Jam istirahat telah membuat seisi kelas gaduh. Para siswa terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil dengan saling mengobrol dan berbagi makanan, tidak terkecuali Nala. Cewek itu tampak begitu bersenang senang dengan beberapa kawannya. Ia tertawa begitu lepas menanggapi candaan seseorang dan turut membagi cerita lucu pada mereka.
Tanpa ia sadari, Yoga telah memasuki kelasnya dan langsung menuju tempat duduknya. Cowok itu melangkah dengan cepat seakan tergesa. Ia tidak ingin membuang waktu untuk mengetahui kebenaran atas apa yang terjadi kepada Cecil kemarin."Nala," panggil cowok itu pada Nala, yang masih belum mengetahui eksistensi Yoga di belakangnya. Rekahan senyum langsung terbit dari wajah cewek itu begitu melihat Yoga."Yoga? Sejak kapan lo di sini?" Tanya cewek itu masih dengan senyum di wajahnya. Tapi, Yoga tidak datang untuk berbasa-basi. Tatapan cowok itu begitu dingin pada Nala yang masih menyambut baik kedatangannya itu."Gue mau ngomong sama lo," kata Yoga, sambil meraih tangan Nala untuk ia ajak ke tempat yang lebih privat. Teman-teman Nala yang tidak tahu apa-apa meyoraki mereka."Cie cie, mau kemana tuh?!" Kata mereka menggoda. Nala, tidak menanggapi, tapi rona merah di kedua pipinya menandakan ia begitu senang dengan Yoga yang secara terang-terangan mengajaknya pergi berdua.Tidak lama setelahnya, merekapun sampai di UKS. Seperti dugaan Yoga, ruangan itu kosong tidak ada orang. Yogapun menutup pintu rapat-rapat agar tidak ada seorangpun yang mendengar pembicaraan antara ia dengan Nala."Adapaan lo bawa gue ke sini? Tanya Cewek itu penuh tanya ketika menyadari ekspresi Yoga tidak kunjung melembut. Tapi, begitulah kalau Yoga sedang dalam mode seriusnya. Cowok itu pasti ingin membicarakan hal penting dengannya. Saat itu, Nala sempat berharap Yoga akan membicarakan tentang kelangsungan hubungan mereka, tapi yang ia bicarakan malah..."Nala, kemarin lo mau ngapain Cecil?" Tentu saja, hal itu membuat Nala kecewa. Senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya seakan hilang tak berbekas. Cecil lagi? Cewek itu selalu saja membuat hidup Nala tidak tenang."Jadi lo ngajak gue ke sini cuma mau bahas cewek gatel gak penting itu?" Tanya Nala dengan tatapan nanar pada Yoga di sampingnya. Sementara itu, Yoga seperti tidak percaya apa yang terlontar dari mulut Nala. Bagaimana ia bisa menyalahkan Cecil lagi setelah apa yang ia lakukan?"Nala, gue tau lo tu gak suka sama Cecil. Gue juga tahu lo gak suka ada orang yang ngomongin dia. Tapi gue harus ngomong ini karena ini ada hubungannya sama lo. Lo kan, yang nyuruh preman di deket rumah lo buat nggangguin Cecil?" Tanya Yoga, dengan tegas pada Nala. Cewek itu pun langsung bungkam mendengar pertanyaan Yoga."Maksud lo apa? Gue nggak ngerti," kata Nala berusaha membantah. Ia mengalihkan pandangannya dari wajah Yoga, berusaha menghindar. Tapi, sebagai teman yang cukup dekat dengan Nala, tentu saja Yoga tahu dan itu membuatnya tampak lebih kecewa pada Cecil."Udah, lo nggak usah bohong lagi sama gue. Jelas-jelas gue liat sendiri tu preman deket-deket Cecil, dia hampir perkosa Cecil tahu gak?!" Kata Yoga mulai meninggikan nadanya. Cowok itu sudah benar-benar frustasi dengan kelakuan Nala.Mendengar hal itu, Nala tampak tidak percaya. Padahal, ia sudah memperingatkan pria itu untuk tidak macam-macam dengan Cecil. Untuk sesaat, ia merutuki dirinya sendiri karena mudah percaya dengan tuturan pria itu yang seolah-olah mengerti apa yang ia inginkan. Nala tidak tahu, bahwa Cecil, sudah menjadi target baru preman itu begitu ia melihat foto Cecil di hp Nala."Sekarang, Cecil di rumah. Dia takut berangkat ke sekolah. Lo tahu gak? Gara-gara lo, yang seenaknya nuduh-nuduh