Tak berselang lama, Tono kembali bersama beberapa Pengawal lainnya."Kenapa kalian datang ke sini?" tanya Arka terheran-heran pada beberapa Pengawal yang baru memasuki ruangannya."Tuan, salah seorang Gangster berhasil melarikan diri, saya takut jika dia akan melakukan pembalasan dendam suatu hari nanti," ucap salah seorang Pengawal."Tidak perlu terlalu dipikirkan, selama pimpinan mereka sudah mati, mereka tidak akan bisa berbuat apa pun," jawab Arka datar."Saya, sebenarnya mengkhawatirkan Nyonya, Tuan," ucap Pengawal itu dengan melirik Kinara sekilas.Arka terdiam sejenak. Sebenarnya apa yang dikhawatirkan oleh Pengawalnya cukup masuk akal, mengingat penculikan semalam hanya sebuah dendam yang ditujukan pada calon Istrinya."Tidak perlu terlalu khawatir, aku akan lebih berhati-hati lagi mulai hari ini," ucap Kinara dengan penuh keyakinan.Membuat Arka yang hendak menawarinya tempat tinggal, pada akhirnya mengurungkan niatnya.Arka tahu bagaimana keras kepalanya Kinara, jika dia tet
"Astaga, Arka," lirih Kinara dengan memijat pelipisnya."Jadi, kemana hilangnya mayat itu?" tanya Arka begitu penasaran."Aku tidak tahu, kami sudah melakukan penyelidikan, namun pelaku tidak meninggalkan jejak apa pun di sana, itu membuat kami kesulitan menemukannya," jelas Kepala Polisi."Aku akan membantumu mencari bukti setelah keluar dari rumah sakit ini."Kepala polisi nampak tertegun ketika Arka secara suka rela menawarkan diri untuk membantunya."Jangan salah paham, aku tidak berniat untuk membantumu, aku hanya takut jika dalang dibalik semua ini akan membahayakan keselamatan Istriku," ketus Arka, seolah bisa membaca pikiran dari sahabat lamanya."Cih! Bilang saja kamu sebenarnya ingin membantuku, hanya merasa malu untuk mengakuinya," jawab Kepala Polisi dengan tatapan sinis yang dilayangkan pada Arka."Sudah-sudah, jangan seperti anak kecil begini," sahut Kinara yang merasa begitu pusing mendengar perseteruan antara dua sahabat lama yang baru bertemu.Namun mereka tetap rusuh
"Jangan lebay, aku akan menjengukmu lebih sering setelah ini," ucap Kinara sebelum melangkah pergi."Memangnya kamu mau pulang ke mana? Tokomu sudah hancur."Mendengar kalimat itu, Kinara terdiam untuk sesaat, bukan memikirkan kemana dirinya harus pulang, melainkan bagaimana caranya menjelaskan hal itu pada Ibu pemilik kontrakan."Yang hancur hanya bagian depan, dapur dan satu ruangan yang biasa aku tempati tidur masih utuh, lagi pula aku harus menjelaskan situasi yang sebenarnya kenapa Ibu pemilik kontrakan," jelas Kinara."Tck! Ya sudah, kalau begitu izinkan aku untuk mengantarmu pulang," ucap Arka dengan mengerucutkan bibirnya."Memang dasar tidak pernah peduli denganku," gumamnya lirih."Apa?" ucap Kinara ketika mendengar Arka mengatakan sesuatu, namun tak terdengar jelas olehnya."Ti-tidak apa-apa, jangan terlalu dipikirkan," jawabnya datar tanpa seulas senyum di bibir.Arka menarik tangan Kinara secara paksa untuk segera memasuki mobilnya kembali."Berhenti! Aku yang akan mengan
