Dunia Venus membeku.
Bisakah ia tetap melawan?
Mimpinya dengan Giris bukanlah sekadar mimpi. Dan Venus merasa benci karenanya.
Telinga Venus berdenging, dan ada sulur-sulur kehampaan nan dingin di sekujur tubuhnya yang terasa menyesakkan. Ia hanya mampu menatap Lou yang entah kenapa bisa berubah menjadi lembut.
Sejak kapan Lou jadi baik dan simpatik begitu?
Lagipula, aku sedang berpikir tentang apa?
“Venus?” Tangan Lou melambai-lambai di depan wajah Venus. Venus berkedip.
“Aku tidak apa-apa,” ia berkata dengan tenang, lantas tersenyum dan menyesuaikan duduknya.
Lou dan yang lain memandang sosok pasien di atas ranjang rumah sakit itu dengan khawatir.
“Beritahu aku detailnya. Tentang … moyangku itu.”
Sepi.
Bip-bip-bip.
“Apa suaraku terlalu rendah?”
Bip-bip-bip.
“Venus …” Shad memulai, ragu.
“Bilang saja!” Venus membentak.
Lou menghela napas dan bertumpu pada tepi ranjang Venus, kemudian menatap calon pesakitan di depannya. “Suara itu berbisik, tapi para penjaga Beranda Hitam mendengarnya dengan sangat jelas. Kamera pengawas bahkan merekamnya, dan para penjaga di sana langsung mengirimkan file itu ke seluruh jaringan sekolah. Suara itu berkata,
Venus Prahara Adiwangsa, atau kalian lebih suka aku menyebutnya Venus Samudera? Dia adalah keturunanku, keturunan Giris Druiksa, sang Dewa Kebencian. Anak dari cucuku, Amerta Adiwangsa. Namun, anak ini terkutuk. Dan aku sebagai pendahulunya, memberikan kalian sebuah nasihat. Biarkan ia hidup dengan kegelapan tergenggam dalam tangannya, atau berikan ia kematian dan dunia kalian tetap bahagia.
Setelah itu, tiba-tiba VoltaKron Zaloya mengumumkan bahwa Bisikan Giris juga terdengar di langit malam seantero negeri. Semua orang panik, dia bilang, dan menuntut agar kau diadili. Dan tadi pagi, putusan itu diresmikan.”
Venus menatap buku-buku jarinya yang mengepal erat hingga memutih. Suara degup jantung pada monitor di sampingnya terdengar semakin cepat. Ada sesuatu yang sulit untuk ia telan kembali di kerongkongannya. Rasanya begitu menyakitkan.
Setetes air mata jatuh menodai selimut di pangkuan Venus.
Lalu, setetes lagi. Dan setetes lagi.
“Ven—”
“Pergi,” bisik Venus. “Tinggalkan aku sendiri.”
“Ta—”
“PERGI!” teriak Venus marah, wajahnya basah oleh air mata.
Keempat temannya berlalu dengan pandangan sedikit terluka, kecuali Virzash yang tampak sangat terguncang. Venus bahkan tidak memedulikan itu semua.
Begitu pintu ruangannya tertutup, anak perempuan itu berteriak marah pada udara. Tangisannya pecah seperti ratusan gelas kaca yang jatuh di atas batu.
“Ma—ma …” tersengguk-sengguk Venus dalam ratapannya.
Gadis itu memeluk lututnya, terisak-isak tanpa bisa memikirkan jalan apapun untuk bisa keluar dari masalah ini. Potret sang ibu terbayang-bayang di pelupuk matanya yang basah.
Hidup saja tidak diperbolehkan, ia berpikir. Kenapa ia harus dilahirkan di dunia ini? Ia merasa bersalah pada ibunya. Seharusnya wanita cantik itu mendapat anugerah yang lebih baik dari Venus. Anugerah yang lebih aman dari mendapat seorang anak keturunan iblis.
Tangis anak perempuan itu tiba-tiba terhenti. Isakan masih membuatnya berdeguk, tetapi ia sudah tak tahan lagi.
Venua merenggut infus dari pergelangan tangannya dengan paksa.
“Aw!”
Sebercak darah mengucur dari tempat infus itu disuntikkan. Venus menggertakkan gigi dan menekan kuat-kuat luka itu. Ia menghela tubuhnya ke depan dan turun dari ranjang, lantas tertatih-tatih menuju benda persegi panjang berkenop bundar di sana.
