Zeus menghunuskan tatapan tajamnya pada Zayn. Ucapan laki-laki itu mengusik hatinya. Dengan berat hati, dia kembali mendekat dan berdiri di depan Zayn. Aura kemarahan di wajah Zeus sangatlah kental terlihat jelas.“Berhenti membahas masalah pribadi dalam lingkup pekerjaan!” seru Zeus mengingatkan.Zayn semakin berani. “Jika kau tidak ingin aku ungkit-ungkit masalah pribadi, kenapa kau memindahkan ibuku ke dokter bedah lain?”Zeus terpancing emosi. Akan tetapi dia berusaha menahan diri. Bagaimanapun dirinya berada di rumah sakit. Dia tidak ingin membuat suatu keributan. “Memangnya kau tidak takut aku melakukan hal yang macam-macam pada ibumu selama masa perawatan?”“Aku percaya kau bisa bersikap profesional. Kau tidak akan menyakiti pasien, karena kau bukanlah dokter seperti itu.” Zayn menatap manik cokelat gelap Zeus dengan berani. “Bisakah kau saja yang merawat ibuku? Ibuku lebih nyaman jika kau yang merawatnya.”Zeus menggelengkan kepalanya tegas. “Aku tidak bisa melakukannya, Zayn.
“Apa kau bilang? Irene di rumah sakit?” David sontak bangkit dari kursinya saat mendengar kabar dari Dokter Will yang menelponnya. “Baik, terima kasih untuk informasinya, Dokter Will!”David mengakhiri panggilan di ponselnya, kemudian bergegas menyambar kunci mobil dan melajukan mobilnya ke rumah sakit. Sesampainya di sana, dia langsung menuju ke kamar inap Irene.“A-apa yang kau lakukan di sini?” Irene tergagap saat melihat David yang masuk dengan terburu-buru.David semakin mendekat, lalu memeluk Irene. Namun, pelukannya segera dilepaskan saat dia sadar kalau Irene tak membalas pelukannya. “Kenapa kau tidak mengatakan hal ini padaku?” tanyanya sambil menggenggam tangan Irene erat.Sedikit membuang muka, Irene mencoba untuk menghindari tatapan David yang membuatnya tak nyaman. Sudah beberapa tahun ini dia tak benar-benar berbicara dengannya.“Kenapa aku harus mengatakan semua hal yang terjadi pada diriku padamu?” Pertanyaan Irene terdengar bergetar.David masih menatap lembut pada so
Zeus cukup lama memandang Vintari yang saat ini telah mengalihkan pandangannya pada bintang-bintang yang bertaburan di langit musim semi. Dia sedang memindai, apakah gadis di sebelahnya ini bisa dipercaya atau tidak. Namun, untuk saat ini hatinya seakan berkata bahwa Zeus bisa mulai memercayai perempuan itu.“Seandainya aku dihadapkan dengan situasi sulit untuk memilih, apakah aku bisa untuk memilih apa yang berada di hatiku?” Zeus mulai bersuara, menatap hamparan langit luas.Vintari menoleh, sedikit menautkan alisnya, dan bertanya, “Situasi yang seperti apa? Kau bisa menjelaskannya padaku agar aku bisa memberikan pandanganku juga sebagai orang lain.”Zeus kembali menimbang apakah keputusannya tepat untuk berbagi masalah ini dengan Vintari. Di tengah kebimbangannya, entah kenapa hatinya memiliki keyakinan sendiri, bahwa dia bisa percaya pada Vintari.“Seandainya, ada seorang pasien yang aku benci tiba-tiba sakit parah, jantung misalnya. Dia menjadi pasienku dan merasa nyaman saat tah
Vintari menuruni anak tangga dengan mata masih setengah terpejam. Sebelah tangannya menggenggam pagar tangga, sedangkan satunya lagui memijit pelipisnya karena kepalanya terasa pusing. Biasanya, pada jam yang hampir menjelang siang sepert ini, Vintari tidak akan melihat Zeus di mansion. Namun, saat ini dia melihat pria itu sedang duduk bersantai di sofa sambil menonton televisi.“Kau tidak ke rumah sakit?” tanya Vintari, sambil duduk di sisi ujung sofa yang lain.Zeus mengalihkan pandangannya pada Vintari, lalu kembali melihat televisi yang sedang menampikan acara dokumenter hewan-hewan di alam liar. “Cuti,” jawabnya singkat. Ya, Zeus memang sengaja mengambil cuti karena dia ingin mendinginkan pikirannya untuk sementara waktu.Kening Vintari mengerut. “Kau cuti? Tidak biasanya kau cuti. Biasanya kau tak pernah ada waktu untuk duduk santai seperti ini.” Vintari mengatakannya sambil bersandar dan memejamkan matanya lagi.“Kau mau tidur sampai kapan?” sindir Zeus tak menggubris ucapan V
