Sudut Pandang / 'point-of-view' Emily Stewart' :
Aku tak bisa tidur dengan nyenyak hingga Minggu pagi. Tetiba ponselku berdering dan Xander menyapa dari ujung sana, menanyakan kabarku.
"Oh, kau. Hai," sahutku tak bergairah, dan mungkin juga terlalu menyolok, sebab aku tak bisa berpura-pura lebih lama lagi 'seperti tak pernah terjadi apa-apa.'
"Hai! Ada apa, Em? Kelihatannya ada masalah. Kau sakit?"
"Oh, ti, ti, tidak. aku baik-baik saja, hanya kurang tidur semalam karena bermimpi buruk. Ada apa, Sayang?"
"Nanti malam ada 'live show' gitar akustik dari penyanyi pendatang baru di M's Brew! Eagle Eyes! Kau pasti akan menyukainya! Kita bisa makan malam romantis di sana! Aku sudah mereservasi untuk kita, 'table for two', syukurlah masih kebagian. Tempatnya terbatas sekali, dan pendaftaran 'online'-nya segera tutup tepat lima menit setelah dibuka! Gila, bukan?" Xander terdengar bersemangat.
"Uhh, M's Brew?" sungguh, aku tak ingin kemba
Sementara itu, jauh di kota kecil Evertown, semua persiapan sudah selesai dilakukan dan waktunya konser mini Eagle Eyes segera tiba. Seperti biasa, para kru M's Brew sudah mempersiapkan yang terbaik untuk event pertama mereka. Hidangan terlezat dan kopi serta wine bagi para tamu yang sudah mereservasi tempat. Konser mini ini tertutup bagi tamu biasa, hanya tersedia beberapa puluh kursi saja. Tamu-tamu mulai berdatangan pada senja menjelang malam yang cerah. Rata-rata pasangan muda, entah sudah menikah, bertunangan atau masih menjalin hubungan. Seorang pemuda tampan bermata biru dengan rambut hitam lurus, tampak mesra menggandeng pasangannya, gadis cantik berambut bob pirang bermata cokelat. Keduanya mengenakan jas dan gaun pesta semi formal yang serasi berwarna hitam dan pink. Namun si wanita muda tampak sedikit resah. Saat pasangannya mendorongkan kursi untuk duduk di meja yang berada dekat dengan panggung mini, ia terus melihat kesana-sini seolah mencari atau menunggu sese
Cuplikan Karya Inggrisku... Moistra was a young mermaid, pretty, cheerful and also very outgoing. She was one of the most beautiful daughters of Father Merman, The Legendary Great King of the Ocean. They secretly lived in peace and harmony deeply under the sea, far away from the surface of the Earth. For ages, The Mermaids had lived among the fishes and other sea creatures, just like in the movies, and might be far much better and beautiful. Surrounded by fresh ocean crystal clear blue water, colorful coral reefs and any magical creatures more than anyone could ever imagine, things were even better than anyone had depicted or saw in any stunning animation or movies! Not as often told by fairy tales nor children bedtime stories, mermaids were not always lived underwater. Every night, after drinking a very special secret potion, they grew a temporary legs and feet and came to the surface, silently walked on empty beaches or shores. And very different from a fan
Sudut Pandang / 'point-of-view' Emily Stewart : Musik seperti terhenti , walau piano pengiring masih berdenting. Aku terpaku. Kurasa aliran darah dan waktu berhenti bersamaan dan membeku, sebab tubuhku terasa begitu dingin. Sama sekali diam, terpatri dalam momen yang begitu menentukan. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, sebab tak mungkin aku bisa menolak ajakan berduet itu begitu saja. Semua mata dalam ruangan itu memandangku dan menunggu aksiku. Kutahan napasku dan menunggu. Haruskah aku kabur dari sini? Akhirnya aku pasrah saja, dan menuruti permintaan sang penyanyi. Perlahan tanpa keinginan memandang siapa-siapa, ragu-ragu aku berdiri, berjalan menuju ke panggung. Hanya senyum Xander yang nampak bersemangat, diiringi support-nya yang seperti biasa, "Ayo, Em, menyanyilah untukku! Suaramu pasti luar biasa!" Semua orang yang menonton turut memberi beberapa kali tepuk tangan penyambutan, tentu saja hanya sekedar basa-basi. Eagle Eyes
