Zie sudah siap, dia memakai baju rapi dan hendak pergi ke rumah sakit untuk menemani Sean seperti biasa, tapi berlari ke kamar mandi kembali. Wanita itu membuka keran wastafel dan menumpahkan sarapan yang sudah masuk ke perutnya sejam yang lalu. Zie merasa kurang enak badan, kepalanya terasa pusing sejak dua hari ini. Ia berjalan keluar kamar mandi sambil mengusap mulut dengan tisu, lantas mengambil obat masuk angin di dalam laci.Dua bulan sudah Sean terbaring dalam kondisi tak sadarkan diri, dua bulan juga Zie memilih cuti bekerja dari perusahaan papanya untuk fokus merawat sang suami. Badan Zie nampak lebih kurus, mungkin karena dia harus bolak-balik siang dan malam menjaga Sean dan Keenan bergantian. Meski Keenan sudah ada yang menjaga, tapi dia tidak bisa mengabaikan putra semata wayangnya itu.“Zie, wajahmu pucat sekali.”Gia yang memilih pindah untuk menemani sang putri tinggal di rumahnya pun cemas, dia memberikan Keenan ke gendongan pengasuh dan mendekat untuk mengusap pipi s
Sebelum Raiga pergi ke rumah sakit, dia yang sedang berdiri di balkon sambil memandang taman rumah yang ada di bawah dihampiri oleh Daniel. Papanya itu sudah berpakaian rapi siap untuk pergi ke perusahaan, tapi masih belum memakai sepatu kerjanya.Daniel berdiri mensejajari Raiga, menumpuk ke dua tangan ke besi pembatas balkon lalu mengedarkan pandangan ke taman yang ada di bawah.“Dulu, Sean dan kamu sering berlarian di sana. Tentu saja sebelum Sean mengalami kejadian penculikan itu dan kembali dengan sikap yang jauh berbeda,”kenang Daniel. “Papa pernah berpikir mungkinkah semua itu salah Papa. Bagaimana seandainya jika Papa bukan bagian dari keluarga Tyaga, apakah Papa bisa membesarkan Sean dengan jauh lebih baik? Sehingga dia tidak perlu mengalami kejadian pahit itu.”Daniel tersenyum ironi, dia tahu bahwa tidak mungkin memutar waktu kembali. Jika dia bukan Daniel Tyaga jelas dia juga belum tentu bertemu dengan seorang Ghea Salsabila.“Jangan menyalahkan diri sendiri, Pa!” pinta Ra
Raiga pun pergi ke rumah sakit karena yakin bisa bertemu dengan Zie di sana. Seperti biasa, wanita itu pasti akan menemani Sean di pagi hari.Raiga mencoba bersikap biasa, bertingkah seolah-olah baik-baik saja setelah membaca surat Sean yang baru saja diberikan oleh sang papa. Ia bertemu dengan Marsha di depan, sepupunya itu duduk sambil bermain ponsel dan tak sadar dia sudah berdiri di depannya.“Ah… Rai, apa kamu ada praktik di rumah sakit ini?” tanya Marsha setelah mendongak untuk memastikan siapa yang datang.“Apa Zie di dalam?”Raiga tak menjawab pertanyaan Marsha, dia menoleh ke arah ruang ICU dan mencebikkan bibir karena sang sepupu tidak langsung membalas pertanyaannya. Raiga tahu, dia harus menjawab Marsha dulu, barulah wanita dua anak itu mau menjawab pertanyaannya.“Aku datang ke sini untuk melihat Sean, apa perlu aku praktik di semua rumah sakit agar ada alasan untuk datang ke rumah sakit,”ketus Raiga. “Sekarang jawab aku, apa Zie di dalam?”Marsha mengunci layar ponsel la
Mirna yang bingung mendengar kalimat putrinya pun meminta Yura mengulangi ucapannya. “Kamu bilang apa?” “Aku dua bulan ini tidak datang bulan.” “Apa?” Mirna membungkam mulut. Ia buru-buru menutup pintu kamar Yura lalu kembali masuk ke kamar mandi. Beberapa menit yang lalu, Mirna baru saja mengantar Aris berangkat kerja, dia heran mendapati Yura tidak turun untuk sarapan bersama, padahal sang pembantu sudah ke kamar untuk memanggil gadis itu. Alhasil setelah Aris pergi Mirna memilih untuk melihat kondisi sang putri ke kamar, dia takut Yura sakit karena tidak biasanya melewatkan sarapan. Mirna sebenarnya sudah ingin melakukannya sejak tadi, tapi sang suami melarang dengan alasan Yura tidak perlu terus-terusan dimanja. “Yura kamu jangan ngaco! Apa kamu melakukan seks bebas?” tanya Mirna. Sebagai keluarga terpandang, ini jelas akan menjadi aib jika sampai benar Yura hamil di luar nikah. “Aku hanya sekali melakukan itu, Ma!” Mirna memegangi dada, mulutnya megap-megap sampai dia har