Tangisan Kinara dihentikan oleh kedatangan dua mobil mewah berwarna hitam yang tiba-tiba berhenti di depan tokonya.Kinara terdiam di posisi semula, dengan mata sendu, memperhatikan beberapa sosok yang tengah turun dari dalam mobil.Terlihat Tono dan Toni keluar bersama dengan beberapa Bapak-bapak berpakaian lusuh dengan peluh mengucur membasahi wajah mereka."Ada apa ini?" tanya Kinara pada Tono dan Toni yang berjalan mendekatinya."Nyonya, ini adalah tukang bangunan yang baru kami jemput dari tempat kerja mereka sebelumnya, Tuan Arka meminta mereka untuk merenovasi toko kue, Nyonya, secepatnya," jelas Tono dengan membungkukkan sedikit badannya memberi hormat.Kinara bergegas bangkit, mengibas-ngibaskan pelan bagian belakang tubuhnya yang kotor terkena debu."Renovasi? Tapi aku belum membeli bahan material untuk toko ini."Kinara memperhatikan beberapa tukang bangunan yang telah memulai pekerjaan mereka dengan membersihkan reruntuhan toko."Truk pengangkut bahan material sebentar lag
Dengan tatapan nyalang, Arka melemparkan koper hitam secara kasar pada Ibu pemilik kontrakan.Ibu itu berusaha menangkap koper hingga sedikit terpental ke belakang.Wajah keriput itu nampak berbinar ketika melihat isi dari koper hitam itu."Apa itu cukup? Jika masih kurang, aku juga bisa membeli rumahmu sekalian," ucap Arka datar tanpa seulas senyum yang menghiasi bibirnya. Tak ada rasa sungkan sedikit pun, meski berbicara tidak sopan pada wanita yang jauh lebih tua darinya. Karena perasaan sungkan hanya ia tujukan pada orang-orang yang bisa menghormati orang lain."Cukup-cukup, ini sertifikat tanahnya." Ibu paruh baya itu melemparkan selembar kertas yang berbalut map berwarna biru secara kasar pada Arka yang masih menatapnya tajam, sebelum berbalik dan segera pergi dari tempat itu.Ibu pemilik kontrakan itu tidak peduli dengan tatapan sinis para pekerja bangunan yang berada di sekitarnya, dirinya terus berjalan menjauh sembari tersenyum puas."Arka, apa kamu benar-benar harus melakuk
Kinara menghela nafas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Arka."Aku akan menepati janjiku, tapi tidak sekarang, aku masih harus mengurus pembukaan cabang toko kueku di kota lain, Arka, tolong mengertilah," ucap Kinara dengan menatap netra sendu itu penuh arti."Kamu selalu menolak dengan banyak alasan, jangan bilang kalau kamu ada pria lain di luar sana." Arka menatap sang kekasih dengan penuh curiga.Kinara lagi-lagi harus membuang muka, sebenarnya malas sekali untuk meladeni tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar seperti ini."Baiklah, aku akan pergi sekarang, aku benar-benar sudah lelah," ucap Arka dengan penuh kekecewaan sebelum akhirnya pergi dengan langkah cepat.Kinara hanya bisa meringsut di atas kursinya. Kinara sudah berkali-kali melihat tingkah Arka yang akan marah seperti ini jika ia kembali menolak ajakannya untuk menikah, namun beberapa jam kemudian Arka akan kembali menemuinya seperti biasa.Setelah beberapa menit menghela nafas panjang, Kinara akhirnya memutuskan
"Jadi kamu mengerjaiku?" Kinara akhirnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi."Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah menikah denganmu!" Kinara melemparkan kain putih yang dari awal menutupi tubuh Arka, sebelum melangkah pergi hendak meninggalkan tempat itu.Melihat kemarahan Kinara, Arka dengan cepat turun dari ranjang, dan meraih lengan Kinara untuk menahan kepergiannya."Lepas!" Kinara beberapa kali mencoba menghempaskan lengannya, namun cengkeraman Arka tak kunjung terlepas darinya."Apa kamu perlu semarah ini padaku? Aku melakukan ini hanya karena ingin cepat menikah denganmu," jelas Arka dengan penuh penyesalan.Kinara akhirnya berbalik, menatap Arka yang terus menahannya."Aku sudah mengatakan akan menepati janjiku setelah membuka cabang toko kue yang baru, kenapa kamu malah melakukan hal bodoh seperti ini?" Kemarahan nampak terlihat jelas di wajah Kinara, nafasnya menderu hebat, dengan tatapan tajam yang ia layangkan pada calon Suaminya."Kamu tidak pernah tahu ketakutan terb
