Usapan lembut dan penuh pemujaan di bibir Tatu membuat makian yang sempat terlontar teredam oleh perlakuan manis pria yang selalu menjadi lawan berdebatnya itu. Ya, semenjak berkenalan di kediaman sahabatnya Lara beberapa bulan lalu. Tak pernah ada kata akur dari dia dan Josh. Selalu ada hal yang membuat mereka berdebat, bagi sahabatnya dan orang-orang di sekitar mereka itu adalah hal lucu.
Namun tidak untuk Tatu, perdebatan itu murni karena ia merasa sebal dengan semua tingkah konyol Josh. Tapi sekarang, alat yang biasanya melontarkan sanggahan-sanggahan dan ucapan tanda penolakan argumen dari masing-masing sedang bergelut menuntaskan rasa penasaran dan dahaga.
Ternyata usapan tadi hanya selingan semata, buktinya dua bibir itu masih saling melumat dan mencecap rasa manisnya. Benar kata orang, setan-setan memang gencar melakukan tu
Tatu mengerjap, ingatan tentang awal mula hubungan layaknya suami istri berkedok sepasang kekasih antara dia dan Josh membuatnya merindukan ayah dari calon anaknya. Tak dipungkiri, Josh selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah tak hanya soal materi kuliah, materi berupa uang pun lelaki itu sangat royal. Dan jangan lupakan profesinya yang seorang pengacara, segala permasalahan yang ia hadapi. Josh selalu bisa memberikan solusi, tapi tidak untuk dirinya sendiri. Lihat saja, sekarang ia menjadi luntang lantung karena keputusan pria itu. Niat hati ingin menjauh dan menenangkan diri. Tetap saja bayangan pria itu mengekori kemanapun ia bersembun
Tatu merasakan sesuatu yang tidak nyaman di antara kakinya. Rasa yang mengganggu, seperti akan meledak juga rasa panas. Sapuan kasar kadang lembut, membuat tidurnya terasa seperti melayang. “Huhhh.” Tatu mencoba menyingkirkan sesuatu di antara kakinya, tapi saat merasakan surai-surai di jarinya. Tatu tersentak lalu bangkit untuk duduk, tapi karena keterkejutannya membuat perutnya terasa tegang dan kaku. hingga ia merintih. “Auhhhh!” rintihan nyaring membuat Josh merangkak dengan panik. “Hunny, what happend? Ada yang sakit?” Josh mengusap pelipis hingga pipi kekasihnya. Lalu pandangannya tertuju pada tangan Tatu yang memegang perutnya, Josh mengusap lembut perut telanjang wanitanya. “Kamu ngapain di sini? Sejak kapan?” tanya Tatu dengan desisan menahan rasa tak nyaman di perutnya. “Sejak tengah malam tadi, aku mengkhawatirkanmu. Kamu memblokir nomorku hum?” tanya Josh menempelkan keningnya pada kening Tatu. “Apa yang kau lakukan tadi Josh?” ucap Tatu pelan menatap iris
“Apa yang menjadi masalahmu, Ania? Kau hanya ikut denganku ke negarku, kita tinggal bersama membesarkan anak kita. Its easy, right?” Josh merangkum wajah Tatu, mencoba meyakinkan kekasihnya. Ia hanya ingin hidup bersama agar bisa menjaga keduanya, bertanggung jawab seperti apa yang Tatu inginkan. Tapi tidak untuk pernikahan, hatinya belum pada tahap itu. Menghabiskan seumur hidup dengan orang yang sama belum menjadi target dan rencana dalam hidupnya. Tatu mencoba tetap waras, ia berpikir. Sebenarnya apa alsan Josh begitu kukuh tak ingin menikah. Selama tiga tahun kebersamaan mereka, tak pernah sekalipun ada pembahsan pribadi tentang laki-laki itu. Pria yang otaknya selalu di selangkangan jika sudah dekat dengannya. Dan pagutan lembut yang memabukkan kembali ia rasakan, dengan spontan ia memejamkan mata membalas setiap kuluman yang sebenarnya ia rindukan. Ah hormon sialan. Josh memang pintar mengobrak abrik hati dan jiwanya. Ia selalu kalah, tapi tidak kali ini. Tatu mendoron
