Hujan masih deras mengguyur kota Jakarta kala itu. Tapi, di tengah guyuran hujan yang menderas, justru laboratorium kimia mengapi, berkobar memakan segala yang ada di dalamnya. Peristiwa yang tidak pernah ada dalam sejarah SMA Nusa Bangsa yang sudah berdiri selama empat puluh lima tahun.
Pemadam kebakaran masih berusaha untuk menjinakkan api. Tapi, bukan hal itu yang menjadi perhatian dalam peristiwa ini melainkan adu mulut antara Yoga dan Nala.
"Kok lo malah belaian si cewek pembawa sial ini sih? Liat tuh Ririn, kasihan kan dia? Trus ini laboratorium juga gosong kayak gini. Kita tiap taun ngepos di sini Ga, baru kali ini kan ada kejadian kayak gini, setelah ada tu cewek," kata Nala dengan nada penuh amarah di hadapan Yoga, yang mencoba membela Cecil, yang notabenenya juga korban dalam kecelakaan ini. Sebagai teman, seharusnya Nala juga senang Cecil tidak kenapa-kenapa."La, lo tu kenapa sih? Kenapa lo benci sama Cecil? Lo kan juga tahu, Cecil juga korban La, harusnya kita bersyukur temen kita gak kenapa-kenapa," kata Yoga membantah perkataan Nala, yang masih menganggap Cecil, adalah penyebab dari kebakaran dan sakitnya Ririn.'Gue nggak benci sama Cecil. Gue kesel sama lo yang belain Cecil terus di hadapan gue Ga. Gue sakit tiap kali liat lo deket sama Cecil,' kata Nala yang hanya bisa dipendam dalam hatinya. Cewek itu menatap Cecil sekali lagi. Cewek itu sudah menangis, ia juga tidak menyangka kejadian seperti ini akan terjadi padanya. Iapun, turut merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Ririn."Gue tau Ga, gue tau lo tu suka sama Cecil, tapi Lo juga gak boleh kayak gitu dong. Lo harus objektif. Jelas-jelas cuma Cecil, yang ada di lab bareng sama Ririn. Cuma ada mereka berdua di dalem. Kalau bukan dia terus siapa lagi?" Tanya Nala, sarkas pada Yoga yang mulai tidak mengerti jalan pikiran Nala. Bagaimana mungkin, cewek itu masih menyangkut pautkan hal ini dengan perasaannya pada Cecil? Jelas hal itu tidak ada hubungannya."Nala, lo keterlaluan banget ya, gue....""Udah, udah, jangan berantem. Ini salah gue, gue ngerti. Gue emang pembawa sial, ini semua salah gue," kata Cecil akhirnya memilih mengalah untuk menghindari perdebatan panjang antara Nala dan Yoga. Cewek itu menangis terisak, ia sedih dan marah tanpa tahu harus melampiaskan pada siapa. Terlebih, ia benar-benar malu disaksikan banyak orang dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Dibanding menjadi tontonan, Cecilpun memilih pergi. Ia meninggalkan Yoga dan Nala yang tampak masih harus menyelesaikan perdebatan yang tertunda karena dirinya."Cil, tunggu!" Ujar Yoga, yang merasa tidak enak dengan Cecil, karena perkataan Nala tadi. Iapun, menyusul Cecil, yang sudah berlari mendahuluinya, meninggalkan Nala, yang masih sibuk menata hatinya yang masih menyalahkan Cecil, karena kejadian tidak terduga pada dini hari ini. Urusannya dengan Nala bisa ditangani nanti. Sekarang, ia yakin, Cecil membutuhkan seseorang di sampingnya.Benar saja, Yoga melihat Cecil sedang menangis di markas pramuka yang sudah sepi. Wajah cantik Cecil, kini tampak merah, mungkin karena terpapar panas api dari laboratorium kimia tadi. Rambutnya yang biasa tergerai indah, kini berantakan. Iapun tidak pernah menyangka jika kejadian ini akan menimpanya. Tapi, banyak orang yang