa yang telah dikatakan. Sangat dipercayai pria itu dapat mewujudkan dengan berbagai cara."Kau kenapa, Aline? Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau melamun?"
Aline tidak bisa mencegah air mata untuk keluar semakin deras, sejak masuk ke dalam mobil. Ditumpahkan dengan isakan cukup kencang. Namun, tidak takut jika akan ada orang yang mendengar. Mustahil rasanya.Dada turut sesak dikarenakan kekecewaan mendalam. Ingin Aline tidak memercayai semua yang baru dilihatnya. Bahkan, ia juga hendak menganggap pengakuan Fantino tak pernah didengar. Tetapi, harapan kontras akan kenyataan yang sudah dirinya terima.Setiap wanita pasti merasakan hal seperti tengah ia alami. Patah hati yang hanya bisa ditumpahkan dengan tangisan deras. Tidak ada pilihan lain. Tak mungkin bagi dirinya untuk marah di depan Fantino. Aline masih menjaga harkat dan juga martabatnya."Kau payah! Kau menyedihkan, Miss Whitney."Darmo Vandara menyeringai lebih lebar, walaupun belum memperoleh perhatian dari Aline. Terus saja ditatap wanita itu. Ia tahu Aline masih menangis. Kedua bahu bergetar tertangkap jelas oleh matanya. Jika nanti Aline mengelak, dir
"Aku berharap dia tidak ada di dalam," ujar Aline dengan kesungguhan sangat besar.Tarikan napas panjang diambil. Dibuangnya secara cepat dan kasar. Hal tersebut wanita itu lakukan untuk menetralkan detak dari jantungnya semakin mengencang saja.Bukan karena perasaan yang muncul ketika sedang berada di hadapan pria disukainya. Melainkan, menahan emosi dan kekecewaan bersamaan. Memang masih menyangkut satu pria. Benar, tentang Fantino Creo."Aku harus memastikan supaya aku dapat mengambil kesimpulan akan bagaimana."Tepat setelah menyelesaikan ucapan, Aline pun bergegas keluar dari kendaraan roda empatnya. Ditutup pintu tak sabaran. Cukup kencang. Walau demikian, Aline kembali berhenti sejenak. Menyenderkan punggung di mobil mininya yang berwarna hitam.Kedua mata ditutup juga. Hanya sebentar saja. Tidak sampai satu menit. Kemudian, ia berdiri tegap kembali. Arah pandang sudah dipusatkan ke arah bar yang hendak dirinya datangi. Banyak orang keluar dan ma
"Jika kau masih meragukan semua foto yang aku berikan ini. Aku akan memanggil ahli yang mahir dalam ilmu teknologi untuk memastikan jika aku tidak memanipulasi."Darmo Vandara langsung saja membungkam mulutnya, setelah menyelesaikan ucapan. Tak ada lagi yang hendak diucapkan. Hanya menunggu reaksi akan diberikan oleh Aline Whitney atas ide cemerlangnya tadi.Darmo Vandara tentu ingin mendapat cepat respons setuju wanita itu. Namun, tak bisa sesuai kehendaknya jika melihat bagaimana Aline masih menunjukkan pengabaian. Ia yakin tidak dilakukan sengaja, kali ini.Darmo Vandara menduga bahwa wanita itu belum mampu menghilangkan keterkejutan atas sejumlah foto yang ditunjukkan olehnya beberapa menit lalu. Tampak sangat nyata di sepasang mata indah Aline yang masih saja membulat. Ia memerhatikan dengan teliti."Bagaimana menurutmu tentang rencanaku tadi? Kau setuju atau tidak? Bisakah kau memberikan aku jawaban secepatnya? A--""Aku memercayaimu. Kau berkata
Darmo Vandara pun menambah laju ketika berjalan dengan kedua kakinya menuju ke sebuah areal khusus untuk menerima tamu di vila pribadinya. Kurang dari dua meter lagi, ia akan mencapai pintu besar ruangan.Dan, tidak sampai 20 detik, Darmo Vandara telah berhasil mendorong daun pintu tanpa berhenti melangkah. Langsung berjalan ke dalam dengan raut wajah yang serius.Sosok seorang wanita berparas tidak cukup cantik tengah tersenyum terkesan dipaksa manis, menyambutnya. Ditambah pakaian yang dikenakan seksi hingga dapat secara jelas memerlihatkan lekuk tubuh wanita itu.Bagi Darmo Vandara, pemandangan tengah tersaji di hadapannya tak mampu langsung menciptakan gairah. Ia masih menjadi pria yang normal dengan hasrat tinggi jika telah dirangsang. Dan, wanita itu tak berhasil.Ya, gagal dalam membuatnya tertarik. Tentu keinginan lebih pun tak ada. Hanya perlu menuntaskan rencana awal yang dirancang. Darmo Vandara sangat yakin akan mampu mendapatkan informasi diingin