Keturunan Sang Dewa Kebencian lari di telan koridor-koridor dan lorong panjang Volta Juana.
• •
Venus berlari dan terus berlari. Ia tidak memikirkan apa-apa. Ia hanya ingin melakukan sesuatu selain duduk dan mengasihani diri sendiri.
Ia sadar ia tidak akan bisa keluar dari bangunan ini. Ia sadar ia tidak akan pernah mempunyai kesempatan, bahkan satu detik saja untuk bisa memanjat keluar dari tembok-tembok tinggi di luar sana.
Ia hanya ingin lari.
Kakinya kebas, tetapi hatinya makin lama makin mengeras. Otaknya kembali berputar dan mendapatkan setidaknya sedikit kewarasan lagi.
Aku cuma anak ingusan, demi Tuhan! Apa yang mereka kira akan mereka dapatkan? Aku masih memiliki moral! Aku tidak mungkin melakukan apapun yang akan merugikan banyak orang!
Benarkah?
Laju kaki Venus melambat. Ia menyadari hal lain.
Ia tak pernah benar-benar merasa yakin dengan kebaikannya. Bagaimana jika ia benar-benar seberbahaya itu?
Hanya saja, aku belum ingin mati.
Mata Venus memejam erat dan ia meremas kepalanya dengan geram. Dunia ini telah memperbaiki dunia Venus yang lampau, dalam versi yang lebih menakutkan. Seandainya ibu kandung Venus masih ada ….
Venus membuka mata dan terkejut.
Ia berdiri di pintu masuk stadion, dengan plakat bertuliskan Stadion Rovega di atasnya. Mengikuti alur, ia berpikir. Ia lantas memasuki area itu.
Stadion itu tampak sederhana, tapi besar dan luas. Seperti biasa, warna-warna yang tersedia didominasi oleh warna perak. Setiap tempat duduk terlipat rapi dan berkilauan. Atap kaca melengkung menjadikan stadion itu aman dari hujan dan, sepertinya, juga Banaspati.
“Venus?”
Langkah Venus tersurut kaget. Beberapa meter di sampingnya, berdiri kira-kira setengah lusin krona yang juga tampak terkejut. Salah satu dari mereka adalah Bu Mana.
“Kenapa kau ada di sini?”
“Saya hanya berjalan-jalan,” jawab Venus defensif.
“Kau sudah dengar tentang vonismu, ya?” selidik salah satu krona laki-laki.
Dagu Venus tersentak. Ia mundur setengah langkah, entah mengapa merasa harus melakukan itu.
“Ikut kami, Nak,” ajak Bu Mana seraya mendekat.
Venus menatap mereka dengan kemarahan yang dingin. “Tidak, terimakasih. Saya hanya ingin—”
“Tangkap dia!”
“Tunggu!”
Semburan hawa panas membakar tiba-tiba menyerang Venus. Sedetik ia terperanjat, tapi kemudian amarah menguasainya.
Venus berteriak.
Ia menarik keluar salah satu Bakat, dan membalas serangan itu dengan semburan api yang nyata, laksana naga mengamuk. Si penyerang pertamanya terhempas beberapa meter ke belakang, kalah. Venus terengah-engah sambil menahan Bakat Api ke dalam tubuhnya kembali.
Gempuran batu tajam tiba-tiba menusuk punggung Venus hingga ia terjerembab kesakitan. Ia berdiri begitu cepat seraya menarik kembali Bakat Api-nya. Ia menggertak satu kali, lalu melecutkan kobaran merah ke arah sang penyerang.
“SUDAH CUKUP!”
Venus tak lagi peduli dengan apapun di sekitarnya. Ia hanya butuh melampiaskan amarahnya.
Venus melecutkan api itu ke segala arah, berkali-kali, hingga ia merasa puas.
“PEMBUNUHAN!”
Ya! Katakan pada semua orang bahwa ada percobaan pembunuhan terhadapku di sini! Panggil siapapun biar mereka tahu siapa yang sebenarnya bersalah!
“VENUS! BERHENTI!”
Itu suara Shad.
Venus melepaskan Bakat-nya dengan peluh membasahi seluruh tubuh.
Kemudian, ia terpaku.
Beberapa meter dari tempatnya berdiri, tergeletak dua onggok tengkorak yang menghitam. Baunya laiknya daging yang gosong terbakar. Debu-debu hitam tampak melayang ke angkasa, membentuk salju gelap yang memualkan.
Rasa dingin merasuk di setiap pembuluh darahnya saat beberapa tangan membekuknya, lantas memborgol tangan Venus yang terasa mati rasa.
