“Singkirkan tanganmu!” ketus Tatu mencoba menepis tangan hangat Josh yang ternyata mampu membakar gairahnya. Ini sudah maghrib, ia tak ingin membuat Lara curiga.
“Mau menginap di sini atau di rumah?” tanya Josh tak terpengaruh dengan aura Tatu yang terlihat tak suka.
“Aku sudah berjanji pada Lara untuk menginap di sini, tolong hormati keputusanku. Seperti aku yang sudah menghormati keputusanmu.” Tatu bangkit, menuju lemari untuk mengambil handuk.
“Hei, keputusan yang mana?” Josh mengekori Tatu, dia sangat merindukan wanita keras kepala itu. Tapi begitu sulit hanya sekedar merengkuhnya, atau setidaknya sebuah ciuman panas. Ah, Josh bisa gila hanya memikirkan Tatu.
“Keputusanmu yang tak mau
Tatu tak bisa melukiskan kesedihan Lara sahabatnya, saat ia keluar dari kamar mandi masih mengenakan handuk. Lara masih terpekur di ujung ranjang. Pandangannya menerawang entah kemana. Mukena yang akan dipinjamkan pada Tatu masih ia peluk erat. Tatu segera menuju lemari dan mengambil bajun dan kembali ke kamar mandi untuk memakainya. Saat ia berjalan kembali dan menarik mukena di pelukan Lara, ibu dari Sean dan Sieana itu terperanjat menatap Tatu yang tersenyum lemah. “Walau aku penuh dosa, masih boleh sholat ‘kan, Ra?” tanya Tatu. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu segera membentangkan sajadah dan memakai mukenanya. Hingga sampai rakaat terakhir dan menutup dengan doa singkat. Lara masih setia menunggunya, tanpa ada tatapan cemoohan atau kemarahan. Hanya ada tatapa
“Kamu boleh menghajar atau memukulku, Gar. Sampai kapan kamu akan menyembunyikan masalahmu dari Lara? Dia berhak tahu, harus bersiap dengan segala kemungkinan baik dan buruknya.” Josh menyeka sudut bibirnya yang terasa asin. Bibirnya sedikit robek karena pukulan dari Gary. “Pukulan itu bukan untuk masalahku! Aku memang sudah berniat mengatakan pada istriku. Itu hadiah karena kamu tak mau bertanggung jawab pada Tatu!” seru Gary.“Aku mau bertanggung jawab! Aku mau mengajaknya hidup bersama, semua yang Ania butuhkan aku yang akan menanggungnya. Tapi asal kau tahu, Ania tidak mau. Dia bersikeras ingin membesarkan anak kami sendiri,” ucap Josh membela diri.“Aku ingin dinikahi Josh, bukan diajak kumpul kebo!” Tatu ikut tersulut emosinya. Dia berdiri menantang Josh, matany
Pada tikaman pilu yang ia rasakan sudah semakin beradu,Tatu tak akan lagi berharap semarak akan melagu. Hatinya sudah cukup tersayat-sayat maka ia enggan meratap. Nelangsanya pun kian merintihkan derita. Ia tak akan lagi mengharap semburat merah muda, cukup pada jingga yang menaungi jiwa. Ia akan terima pada setiap duka maupun nestapa yang memang setia menyelimutinya sejak dulu kala. Pada dinding putih nan bersih yang tanpa cela, iris matanya menumbukkan tanya. Ia yang hanya setitik noda haruskan merasa dengki dengan kemurnian yang terasa menusuk mata di hadapannya. Deru mobil di luar jendela mengalihkan perhatiannya. Ia tatap mobil sedan keluaran Jerman itu yang melaju kencang. Ada bisikan tak kasat mata yang menginginkannya menentang semesta. Ia yang tak berdaya tak mungkin menutup mata.Pada setiap