Cecil sebagai penyebab kebakaran itu, dia jadi dibully di kelasnya dia," kata Yoga, berusaha menjelaskan situasi yang dirasakan Cecil saat ini agar cewek itu sedikit melunak. Tapi, bagi Nala yang mendengarnya, Yoga seperti sedang membela Cecil dan memojokkan dirinya. "Loh, bukannya dia emang gak punya temen dari dulu ya? Kenapa lo jadi nyalahin gue?" Tanya Cecil, masih berusaha membela diri. Cewek itu semakin kesal meski hatinya terbersit rasa bersalah pada cewek yang ia benci itu."Justru itu Nala. Lo udah tau kan Cecil udah dijauhi sama banyak orang? Trus lo malah nambah-nambahin kayak gitu. Lo pernah bayangin gak jadi dia gimana? Lo nggak kasian? Mau lo apa sih?" 'Mau gue, lo jadi pacar gue dan jauhin Cecil!' kata Nala dalam hati. Ia semakin kesal dengan Yoga. Cowok itu seharusnya bisa mengerti perasaannya sehingga hal seperti ini tidak akan terjadi. Sekarang, entah bagaimana ia bisa mendapatkan kepercayaan Yoga lagi. Ini semua karena preman kurang ajar itu."Emang lo punya bukti apa kalau preman itu gue yang nyuruh? Gak punya bukti kan lo? Gak usah sok nyeramahin gue!" Kata Nala, merasa emosi dengan Yoga, yang terus-terusan membela Cecil di depannya."Gue gak perlu bukti begitu tahu pelakunya siapa. Preman tetangga lo itu, udah hampir bikin Cecil celaka tau gak! Ngaku deh lo!" Ujar Yoga yang kini tidak kalah emosi dari Nala. Ia hampir tidak mengenali cewek di depannya lagi. Bagaimana Nala bisa melakukan hal itu?"Iya, gue. Emang gue pelakunya. Gue yang udah nyuruh tubuh preman buat peringatin Cecil, supaya gak deket-deket lagi sama lo. Gue kesel tau gak!" Kata Nala, membuat Yoga geleng-geleng kepala. Jadi Nala melakukan hal itu karena dirinya? Bagaimana bisa? "Gue gak ngerti lagi jalan pikiran lo gimana. Gue sama Cecil cuma temen biasa aja," kata Yoga, berusaha menjelaskan hal ini pada Nala. Tapi, seolah tidak mendengarkan, Nala malah mbuang pandangan. Ia nampak tidak peduli, tidak percaya pada apa yang Yoga tuturkan."Dulu, gue emang sempet suka sama Cecil. Tapi, gue akhirnya tau Cecil gak bisa Nerima gue. Dan gue hormati itu, gue tau perasaan itu gak bisa dipaksa. Pada akhirnya, setelah berjalannya waktu, gue tau rasa suka gue sama Cecil cuma sebatas kagum aja," kata Yoga, akhirnya bisa menyadarkan Nala, bahwa apa yang ia lakukan ternyata sia-sia. Tidak ada hubungan spesial antara Yoga dan Cecil. Padahal, ia sudah berbuat jahat pada cewek itu."Lo tau gak? Siapa yang bikin gue kuat waktu ditolak sama Cecil?" Kata Yoga, dengan nada lirih yang berhasil masuk ke dalam otak dan hati Nala dengan begitu baik. "Itu lo Nala," kata Yoga seperti petir bagi Nala yang mendengarkan. Jadi selama ini Yoga..."Tapi setelah kejadian ini, gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira
Yoga dan Nala saling diam untuk beberapa saat, kecamuk berbagai pikiran dan perasaan begitu mengganggu mereka. Jika saja, mereka berdua merasa begitu aneh. Mereka tidak pernah merasa begini canggung jika berdua. Selalu ada candaan yang terlempar juga hati dan pikiran yang selalu dibagi. Jika ada masalah, biasanya mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan cara baik dan cepat. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Yoga dan Nala, tampak seperti dua orang yang tidak pernah dekat sebelumya. Mereka menaruh curiga dan dusta hingga Yuda, merasa hubungan mereka tidak sesehat dulu. Ada masalah yang tidak bisa diluruskan dan hubungan mereka sepertinya tidak mudah kembali terjalin. "Gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira. Kecewa gue sama lo."Itulah kata-kata terakhir Yoga sebelum meninggalkan Nala saat itu. Tatapannya penuh kekecewaan, tidak lagi memandang Nala seperti dulu. Nala, bukan lagi anak baik yang ia kenal.