Tatu mematut dirinya di depan cermin yang tertempel di lemari pakaiannya. Perutnya sudah terlihat membesar, celana kerjanya sudah tidak bisa ia kancingkan lagi. Gadis itu duduk di ranjang yang berantakan. Menghempaskan badan dengan kasar, ia tak peduli dengan kandungannya. Rasa ingin menyerah dan menggugurkan saja, tapi teringat pesan Pak Wawan dan Ibu Anita membuatnya dilema. Jemari lentik tatu meraih ponsel pintarnya, membuka aplikasi online shop untuk mencari celana kerja yang ban perutnya menggunakan karet. Namun matanya terpaku pada gurita melahirkan juga bengkung. Mengelus perutnya yang tak lagi terlihat rata, Tatu segera memasukkan beberapa item yang fungsinya sama. Josh bilang uang tidak masalah bukan? Tatu menggunakan uang di rekening kekasihnya itu untuk memborong alat untuk membuat perut wanita terlihat langsing lagi. Senyum terbit di bibir tipisnya, dia segera membuka lemari. Lalu mencari korset yang pernah Lara berikan. Ternyata alat yang sering ia gunakan untuk menahan
Lara berjalan gontai ke ruangan suaminya -Gary- yang berada di lantai dua. Ia hanya tersenyum samar pada rekan yang menyapanya. Jam kerja sudah dimulai, tapi kegelisahannya membuat Lara memaksakan diri untuk mengunjungi sang suami. Lara mengetuk pintu putih di hadapannya. Setelah mendengar sahutan untuk masuk, Lara dengan tak sabar memutar gagang monocrom dingin itu. “Sweetie? Ada apa?” Gary yang tadi sempat memasang muka suntuk dan penuh dengan tekanan, memasang mimik bahagia. Setidaknya, penyemangatnya ada di ruangan itu menemuinya. Gary berdiri dan menghampiri Lara, ia membantu menutup pintu dan mengunci. “Mas, sibuk ya? Aku mau cerita dikit. Tapi kalau Mas Gary sibuk terus lagi males dengerin, ntar malam aja deh. Peluk aja boleh?” Lara mengulurkan tangan dan memeluk tubuh tegap suaminya. Gary membalas pelukan Lara, mengelus rambut lurus dan lembut itu dengan sayang. “Aku senang kamu datang, kita bisa bicara sebentar. Pekerjaanmu banyak tidak hari ini?” tanya Gary mengurai peluk
Tatu hanya bisa menghela napas lelah, saat ia menginjakkan kaki di garasi rumah sahabatnya -Lara-. Josh sudah duduk nyaman di kursi santai di samping kolam renang memangku Sean dengan sebuah buku di tangannya. "Onty Tatu!" Sean berteriak kegirangan, lalu turun dari pangkuan Josh berlari ke arah Tatu yang masih berjalan pelan menuju bagian dalam rumah. “Gantengnya Onty!” Tatu menunduk menyambut anak pertama Lara lalu menggendongnya dan menciumi pipi putih yang memerah itu dengan gemas, membuat Sean tertawa cekikikan. Josh yang melihat merasa geram, kekasihnya itu sedang mengandung, tapi dengan santai menggendong Sean yang terlihat berat untuk Tatu. “Turunkan Sean, Ania!” Josh bangkit. “Sean rindu sama ontynya uncle Josh
“Singkirkan tanganmu!” ketus Tatu mencoba menepis tangan hangat Josh yang ternyata mampu membakar gairahnya. Ini sudah maghrib, ia tak ingin membuat Lara curiga. “Mau menginap di sini atau di rumah?” tanya Josh tak terpengaruh dengan aura Tatu yang terlihat tak suka. “Aku sudah berjanji pada Lara untuk menginap di sini, tolong hormati keputusanku. Seperti aku yang sudah menghormati keputusanmu.” Tatu bangkit, menuju lemari untuk mengambil handuk. “Hei, keputusan yang mana?” Josh mengekori Tatu, dia sangat merindukan wanita keras kepala itu. Tapi begitu sulit hanya sekedar merengkuhnya, atau setidaknya sebuah ciuman panas. Ah, Josh bisa gila hanya memikirkan Tatu. “Keputusanmu yang tak mau