menyalahkannya karena hal ini, terutama Nala."Cecil? Lo gapapa? Tanya Yoga pada Cecil, yang masih tampak terpukul karena kejadian hari ini. Bukan karena ia dituduh membakar laboratorium sebenarnya. Ya, hal itu juga, tapi yang membuatnya sedih adalah, Ririn terluka karena ini. "Yoga, apa bener ya? Gue ini pembawa sial? Tanya Cecil, membuat Yoga merasa bingung. Dari mana Cecil bisa mengatakan hal itu? Jika saja Yoga, selama ini membuka mata dan telinganya dari suara anak-anak yang membenci Cecil, seharusnya Yoga sudah tahu bahwa cap "anak pembawa sial" memang sudah lama dialamatkan kepada Cecil. Tapi, selama ini Tiga tidak pernah peduli pada gosip-gosip yang beredar di kalangan para cewek, maka dari itu, cowok itu merasa bingung."Lo ngomong apa sih Cil? Mana ada orang bisa bawa sial? Lo ada-ada aja deh. Jangan bilang gitu ah, gak baik tahu!" Ujar Yoga, mencoba menghibur Cecil dengan caranya. Tapi, seakan tidak mempan, Cecil masih saja menangis di sampingnya."Abisnya, semua orang yang deket sama gue pasti kena sial. Sekarang Ririn, jadi korban. Padahal gue udah seneng banget punya teman baru. Setelah ini, pasti Ririn, udah gak mau deket-deket gue lagi," ujarnya masih mengeluarkan isaknya. Sebagai seorang laki-laki, Yoga ingin sekali bisa menghibur Cecil di saat seperti ini. Perlahan, tangannya bergerak untuk ke arah kepala cewek itu. Ia ingin bisa membelai rambut lembut itu, membawa kepala Cecil, ke dalam dekapannya agar cewek itu bisa tenang. Tapi, gerakannya tertahan. Ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan lain terhadap Nala. Lagipula, ia juga tidak begitu dekat dengan Cecil, kalau tiba-tiba ia melakukan hal itu, Cecil bisa saja menghajarnya nanti.Tidak lama setelah itu, Cecilpun mulai tenang. Cewek itu menghapus air matanya yang sudah menganak sungai di kedua pipinya dengan punggung tangan. Ia merasa tidak lagi bisa melanjutkan kegiatan pramuka ini sampai akhir. Lagi pula, semua orang pasti membencinya saat ini."Yog, gue boleh pulang gak? Gue udah gak bisa lagi lanjutin kegiatan ini," ujar Cecil pada Yoga yang langsung mengiyakannya dengan anggukan. Seketika, ia teringat pada ponselnya yang masih tertinggal di laboratorium. Tas itu, mungkin sudah hangus terbakar. Ia tidak bisa menghubungi Ardian untuk meminta jemput. Tapi, Cecil lupa jika ini masih jam empat pagi, ia tidak bisa meminta Ardian menjemputnya di dini hari seperti ini. Kalau dipikir-pikir, ia juga sudah terlalu banyak merepotkan Ardian selama ini. Mengingat hal itu membuat Cecil, jadi merasa kasihan pada dirinya sendiri."Iya, lo boleh pulang kok. Lo harus istirahat ya, lupain masalah ini. Pihak sekolah pasti bisa segera nemuin penyebab kebakarannya biar lo gak disalahin lagi," kata cowok itu menenangkan. Cecilpun, akhirnya bisa tersenyum mendengar penuturan Yoga, yang berhasil membuat hatinya sedikit lebih tenang."Gue anterin lo sampai ke rumah ya. Lo kan, gak bisa hubungin supir buat jemput lo. Lo gak bawa hp kan?" Ujar Yoga, yang diiyakan Cecil dengan terpaksa. Kalaupun ia bisa menghubungi Pak Udin, sopirnya, ia ragu untuk melakukannya. Sebab, jika Pak Udin tahu tentang hal ini, ia pasti akan melaporkannya pada papanya.Maka dari itu, ia lebih suka minta Adrian untuk menjemputnya kalau ada apa-apa. Cecil, tidak mau membebani pikiran papanya lagi.