Venus, sang Putri Bizura yang ketakutan, telah dengan sengaja memanggang dua orang krona dalam sekali serangan.
Saat Venus digiring keluar dari stadion, setiap koridor dan lorong telah disesaki oleh para penghuni Volta Juana yang marah.
“Dasar pembunuh!”
“Menjijikkan!”
“Mati saja kau!”
“Dia memang akan mati, Bodoh!”
“Jangkang kau, Sialan!”
“Dasar benih Voltura!”
“Sama saja dengan Amerta!”
Venus tersenyum pada anak yang melontarkan kata-kata itu padanya.
“Aku memang anak ayahku,” dia berujar.
Sebuah kristal tajam melesat cepat dan melukai pipi Venus. Dengan geram Venus meraih Bakat yang sama dan berniat untuk melemparkannya ke segala arah. Namun, ia tidak bisa menariknya. Ada sesuatu yang menahan Bakat-Bakat itu, seperti dipenjarakan. Dengan kalut Venus terus mencoba. Namun, tetap saja ia gagal.
“Jangan buang-buang tenagamu!” sergah salah seorang yang menggiring Venus. “Kau sudah dibelenggu oleh borgol anti-Bakat!”
Berengsek! Tidak Bakat-nya juga!
“Berhenti meronta!” bentak seseorang.
Keputusasaan melanda hati Venus. Ia menggigit bibirnya, menahan desakan untuk menangis lagi. Di tengah teriakan dan umpatan dari para penontonnya, ia hanya bisa diam. Tak ada lagi yang benar-benar bisa ia lakukan selain pasrah.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah lift kaca. Venus dan para penangkapnya masuk ke dalam benda itu. Beberapa detik kemudian, lift itu berhenti.
Mereka berada di tengah-tengah sebuah atap bangunan. Venus berjalan keluar sambil memandang lautan awan sejauh mata memandang.
Di mana daratannya?
Sekitar empat meter dari lift itu, tampaklah kurungan segi empat berjeruji perak setinggi dua meter. Setiap sudut di atasnya terdapat cincin besar seperti tempat untuk mengaitkan sesuatu.
Begitu tiba di depan kurungan itu, salah satu penggiring Venus membuka gerendel dan pintunya.
“Masuk!” perintah lelaki itu.
Venus menurutinya, dan segera saja merasa seperti burung yang dikunci dalam sebuah sangkar besar. Anehnya, kurungan itu membuat hatinya sangat tertekan.
Lelaki tadi mengunci kembali pintu itu, lalu berkata, “Julurkan tanganmu.”
Lelaki itu melepaskan borgol Venus, dan segera memadamkan harapan Venus dengan bergumam, “Selamat menikmati hari-hari terakhirmu di sel anti-Bakat ini. Kau akan berangkat ke Kota Sembada secepatnya.”
“Apakah seluruh dunia Bumi Kedua menyetujui hukuman ini?” Venus tiba-tiba bertanya.
Lelaki itu mengantongi borgol ke saku belakangnya. “Tidak, tapi ini negeri kelahiran Druiksa. Dan kami akan melakukan saran yang paling baik darinya.”
“Apa nama negara ini?”
Lelaki itu menatapnya dengan heran. “Negeri Dasina.”
Para lelaki itu pergi. Tinggallah Venus seorang diri.
Venus duduk bersandar di salah satu sudut. Kepalanya menoleh ke satu arah. Angin membuat rambutnya berkibar perlahan. Venus hanya memejamkan mata. Merasa yakin sebentar lagi ia akan kedinginan. Seragam pasien ini tidak bisa melawan yang satu itu.
Bayang-bayang tengkorak hitam mengaburkan sisa kewarasan anak perempuan itu. Menutup mata atau tidak, itu sama saja.
Amerta Adiwangsa, anak itu teringat. Jadi, itu nama ayahnya. Kemudian, ia teringat hal lain.
Apa maksud seorang anak yang mengatakan bahwa ia sama dengan ayahnya? Lalu, kenapa ia dipanggil benih Voltura? Apa karena ia sudah membunuh orang, lantas ia dianggap sebagai bagian dari organisasi jahat itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu rasanya normal di kepala Venus. Setidaknya ia punya hal lain yang bisa dipikirkan selain kematian.
Apapun itu, meskipun berat, Venus akan mencoba untuk menerima semuanya. Ia takut, itu pasti. Namun, jalan satu-satunya yang bisa ia gunakan sebagai senjata juga sudah dinonaktifkan.