Baru petang tadi mereka bertengkar, yang melibatkan sahabat mereka berdua. Josh menegakkan badannya, menurunkan kaki mencoba memastikan jika matanya tidak salah melihat. Wanita pujaannya ada di sini. Dam! Aku tak bermimpi, ‘kan? Josh mengerang dalam hati.“Hunny, Ania, Sayang?” Josh bangkit berjalan tergesa memutari meja kerjanya yang terasa mengganggu. Ia memicing dengan senyum mengembang menyiratkan kebahagiaan. Gegas berlutut di depan perempuan yang selalu memakai baju santai tak mempedulikan penampilannya.“Aku ingin bertanya Josh,” kata Tatu tanpa berbasa-basi. Rasa penasaran dengan kasus suami sahabatnya yang membawanya nekat menemui pria-nya, atau lelaki
Josh semakin mengeratkan dekapan, perasaannya pada wanita di pelukan itu tak bisa tergambarkan. Semakin menyesakkan setiap hari, tapi entah mengapa ia belum mempunyai keberanian untuk menguraikan semua. Menjabarkan setiap warna yang selalu menaungi, saat bersama saling menuntaskan dahaga akan cinta. Dia sadar, setiap kehadiran Tatu di harinya selalu membuat perasaanya membuncah. Selalu bersemangat dan ingin semua pekerjaan segera selesai. Gadis cantik itu laksana cambuk. Meluangkan waktu dengan Tatu adalah hal yang sangat menyenangkan, walau mereka hanya akan berbaring sambil menonton film selama berjam-jam dengan saling memeluk. Ia merasa lengkap. Pertanyaan Tatu yang tidak ia jawab, bukan berarti ia dari keluarga yang sama dengan Josh. Semua keluarganya adalah pengacara, dan harus menjadi pengacara. Ia tak takut pada pernikahan. Namun ia takut ia akan menjadi lebih menuntut setelah menikah. Ania-nya adalah pribadi yang bebas. Yang selalu mengungkapkan apapun dan melakukan apapun ta
Yang Josh tahu, Tatuania adalah wanita sempurna di matanya. Walau awal mula kedekatan mereka hanya karena materi yang gadis itu butuhkan. Tapi perasan mereka sama, kilat cinta dimata mereka selalu berkobar dan menyala. Tapi Josh tak punya kuasa, pada jiwanya yang mempunyai banyak cela. Josh tentu memikirkan perasaan kekasihnya, status yang tak pernah mereka ikrarkan. Tentu membuat Ania –panggilan kesayangan-nya untuk kekasih tercinta gundah. Anak mereka tak akan lama hadir kedunia. Rasa haru juga bahagia tentu menelusup hatinya, tapi budaya memang membuatnya lupa. Ia tak bisa memaksakan egonya. Pun Tatu mempunyai ha katas bahagianya. Tawaran Tatu membuatnya merana, mereka sudah sering terpisah. Bertemu pun hanya dalam hitungan bulan. Saat ia berada di negara ini untuk usaha dan kliennya mereka akan menghabiskan waktu bersama. Tak pernah ada masalah yang mendera mereka. Katakanlah Josh memang penggila wanita, tapi itu sudah tak belaku sejak hatinya sudah tertawan pada gadis yang sela
Dia, selalu menjadi pelita dalam gelapnya kehidupan. Ia tetap laksana pahlawan yang menyelamatkan dari kubangan ketidakadilan. Pria itu tetap bertahta di dalam lubuk hati paling dalam. Pesonanya masih akan terus menggetarkan jiwa. Senyum menawan itu tetap akan jadi pengobat setiap kesakitan. Kata manisnya akan menjadi kenangan, sebagai selimut kerinduan. Oh, Joshua MacFillain. Kau selayak bintang yang tak mampu dia genggam. Hadirmu seperti fatamorgana yang tak bisa menjadi nyata. Bibir ini akan tetap menjadi marshmallow favoritnya. Madu yang menyembuhkan juga meracuninya. Kecapan ini akan selalu dia jadikan musik riang kala hati gamang. Tatu membuka mata, melepaskan tautan bibir ranumnya pada bibir merekah milik pria perebut jiwa juga raga. Menatap