Tatu tak bisa melukiskan kesedihan Lara sahabatnya, saat ia keluar dari kamar mandi masih mengenakan handuk. Lara masih terpekur di ujung ranjang. Pandangannya menerawang entah kemana. Mukena yang akan dipinjamkan pada Tatu masih ia peluk erat. Tatu segera menuju lemari dan mengambil bajun dan kembali ke kamar mandi untuk memakainya. Saat ia berjalan kembali dan menarik mukena di pelukan Lara, ibu dari Sean dan Sieana itu terperanjat menatap Tatu yang tersenyum lemah. “Walau aku penuh dosa, masih boleh sholat ‘kan, Ra?” tanya Tatu. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu segera membentangkan sajadah dan memakai mukenanya. Hingga sampai rakaat terakhir dan menutup dengan doa singkat. Lara masih setia menunggunya, tanpa ada tatapan cemoohan atau kemarahan. Hanya ada tatapa
Bahu Josh luruh, mendengar bibir mungil Sean berucap seperti itu buatnya pilu. Cintanya tak palsu hanya belitan di tubuhnya begitu kuat hingga tak mampu ia lepas begitu saja. “Tante marah sama Om, jadi bilang begitu,” sambung Sean polos. Bagaimanapun seorang anak kecil tak akan berbohong. Pria tampan itu menatap Lara yang mengendikkan bahu acuh, tak peduli dengan pertanyaan tak tersurat yang dia berikan. “Baiklah, ayo kita pulang. Rumah kalian sudah dibersihkan dan beberapa perabotan harus diganti.” Josh mengangkat tubuh dua keponakannya ke atas lengan kokohnya dan berjalan terlebih dahulu.“Madam Emily tidak tau kami disini, kan?” Lara ingin memastikan mertua bangsawannya tak mendengar kabar kunjungan dadakan itu.Josh menoleh dan menggeleng pelan. “Sebaiknya Aun Emy tak tahu, dia akan sangat mengerikan jika tahu kalian mencari Gary.” Tangannya meraih remote mobil dan memencetnya tetap dengan tenang membopong Sean di leher dan Siena di depan. Mirip bule kebanyakan yang tanpa beban
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Tatu sudah dewasa, paham dengan sentuhan pria dan cara menikmatinya. Pernah sangat terpedaya hingga dia lupa daratan dan berakhir menanggung penderitaan.Kini, ketika telapak tangan dengan sedikit rasa kasar membelai permukaan kulit paha telanjangnya, ia merasa kembali seperti masa-masa itu. Di mana dia tak bisa lagi mengendalikan diri, hanyut dalam kenikmatan yang nyatanya membinasakan "Lo kalau sange nggak usah ke sini," tepisnya pada tangan Arga yang mendarat di atas paha. "Bikin aja minum sendiri, gue mau sholat, mau banyak-banyak tobat!" Sarkasnya mendorong tubuh tegap di belakangnya."Ta," sesal Arga. "B-buk-" debaman di pintu kamar yang hanya berada di belakang mereka membuat pria itu berjenggit menyesal dengan setan yang membisiki telinga beberapa menit lalu.Arga berbalik menghadap kitchen set dan menuangkan air panas yang sudah dimasakkan oleh Tatu ke mug dan membuat sendiri minumannya yang berupa kopi instan.Dia akan menunggu perempuan hamil itu untuk keluar dan meminta m
Dia pernah berharap menemukan pangeran yang bisa meminang tanpa kepingan emas dan permata. Tak pernah bermimpi menjadi ratu dan hidup serba bermateri. Pintanya pada semoga untuk mereka yang pernah mencoba datang, namun hengkang sebelum berperang sudah ia anggap lekang. Kini harinya semakin menantang, dengan bentangan kenyataan yang tak bisa dibilang indah tapi juga tak menyakitkan. Menjadi penghuni kompleks perumahan cluster nyatanya tak membuat para tetangga itu juga bisa membuat mata dan telinga menggabungkan saja inderanya itu pada satu titik agar tak kepo terhadap rumah tangga orang lain. Tak pernah ikut arisan RT atau kegiatan apapun membuat Tatu seakan adalah penghuni yang wajib dicurigai. Padahal, dia juga sudah membayar iuran dan kewajiban sebagai warga yang baik. Faktanya tetangga yang berjarak beberapa rumah darinya sangat sering berjalan atau sekedar jogging di sekitar rumahnya. Sangat terlihat jika perempuan yang lebih sering mengenakan penutup kepala seperti kupluk itu