Jadi, apa yang bisa ia lakukan?
Jika di sini benar ada dewa, maka biarlah sumpahku menjadi nyata.
Seperti aku, kelak negeri ini akan binasa.
(Salam, Putri Bizura.Setelah bertahun-tahun saya mencoba berkomunikasi dengan Anda … akhirnya! Dua kali percobaan saya hampir berhasil, tetapi tiba-tiba gagal. Mungkin karena Anda masih belum mengetahui indentitas diri Anda? Atau pertahanan Anda yang tentu lebih kuat dari insan volt lain?Terlepas dari itu, perkenalkan. Saya adalah Mustaka, roh yang ditugaskan oleh Sang Penguasa Empat Dimensi, Yang Mulia Agung Kaisar Azafer, untuk menjaga dan melindungi Anda dari menjadi incaran musuh.Seperti Dewa Kebencian, misalnya. Sungguh, Kaisar Azafer menyatakan penyesalannya, atas anugerah yang telah dengan ceroboh ia turunkan pada Giris Druiksa.Saya selalu berada di sisi Anda. Jadi, kapanpun Anda ingin berkomunikasi dengan saya, silakan panggil saja nama saya dalam hati.Salam, Putri.Dan bangunlah. Ada pemuda menawan yang sedang mengagumimu dalam kehangatan di wajahnya.)
Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum.“Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar.Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan.Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus.“Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu.“Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!”“Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad.“Tidak.”Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya.“Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah.
Pesawat berhenti setelah kira-kira dua jam kemudian. Atau setidaknya begitulah menurut Mustaka pada Venus, yang terus saja memelototi salah satu jeruji sejak ia tahu siapa Amerta yang sebenarnya.(Putri, apa informasi tadi lantas membuat Anda jadi patung?) Dengan kurang ajarnya Mustaka berkata dalam benak Venus.Venus mendengus. Tatapannya tidak pindah ke mana-mana. (Aku mati. Sialan kau, Mus! Kenapa kau tidak pergi saja dari otakku?!)(MUS?!)Venus berjengit seraya memegangi kepalanya. Suara Mustaka terdengar sangat tersinggung dan hampir meledakkan otak Venus jadi berkeping-keping.“Jangan berteriak dalam kepalaku!” geram Venus dengan suara rendah.(Maafkan saya, Putri. Namun, sebelum ini Anda juga pernah berteriak. Kepala saya sama sakitnya dengan Anda.)Leher Venus memanas. Dia tidak ingat tentang itu. (Kau sebenarnya ada di mana, sih, Mus? Dan tolong, berhenti memanggilku Putri.
Jemari anak perempuan itu berkedut. Matanya mengerjap-ngerjap lemah. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya yang kering. Anak itu merintih saat kepala dan telinganya bekernyut nyeri.(Mus?)Venus meringis saat ia menghela tubuhnya hingga duduk tegak. Selimut kelabu tebal merosot dari dadanya. Untuk sesaat, Venus hanya memejamkan mata dan meremas kepalanya yang pening. Telinganya masih berdenging ngilu, dan Venus berharap semoga saja indranya yang satu itu nanti masih berfungsi.Venus membuka matanya dan memperhatikan sekeliling. Setelahnya, anak itu harus menghela napas, seakan-akan sudah merasa cukup dengan hidupnya dan karenanya jadi lelah.Gadis itu berada di sebuah ruangan berdinding batu. Ruangan itu hanya diterangi oleh dua buah obor yang diletakkan di kiri-kanan pintu. Perabot dan benda yang ada di sana hanyalah tempat tidur yang kini diduduki Venus, sebotol air di atas meja kusam, dan tiga buah kursi yang anehnya tampak mengilat.Ve
Engsel pintu berdentang saat seseorang membuka pintu ruangan tempat Venus berada. Venus masih duduk di atas tempat tidurnya dan menyandarkan punggung, kedua matanya terpejam. Kepala anak itu mendongak, sesekali wajahnya mengernyit kesakitan. Rasanya seperti Kesatria Jarum dan Raja Godam tengah menyerang telinga dan kepalanya secara serempak.“Halo, Anak Haram.”Venus memaksakan diri untuk membuka mata dan melihat siapa yang dengan berani menghina dirinya seperti itu.Sosok itu adalah seorang wanita berambut hitam pendek, dengan riasan tebal yang tampak menakutkan. Matanya berwarna cokelat … atau kemerah-merahan? Venus tidak yakin dengan itu. Wanita berkulit eksotis itu memakai terusan hitam dengan belahan dada sangat rendah; membuat Venus bertanya-tanya, bagaimana perasaan Mustaka saat ini.Wanita itu tiba-tiba menyeringai. Ada yang menggelitik pikiran Venus. Ia seperti pernah melihatnya di suatu tempat … di mana? Nyeri di kepala