Sudut Pandang / 'point-of-view' Earth : Emily ada di depan panggung saat ini! Tentunya bersama kekasihnya, nama serta order makan malam dan minuman mereka tiba di dapur. Aku sempat membuatkan minuman mereka. Segelas kopi dingin bagi Alexander dan segelas fruit punch bagi Emily. Andai bisa, kopi pemuda itu ingin sekali kububuhi racun bagaikan di film-film! Tak begitu sulit untuk melakukannya. Dengan demikian, ia akan segera mati, dan Emily yang sedang berduka dan kesepian bisa kudekati dengan mulus dan kelak menjadi milikku. Tapi, tidak! Selain karena tindakan kriminal tak ingin kujadikan jalan hidupku (lagi), Erato juga masih 'terobsesi' pada pemuda itu! Dan aku harus menyisakannya 'jatah' dengan memberinya kesempatan. Jadi, kutunggu saja sambil bekerja di dapur bersama para chef yang aktif memasak dan penyaji makanan yang hilir mudik mengambil order, menyibukkan diri. Suara sang penyanyi mengalun ke seluruh penjuru M's Brew jadi kami para kru diam-diam bisa
Sudut Pandang / 'point-of-view' Emily Stewart:Aku tahu, ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, sesungguhnya aku akan bertemu lagi dengan Earth, dan ternyata semuanya menjadi kenyataan.Entah harus berbuat apa, yang jelas, bila bisa aku sangat ingin pergi dari situ. Memang aku belum tahu siapa yang harus kupilih. Aku begitu ingin setia kepada Xander, namun di sisi lain, kehadiran Ava alias Earth kembali menguasaiku. Aku tak tahu gairah aneh apa yang selalu meluap setiap kali aku bertemu dengannya.Sesuatu yang sudah ada sejak 3 tahun silam di Pulau Vagano."Aku tak mau, Earth, kumohon, biarkan aku pergi, biarkan aku hidup bahagia!" kutolak ajakannya, dengan susah payah berusaha melepaskan diri dari ciumannya, "kita sudah melakukan sekali saja, dan itu sudah sangat cukup bagiku. Kau sudah memilikiku. Sekarang pergilah, sebab aku bukanlah untukmu. Kita tak ditakdirkan untuk bersama-sama, Earth.""Jangan bilang begitu, Emily. M
Sementara itu, jauh di sebuah pulau kecil tropis nan sunyi di laut lepas perbatasan terjauh Evermerika. Seorang gadis cantik berkulit kecoklatan, berambut hitam legam, berbusana tradisional berbahan alami baru saja turun dari perahu kecilnya. Berlabuh, ia tangkas bekerja, turun menambatkan perahunya pada sebatang tonggak di pantai permai berpasir putih. Ia baru saja kembali dari tugas menjala ikan, seorang nelayan kecil-kecilan. Beberapa kilogram ikan kecil dan sedang berhasil ia peroleh, jalanya yang ia gendong cukup berat karena nyaris penuh. Langit pagi tampak biru cerah nyaris tanpa awan, seakan tak ada lagi tanda-tanda beberapa belas jam silam telah terjadi badai dahsyat. Kecuali tentunya... Sesosok tubuh terkapar tak berdaya di atas pasir di kejauhan. 'Manusia! Hidup atau mati?' demikian ia terkesiap. Gadis itu segera mendekat dan duduk memeriksa. Tubuh itu tertelungkup penuh luka, bajunya compang camping, namun ia masih bernapas pelan, ma
Sementara itu, kembali ke malam di M's Brew. Xander yang masih duduk di kursi meja malam kencan menunggu kembalinya kekasihnya Emily Stewart yang pergi entah kemana, mulai merasa gelisah. Begitu pula dengan sang penyanyi yang malam itu melakukan 'live show'-nya, Eagle Eyes, alias Sky Vagano.Kedua orang yang saling tak mengenal itu sama-sama memikirkan gadis yang sama tanpa mereka sadari.Dimana Emily Stewart berada? Hanya seorang gadis lain yang tahu. Seorang pelayan berambut pirang yang berdiri di pojokan, yang sesekali mondar-mandir ke dapur dan ke ruang utama melayani tamu-tamu. Siapa lagi, bila bukan 'partner' kerjasama Ava, Erato.Erato yang diam-diam memendam perasaan aneh dalam hati saat sedang dalam misi 'membantu' adik tirinya itu. Erato alias Lara, tersenyum puas menatap lancarnya permainan mereka.'Earth pasti sudah berhasil melakukan dan memiliki Emily saat ini, dan kini giliranku untuk melakukan apa yang kuinginkan. Mencoba memasukkan Xander
Sementara itu, jauh di pulau terpencil tak dikenal bersuasana tropis, sang pemuda tampan berambut cokelat panjang dan bermata biru yang ditemukan seorang gadis lokal perlahan mulai pulih. Berkat perawatan telaten yang gadis itu lakukan, pemuda itu berangsur-angsur menemukan kekuatannya kembali setelah hampir beberapa hari kehilangan tenaga. "Siapa namamu?" tanya pemuda itu kepada dewi penyelamatnya, yang berkulit kuning kecokelatan dan berambut dan bermata hitam bagaikan malam. "Namaku Ainanani, atau panggil saja Aina. Senang bisa berkenalan dengan Anda. Maafkan bahasaku yang asing, karena aku kurang mengerti bahasa internasional," gadis itu menyahut malu. Ia masih sedikit segan, pemuda itu sangat menarik, dan diam-diam parasnya mulai menawan hati perawannya. Pemuda asing itu telah ia berikan baju dari kulit yang ia buatkan dari hasil perburuan hewan. Pakaian yang pertama kali dikenakannya telah nyaris hancur serta robek-robek. Semuanya telah Aina singkirkan,