“Aku tahu film itu! Beberapa hari yang lalu aku sempat melihat trailer-ya sekilas diiklan!” seru Vintari sambil menunjuk poster film yang dipajang di dalam pigura besar sebelum masuk ke bioskop.Zeus meliriknya, mendesah tak suka. “Romance? Really?”“Why not? Kau akan menemukan sisi lembutmu ketika melihat film romantis. Sepertinya, tokoh utama wanita ini pada akhirnya akan mengakhiri hubungan dengan orang yang dia cintai karena tuntutan orang tuanya.” Vintari terdiam sesaat, bergumam lirih, “Terdengar seperti kisah hidupku.”Raut wajah Zeus berubah mendengar gumaman Vintari. “Kau beli tiketnya, aku akan ke food counter dulu untuk membeli popcorn. Kau mau, kan?” Dia berusaha mengalihkan pikiran Vintari.Vintari mengangguk girang. “Salty and caramel.”Zeus menuruti keinginan Vintari. Senyuman di wajahnya terlukis. Reaksi girang Vintari, seakan menyegarkan hatinya. Hanya senyuman seakan membuat kedamaian dan ketenangan. Padahal perempuan itu selalu bertindak ceroboh, tapi entah kenapa b
“Vintari, bangunlah. Kita sudah sampai.” Zeus membangunkan Vintari yang terlelap di jok mobil sebelahnya.Vintari mengerjap beberapa kali, lalu melihat sekelilingnya. Mereka sudah berada di basement mansion, tempat Zeus menyimpan koleksi mobil pria itu. “Ah, kita sudah sampai.”“Turunlah, lanjutkan istirahatmu di kamar.” Zeus memerintah.Vintari menoleh menatap Zeus sambil menyeka matanya dengan punggung tangannya. “Terima kasih untuk hari ini. Aku langsung ke kamar, ya. Perutku kenyang sekali.”Zeus mengangguk tanpa menjawab, tapi tetap memperhatikan Vintari sampai perempuan itu masuk ke dalam mansion melalui pintu basement. Pria tampan itu melihat Vintari berjalan dengan susah payah, akibat rasa kantuk yang mendera. Senyuman samar di wajah Zeus terlukis melihat itu.Di kamar, Vintari segera menutup pintunya, berniat untuk mandi dan merawat kulitnya sebelum pergi tidur. Namun, tiba-tiba perutnya terasa sakit. Nyeri yang menusuk di perut bagian bawah membuat tertatih untuk menuju ke r
Vintari menggeliat di bawah selimutnya. Kompres hangat yang semalam menempel di perutnya, kini telah terjatuh di lantai. Perempuan itu tertawa sendiri saat menyadari betapa rusuh tingkahnya saat tidur. Nyeri di perutnya juga telah menghilang.Senyuman mengembang saat dia mengingat peran Zeus yang lagi-lagi merawatnya saat dia sakit. Detik berikutnya, dia segera bangkit dan berlari ke dalam kamar mandi. Tamu bulanannya telah datang. Tampon yang selalu dia simpan di laci bawah wastafel langsung dia sambar dan dibawa masuk ke dalam bilik shower.Hari ini Vintari ada kelas pagi. Waktunya tidak banyak agar dia bisa mengejar jam untuk tidak terlambat. Andre pasti akan mengomelinya karena dua hari kemarin dia menghilang tanpa memberi kabar.Saat membuka pintu kamar, Vintari melihat Zeus yang duduk di kursi makan sambil memeriksa tas medisnya yang selalu dia tenteng kemana-mana. Gadis itu menuruni anak tangga dan berlari kecil menuju ke meja makan untuk mengambil segelas jus jeruk yang telah
Vintari mendorong pelan pintu mansion, menutupnya cepat dengan sebelah tangan. Kedua pundaknya terlihat turun dengan tatapan kosong seakan tak memiliki jiwa lagi. Sekarang dia mulai yakin dirinya bernasib sama dengan Andre, salah jurusan. Namun apa boleh buat? Nasi juga menjadi bubur. Dia harus menerima nasibnya yang memiliki banyak dosen killer.Saat melewati ruang santai, Vintari melihat Zeus telah duduk bersandar di sofa. “Zeus, kau sudah pulang?”“Praktek selesai lebih cepat. Kebetulan hari ini aku banyak waktu kosong, jadi aku bisa pulang lebih cepat.”“Ah, begitu. Baguslah, kau jadi punya banyak waktu beristirahat.”Zeus kemudian mengingat sesuatu yang penting. “Kau sudah membuat janji dengan dokter obgyn?”Rahang Vintari membuka, matanya melotot sambil melihat ke sisi lain agar tidak bertemu mata dengan Zeus. “A-aku …, lupa.” Akhirnya Vintari meringis dan merapatkan kedua telapak tangannya, tepat di bagian muka.Alih-alih marah seperti yang sudah dibayangkan oleh Vintari, Zeus