Lelaki berjubah merah itu berdiri di ambang pintu, tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya. Surai gelap nan ikal sepanjang bahu membingkai wajahnya yang dingin. Iris matanya segelap Kegelapan, memantulkan cahaya obor yang bergoyang-goyang seperti mata iblis. Yang mengusik perhatian Venus adalah; wajah dan perawakan Amerta sama sekali jauh dari kesan bapak-bapak, melainkan lebih seperti lelaki gagah berusia dua puluhan … dengan aura yang lebih menakutkan.Udara tiba-tiba bertiup dari pintu yang terbuka. Venus mengejang. Aroma tubuh Amerta seperti darah segar, tetapi sekelebat harum mawar entah kenapa mampu mengaburkannya.Amerta menutup pintu di belakangnya, lalu melangkah mendekat. Kepalan tangan lelaki itu mengendur; tapi tidak dengan Venus. Punggung gadis itu seperti diregangkan paksa oleh sesuatu. Setitik keringat dingin menetes di dahi kanannya.Mata Venus dengan waspada mengawasi gerak-gerik Amerta, saat lelaki itu memosisikan diri di ku
Menurut Venus, ada dua kategori dewasa di dunia ini. Satu, dewasa dalam hitungan usia. Dan dua, dewasa karena keadaan yang memengaruhi psikis seseorang.Venus masih berusia lima belas tahun … dan ia memasukkan dirinya sendiri ke kategori dewasa yang kedua.Otak Venus dipaksa untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dipikirkan oleh remaja seusianya. Ia diharuskan untuk memperjuangkan hidup dan matinya. Ia dicokoli kebenaran nan menyakitkan secara terus menerus. Seakan-akan ia tidak boleh menjadi anak alay sebentar saja!Venus menghela napas, merasa seperti sedang syuting sebuah sinetron komedi yang membosankan.Sudah sembilan hari dia berada di ruang bawah tanah itu. Makan, minum, meregangkan badan, pergi ke kamar mandi, bermain Bubble Shooter dan Zombie Apocalypse di ponselnya. Sesekali meminum obat yang diberikan oleh seorang wanita tua, yang selalu datang ke ruangannya untuk mengantarkan makanan dan mengambil pakaian kotor Venus.Di
Salah satu dari kedua foto itu adalah gambar yang sama dengan foto yang Venus tinggalkan di Bumi Pertama. Ia membuka paksa kedua pigura itu untuk mengambil kertas fotonya. Venus memeluk erat-erat keduanya. Lalu, Venus teringat sesuatu yang pernah dikatakan Amerta padanya. Venus menggigit bibir seraya menatap Ildara yang masih tampak heran. “A-Apa ….” Venus berdeham-deham gugup. Ia mengangkat kedua foto itu agar Ildara dapat melihatnya dengan jelas. “Kau mengenalnya?” Salah satu alis Ildara terangkat. Ia bersedekap. “Siapa di Negeri Dasina ini yang tak kenal Langit Prahara? Dia musuh besar Amerta, sekaligus momok menakutkan nomor dua di negeri ini. Mereka sama-sama terobsesi dengan ide menguasai Bumi Kedua.” Kedua tangan Venus terjatuh lemas ke samping tubuhnya. “Tidak,” gumam Venus; pikirannya mendadak kosong. “Dia … dia tidak seperti itu.” “Oh, ya?” dengus Ildara. Ia mulai membongkar isi koper yang sisanya hanya berisi pakaian dan beberapa kalung berliontin batu hitam. “Dengar
Venus melihat mereka melalui kacamata malam yang dia kenakan, ketika akhirnya dia dan Ildara tiba di sebuah lubang yang hampir melingkar dengan tebing-tebing tinggi yang mengelilingi mereka. Berada di sisi tebing, sekelompok orang "kecil" berbisik ketika mereka menyaksikan kedatangan Venus dan Ildara.“Orang-orang” ini, yang Mustaka panggil Ebu Gogo, tingginya hanya sekitar satu meter, wajah mereka ditutupi bulu lebat seperti primata non-manusia. Perut mereka membuncit seperti pot, dengan telinga mencuat seolah-olah telinga mereka telah menggunakan beban yang tidak terlihat selama sisa hidup mereka.Venus terus berjalan ke tengah lapangan kecil yang terbuka dengan langkah lambat sambil mengamati makhluk lain. Namun, tiba-tiba salah satu Ebu Gogo dengan bulu coklat muda di wajahnya mendekati Venus dengan cara berjalan kikuk. Meski begitu, ekspresinya terlihat seperti sedang marah.Ven
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa.Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka.Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan.Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi.“Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya.Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau ti
