“Duduklah. Akanku buatkan kau makanan.” Zeus berucap dengan nada dingin, di balik raut wajah datar. Dia bergerak hendak ingin membuka kulkas, tapi gerakannya tertahan karena Vintari menahan lengannya.“Tidaak usah repot-repot. Aku takut kau mencampur racun ke dalam makananku. Aku masih ingin hidup,” ketus Vintari berkata konyol.Zeus menyentil kening Vintari yang berkata konyol.“Aww, sakit, Zeus,” ucap Vintari jengkel.“Kau jangan bicara konyol! Tunggu di sana dan jangan banyak bicara.” Zeus mendorong tubuh Vintari, memaksa perempuan itu untuk duduk di kursi meja makan.Vintari cemberut. Dia merasa selalu kesal setiap bersama dengan Zeus. Alih-alih menuruti perintah Zeus, dia memilih untuk duduk di belakang meja bar sambil menyaksikan aksi Zeus yang sedang membelakanginya. Ada banyak pertanyaan dalam hati Vintari untuk pria itu. Kenapa dia bisa memiliki suasana hati yang terus berubah-ubah? Kenapa dia selalu bersikap dingin? Kenapa setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa menyaki
“Mom, I’m home,” ucap Zayn begitu sampai di rumah. Tas selempang yang sudah menjadi andalannya selama setahun belakangan ini dilempar ke atas sofa. Langkahnya ringan menuju ke meja makan dengan sebelah tangan menenteng kotak bakery berisi cheese cake kesukaan ibunya.“Mom, aku bawa cheese cake!” seru Zayn sambil masuk ke dalam kamar.Selepas mengganti pakaian, Zayn kembali keluar. Dia heran kenapa ibunya tidak menyahut. Seharusnya, hari ini tidak ada jadwal shift di rumah sakit. Namun kenapa malah ibunya tak bersuara?“Mom?” panggil Zayn lagi sambil membuka kotak dan mengambil cheese cake itu sebelum diletakkan di piring.Zayn memiringkan kepalanya. Mungkinkah ibunya sudah tidur? Perasaannya mulai cemas, Zayn bergerak cepat menuju kamar ibunya. Tidak dikunci, Zayn langsung membukanya dan sangat terkejut Irene—ibunya—telah tergeletak di lantai dekat ranjang.“Mom!” Zayn panik, berjongkok di sebelah ibunya, memeriksa dengan cekatan denyut nadi dan pernapasan Irene. Meskipun panik, tapi
Raut wajah Zeus berubah mendengar apa yang Andre katakan. Sepasang iris mata cokelat gelapnya berkilat tajam. Rahangnya mengetat. Tangannya mengepal kuat. Kepingan ingatannya mengingat cerita Vintari yang mencintai seorang laki-laki. Tidak dia sangka laki-laki itu adalah Zayn.“Kalian terlihat bersenang-senang di sana.” Zeus berusaha untuk menampilkan wajah datarnya lagi.Andre menyeringai, merasa puas karena umpannya termakan dengan baik. “Tentu saja. Kami juga sempat ke rumah hantu dan Vintari marah-marah karena aku memaksanya.”“Zayn juga masuk ke sana?” tanya Zeus tanpa sadar.“Ya, Zayn juga ikut. Dia memilih untuk berjalan di belakang Vintari agar bisa menjaganya dengan baik.” Andre semakin melempar serangannya pada Zeus, sampai-sampai sepupunya berulang kali menyenggol lengannya.Meskipun begitu, Andre tak peduli dan terus melempar kata-katanya pada Zeus. Dia sengaja berkata seperti itu karena ingin mengetahui seberapa besar Zeus memedulikan Vintari. Dia ingin tahu apakah foto
Zeus menghunuskan tatapan tajamnya pada Zayn. Ucapan laki-laki itu mengusik hatinya. Dengan berat hati, dia kembali mendekat dan berdiri di depan Zayn. Aura kemarahan di wajah Zeus sangatlah kental terlihat jelas.“Berhenti membahas masalah pribadi dalam lingkup pekerjaan!” seru Zeus mengingatkan.Zayn semakin berani. “Jika kau tidak ingin aku ungkit-ungkit masalah pribadi, kenapa kau memindahkan ibuku ke dokter bedah lain?”Zeus terpancing emosi. Akan tetapi dia berusaha menahan diri. Bagaimanapun dirinya berada di rumah sakit. Dia tidak ingin membuat suatu keributan. “Memangnya kau tidak takut aku melakukan hal yang macam-macam pada ibumu selama masa perawatan?”“Aku percaya kau bisa bersikap profesional. Kau tidak akan menyakiti pasien, karena kau bukanlah dokter seperti itu.” Zayn menatap manik cokelat gelap Zeus dengan berani. “Bisakah kau saja yang merawat ibuku? Ibuku lebih nyaman jika kau yang merawatnya.”Zeus menggelengkan kepalanya tegas. “Aku tidak bisa melakukannya, Zayn.