"Makasih ya Ga, lo baik baik banget sama gue," kata Cecil, penuh dengan terimakasih pada Yoga yang sudah mau menolongnya. Yogapun, membalasnya dengan senyuman yang semakin menenangkan hati Cecil.Tapi, Cecil tidak tahu. Ada sepasang mata yang menatapnya cemburu. Ia akan mendapat masalah besar setelah ini.
Adakalanya, seseorang membutuhkan banyak usaha untuk sekadar diterima di lingkungannya. Begitulah yang dirasakan oleh Cecil sekarang. Pihak sekolah dan kepolisian sudah menyelidiki penyebab kebakaran itu. Terbukti bahwa Cecil, tidak ada hubungannya dengan kejadian dini hari itu. Kebakaran yang menghanguskan laboratorium kimia itu, disebabkan oleh kosleting listrik yamg disebabkan oleh kabel yang terbuka. Tidak besar sebenarnya, tapi tetap saja, jika percikan api itu sudah menyambar tumpahan cairan kimia mudah terbakar yang tidak terlihat, akan menimbulkan api kecil yang lama kelamaan membesar dan akhirnya membakar seluruh isi laboratorium. Salahkan saja para tikus yang menggigiti kabel itu. Bukannya menemukan makanan, tikus itu malah membuat Cecil, untuk kesekian kalinya ditolak oleh orang-orang. Hal itu jelas terlihat pada hari ini. Cecil, mencoba mendatangi kelas Ririn, untuk melihat kondisi teman barunya itu, memastikan Ririn, baik-baik s
"Pokoknya, gue nggak mau tau. Cecil, harus jauh dari Yoga, apapun caranya," begitulah yang selalu ada dalam kepala Nala, akhir-akhir ini. Cewek itu benar-benar kesal dengan keberadaan Cecil, yang menurutnya sudah mengganggu ketentraman pertemanannya dengan Yoga. Cewek itu, kembali mengetuk-ngetuk layar ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tapi, belum sempat ia menekan tombol untuk menelpon orang yang dimaksud, orang itu sudah ada di belakangnya, ia menyentuh punggung Nala, untuk memberitahukan eksistensinya. "Kenapa lo manggil gue?" Kata orang itu tiba-tiba membuat Nala terkaget. Cewek itu pun, berbalik, menghadapkan wajah ayunya pada laki-laki berbadan kekar dengan tato melingkar di lengannya. "Ngangetin aja sih, salam kek gitu," kata Nala, protes namun diabaikan begitu saja oleh pria bertato yang tampak mengerikan itu. Laki-laki itu malah memutar bola matanya, tanda bahwa ia benar-benar tidak peduli dengan perkataan Nala yang sedang menyindirnya i
Jam istirahat telah membuat seisi kelas gaduh. Para siswa terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil dengan saling mengobrol dan berbagi makanan, tidak terkecuali Nala. Cewek itu tampak begitu bersenang senang dengan beberapa kawannya. Ia tertawa begitu lepas menanggapi candaan seseorang dan turut membagi cerita lucu pada mereka. Tanpa ia sadari, Yoga telah memasuki kelasnya dan langsung menuju tempat duduknya. Cowok itu melangkah dengan cepat seakan tergesa. Ia tidak ingin membuang waktu untuk mengetahui kebenaran atas apa yang terjadi kepada Cecil kemarin. "Nala," panggil cowok itu pada Nala, yang masih belum mengetahui eksistensi Yoga di belakangnya. Rekahan senyum langsung terbit dari wajah cewek itu begitu melihat Yoga. "Yoga? Sejak kapan lo di sini?" Tanya cewek itu masih dengan senyum di wajahnya. Tapi, Yoga tidak datang untuk berbasa-basi. Tatapan cowok itu begitu dingin pada Nala yang masih menyambut baik kedatangannya itu. "G
Yoga dan Nala saling diam untuk beberapa saat, kecamuk berbagai pikiran dan perasaan begitu mengganggu mereka. Jika saja, mereka berdua merasa begitu aneh. Mereka tidak pernah merasa begini canggung jika berdua. Selalu ada candaan yang terlempar juga hati dan pikiran yang selalu dibagi. Jika ada masalah, biasanya mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan cara baik dan cepat. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Yoga dan Nala, tampak seperti dua orang yang tidak pernah dekat sebelumya. Mereka menaruh curiga dan dusta hingga Yuda, merasa hubungan mereka tidak sesehat dulu. Ada masalah yang tidak bisa diluruskan dan hubungan mereka sepertinya tidak mudah kembali terjalin. "Gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira. Kecewa gue sama lo."Itulah kata-kata terakhir Yoga sebelum meninggalkan Nala saat itu. Tatapannya penuh kekecewaan, tidak lagi memandang Nala seperti dulu. Nala, bukan lagi anak baik yang ia kenal.
