"Kamu di mana?" tanya seorang lelaki pada lawan bicaranya melalui sambungan.
"Kantor," balas seseorang di ujung sana dengan enggan.
"Aku di apartemen kamu sekarang. Kamu pulang jam berapa?" tanya nya lagi.
"Gak tau."
"Aku baru banget pulang loh, dari bandara langsung ke apartemen kamu." Ia merengek pada seseorang di seberang sana.
"Gak ada yang nyuruh kan?"
"Yaa iya sih. Yaudah aku tungguin kamu pulang." Ia memutuskan untuk menunggu sang empunya unit.
"Gak usah. Pulang aja sana! Aku mau lembur."
"Tadi kamu gak ada bilang mau lembur, kenapa tiba-tiba jadi mau lembur?" Sang penelepon mengerucutkan bibirnya karena kesal mendengar balasan dari seberang sana.
"Suka hati aku lah."
"Ck. Yaudah lah aku tetap nunggu kamu." Ia berjalan menuju sofa dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
"Terserah." Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh lawan bicara.
"Ishh kebiasaan." Ia menghembuskan nafasnya melihat kelakuan lawan bicaranya.
Tak lama berselang, ia sudah masuk ke dalam mimpinya. Nampaknya ia sangat kelelahan.
Entah berapa lama waktu yang dihabiskan lelaki tersebut untuk terlelap, karena ia sangat menikmatinya. Tubuhnya lelah setelah melakukan pekerjaannya dan baru ada kesempatan untuk tidur dengan benar ketika di apartemen yang disinggahinya.
Drrtttt. Dddrrtttt. Dddrrrttt.
"Hallo," ujarnya dengan suara berat khas bangun tidur.
"Lo dimana?!" tanya penelepon dengan cukup keras.
"Santai dong. Kenapa?" balasnya ikut keras.
"Gue di apartemen lo sekarang. Dan gak ada orang."
"Ohh iya, gue gak pulang tadi." Kesadarannya sudah mulai terkumpul.
"Cepattt bilang, lo dimana? Gue jemput."
"Emang mau ada apa sih?" Ia mengernyitkan dahi pertanda bingung.
"Kita mau ada konferensi pers, menyambut kepulangan tour dunia kita. Jam 8 malam di hotel Santika, dan lihat sekarang udah jam 6 sore. Kemungkinan akan telat karena lo yang menghilang Christian!" ujar sang penelepon dengan menggebu-gebu.
"Sumpah? Kok gue gak tahu kalau mau ada conference?!" Ya, Christian atau yang biasa dipanggil Tian langsung berdiri mendengar info tersebut.
"Baru tour berapa bulan dah amnesia kau rupanya."
"Gue di Rajawali tower 3. Jemput di lobby. Cepat cepat!" Tian mulai kelimpungan karena hanya sisa sedikit waktu untuk sampai di tempat tujuan.
"Gila kau! Buat apa gue jauh-jauh jemput ke Central Park kalau lo ternyata di dekat kantor!" maki sang penelepon.
"Yaudah lo langsung ke Santika aja, gue berangkat dari sini." Akhirnya Tian memutuskan berangkat sendiri.
"Tunggu orang kantor jemput. Bahaya kalau berangkat sendiri."
"Gak papa, biar gak terlambat. See you." Tian memutuskan sambungan telepon mereka.
Christian bergegas membuka koper miliknya yang tergeletak di ruang tamu. Bahkan sekedar memulangkan koper pun tak ia lakukan.
Tian memilih outfit untuk dikenakannya pada konferensi pers. Pihak agensi membebaskan mereka untuk style pakaian karena terlihat waktu yang semakin sempit.
Ia mengambil ransel milik Ria-pemilik apartemen- yang terlihat mata. Tak mungkin ia langsung mengenakan pakaiannya dari apartemen, bisa-bisa sudah terlanjur bau karena harus berjibaku dengan rush hour.
"Kok gue bisa lupa sih kalau ada jadwal konpers." Ia memasukkan barangnya sembari merutuki kelalaiannya yang lupa jadwal.
Selesai merapikan perlengkapannya, ia masuk ke walking closet di kamar Ria dan memilih aksesoris untuk dikenakannya. Tian mengambil kacamata minus miliknya yang memang sengaja ia tinggalkan, bandana hitam, scraf motif bunga, masker hitam dan topi hitam yang semuanya milik Ria. Tak lupa iWatch milik Ria juga ia kenakan.