“Apa kau bilang? Irene di rumah sakit?” David sontak bangkit dari kursinya saat mendengar kabar dari Dokter Will yang menelponnya. “Baik, terima kasih untuk informasinya, Dokter Will!”David mengakhiri panggilan di ponselnya, kemudian bergegas menyambar kunci mobil dan melajukan mobilnya ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia langsung menuju ke kamar inap Irene.“A-apa yang kau lakukan di sini?” Irene tergagap saat melihat David yang masuk dengan terburu-buru.David semakin mendekat, lalu memeluk Irene. Namun, pelukannya segera dilepaskan saat dia sadar kalau Irene tak membalas pelukannya. “Kenapa kau tidak mengatakan hal ini padaku?” tanyanya sambil menggenggam tangan Irene erat.Sedikit membuang muka, Irene mencoba untuk menghindari tatapan David yang membuatnya tak nyaman. Sudah beberapa tahun ini dia tak benar-benar berbicara dengannya.“Kenapa aku harus mengatakan semua hal yang terjadi pada diriku padamu?” Pertanyaan Irene terdengar bergetar.David masih menatap lembut pada so
Zeus cukup lama memandang Vintari yang saat ini telah mengalihkan pandangannya pada bintang-bintang yang bertaburan di langit musim semi. Dia sedang memindai, apakah gadis di sebelahnya ini bisa dipercaya atau tidak. Namun, untuk saat ini hatinya seakan berkata bahwa Zeus bisa mulai memercayai perempuan itu.“Seandainya aku dihadapkan dengan situasi sulit untuk memilih, apakah aku bisa untuk memilih apa yang berada di hatiku?” Zeus mulai bersuara, menatap hamparan langit luas.Vintari menoleh, sedikit menautkan alisnya, dan bertanya, “Situasi yang seperti apa? Kau bisa menjelaskannya padaku agar aku bisa memberikan pandanganku juga sebagai orang lain.”Zeus kembali menimbang apakah keputusannya tepat untuk berbagi masalah ini dengan Vintari. Di tengah kebimbangannya, entah kenapa hatinya memiliki keyakinan sendiri, bahwa dia bisa percaya pada Vintari.“Seandainya, ada seorang pasien yang aku benci tiba-tiba sakit parah, jantung misalnya. Dia menjadi pasienku dan merasa nyaman saat tah
Vintari menuruni anak tangga dengan mata masih setengah terpejam. Sebelah tangannya menggenggam pagar tangga, sedangkan satunya lagui memijit pelipisnya karena kepalanya terasa pusing. Biasanya, pada jam yang hampir menjelang siang sepert ini, Vintari tidak akan melihat Zeus di mansion. Namun, saat ini dia melihat pria itu sedang duduk bersantai di sofa sambil menonton televisi.“Kau tidak ke rumah sakit?” tanya Vintari, sambil duduk di sisi ujung sofa yang lain.Zeus mengalihkan pandangannya pada Vintari, lalu kembali melihat televisi yang sedang menampikan acara dokumenter hewan-hewan di alam liar. “Cuti,” jawabnya singkat. Ya, Zeus memang sengaja mengambil cuti karena dia ingin mendinginkan pikirannya untuk sementara waktu.Kening Vintari mengerut. “Kau cuti? Tidak biasanya kau cuti. Biasanya kau tak pernah ada waktu untuk duduk santai seperti ini.” Vintari mengatakannya sambil bersandar dan memejamkan matanya lagi.“Kau mau tidur sampai kapan?” sindir Zeus tak menggubris ucapan V
“Aku tahu film itu! Beberapa hari yang lalu aku sempat melihat trailer-ya sekilas diiklan!” seru Vintari sambil menunjuk poster film yang dipajang di dalam pigura besar sebelum masuk ke bioskop.Zeus meliriknya, mendesah tak suka. “Romance? Really?”“Why not? Kau akan menemukan sisi lembutmu ketika melihat film romantis. Sepertinya, tokoh utama wanita ini pada akhirnya akan mengakhiri hubungan dengan orang yang dia cintai karena tuntutan orang tuanya.” Vintari terdiam sesaat, bergumam lirih, “Terdengar seperti kisah hidupku.”Raut wajah Zeus berubah mendengar gumaman Vintari. “Kau beli tiketnya, aku akan ke food counter dulu untuk membeli popcorn. Kau mau, kan?” Dia berusaha mengalihkan pikiran Vintari.Vintari mengangguk girang. “Salty and caramel.”Zeus menuruti keinginan Vintari. Senyuman di wajahnya terlukis. Reaksi girang Vintari, seakan menyegarkan hatinya. Hanya senyuman seakan membuat kedamaian dan ketenangan. Padahal perempuan itu selalu bertindak ceroboh, tapi entah kenapa b