Darmo Vandara pun langsung menyerahkan semua bukti yang sudah dikumpulkan oleh detektif sewaannya kepada Aline. Tentang kecurangan dan juga penggelapan dana dilakukan Fantino Creo di perusahaan.Aline pun menjadi titik fokus utama dari pandangannya. Terus diperhatikan wanita itu yang sedang membaca satu demi satu dokumen dengan detail dan serius.Ekspresi Aline pun tidak luput diamatinya. Tampak ketegangan sangat nyata. Beberapa detik lalu, bahkan Aline terlihat terkejut."Bagaimana menurutmu, Miss Whitney?"Darmo Vandara tak bisa lagi lebih lama larut dalam kesunyian. Diputuskan melontarkan pertanyaan. Namun, Aline tak menjawab."Data-data yang sangat menakjubkan bukan? Aku tidak salah menilai. Instingku ternyata benar. Aku sudah menduga dia bukanlah orang baik seperti dugaanmu.""Ataupun pantas menjadi pria idaman."Setelah melontarkan kata demi katanya bernada sinis, Darmo Vandara langsung saja melemparkan kembali tatapan tajam ke
Darmo Vandara sudah menghabiskan tiga gelas vodka guna menghindari kebosanan karena menunggu detektif sewaannya yang tidak kunjung datang. Ia tidak akan marah sebab sudah diberitahukan alasan Marvell Wiser datang terlambat. Bisa dipahami.Hanya saja, informasi yang telah berhasil dikumpulkan sang detektif membuatnya jadi semakin penasaran. Bahkan, cenderung ia sangat ingin mengetahui keseluruhan data berkaitan dengan Fantino Creo yang masih sebagai dugaan belaka. Dan, sang detektif sudah menemukan bukti nyata beberapa hari belakangan. Sungguh, menyenangkan."Kenapa kau menyuruhku ke sini?"Segenap pemikiran dan simpulan muncul di dalam kepala Darmo Vandara pun seketika hilang karena pertanyaan dilontarkan oleh seseorang. Wanita yang memang dinantinya untuk datang juga. Benar, Aline Whitney.Darmo Vandara segera memasang seringai lebar pada wajah dan melemparkan tatapan tajam ke arah Aline. Wanita itu berdiri di hadapannya, tepat dibalik meja kerja."Aku
"Sebuah kehormatan bagi saya bisa makan bersama dengan Mr. Vandara lagi siang ini."Darmo Vandara menaikkan salah satu ujung bibirnya. "Kau terlalu berlebihan.""Saya senang saja bisa makan siang bersama Anda, Mr. Vandara. Belum tentu pegawai lain bisa mendapatkan kesempatan bagus seperti saya peroleh hari ini."Sudut bibir diangkat lagi semakin tinggi oleh Darmo Vandara. Membentuk senyum yang terkesan angkuh. Memang disengaja.Arah pandangnya lebih banyak ke sosok Aline, dibanding Fantino. Walaupun, dirinya terlibat percakapan dengan pemuda itu."Banyak pegawai yang ingin bisa satu meja bersama bos utama perusahaan, yakni Anda, Mr. Vandara. Saya termasuk beruntung."Dipusatkan sebentar fokusnya pada Fantino. Kepala dianggukan. "Baiklah. Kau anggap saja sebagai sebuah keberuntungan.""Tapi, jangan sungkan denganku. Kau sudah lama bekerja di perusahaan. Rileks saja. Anggap aku bukan atasanmu, saat kita tidak berada dalam pe
"Terima kasih untuk pasta yang kau berikan ini. Enak sekali. Kau memang hebat dalam urusan memasak. Kau salah satu terbaik."Aline cepat membalas dengan senyumannya walaupun terkesan dipaksakan. Ujung-ujung bibir terasa kaku untuk digerakkan ke atas.Harusnya senang menerima pujian dari pria yang ia sukai. Namun, justru kecemasanlah melanda. Ketenangan terus terkikis.Suasana hati masih belum mampu kembali seperti semula, sebab tidak bisa melupakan kejadian kemarin dengan sang atasan.Ya, tentang pertengkarannya dengan Darmo Vandara, sahabat baik sekaligus juga atasan di kantor. Ancaman dan persyaratan yang diminta oleh pria itu masih diingatnya jelas.Jelas ada kecemasan jika sang atasan akan benar-benar merealisasikan apa yang telah dikatakan. Sangat dipercayai pria itu dapat mewujudkan dengan berbagai cara."Kau kenapa, Aline? Apa yang sedang kau pikirkan sampai kau melamun?"
Pikiran Aline semakin penuh. Sosok Darmo Vandara terus terbayang di dalam benaknya. Atasan yang sekaligus juga dianggap sebagai teman cukup dekat, berbuat hal yang tidak pantas. Simpulan tersebut muncul di kepala.Aline pun masih belum bisa percaya akan perlakuan tak menyenangkan ia dapatkan dari Darmo Vandara. Seperti buah mimpi buruk. Tetapi, kenyataan tak menyenangkan ini memang sedang terjadi kepada dirinya.Cumbuan kasar Darmo Vandara kian tidak terkendali. Mulutnya terpaksa harus dibuka.Ruang gerak pun tambah terbatas. Namun, pantang untuk menyerah begitu saja.Perlawanan sudah terus ditunjukkan. Namun, tenaga yang telah dikerahkan dengan sepenuhnya, tak dapat membuahkan hasil apa pun. Tenaga kalah jauh dari Darmo Vandara. Pria itu berhasil menguasai.Semakin dirinya mencoba menunjukkan pemberontakan, maka Darmo Vandara juga memerlihatkan kekuatan besar juga dalam menghalangi. Ia tidak akan pernah menang.Pada akhirnya, Aline membiarkan