Dia selalu sadar diri bukan manusia suci, hadirnya ke dunia pun karena sebuah kesalahan demi hasrat mencapai nikmat duniawi. Tak tahukah mereka dua sejoli yang membuat dia menunjukkan eksistensi bukan hanya menjadi sosok bayi, namun manusia yang sedang mencari kebahagiaan yang hakiki.Selalu tak dipedulikan juga diabaikan. Sekarang pun kini dia dibuang oleh orang tersayang. Ah, dunianya memang kejam. Tapi dia tetap ingin bertahan, walau dalam kubangan ketidakpastian. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya, hingga tak ada keinginan menyakiti diri maupun bunuh diri. Ternyata dia masih punya hati pun nurani yang terkungkung dalam palung yang tak bisa diselami.Tatu sedang bersama kembar pintar yang sedang belajar bersama. Mereka memang masih mengikuti daycare belum sepenuhnya masuk sekolah PAUD atau playgroup. Tapi anak sahabatnya Lara memang seperti sang Daddy yang giat dan sangat cerdas. "Onty, apakah ini bagus?" Sean menunjukkan gambar kastil yang ia lukis menggunakan crayon."Bag
"Tiga bulan lagi?" tanya Tatu tak percaya, sebegitu seriuskah Arga padanya. Rasa haru tentu menyeruak dari sudut hatinya. Dia tak merasa membuat kebaikan selama ini, karena yang dia lakukan hanya menimbun dosa setiap harinya."Kenapa? Gue datang sekalian meminta KTP juga KK lo, 3 bulan cukup ‘kan buat daftar ke KUA?” Arga menanyakan dengan binar bahagia di iris gelapnya. Terlihat sangat antusias dan penuh harap.“Ck, nanti saja. Parkirnya jangan yang jauh-jauh dari supermarket ya, gue gampang capek sekarang.” Tatu tersenyum menoleh ke arah Arga, yang jika dia lihat sebenarnya tampan khas orang Indonesia. Tak diragukan, karena dulu dia menjadi salah satu idola di sekolahnya. Pengakuan kalau pernah menaruh hati padanya bahkan sejak masa pendidikan sebenarnya sulit diterima akal sehatnya, karena Arga yang dulu dikelilingi banyak perempuan cantik dan menarik juga kaya seperti dirinya. Jadi wajar bukan, jika ia memendam sekelumit rasa takut juga khawatir, pria ini hanya akan membalas dend
Dia memang ada karena sebuah kesalahan, dibesarkan tanpa kasih sayang yang dia butuhkan layaknya setiap anak. Tapi dia berusaha menjadi penyayang, menjadi pribadi yang penuh keramahan juga kesabaran. Tapi kini, sekarang dia tak sama lagi wajahnya terlihat jutek dan jauh dari senyuman. keceriaan itu seperti terenggut oleh buasnya kehidupan memangsanya. Dia sedang tak ingin beramah tamah dengan siapapun, sebagaimana semesta juga tak ingin berteman dengannya. Dia berjalan dengan sedikit berlari, menuju parkiran depan pabrik tempat sebuah mobil hitam dengan pinggiran kap depan bertuliskan Rubicon dengan hurup kapital. Arga dengan segera turun, meringis melihat Tatu yang berlari ke arahnya seolah dia remaja yang sedang menyambut kekasihnya datang.“Apaan sih, jangan lari-lari!” Arga berseru pada gadis cantik dengan rambut yang di gulung asal di atas kepalanya.“Ck, cerewet. Ayo pulang!” galak Tatu tak mempedulikan teguran Arga tadi.“Sensitif sekali, Buk. Lama nggak dapet jatah ya?” lede