“Sya, apa-apaan sih kamu?”Zie bingung meladeni sang sahabat. Bukannya berbelok ke kantin, Marsha malah mengajaknya ke poli kandungan untuk mendaftar.“Tenang saja! kita bisa makan sambil menunggu,”jawab Marsha. Ia menarik lengan Zie ke meja pendaftaran dengan tergesa-gesa.“Astaga, Marsha!”Zie akhirnya mengalah. Dia memilih mendaftar seperti apa yang Marsha inginkan, lalu menatap sahabatnya itu dengan raut muka cemberut. Marsha sepertinya senang, dia tertawa-tawa meski Zie mengayunkan tangan dan memukul lengannya karena gemas.“Sudah Zie! Banyak orang,”ucap Marsha untuk menghindari serangan dari istri sepupunya itu.Saat masih bercanda dengan Marsha, Zie melihat Yura dan seorang wanita yang tak lain adalah Mirna seperti disambut oleh seorang dokter. Ketiganya pun berjalan beriringan menuju lift lantas masuk.“Ada apa?” Marsha mencoba melihat ke arah Zie memandang, sayangnya dia tak melihat apa-apa. “Kamu lihat apa sih?”“Aku tidak yakin, tapi sepertinya aku melihat gadis pemilik hel
"Sudah ayo makan! Jangan pikirkan gadis itu dulu, nanti kita datangi rumahnya untuk mengucapkan terima kasih."Marsha sampai menghalangi pandangan Zie yang duduk di sebelahnya, karena sejak tadi Zie terus memandang ke arah lift seolah menunggu Yura muncul dari sana."Iya... Iya aku makan," ucap Zie yang masih saja menoleh. Sedangkan Marsha langsung menahan pipi sahabatnya itu.Di ruangan dokter Woro, Yura dan Mirna masih duduk dan sama-sama terdiam. Beberapa saat yang lalu Yura menceritakan semuanya ke dua wanita yang sedang bersamanya ini. Ia bahkan dengan polosnya berkata tidak menyangka bisa hamil padahal baru sekali melakukan itu.“Begitulah Tuhan kalau ingin menegur hambanya, kamu itu nakal, tidak pernah beribadah. Lihat di luaran sana! banyak pasangan suami istri yang sudah lama menikah tapi belum juga mendapat keturunan,”amuk Mirna. Ia baru saja menenggak obat sakit kepala karena pening memikirkan nasib putri kesayangannya.“Kamu membuat aib Yura,”imbuhnya.Yura diam seribu bah
Zie galau, dia keluar dari ruang pemeriksaan dengan wajah murung. Entah kenapa suasana hatinya berubah, bukankah seharusnya dia bahagia karena hasil USG yang baru saja dia lakukan, menunjukkan ada kantung janin di rahimnya.“Zie, kenapa kamu malah lemas seperti ini? apa kamu tidak senang mengandung adik Ken?”Marsha merasa bersalah, ini karena dia lah yang memaksa Zie melakukan pemeriksaan tadi. Wajahnya yang ceria pun seketika ikut murung. Menyadari hal ini, Zie pun mencoba menenangkan.“Aku senang, Sya. Aku juga bersyukur karena akan mendapat anak lagi, hanya saja aku sedikit menyayangkan, kenapa anak di antara aku dan Sean selalu hadir di saat yang tidak tepat,”ucap Zie. Ia memaksakan senyuman, sedangkan Marsha hanya bisa memandang iba.Dua wanita itu masih dia di sekitar area poli kandungan, hingga Zie melihat Yura dan Mirna yang berjalan menuju pintu keluar. Zie bergegas mengejar, dia benar-benar ingin mengucapkan terima kasih ke Yura karena bantuannya dua bulan yang lalu.“Maaf!
“Saya akan turun, Anda di mana? saya akan menemui Anda,”ucap Raiga. Meski masih bingung, tapi menyadari ponsel Zie berada di tangan wanita itu membuatnya merasa cemas.Mirna mengembalikan ponsel Zie, dia tak mengucapkan sepatah katapun dan membiarkan Zie kebingungan dengan sikapnya. Sementara itu, Yura tidak berkutik. Ia hanya bisa pasrah, memikirkan perbuatannya dan Raiga yang dia yakini hanyalah sebuah kecelakaan.Mirna dan Yura masih berada di lobi menunggu Raiga, sedangkan Zie langsung kembali ke ruang ICU bersama Marsha karena tidak ingin meninggalkan sang suami terlalu lama sendiri.“Aku harus menjemput Sera di sekolah, kamu tidak apa-apa ‘kan balik sendiri?” tanya Marsha setelah mereka agak menjauh dari Yura dan ibunya.“Hem, aku sudah biasa sendiri menemani Sean, jadi jangan cemas!” Zie menepuk lembut lengan Marsha, mengucapkan terima kasih karena sahabatnya itu membawakan makanan yang enak untuk mengisi perut dan bahkan menemaninya memeriksakan kandungan.Zie melambaikan tang