Dia ada karena ia terlalu lena, pada apa yang disebut hasrat semata. Tapi ia juga tak bisa abai, pada keberadaannya yang juga karena ia terlalu percaya pada manusia. Sementara sang penentu hanyalah Tuhan sang penguasa jagat raya. Pertanyaan Mak Sini, membuat Tatu beku. Rasa dingin tiba-tiba menusuk hingga ke tulang. Apa dia boleh mempersembahkan itu untuk buah cinta dari hasil zina? Tatu gamang, hatinya pun bimbang. Dia yang terbuang dan tak pernah mengenal ayah kandungnya. Apakah akan berlaku sama seperti sang Ibu? Yang entah pernah mendoakan atau menghujatnya sejak kandungan? Dia raba dadanya, apakah masih ada naluri yang tak berduri di dalam hati? Doa, yang sering ia pinta dalam sujud sebelum kewarasannya terenggut pada dia yang disebut gelora. “A-apa boleh Mak?” gagap Tatu menatap pada wanita baya itu sendu. Ia tak ingin semakin malu, jika memang boleh di mana? Dan siapa ustaz yang bersedia mendoakan calon anaknya? “Loh, kenapa ngga to, boleh saja. Kan yang didoakan itu makh
Bahu Josh luruh, mendengar bibir mungil Sean berucap seperti itu buatnya pilu. Cintanya tak palsu hanya belitan di tubuhnya begitu kuat hingga tak mampu ia lepas begitu saja. “Tante marah sama Om, jadi bilang begitu,” sambung Sean polos. Bagaimanapun seorang anak kecil tak akan berbohong. Pria tampan itu menatap Lara yang mengendikkan bahu acuh, tak peduli dengan pertanyaan tak tersurat yang dia berikan. “Baiklah, ayo kita pulang. Rumah kalian sudah dibersihkan dan beberapa perabotan harus diganti.” Josh mengangkat tubuh dua keponakannya ke atas lengan kokohnya dan berjalan terlebih dahulu.“Madam Emily tidak tau kami disini, kan?” Lara ingin memastikan mertua bangsawannya tak mendengar kabar kunjungan dadakan itu.Josh menoleh dan menggeleng pelan. “Sebaiknya Aun Emy tak tahu, dia akan sangat mengerikan jika tahu kalian mencari Gary.” Tangannya meraih remote mobil dan memencetnya tetap dengan tenang membopong Sean di leher dan Siena di depan. Mirip bule kebanyakan yang tanpa beban
“Ta!” Lara menahan tangan Tatu yang akan menemui anak-anaknya. “Jangan seperti itu, ucapan adalah doa. Aku nggak mau ya, kamu ngomongnya ngaco gitu.” Ia berdiri, menatap sahabatnya dengan pandangan sedih. Perasaanya berkecamuk, di sisi lain Tatu adalah sahabat terbaiknya. Satu-satunya orang terdekat yang selalu ada dan tak pernah meninggalkannya. DI sisi lain Josh adalah sahabat suaminya, yang saat ini sedang berusaha membebaskan belahan hati. Dia hanya ingin juga berusaha meyakinkan Josh, merubah keputusan pria bule yang sudah menghamili orang terkasihnya. Mengembalikan gurat nestapa menjadi rona bahagia. Setidaknya di antara mereka berdua salah satu harus bisa menyemarakkan hati dengan sukacita bukan air mata. “Udah, Sayang.” Helaan napas gusar tak akan mampu ditutupi, tapi Tatiu masih bisa tersenyum lebar demi mengenyahkan perasaan yang cabar. “Biarkan bagiku dia seperti itu dan sebaliknya. Ayo aku bantu siap-siap duo kesayangan, kamu lekasi kemas yang lain jangan sampai ketingg