Pagi ini, lagi-lagi Cecil, enggan berangkat ke sekolah. Ia tahu, tidak baik baginya terus-terusan mogok sekolah seperti ini. Tapi.. sudah lama ia tidak semangat sebenarnya. Toh, tidak ada yang peduli ia berangkat atau tidak. Ia hanya seseorang yang ada dan tiadanya tidak dianggap. Terlebih lagi, ia merasa agak lemas dan pusing. Bagaimana tidak? Dari kemarin, belum ada makanan yang mengisi perutnya. "Cecil, Cil?" Panggilan akrab itu, mengagetkan Cecil dari pembaringannya. Cewek itu, segera menuju pintu dan membukanya secara tidak sabar. Bahkan, pandangannya yang mulai berkunang-kunang tidak ia hiraukan sama sekali demi segera menemui sang pemilik suara yang sudah lama tidak ia temui.Benar saja, dada bidang ayahnya yang masih dibalut jas kerja langsung menyapa pengelihatannya begitu ia membuka pintu. Wajah pucatnya mendongak, mencari wajah teduh yang biasa tersenyum dan sangat jarang ia temui. "Papa!" Ucap cewek itu sembari memeluk sang ayah yang langsung m
Dalam ruang kerjanya, ayah Cecil memijit keningnya yang teramat pusing. Matanya menekusur huruf demi huruf yang tercetak dalam kertas putih yang dipegangnya. Dadanya naik turun menahan amarah, tapi tidak ada yang bisa dilakukan karena semuanya telah terjadi. Ia merasa gagal melindungi Cecil. Pria itu membanting kertas yang dipegangnya ke atas meja, duduknya kini tampak tidak tenang. Sementara sekretarisnya yang sedari tadi memperhatikan terlihat agak takut. Tidak pernah ia melihat bosnya begini marah hingga nafasnya tersengal. "Kamu sudah memastikan semuanya benar kan? Tidak ada kesalahan?" Kata pria itu menatap wanita berblazer hitam itu tajam. Sementara itu, sekretarisnya hanya mengangguk dan mencoba bersikap tenang, berusaha profesional. "Iya, pak. Semuanya sudah saya pastikan benar. Saya mendapat informasinya langsung dari wali kelas, guru dan sahabat Cecilia, Adrian Wiguna Putra," kata perempuan itu menjelaskan. Jujur saja, sebena
Rumah Adrian, seharusnya ramai pada saat ini. Kakaknya yang sedang libur kuliah kini pulang dan sedang bermain game dengan Yoga yang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, Yoga ingin mengajak Adrian mabar. Tapi, cowok itu anehnya masih saja galau, siapa lagi kalau bukan karena Cecil. "Lo kenapa sih Rian, kerjaannya galau mulu? Kalau kuatir, samperin aja ke rumahnya kan beres," ujar Yoga memberi saran pada Adrian yang pandangannya masih sedih sambil memetik gitar asal-asalan. "Gue udah ke rumahnya, tapi dia gak mau nemuin gue. Gak tau deh kenapa, kalau gue punya salah kan dia biasanya ngomong, gak diem kayak gini," kata Adrian, masih dengan ketidak jelasan kabar Cecil yang menggunakan dirinya. "Yaudah lah, gue tau kok Cecil orangnya gimana. Nanti kalau udah baikan, dia pasti kabarin Lo kok," kata Yoga yang masih berusaha meyakinkan Adrian. Cowok itu tahu benar, Adrian menyukai Cecil. Pasti, sebuah siksaan baginya karena tidak bisa berkomunikasi dengan ce