"Hah? Perlu dicoba dulu?" tanya Kinara tidak mengerti.Meski pernikahan bukanlah hal yang baru untuknya, namun Kinara tidak pernah melakukan fitting baju pengantin sebelumnya. Mungkin karena dulunya terlalu miskin, dirinya hanya melakukan akad nikah saja tanpa sebuah pesta besar seperti ini, sedangkan baju yang dia gunakan adalah kebaya tua bekas pernikahan Ibu dan Bapaknya dulu.Pemilik butik itu terdiam dengan senyum canggung, menatap Kinara yang menurutnya terlalu polos."Sayang, lalu apa gunanya kita fitting baju hari ini jika tidak perlu mencobanya?" tanya Arka frustasi."Oke, aku akan mencobanya," ucap Kinara sebelum melangkah pergi mengikuti pemilik butik ke sebuah ruangan kecil yang terletak tak jauh dari sana.Seorang wanita bertubuh tambun, nampak menghampiri Arka yang tengah terbengong di depan jejeran gaun pengantin wanita."Tuan, ini adalah pasangan dari gaun pengantin yang dipilih oleh calon Istri Anda, silakan dicoba," ucap wanita itu sembari memberikan setelan jas puti
Tawa itu seketika menghilang, menyisakan kesunyian yang begitu mencekam. Raut wajah panik menyoroti seorang pria yang tengah terdiam, masih duduk di atas tempat tidur pasiennya. Sorot mata tajam itu terasa begitu mengiris, menatap lekat lantai rumah sakit yang berada di bawah tubuhnya."Sayang, ikutlah denganku besok, aku hanya ingin Nathan melihat wajah Ayah kandungnya untuk yang terakhir kali. Tidak ada maksud lain," ucap Kinara. Dirinya berusaha meyakinkan sang Suami yang masih meragukan kesetiaannya.Arka seketika mendongak. Menatap Kinara dengan wajah tak percaya. Mulut itu terasa kaku untuk sesaat, sampai akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak dipercayai oleh semua orang. "Baiklah, besok kita pergi ke sana."Saking tidak percayanya, kedua Pengawal dan Risa saling bertukar pandang. Dengan tatapan penuh kebingungan.***Keesokan harinya. Setelah keluar dari rumah sakit. Arka dan Kinara segera berangkat menuju rumah sakit jiwa yang sebelumnya merawat Bayu. Mereka meninggalkan buah
Kinara berharap cemas, ketika mendengar suara langkah kaki beriringan yang semakin mendekati ruangannya. Tubuhnya terasa kaku untuk sekedar berdiri meminta pertolongan. Jahitan di bawah perut masih terasa begitu nyeri hingga menusuk tulang."Mbak Risa, tolong segera panggil Dokter. Arka pingsan," ucapnya dengan suara serak ketika mendapati seorang wanita yang ia kenal baru memasuki ruangan. Nampak seorang wanita cantik yang tengah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Dua pria bertubuh besar di belakangnya pun ikut panik. Mereka berlari keluar ruangan untuk mencari bantuan dari tenaga medis yang bertugas di sana.Selang beberapa menit, ketiga orang itu kembali dengan seorang Dokter pria yang tengah mengekor di belakang mereka."Tolong bantu baringkan Pasien di tempat tidur, untuk memudahkan saya dalam memeriksa," ujar sang Dokter dengan nada panik.Kedua Pengawal Arka segera membaringkan tubuh atasannya di atas tempat tidur rumah sakit di samping Kinara. Setelahnya mereka berd