Ah. Bomber warna coklat yang terlihat olehnya langsung ia kenakan. Semua perlengkapan itu digunakannya untuk penyamaran, karena Tian akan menggunakan ojek online agar sampai di hotel Santika tepat waktu sebelum siaran dimulai.
"Riaa, aku harus ke hotel Santika untuk siaran pers. Kalau kamu mau dibawain sesuatu kabarin aja. Lampu udah ku nyalakan semua. Semangat lemburnya. Kalau mau dijemput kabarin juga ya." Tian mengirim pesan suara pada Ria karena sudah tak sempat untuk meneleponnya.
Tian bergegas turun ke lantai bawah untuk menemui pengemudi ojek yang sudah ia pesan.
"Christian Hartanto, hotel Santika?" tanya Tian pada pengemudi ojek online yang memiliki plat sesuai dengan aplikasi.
"Iya betul mas."
"Let's go! Yang cepat ya pak bawa nya, saya sudah terlambat." Tian menyuruh pengendara tersebut.
"Baik mas, kencangkan helm nya ya!"
Dan wusssssss... Motor yang membawa Christian Hartanto menuju hotel Santika melaju dengan sangat cepat di tengah kemacetan ibukota.
******
"Hhhhh kenapa dia gak pulang aja sih?" Ria yang baru saja mendengar pesan suara dari Tian hanya bisa menghela nafas.
"Kenapa? Si Tian lagi?" tanya Vera, teman kantor Ria yang tahu sedikit kisahnya dengan Tian.
"Hmmm."
"Udah lah Ri, jangan keras-keras banget sama Tian, nanti kena karma loh," ujar Vera memberi nasihat untuknya.
"Udah sering. Dah mati rasa gue sama karma," balas Ria dengan datar.
"Huushhh gak boleh gitu ngomongnya." Vera menepuk pelan lengan Ria.
"Udah sana, gue mau lanjut kerja lagi!" Ia mengusir Vera untuk kembali ke mejanya sendiri.
Sementara, di ballroom hotel Santika sudah ramai oleh para wartawan yang siap meliput siaran pers kali ini. Kilatan cahaya hasil bidikan kamera sudah memenuhi ballroom yang memang disewa khusus oleh pihak agensi untuk konferensi pers kali ini. Hampir seluruh member GMC sudah hadir, kecuali Christian yang sulit dihubungi. Sementara konferensi pers akan dimulai kurang dari 5 menit lagi.
"Tian sialan! Kemana tuh anak belum datang juga?!" ujar Januar-leader dari GMC.
"Gak tahu, ini lagi terus coba diteleponin," timpal Elang-member termuda di grup tersebut.
"Boys, konpers akan dimulai sekarang juga. Seadanya aja tanpa Christ. Kalau Christ datang nanti tinggal buat skenario alasan. Yok keluar yok," ujar manajer GMC menghentikan segala usaha mereka untuk menghubungi Tian.
Christian baru saja tiba di lobby dan sepertinya sudah terlambat. "Terima kasih banyak pak, nanti saya transfer tips nya." Ia langsung berlari menuju ballroom yang tampak ramai dan diyakini sebagai tempat conference diadakan.
Begitu ia berhasil memasuki ballroom, terlihat para member GMC baru keluar dari backstage sedang menuju kursi dan meja yang telah disediakan. Christian berlari sekencang mungkin dan berhasil memasuki urutan kelima untuk duduk. Ia tak sempat mengganti pakaiannya.
Bergegas ia melepas masker dan topi yang ia gunakan untuk menaiki ojek. Nafasnya tersenggal, karena berlari dari lobi hotel menuju ballroom yang memiliki jarak cukup jauh. Tian menyisir rambutnya yang sangat basah dan berminyak karena menggunakan helm dan topi saat berkendara tadi. Para member terkejut sekaligus senang melihat kehadiran Tian yang tepat waktu, walaupun dengan tampilan yang di luar dari kata normal sosok boys group.
"Minta air. Gue gemeteran dari tadi ini," ujar Tian pada Julio-member di sebelahnya.
"Style lo boleh juga Yan," ujar Julio sambil memberi air pada Tian.
"Duh gak guna gue bawa baju berat-berat di tas kalau gak sempat ganti gini." Tian mendumel.
"Gak masalah kok, bagus perpaduan bomber dan syal nya." Januar memuji pakaian yang dikenakan Tian.
"Gak dipakai aja topi nya Yan? Wihh inisial apa nih RACH? Atau nama orang?" Julio yang usil mulai berulah.