Arga bukan penyelamat, bukan juga ia jadikan tumpuan atas kemalangan yang menimpa. Hatinya masih tetap sama, enggan percaya. Karena tak akan pernah ada jaminan pada perasaan setiap manusia.Tatu tahu apa yang dilakukannya kejam, terlepas dari perasaan Arga sesungguhnya. Ia tak peduli. Yang dia lakukan kini hanya demi bayi yang masih bersemayam dengan nyaman di rahimnya. Walau dia tega membebat ketika bekerja, itu dilakukan juga bukan tanpa alasan. Ia tak punya siapa-siapa, hanya dirinya yang kelak akan melindungi buah hati dari kejamnya dunia.Tawaran Arga untuk menikahinya pun terpaksa ia terima, walau sadar nanti pasti akan jadi gunjingan. Setidaknya dia hanya ingin putranya mempunyai dokumen sah ketika kelahiran, itu yang ada dibenar juga rencananya. Melihat sosok berkulit sawo matang yang kini sedang mempersiapkan sebuah hunian di kota Tangerang, berbincang dengan developer yang menjelaskan bagian-bagian rumah berfurniture lengkap siap ditinggali itu, ia semakin gamang.Arga dan
“Sorry ya, Ta. Gue pikir lo nggak bakalan nerima kehadiran gue, jadi walau punya beberapa bengkel. Gue emang belum beli rumah.” Arga menjelaskan dengan raut menyesal. “Tapi setelah ini, gue bakalan beli aja itu rumah. Tapi apa lo mau lihat dulu besok?”“Jangan maksain kalau gitu, Ga. Gue nggak mau lo repot,” kata Tatu. Dia tentu tak ingin membuat Arga harus memprioritasnya. Dia memang ingin menikahi pria baik ini, tapi dia tak mau menyusahkan.“Kok gitu, sih. Justru gue emang sengaja ngasih pilihan, biar lo nyaman. Gue nggak mau ntar lo ngerasa nggak nyaman karena beda sama apa yang lo mau.” Arga meraih tangan Tatu, mencoba myakinkan.“Oke, gue ikut lo besok. Gue nggak pengen lo juga nggak suka dengan rumah ini,” ucap Tatu, rautnya berubah sendu. &ldq
Tatu sudah dewasa, paham dengan sentuhan pria dan cara menikmatinya. Pernah sangat terpedaya hingga dia lupa daratan dan berakhir menanggung penderitaan.Kini, ketika telapak tangan dengan sedikit rasa kasar membelai permukaan kulit paha telanjangnya, ia merasa kembali seperti masa-masa itu. Di mana dia tak bisa lagi mengendalikan diri, hanyut dalam kenikmatan yang nyatanya membinasakan "Lo kalau sange nggak usah ke sini," tepisnya pada tangan Arga yang mendarat di atas paha. "Bikin aja minum sendiri, gue mau sholat, mau banyak-banyak tobat!" Sarkasnya mendorong tubuh tegap di belakangnya."Ta," sesal Arga. "B-buk-" debaman di pintu kamar yang hanya berada di belakang mereka membuat pria itu berjenggit menyesal dengan setan yang membisiki telinga beberapa menit lalu.Arga berbalik menghadap kitchen set dan menuangkan air panas yang sudah dimasakkan oleh Tatu ke mug dan membuat sendiri minumannya yang berupa kopi instan.Dia akan menunggu perempuan hamil itu untuk keluar dan meminta m
Dia pernah berharap menemukan pangeran yang bisa meminang tanpa kepingan emas dan permata. Tak pernah bermimpi menjadi ratu dan hidup serba bermateri. Pintanya pada semoga untuk mereka yang pernah mencoba datang, namun hengkang sebelum berperang sudah ia anggap lekang. Kini harinya semakin menantang, dengan bentangan kenyataan yang tak bisa dibilang indah tapi juga tak menyakitkan. Menjadi penghuni kompleks perumahan cluster nyatanya tak membuat para tetangga itu juga bisa membuat mata dan telinga menggabungkan saja inderanya itu pada satu titik agar tak kepo terhadap rumah tangga orang lain. Tak pernah ikut arisan RT atau kegiatan apapun membuat Tatu seakan adalah penghuni yang wajib dicurigai. Padahal, dia juga sudah membayar iuran dan kewajiban sebagai warga yang baik. Faktanya tetangga yang berjarak beberapa rumah darinya sangat sering berjalan atau sekedar jogging di sekitar rumahnya. Sangat terlihat jika perempuan yang lebih sering mengenakan penutup kepala seperti kupluk itu