Arka membelalak. Risa tidak tahu bagaimana perasaan atasannya saat ini. Dengan kekhawatiran bercampur rasa takut yang amat sangat, bagaimana mungkin dirinya akan pulang meninggalkan sang Istri dan buah hatinya untuk sekedar beristirahat di rumah."Apa ada masalah, Pak?" tanya Risa khawatir saat melihat raut kebingungan dari wajah atasannya."Bisakah kamu menutup mulut? Lebih baik kamu pergi jemput Nathan dan bawa kemari," ucap Arka seraya memegangi kepalanya.Pria tampan dengan kemeja putih yang terlihat lusuh kini melangkah pasti menuju salah satu ruangan rawat di rumah sakit itu.Risa masih membeku di tempat, menatap iba pada punggung lebar sang atasan yang semakin menghilang dari pandangan matanya. Sorot mata penat terlihat begitu jelas dari sana.Wanita yang kini telah mendapatkan kembali kesadarannya, terlentang di atas ranjang rumah sakit dengan membuang muka ketika sang Suami datang menghampiri. Rasa sesak masih terasa memenuhi dada. Setelah pernikahan pertamanya yang kandas ak
Tatapan sendu bercampur dengan kekhawatiran yang terpancar dari wajah lelah itu, membuat Dokter sedikit merasa iba, hingga mengizinkan Arka untuk menemani sang istri yang tengah berjuang antara hidup dan mati ketika berusaha melahirkan buah hati mereka di meja operasi.Dengan pakaian serba hijau dan jaring penutup kepala, Arka berdiri di samping meja operasi. Menatap nanar wajah yang kini tengah terpejam erat. Emosi yang baru saja meledak-ledak mengakibatkan tekanan darah meningkat hingga terjadi eklamsia pada Kinara. Kondisi darurat di mana ibu hamil kehilangan kesadaran hingga mengalami kejang.Memori Arka seketika berputar mundur, mengingat penjelasan sang Dokter mengenai kondisi kesehatan sang Istri yang kini terbaring lemah di meja operasi. Eklamsia bisa membahayakan nyawa ibu dan bayi dalam waktu bersamaan.Arka berlutut menghadap kepala sang Istri, memegangi tangan Kinara yang tengah terlentang dengan erat."Kinara, bangunlah." Satu kalimat itu berulang kali ia ucapkan dengan l
"Tidak! Lepaskan aku! Aku membencimu!" Kinara berteriak kencang seraya memberontak. Ia tidak bisa mengendalikan diri akibat emosi yang membara dalam hati. Rasa nyeri akibat luka lama yang kembali terbuka mengalahkan rasa sakit pada kontraksi pertamanya. Masih terlintas jelas memori otaknya ketika mendapati Arka bermain api di belakang."Aku tidak akan melepaskanmu. Setelah ini aku janji akan menyelesaikan kesalah pahamanmu padaku."Meski kualahan dengan sang Istri yang terus meminta turun dari gendongannya, Arka tidak menyerah, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di halaman perusahaan miliknya. Dengan nafas menderu, ia merasa acuh tak acuh pada beberapa karyawan yang menatapnya terheran-heran.Salah satu sorot mata, nampaknya mampu menerka hal yang begitu membuat sang atasan merasa panik. Hingga ia memutuskan untuk mengekor dengan langkah cepat dari belakang."Pak Arka, apakah Mbak Kinara akan melahirkan?" Terdengar suara panik dari seorang wanita yang dengan c
Drrttt ... Drrttt ....Suara getaran ponsel menghentikan aktivitas mereka. Arka dengan cepat menyambar ponsel yang tengah bergetar di atas meja kerjanya."Pak, Anda harus cepat pergi ke kantor, ada salah satu Klien yang meminta Anda untuk membahas masalah saham perusahaan secepatnya." Terdengar suara panik dari seorang pria dari seberang telepon.Arka dan Kinara terlihat saling bertukar pandang untuk sesaat."Baiklah, saya akan segera pergi ke sana," jawab Arka dengan perasaan gusar sebelum menutup sambungan telepon."Ada apa, Sayang?""Belakangan ini saham perusahaan tiba-tiba turun secara misterius. Banyak Investor yang meminta penjelasan. Aku harus segera pergi," jelas Arka dengan raut wajah panik. Pria itu dengan cepat bangkit dan menyambar kasar jas hitam yang tergantung di senderan meja kerjanya."Tapi kamu bahkan belum beristirahat semenit pun." Kinara menatap khawatir pada tubuh pria yang terlihat panik di depannya.Arka perlahan mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya memegangi