"Bukan siapa-siapa." Tian memasukkan topi tersebut ke dalam tas. Ia lupa kalau barang milik Ria banyak terdapat inisial Ria dan Tian.
###########################
"We did it boys. You are guys really awesome." Januar mengapresiasi GMC yang baru selesai melakukan conference. "You too Jan." Tian menepuk pundak Januar. Sang ketua juga harus diapresiasi. Tian berjalan menuju sofa dan mengistirahatkan punggungnya yang sedari tadi tegang. "Lo naik apa kesini tadi? Kenapa dekil banget?" tanya Septa yang baru sempat berbicara dengan Tian. "Naik motor ojek online," jawab Tian sambil makan, karena ia belum sempat makan sedari pulang tadi. Semua member terkejut, terheran-heran. Seorang Christian Hartanto menggunakan motor? Tian yang merasa diperhatikan oleh seluruh orang di ruangan, menghentikan makannya dan ikut melihat sekeliling. "Kenapa?" Ia mengernyitkan dahi. Bingung dengan reaksi mereka. "Lo? Naik motor? Ojek online? Lagi ngelucu atau bagaimana?" Jimmy menerta
"Good morning Ri. Aku udah buat sarapan untuk kamu," ujar Tian yang baru memasuki apartemen. Ria menuju ruang makan tanpa membalas sapaan Tian. Ia duduk dan memperhatikan Tian dengan seksama, menunggu pengakuan darinya. Tian yang ditatap seperti itu hanya melongo. Ia tak paham maksud tatapan Ria. Ria yang malas menjelaskan, memilih untuk menyantap sarapannya. Tian yang diperlakukan seperti itu, menggaruk belakang kepalanya. Apa yang salah dengannya? Ikut sarapan bersama Ria dan terus mencuri pandang ke arahnya. "Kenapa sih? What's wrong?" tanya Tian karena ia terganggu dengan keterdiaman Ria. Ria hanya menggelengkan kepala dan mengabaikan pertanyaan Tian. "Dari mana?" akhirnya Ria buka suara. "Gym." "Aaaaa, I see. Iyaa aku pakai kartu a
"MRT or Commuter line?" tanya Ria begitu mereka sudah berada di pinggir jalan. "Gak tahu. Ikut mau kamu aja." Tian minim sekali pergerakan sedari tadi. "Kamu jangan diam-diam aja dong Yan. Tau gitu mending di apartemen aja." Ria menghentikan langkahnya. Ia kesal dengan Tian yang tidak responsif. "Aku bingung Ri. Yaudah cari yang gak ramai aja biar aku gak ketahuan fans deh." Tian mengusulkan menghindari kerumunan agar keberadaannya tidak terdeteksi. Nasib superstar yang sulit untuk kemanapun. "MRT aja kalau begitu." Ria berjalan menuju stasiun MRT yang letaknya tak jauh dari kawasan Rajawali. Memang benar-benar pusat perekonomian negara, karena segala fasilitas transportasi umum sudah sangat terjamin di wilayah ini. "Nanti kita berhenti di stasiun secara acak aja ya. Aku gak punya tujuan." Mereka berjalan tanpa perencanaan. Bukan tipikal Ri
"Ya Tuhan, anakku," ujar Antara begitu tiba di kamar putrinya. "Kenapa dia bisa begini Randy?" tanya Antara-papah nya Ria. "Dia main keluar sama Tian." "Tian? Christian Hartanto?" tanyanya memastikan. Randy menganggukan kepalanya. Beberapa saat yang lalu, ketika Ria sedang kejang dan masuk ke dalam 'delusi'-nya, pengawal pribadi yang diutus oleh keluarga mereka untuk menjaga Ria langsung menelepon melalui panggilan grup. Peraturannya adalah jika terjadi sesuatu yang sangat genting di antara mereka berlima -Antara dan keempat anaknya, perwakilan pengawal pribadi mereka harus langsung menghubungi melalui panggilan grup. Siapa yang sedang senggang saat itu dan bisa mengangkat telepon, harus menghampiri tempat kejadian. Berhubung mereka berlima orang yang sangat sibuk, tak jarang para pengawal yang menangani sendiri. Sebenarnya mereka jarang se