Malam itu Venus hanya tidur selama beberapa jam saja. Entah kenapa ia akhir-akhir ini punya masalah dengan pola tidurnya. Rasanya seperti ia lelah jika harus tidur lama-lama. Padahal tidurnya selalu kurang dari delapan jam.Setelah melempar tubuh lelaki yang ia bunuh tadi malam keluar gerbang kompleks, Venus segera pergi tidur saat jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.Namun pada jam tiga pagi, ia terbangun dan tak bisa lagi memejamkan mata. Venus menghabiskan dini hari itu dengan menjelajahi ruang bawah tanah yang berdebu dan membaca beberapa buku fiksi koleksi Ildara di sana.Mustaka sama sekali tak menyahut saat gadis itu memanggilnya dengan telepati. Sedangkan Kaisar … sepertinya memang Venus tak bisa berbicara dengannya secara sembarangan. Kecuali Kaisar sendiri yang memulai.Pada jam lima, mata Venus berkedip-kedip lelah. Ia setengah mendesah lega, karena akhirnya mengantuk lagi. Namun gadis itu terpaksa berteriak sebal sendiri di kamarn
Besok adalah hari keempat belas sejak kepergian Ildara. Untuk yang kesekian kalinya dalam beberapa hari ini, Venus merasakan kemarahan yang berlebih akibat Ildara yang sama sekali tak memberi kabar padanya. Venus bahkan sempat berpikir, kenapa waktu itu dia tidak memberikan masa tenggat lebih cepat dari ini pada Ildara. Ketidaksabaran membuat anak itu menjadi gerah terus-terusan berada di rumah besar ini. Meskipun punya teman tak kasatmata seperti Mustaka atau Kaisar—meski yang satu ini jarang sekali bertelepati dengannya—tapi Venus tetap merasakan kesepian. Benda yang disebut dengan televisi … Venus hanya menyalakan itu saat ia butuh melihat berita tentangnya lagi. Lagipula, Venus tiba-tiba menjadi benci dengan segala film yang ada di dimensi bumi ini. Semua film menceritakan tentang kebaikan akan selalu menang; bahwa kejahatan pasti akan hancur. Sesuatu yang menjadikan diri Venus lebih sinis dari seharusnya. Takdir nyata tak seindah dalam halusinasi film semata, pikir Venus saat
Malam itu Venus tak bisa tidur. Ia pergi ke halaman belakang rumah Ildara yang megah. Halaman itu tersambung dengan hutan lebat yang gelap dan tampak menakutkan.Venus melatih dan mengerahkan Bakat-nya dengan kegilaan yang tak kunjung mereda. Sekali Ildara pernah menegur Venus karena terlalu berlebih-lebihan dalam mengerahkan Bakat Petir, sehingga menciptakan guntur dan petir di mana-mana.Beberapa pohon di dalam hutan tampak terbakar. Namun, dalam ketidaksadaran, ia juga menurunkan hujan lebat di atasnya, sehingga api cepat padam.Venus membentak liar pada Ildara dan mengusirnya dengan percikan-percikan listrik. Setelah itu si kuyang tak lagi muncul untuk menegurnya.Venus membentak ke udara saat beberapa pohon di tepi hutan tercerabut dan terlempar satu-dua meter jauhnya.Belasan banaspati tiba-tiba melesat dan melemparkan api ke arah Venus. Namun, makhluk-makhluk itu tak mendapatkan ketakutan Venus, sehingga ukuran dan kekuatan mereka tak lebih
“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.”Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali.Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu.Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban.“Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan.Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun.Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding.Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu.Ildara ting
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani.Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya.Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu.Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya.Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras.Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah.Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langs
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya.Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya.Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi.(Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik.(Diam.) Pikir Venus padanya.Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka.Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana.Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa.Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya.Benda tajam serasa menusuk-nu
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu.Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan.Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu.Venus.Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa.Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa.Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan.“Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet