[ Rai, adikku yang tampan dan memesona, apa kamu punya waktu minggu ini bersama Yura, bagaimana kalau kita pergi berlibur ke villa papa yang ada di puncak? ]Zie mengirimkan pesan yang sudah dia tulis ke Sean. Ia meminta suaminya itu untuk langsung mengirimnya ke Raiga tanpa membaca lebih dulu, Zie takut Sean menghapus sapaan mesranya.Namun, dasar Sean si manusia gelato. Bukannya dicopy, dia malah langsung meneruskan pesan itu ke Raiga. Tentu saja pesan yang masuk ke adiknya tertera tulisan 'forward' di bagian atas. Tak peduli pesan itu sudah dibaca Raiga atau belum, Sean memilih memasukkan ponselnya ke dalam kantung celana, dia melanjutkan langkah pergi ke ruang kerja untuk menyiapkan rapat bersama jajaran direksi siang nanti. Raiga mendengkus kasar membaca pesan dari Sean, dari gaya tulisannya saja dia sudah yakin kalau sang kakak pasti meminta bantuan Zie untuk menulis pesan itu. Raiga meletakkan ponselnya dan memandang ke arah pintu kamar mandi di mana Yura sedang berada di dal
Aaera benci ada yang masuk ke dalam sel tahanan yang sama dengannya. Ia memandangi Mita dari atas sampai bawah, sudut bibirnya tertarik mencibir gadis itu. "Apa yang kamu lakukan sampai dipenjara? Membunuh orang?" Aaera benar-benar berubah. Ia tidak lagi anggun seperti dulu. Mungkin keadaan lah yang memaksanya menjadi seperti ini. Dia ditinggalkan sang ibu pergi keluar negeri, hanya ada pengacara dan bibi pembantu yang setiap dua minggu datang menjenguknya. Aaera tahu jika dia terlihat lemah di sana, maka dia pasti akan diinjak-injak oleh napi yang lain. "Hiss ... Ke mana sih penjaga, apa kalian tidak dengar aku? Kenapa ada napi lain di selku?" Teriak Aaera. Mita ketakutan, dia beringsut sampai punggungnya membentur dinding. Aaera masih terus memandanginya dengan tatapan menelisik, sampai akhirnya membiarkannya terus berdiri di sudut sel. “Heh, aku bertanya padamu, apa kamu ditangkap karena membunuh orang?” Mita menggeleng, dia pikir Aaera akan bersikap tak peduli, tak disangka g
Siapapun bisa merasakan atmosfer yang berbeda dari kegiatan makan malam yang sedang berlangsung di kediaman Aris saat ini. Sejak sang papa pulang, Yura sama sekali tidak keluar dari kamar. Kini dia sedang duduk di samping Raiga sambil mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan muka masam. Beberapa kali Raiga memberi perhatian, dari sekadar menanyakan apakah Yura mau tambahan lauk, sampai mengulurkan sendok ke depan mulut sang istri. Hanya sekali Yura mau membuka mulut dan menyantap suapan dari Raiga, setelah itu Yura kembali diam seperti sebelumnya. “Apa tidak selera?” Mirna akhirnya memutuskan untuk bertanya. “Apa mau mama buatkan nasi goreng sosis kesukaanmu?” Yura menggeleng, dia malah meletakkan sendok lalu menoleh sang suami. “Kak, aku mau pulang ke rumah mama Ghea,”ucapnya. Mirna dan Aris tahu kalau putri mereka benar-benar kecewa, tapi keduanya juga tidak bisa membicarakan masalah ini di depan Raiga, ada rasa sungkan di hati meski pria itu menantu sendiri. Baik Mirna dan Aris
Zie menggeleng, dia tidak menjawab pertanyaan Sean karena belum mendapat informasi lain dari adik iparnya. Alih-alih penasaran dengan teman Yura yang disebutkan, Zie malah ingin tahu siapa yang memberikan info itu ke sang suami.“Aku tidak mungkin membiarkan Aaera dengan mudah lepas dari jeratan hukum, aku membayar sipir untuk terus mengawasi gerak-geriknya.”“Benarkah?” Zie tentu kaget, kenapa Sean tidak membicarakan hal ini padanya, atau setidaknya memberitahu. “Kenapa tidak cerita?” tanyanya.“Untuk apa membebanimu dengan membahas Aaera?”Zie cengo, dia bahkan tidak bisa mendebat Sean karena apa yang diucapkan pria itu ada benarnya. Namun, tetap saja bagi Zie rasanya seperti Sean masih memperhatikan Aaera.“Apa aku cemburu? Aku merasa kamu perhatian ke dia,”ucap Zie. Meski terdengar aneh, tapi kondisi itu yang saat ini dia rasa.“Dasar! Untuk apa kamu cemburu, aku bukan perhatian ke dia, hanya mengantisipasi agar Aaera tak lagi mengacaukan hidup kita.”Sean membelai lembut pipi Zie
Melupakan sejenak masalah memang dibutuhkan, terkadang kita harus mengambil napas sebentar demi kewarasan. Itulah yang dilakukan Yura hari ini. Ia terlihat ceria berjalan menyusuri setapak di perkebunan teh yang mengelilingi villa milik sang mertua. Bersama Raiga, dia menikmati udara segar di sana. Zie dan Sean belum datang, mereka harus memastikan Keenan berada di tangan yang tepat sebelum meninggalkan putranya itu liburan.“Sebelah sana milik Sean dan yang sini milikku.”Raiga menunjukkan lahan bagiannya dan sang kakak, sedangkan Yura dibuat tak percaya denga napa yang sang suami tunjukkan.“Ternyata aku menikahi pria kaya, apa anakku juga akan menjadi crazy rich baby juga? Seperti sepupunya?”Yura tertawa, dia hanya bercanda karena tahu gelar itu tak mungkin bisa direbut dari Keenan. Bocah yang bahkan sejak berumur kurang dari satu tahun sudah mendapat gelar bayi terkaya di negara ini.Raiga memulas senyuman, dia tak menanggapi ucapan Yura dan malah meminta sang istri untuk hati-ha
“Apa teman kampusmu ada yang dipenjara?” Yura sampai urung memasukkan pizza ke dalam mulut mendengar pertanyaan Zie. Ia memandang Raiga seolah meminta persetujuan haruskah menjawab dengan jujur pertanyaan barusan. “Ah … itu ….” Raiga mengedipkan mata, hingga Yura pun sadar kalau Zie adalah orang yang bisa dipercaya, jadi dia tidak perlu berbohong dan menyembunyikan fakta ini. Lagi pula Zie sepertinya sudah tahu dan hanya memancing saja. “Hem … ada,”jawab Yura dengan sedikit ragu. Ia bahkan menggigit bibir bawahnya dan hampir meletakkan pizzanya kembali ke meja. “Makan-makan! Jangan membuatku tidak enak karena sudah menanyakan hal itu padamu.” Zie tersenyum canggung, dia merasa tidak enak hati, tapi tidak mungkin juga menyembunyikan fakta bahwa hal ini berhubungan dengan mantan kekasih suaminya. “Aaera, dia satu sel dengan teman kampusmu itu,”ucap Zie. Dia memandang Raiga menunjukkan dengan jelas rasa khawatir di wajah. Sean yang baru saja menurunkan barang pun dibuat sedikit sed
"Kamu pikir siapa yang dulu meredam berita tentang anak koas yang pingsan melihat darah? Memalukan sekali! Lalu siapa yang saat SD dulu selalu membantumu pagi-pagi buta ke ruang laundry membawa sprei yang terkena omp.... "Raiga panik, dia meminta Sean diam bahkan melompat mendekat lalu membungkam mulut sang kakak dengan telapak tangan."Bisa tidak kamu diam, di mana harus aku sembunyikan kemaluanku kalau mereka tahu?" Tanya Raiga sambil memandang ke arah dapur."Sembunyikan saja di boxermu," jawab Sean. Dengan susah payah dia berhasil menyingkirkan tangan sang adik."Maksudnya rasa malu."Raiga sampai salah ucap karena terlalu panik. Ia masih berdebat dengan Sean, saat Zie keluar membawa hidangan yang baru saja selesai dia masak bersama Yura.Zie heran karena posisi duduk Raiga dan Sean sangat dekat bahkan terlihat tangan Raiga ada di belakang badan sang suami."Kalian sedang apa?"Kening Zie berkerut karena curiga. Sama halnya dengan Yura yang menyusul ke ruang tengah membawa nampan
“Menurutmu apa yang dilakukan Raiga dan Yura di kamar?” Pertanyaan Sean yang terdengar sangat konyol itu menggelitik sesuatu di dada Zie. Ia sudah memejamkan mata tapi belum juga terlelap, mungkin karena perasaan dongkol di hatinya karena ketidakpekaan Sean tadi. “Apa kamu sibuk?” Tanya Zie sebagai balasan. “Kenapa?” “Sana keluar dan tanya sendiri sedang apa mereka.” Sedingin-dinginnya Sean, dia jelas paham kalau sang istri sedang kesal. Ia memilih menutup mulut kemudian beringsut memeluk Zie yang berbaring memunggungi dirinya. “Maaf ya, apa kamu marah karena tidak aku suapi?” Meski apa yang dikatakan Sean tepat dan benar, tapi Zie jelas tidak mau mengakui. Ia bahkan mengelak, tapi sambil menyingkirkan tangan Sean dari pinggangnya. “Tidak, siapa yang marah?” “Iya kamu marah!” Sean mencurukkan wajah ke punggung sang istri, jika sudah begini dia menyesal karena tidak langsung bersikap sama seperti adiknya tadi. “Zie, aku mohon maafkan aku,”lirihnya. Zie diam, dia sudah bisa mem