"Gimana? Si bocah tengil itu berhasil masuk rumah sakit ndak?" tanya Hartanto pada anak buah yang diutusnya untuk merecoki acara jalan Tian dengan Ria. "Engga bos. Ternyata backingan dia banyak sekali," balas Rizal-tangan kanan Hartanto, orang kepercayaannya. "Banyak gimana? Bukannya kamu bilang cuman ada pengawal si Christian?" Hartanto merengut kesal karena rencananya tak berjalan. "Saya tidak tahu bos, yang pasti semua rencana kita digagalkan oleh orang lain. Seolah mereka hadir memang untuk melindungi Nona," jelas Rizal. Bagaimana pun Rizal tetap menghormati Ria dengan memanggilnya Nona. Walaupun tindakannya tidak menunjukkan rasa hormatnya. "Lalu untuk pencegatan bahan baku produksi dia bagaimana? Sudah dialihkan ke perusahaan saya?" tanya Hartanto kembali. Entah ada masalah apa Hartanto dengan Ria. Kakek tersebut selalu berusaha untuk mengganggu Ria. "Sudah bos
"Saya benci kamu." "Kenapa lo harus mengingatkan gue dengan wanita gila itu?" "Gue benci lo dek." "Aku gak bisa dekat kakak, pasti akan mengingatkan ku sama dia." "Lo atau gue yang pergi?" "Tolong dedek bang. Bang jangan tinggalin dedek sendiri." "Anak gak tahu diuntung." Gangguan suara itu lagi. Kenapa rasanya masih sama? Sama-sama menyakitkan. Tuhan. Tolong Ria... Gue berusaha menggapai setitik cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti. Suara-suara tersebut terus mengelilingi. Apa dosa yang diperbuat Ria di masa lalu, Tuhan? Kenapa harus Ria yang mengalami ini? Gue berhasil membuka mata dan melihat sekitar bahwa gue masih di rumah papah. Tidak terjadi apa pun. Air mata tumpah mewakili perasaan gue saat ini. Sudah
Tutttt. Tutttt. Tutttt.Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Silakan coba beberapa saat lagi."Arrghh kamu kemana sih?" Sudah tiga hari berlalu Tian kehilangan kabar dari Ria. Terakhir kali ia berkunjung ke rumah kakeknya dan berujung diare, ia tahu bahwa satai tersebut dikirim oleh Ria."Ayo Christ, sebentar lagi kita mulai shooting," ujar salah satu staf yang masih melihat Tian berada di luar ruangan."Oh, iyaa."GMC melakukan taping untuk acara variety show milik mereka sendiri. Acaranya berupa games dan terdapat kompetisi di dalamnya. Mereka sudah menjalani 141 episode yang tiap episode tayang seminggu sekali.Acara mereka dinamakan playing with GMC dengan penonton di platform youtube bisa mencapai 5-10 juta dalam sekali penayangan.Sepanjang taping mereka semua menjalani
"Kamu mau sarapan apa Ri?" tanya Tara begitu melihat anaknya sedang berjemur di halaman rumah."Bubur ayam yuk Pah yang di depan sana." Ria membuka mata tatkala mendengar suara Tara."Anton, ambilin dompet sama ponsel saya!" titah Tara dan ia berjalan menghampiri Ria."Dari kapan kamu di sini?" Mengusap peluh yang hadir di sekitar kening Ria."Lupa. Aku lanjut tidur sepertinya," balas Ria dibarengi dengan senyuman.Terlihat Anton menghampiri mereka. "Ini pak. Mau saya antar atau bagaimana?"Ria menggeleng pada Tara. Ia sedang bosan diikuti terus."Gak usah. Standby saja kalau saya butuh sesuatu," ujar Tara. Ria memutar bola mata, tentu saja papahnya tak akan membiarkan mereka pergi tanpa pengawalan dari Anton."Gak boleh keliatan mata aku loh. Kalau sampai keliatan, kalian aku hukum!" tekan Ria pada mereka. Ia benar-benar sedang pengap diikuti terus sedari awal di sini.Tara menggenggam tangan Ria."Hushh gak
Hai! Sudah sampai kita di penghujung kisah mereka. Terima kasih kepada pembaca yang senantiasa bersedia menunggu cerita ini usai. Maaf jika terdapat plothole dan beberapa kesalahan lainnya. Terutama tidak sesuai ekspektasinya. Maaf jika selama membaca, dari kalian ada yang tertriggered karena gangguan jiwa yang dialami tokoh utama. Saya ingin memberitahu bahwa cerita ini merupakan series alias tidak hanya cerita tentang mereka berdua. Kisah mereka tidak berakhir begitu saja. Akan ada cerita selanjutnya yang mungkin terdapat tokoh pada cerita ini alias Ria dan Tian. Mungkin kisah mereka akan berlanjut di cerita lainnya. Nantikan kisah selanjutnya dari series ini, ya! See you.