Pagi ini, lagi-lagi Cecil, enggan berangkat ke sekolah. Ia tahu, tidak baik baginya terus-terusan mogok sekolah seperti ini. Tapi.. sudah lama ia tidak semangat sebenarnya. Toh, tidak ada yang peduli ia berangkat atau tidak. Ia hanya seseorang yang ada dan tiadanya tidak dianggap. Terlebih lagi, ia merasa agak lemas dan pusing. Bagaimana tidak? Dari kemarin, belum ada makanan yang mengisi perutnya. "Cecil, Cil?" Panggilan akrab itu, mengagetkan Cecil dari pembaringannya. Cewek itu, segera menuju pintu dan membukanya secara tidak sabar. Bahkan, pandangannya yang mulai berkunang-kunang tidak ia hiraukan sama sekali demi segera menemui sang pemilik suara yang sudah lama tidak ia temui.Benar saja, dada bidang ayahnya yang masih dibalut jas kerja langsung menyapa pengelihatannya begitu ia membuka pintu. Wajah pucatnya mendongak, mencari wajah teduh yang biasa tersenyum dan sangat jarang ia temui. "Papa!" Ucap cewek itu sembari memeluk sang ayah yang langsung m
Dalam ruang kerjanya, ayah Cecil memijit keningnya yang teramat pusing. Matanya menekusur huruf demi huruf yang tercetak dalam kertas putih yang dipegangnya. Dadanya naik turun menahan amarah, tapi tidak ada yang bisa dilakukan karena semuanya telah terjadi. Ia merasa gagal melindungi Cecil. Pria itu membanting kertas yang dipegangnya ke atas meja, duduknya kini tampak tidak tenang. Sementara sekretarisnya yang sedari tadi memperhatikan terlihat agak takut. Tidak pernah ia melihat bosnya begini marah hingga nafasnya tersengal. "Kamu sudah memastikan semuanya benar kan? Tidak ada kesalahan?" Kata pria itu menatap wanita berblazer hitam itu tajam. Sementara itu, sekretarisnya hanya mengangguk dan mencoba bersikap tenang, berusaha profesional. "Iya, pak. Semuanya sudah saya pastikan benar. Saya mendapat informasinya langsung dari wali kelas, guru dan sahabat Cecilia, Adrian Wiguna Putra," kata perempuan itu menjelaskan. Jujur saja, sebena
Rumah Adrian, seharusnya ramai pada saat ini. Kakaknya yang sedang libur kuliah kini pulang dan sedang bermain game dengan Yoga yang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, Yoga ingin mengajak Adrian mabar. Tapi, cowok itu anehnya masih saja galau, siapa lagi kalau bukan karena Cecil. "Lo kenapa sih Rian, kerjaannya galau mulu? Kalau kuatir, samperin aja ke rumahnya kan beres," ujar Yoga memberi saran pada Adrian yang pandangannya masih sedih sambil memetik gitar asal-asalan. "Gue udah ke rumahnya, tapi dia gak mau nemuin gue. Gak tau deh kenapa, kalau gue punya salah kan dia biasanya ngomong, gak diem kayak gini," kata Adrian, masih dengan ketidak jelasan kabar Cecil yang menggunakan dirinya. "Yaudah lah, gue tau kok Cecil orangnya gimana. Nanti kalau udah baikan, dia pasti kabarin Lo kok," kata Yoga yang masih berusaha meyakinkan Adrian. Cowok itu tahu benar, Adrian menyukai Cecil. Pasti, sebuah siksaan baginya karena tidak bisa berkomunikasi dengan ce
Tidak seperti biasanya, Adrian begitu menantikan Hari Senin. Jantungnya berdebar-debar menantikan pelajaran pertama untuk hari ini. Bukan karena pelajaran tentu saja, melainkan karena hari ini ia akan bertemu kembali dengan Cecil. Agak aneh sebenarnya, karena pada hari saat Cecil mengirimkan sebuah jam tangan untuknya, cewek itu masih tidak bisa dihubungi. Ia kira semua masalahnya sudah. Teratasi, tapi bagaimana mungkin Cecil masih begitu tertutup seperti ini? Maka dari itu, Adrian berangkat sekolah terburu-buru pada hari ini. Ia sampai begitu pagi, tidak ada seorangpun yang ada di kelas selain dirinya. Entahlah, apa yang sedang merasukinya hingga sampai seperti ini. Pun, jika Cecil benar-benar datang, ia tidak akan seniat itu bukan untuk berangkat sekolah pukul enam pagi. "Drian, tumben banget lo dateng pagi-pagi banget?" Setelah menunggu lima belas menit, bukannya Cecil, malah Nala yang datang. Cewek itu memandang Adrian, penuh tanya. Sementara