Dia selalu sadar diri bukan manusia suci, hadirnya ke dunia pun karena sebuah kesalahan demi hasrat mencapai nikmat duniawi. Tak tahukah mereka dua sejoli yang membuat dia menunjukkan eksistensi bukan hanya menjadi sosok bayi, namun manusia yang sedang mencari kebahagiaan yang hakiki.Selalu tak dipedulikan juga diabaikan. Sekarang pun kini dia dibuang oleh orang tersayang. Ah, dunianya memang kejam. Tapi dia tetap ingin bertahan, walau dalam kubangan ketidakpastian. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya, hingga tak ada keinginan menyakiti diri maupun bunuh diri. Ternyata dia masih punya hati pun nurani yang terkungkung dalam palung yang tak bisa diselami.Tatu sedang bersama kembar pintar yang sedang belajar bersama. Mereka memang masih mengikuti daycare belum sepenuhnya masuk sekolah PAUD atau playgroup. Tapi anak sahabatnya Lara memang seperti sang Daddy yang giat dan sangat cerdas. "Onty, apakah ini bagus?" Sean menunjukkan gambar kastil yang ia lukis menggunakan crayon."Bag
"Tiga bulan lagi?" tanya Tatu tak percaya, sebegitu seriuskah Arga padanya. Rasa haru tentu menyeruak dari sudut hatinya. Dia tak merasa membuat kebaikan selama ini, karena yang dia lakukan hanya menimbun dosa setiap harinya."Kenapa? Gue datang sekalian meminta KTP juga KK lo, 3 bulan cukup ‘kan buat daftar ke KUA?” Arga menanyakan dengan binar bahagia di iris gelapnya. Terlihat sangat antusias dan penuh harap.“Ck, nanti saja. Parkirnya jangan yang jauh-jauh dari supermarket ya, gue gampang capek sekarang.” Tatu tersenyum menoleh ke arah Arga, yang jika dia lihat sebenarnya tampan khas orang Indonesia. Tak diragukan, karena dulu dia menjadi salah satu idola di sekolahnya. Pengakuan kalau pernah menaruh hati padanya bahkan sejak masa pendidikan sebenarnya sulit diterima akal sehatnya, karena Arga yang dulu dikelilingi banyak perempuan cantik dan menarik juga kaya seperti dirinya. Jadi wajar bukan, jika ia memendam sekelumit rasa takut juga khawatir, pria ini hanya akan membalas dend
Dia memang ada karena sebuah kesalahan, dibesarkan tanpa kasih sayang yang dia butuhkan layaknya setiap anak. Tapi dia berusaha menjadi penyayang, menjadi pribadi yang penuh keramahan juga kesabaran. Tapi kini, sekarang dia tak sama lagi wajahnya terlihat jutek dan jauh dari senyuman. keceriaan itu seperti terenggut oleh buasnya kehidupan memangsanya. Dia sedang tak ingin beramah tamah dengan siapapun, sebagaimana semesta juga tak ingin berteman dengannya. Dia berjalan dengan sedikit berlari, menuju parkiran depan pabrik tempat sebuah mobil hitam dengan pinggiran kap depan bertuliskan Rubicon dengan hurup kapital. Arga dengan segera turun, meringis melihat Tatu yang berlari ke arahnya seolah dia remaja yang sedang menyambut kekasihnya datang.“Apaan sih, jangan lari-lari!” Arga berseru pada gadis cantik dengan rambut yang di gulung asal di atas kepalanya.“Ck, cerewet. Ayo pulang!” galak Tatu tak mempedulikan teguran Arga tadi.“Sensitif sekali, Buk. Lama nggak dapet jatah ya?” lede