Surat ini ditujukan untuk semua anggota keluarga yang sangat aku cintai.Terlihat jadul banget, ya? Masih pakai surat kertas tulis tangan seperti ini, hehe. Pertama-tama aku mau minta maaf dulu sebelum dapat penghakiman dari kalian. Maaf harus mengacaukan kebahagiaan yang sedang menyapa keluarga kita. Maaf untuk kesekian kalinya karena aku bertindak egois.Aku butuh jarak dari ini semua. Aku bener-bener belum bisa menerima keadaan dan status aku yang baru. Maaf karena lagi-lagi aku bertindak egois tanpa memikirkan perasaan Papah dan Kakek yang ingin sekali mengumbar kedekatan dengan Ananta tanpa takut statusnya akan terungkap.Aku butuh berpikir jernih untuk bisa melanjutkan hidupku yang terlanjur berantakan. Bukan karena Ananta yang terungkap ke publik, kok. Memang sudah berantakan dari awal. Banyak yang harus aku luruskan dengan diriku sendiri.Ditambah aku baru aja putus. Sedih, kan? Aku mendapat figur keluarga yan
Entah terlalu lelah atau terlalu malas, Ria langsung tergeletak begitu saja di tengah-tengah ruangan depan. Ia melempar tas sembarang dan merebahkan tubuhnya di lantai. Lantainya bersih tentu saja. Untuk apa Antara mempekerjakan sebanyak itu pembantu rumah tangga jika rumahnya masih saja kotor.Ria masih setengah terkejut mendapati keputusan Tian yang memilih untuk berpisah. Meskipun lelaki tersebut tidak gamblang menyatakannya, namun Ria paham arti dari semua tindakan Tian hari ini. Hal tersebut cukup membuktikan bahwa semuanya telah usai.Ria masih belum menerima alasan dari lelaki tersebut untuk mengakhiri hubungan mereka. Sungguh, Ria masih tidak mengerti sudut pandang Tian. Ia bahkan tidak tahu hal yang membuat Tian merasa begitu tersakiti. Seolah dirinya berselingkuh dari lelaki tersebut.Ria menyipitkan matanya begitu berbagai spekulasi hadir di benaknya. Semakin dipikirkan, semakin sakit kepalanya. Namun ia tidak bisa menerima begitu sa
“Firasatku berkata tuk jauh darimu, lalu kutemui kamu. Tak ku sangka kamu ada di depanku, bermain cinta.” Penggalan lirik lagu dari Geisha membawa Ria tiba di ruang sidang yang akan membacakan putusan terkait kasus penganiayaan dirinya tempo lalu.Ruang sidang terasa ramai karena banyak orang yang menyaksikan mengingat Lita salah satu artis tanah air yang sedang naik daun. Kasihan jika dilihat, baru merintis karir dan mulai merasakan ketenarannya, tapi semuanya harus hilang dalam sekejap mata akibat emosi semata.Berbagai pemberitaan di luar sana semakin menggila terkait kasus yang menimpa Ria, Lita dan sepupunya Tian. Nama Tian juga ikut terseret dalam kasus tersebut, apalagi kalau bukan untuk menaikkan engagement pemilik portal berita online. Ria tidak ingin hal ini merembet pada kehidupan orang lain sebenarnya, namun media dengan segala kontennya.Nama Ria juga tak luput dari pemberitaan terlebih setelah pengakuan langsung dari p
“Lo udah tahu kalau lo kembali viral? Namun dengan pemberitaan yang berbeda,” kata Jimmy memulai percakapannya dengan Ria.Beberapa menit yang lalu, Antara dan Wira meninggalkan ruangan dengan alasan ingin mencari angin. Padahal mereka ingin memberi ruang untuk Ria dan kawannya berbincang. Antara dan Wira senang bisa berinteraksi dengan kawan Ria tanpa perlu takut status Ria terungkap. Mereka harus menunggu 33 tahun lebih sesuai dengan umur Reno, anak tertua untuk bisa mengakui keturunan mereka dengan bangga.Ria menggeleng, kemudian mengangguk. Ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya.“Ketika kasus penganiayaan yang menimpa diri lo terkuak ke publik, bersamaan dengan tersangka yang namanya juga diungkap. Besok paginya, Papah lo bikin konferensi pers di depan puluhan wartawan dan mengatakan bahwa putrinya yang menjadi korban dalam kasus tersebut.”“Pelan-pelan. Gue tahu lo biangnya gosip, tapi gue mas