Tidak seperti biasanya, Adrian begitu menantikan Hari Senin. Jantungnya berdebar-debar menantikan pelajaran pertama untuk hari ini. Bukan karena pelajaran tentu saja, melainkan karena hari ini ia akan bertemu kembali dengan Cecil. Agak aneh sebenarnya, karena pada hari saat Cecil mengirimkan sebuah jam tangan untuknya, cewek itu masih tidak bisa dihubungi. Ia kira semua masalahnya sudah. Teratasi, tapi bagaimana mungkin Cecil masih begitu tertutup seperti ini? Maka dari itu, Adrian berangkat sekolah terburu-buru pada hari ini. Ia sampai begitu pagi, tidak ada seorangpun yang ada di kelas selain dirinya. Entahlah, apa yang sedang merasukinya hingga sampai seperti ini. Pun, jika Cecil benar-benar datang, ia tidak akan seniat itu bukan untuk berangkat sekolah pukul enam pagi. "Drian, tumben banget lo dateng pagi-pagi banget?" Setelah menunggu lima belas menit, bukannya Cecil, malah Nala yang datang. Cewek itu memandang Adrian, penuh tanya. Sementara
Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m
Siang hari di kantin sekolah tidak begitu ramai, musim dingin yang menggigit membuat siswa lebih banyak memilih untuk makan siang di kelas masing-masing yang hangat. Tapi hal itu tidak berlaku untuk tiga orang yang duduk bersedekap melingkar di atas meja. Salah satu dari mereka bahkan tampak bersemangat tidak memperdulikan dingin yang masih terasa meski ia telah memakai jaket yang tebal. Wajahnya memang masih pucat, begitu juga kakinya yang masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Tapi bagi Aira, bisa keluar dari rumah dan bertemu dengan Yuta adalah satu-satunya alasan ia bisa tersenyum akhir-akhir ini. Raut bahagia yang ditunjukkan Aira begitu berbalik dengan Aoi. Gadis berambut hitam dengan rona biru itu belakangan menyadari sesuatu yang salah antara pacar dan sahabatnya. Ia menatap lekat Aira sambil memicingkan sebelah matanya; senyum yang ditujukan Aira untuk Yuta itu, Aoi yakin punya arti lain yang pasti
Aira berdiri perlahan, tubuhnya sudah dibalut seragam sekolah lengkap, tanda bahwa ia siap berangkat ke sekolah. Ia melihat bayangan wajahnya di dalam cermin. Tampak pucat dan layu. Tapi untungnya tidak ada bekas luka yang terlihat di sana. Bekas benturan keras di kepalanya sudah ia akali dengan poni tebal yang menutupi dahinya. Ia mengambil sesuatu di laci meja riasnya; sebuah lip tint dan blush on. Ia bukan tipe siswa yang suka berdandan saat berangkat sekolah. Tapi jika ia tidak menggunakan keduanya, orang pasti akan tahu dia sedang sakit. Maka dengan piawai ia memoleskan lip tint itu di bibirnya tipis-tipis. Tidak perlu terlalu banyak, cukup sedikit saja untuk menutupi bibir kering dan pucatnya. Hal yang sama ia lakukan saat memulas blush on di tulang-tulang pipinya. Selesai. Inoe terlihat jauh lebih baik sekarang. Untung saja seragam Aira memiliki lengan panjang. Jika tidak, bukti kekerasan a
Siang hari di musim dingin selalu menjadi hari yang menyenangkan. Cuaca cerah dengan pandangan putih tertutup salju di setiap sudut menjadikan suasana di luar seperti kota-kota dalam dongeng di buku cerita yang suka Aira baca waktu kecil. Meski orang akan memilih diam di rumah berpenghangat, hal itu tidak berlaku bagi Aira, ia suka sekali bermain ice skating di kolam renangnya yang membeku atau di halamannya yang luas. Selain itu menyenangkan, ia juga tidak perlu memakai pakaian tebal tanpa perlu merasa kedinginan. Tapi sayang sekali ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Jangankan bermain ice skating, untuk berjalan saja ia masih kesulitan karena kakinya masih sakit. Alhasil, ia hanya bisa duduk terbaring di kamarnya sambil menatap jendela yang hanya menyajikan pemandangan ranting pohon yang sedang ditumpangi salju.