Kinara hanya tertawa kecil. Meski sang suami bersikap seperti itu, dirinya tetap merasa bersalah karena menambah beban pekerjaan untuk suaminya. "Apa kamu lelah? Setelah membersihkan kekacauan ini aku akan memijat punggungmu sebentar.""Tidak! Lebih baik sekarang kamu istirahat. Biarkan Pelayan saja yang melakukan pekerjaan ini."Wajah wanita itu seketika berubah setelah persekian detik. Sorot mata tajam ia layangkan pada suaminya, karena salah menangkap maksud ucapan dari Arka. "Jadi maksudmu, lebih baik Pelayan saja yang memijat punggungmu? Lalu untuk apa menikahiku jika semua bisa dikerjakan oleh Pelayan?"Arka terdiam sejenak sembari mencerna ucapan ketus dari sang istri yang tidak bisa ia tangkap dengan baik. Sikap Kinara terlalu sensitif semenjak kehamilannya. Menjadikannya sering kali berseteru dengan sang suami hanya karena salah menangkap maksud ucapan lawan bicaranya. "Memangnya aku ada salah bicara?""Huh! Sudahlah, aku tidak ingin berbicara denganmu hari ini," ketus Kinara
"Kenapa diam? Ayo tertawa lagi!" ucap Arka lantang dengan gestur menantang.Dua pria berbadan kekar itu seketika terdiam membisu. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menampik ucapan sang atasan."Se-sebenarnya, Tuan, kami tidak memiliki saran apa pun untuk hal ini." ucap Tono dengan tubuh yang sedikit bergetar."Apa maksudmu?" Sorot mata tajam nan mengintimidasi mulai dilayangkan pada kedua pria di depannya."Begini, Tuan. Seorang Ibu hamil yang menginginkan sesuatu cenderung tidak bisa dibantah. Jika itu nekat dilakukan, hal itu akan menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri."Sorot mata tajam itu kini berfokus menatap arah lain. Otaknya mencoba berpikir keras. Menerjemahkan bahasa yang sedikit tidak ia mengerti."Singkatnya begin, Tuan. Jika Anda menentang keinginan Nyonya, bisa saja Nyonya pergi dari rumah meninggalkan Anda. Karena perasaan hati Ibu hamil cenderung lebih sensitif," jelas Toni ketika berhasil mengumpulkan keberanian beberapa detik yang lalu.Arka membelalak, "Hah? Se
Setelah melakukan ritualnya hingga dua kali di dalam kamar mandi, akhirnya sepasang kaki itu berjalan keluar mendekati sang Istri yang terlihat meringkuk di balik selimut.Air hangat masih terlihat mengucur melalui kaki jenjangnya. Handuk putih masih melilit tubuh bagian bawahnya. Namun lagi-lagi sang Istri merasa enggan untuk didekati."Sayang, bisakah kamu tidur di kamar lain untuk malam ini? Aku benar-benar tidak tahan dengan aroma tubuhmu."Belum juga kedua kaki itu menaiki ranjang. Aktivitas itu sudah dihentikan oleh penolakan sang Istri yang meminta Arka untuk tidur di tempat lain."Astaga, Sayang. Aku sudah mandi, bahkan ini sudah yang ke dua kali loh! Kamu mau aku bagaimana lagi?" pekik Arka frustasi. Kedua tangannya mengacak rambutnya kasar."Sayang, maafkan aku. Tapi sepertinya Anak kamu tidak menyukai aroma tubuh Papanya."Duar!Kalimat itu seolah membuat Arka bagaikan disambar petir di siang bolong. Matanya membelalak, ada perasaan tak percaya dengan apa yang baru saja mem