“Ria!” panggil Antara dengan keras begitu mendapati wajah putrinya penuh darah dan lebam di berbagai sisi. Ia bahkan sempat tidak mengenali jika tidak menangkap anting yang dikenakan putrinya yang tidak dimiliki oleh siapapun.Antara berlari menerobos pengawal yang sudah mengepung para pelaku. Tangan Antara gemetar tatkala akan menyentuh pipi Ria. Ikatan tali di tangan dan kaki Ria sudah dilepas, meninggalkan bekas yang sampai terlihat dagingnya. “Ambulan sebentar lagi tiba, Tuan. Kita tidak berani memindahkan Nona, takut semakin memperparah kondisinya,” ungkap salah seorang pengawal, takut Antara salah paham karena mereka yang tidak segera membawa Ria ke rumah sakit.“Pakai helikopter agar cepat sampai.”“Baik, Tuan.”Antara meletakkan tangannya di dada kiri Ria tempat jantung berada. Ia ingin memastikan sendiri bahwa jantung putrinya masih berdetak. Entah apa yang akan terjadi jika
"Gue minta sama lo untuk nggak perlu membela kita di hadapan siapapun," kata Januar dengan tegas. Mereka sedang berkumpul di ruangan yang berisi sofa mengelilingi sebuah meja.Ruangan yang digunakan GMC untuk diskusi sebelumnya, bersebelahan tepat dengan ruangan Ria dan Reno bertengkar. Mereka bukan adu argumen, lebih ke arah Ria yang menghakimi Reno.Semua pertengkaran mereka terdengar jelas oleh GMC. Bahkan mereka menemukan fakta baru bahwa direktur di hadapan mereka saat ini sebelumnya merupakan CEO di Adiwira Holding Inc. Siapa yang tidak mengenal Adiwira? Banyak, karena saking banyaknya produk yang mereka hasilkan. Sehingga orang-orang tidak peduli di bawah naungan perusahaan mana produk tersebut berasal.GMC jadi merasa tidak enak karena membuat kakak beradik tersebut bertengkar. Ria dengan niat baiknya untuk menyampaikan keresahan GMC, namun caranya yang salah. Ia malah terfokus untuk menghakimi Reno, bukannya berdiskusi menemukan solusi
"Semuanya setuju dengan konsep shooting kali ini?" tanya Januar pada GMC yang lain di ruang studio latihan mereka.Tidak ada yang berani menjawab. "It's fine, guys. Sampaikan saja kalau keberatan. Kita punya hak bersuara dan gue sebagai leader yang akan menyampaikan ke atasan." Januar meyakinkan mereka semua untuk tidak perlu menahan pendapat."Gue nggak suka konsepnya. Konten yang kita jual di platform stars punya kualitas seperti siaran TV dengan kamera profesional. Kalau kita sekadar ngevlog dengan kamera biasa atau bahkan ponsel, nggak layak dijual pada platform tersebut. Upload aja di youtube, dapat adsense yang banyak juga mengingat masa Wings yang sangat banyak," ujar Samuel memecah keheningan di antara mereka."Setuju. Wings beli konten premium kita nggak murah, loh. Dan kita harus menampilkan kualitas terbaik yang bisa kita kasih ke mereka. Tahu, sih. Niatnya untuk memberi ruang gerak kita lebih leluasa dan di sisi lain memangkas biaya
“Boo, Pak Reno itu-”“Abang aku. Waktu itu kamu pernah ketemu di LA,” jawab Ria sebelum Tian menyelesaikan perkataannya.“Terus, waktu kalian ke Monokrom, kenapa dia bilangnya orang yang lagi dekat sama kamu?” tanya Tian begitu teringat dirinya yang cemburu dengan Reno.“Nggak salah, kan? Dia Abang aku. Dan kita emang lagi coba mendekatkan diri.”Tian menganggukan kepalanya pertanda setuju. Tidak ada yang salah, sih. Dirinya saja yang cemburu tidak jelas.“Pintu tempat kamu keluar tadi, isinya ruangan apa? Atau itu penghubung ke rumah selanjutnya?”“Ruangan yang lebih private yang tidak boleh dimasuki selain keluarga,” jawab Ria menegaskan bahwa batas orang luar berkunjung hanya sekitar ruang depan dan dibatasi oleh pintu tersebut. Bahkan pintunya tidak memiliki jendela, dan tidak akan bisa terlihat suasana di dalam sana.&ldquo