Di rumah Cecil, di pagi yang sama. Cecil menatap wajahnya di dalam cermin. Ia memperhatikan segala yang terpahat di sana. Matanya, hidungnya, alis, pipi, semuanya. Ia tahu, benar-benar tahu jika kecantikan adalah hal yang diinginkan oleh semua perempuan. Iapun bersyukur karena diberikan pahatan wajah yang sama persis dengan sang ibu, yang sukses menjerat hati ayahnya begitu dalam. Hingga saat ini, setelah tahun ke sepuluh kematian ibunya, tidak ada satu wanitapun yang bisa menggantikan posisi ibunya meski ayahnya tergolong masih muda pada saat meninggalnya sang ibu dan banyak pilihan yang menunggu jawab. Itu semua, karena ibunya sosok yang cantik, persis seperti dirinya. "Tapi sayangnya, cantik nggak selalu membawa keberuntungan," itulah yang Cecil rasakan saat ini. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya dia seorang yang merasakannya, tapi juga sang ibu. Karena cantik itulah, ibunya mati muda. Seorang pria h
Cecil mebghembuskan nafas, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang masih bergemuruh. Ia tentu saja khawatir, bagaimana tanggapan orang tentang penampilan barunya ini? Tapi, keputusan adalah keputusan, bila ia seperti dulu, kemungkinan hal buruk yang lalu juga akan terjadi dan ia tidak mau itu. "Ayo Cecil, sekolah baru, lembaran baru. Harus semangat!" Kata Cecil menyemangati dirinya sendiri. Iapun keluar dari mobil, mengetuk kaca depan mobil untuk sebentar berbincang dengan supir yang sudah mengantarnya. "Makasih ya, Pak Sarto. Hati-hati pulangnya," kata cewek itu tersenyum manis pada laki-laki yang sudah lama bekerja dengan keluarganya itu. Laki-laki berperawakan tinggi kurus itupun balas tersenyum padanya. "Iya non, makasih. Nanti saya jemput lagi jam dua siang ya," jawab laki-laki itu dengan nada medok sebelum berpamitan pulang pada Cecil, melaju dengan mobil sedannya kembali ke rumah Cecil yang sudah lama pula jadi tempat tinggalnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, waktu makan malam sudah lama berlalu dan kedai sudah beberapa menit lalu tutup. Tapi bukan berarti pekerjaan Aira sudah selesai. Gadis itu sedang mencuci tumpukan panci dan dan piring yang menumpuk bekas makan malam kedai yang begitu ramai dan hampir membuatnya kewalahan. Meski sudah satu bulan bekerja di kedai itu, Aira belum sepenuhnya terbiasa dengan rasa lelahnya seusai bekerja dan Aira rasa itu memalukan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan aktivitas fisik yang berat karena sudah biasa berolah raga dengan intensitas tinggi dan bahkan sudah membawanya hampir menyandang status atlet profesional. Tapi kenapa bekerja begini saja sudah membuatnya kewalahan? Aira tidak habis pikir. Aira menyeka keringat di dahinya dengan lengannya yang berbalut kaos panjang. Tangan lembutnya sedang dibalut sarung tangan karet yang selalu ia gunakan saat mencuci piring tampak begitu gesit me
Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m
Siang hari di kantin sekolah tidak begitu ramai, musim dingin yang menggigit membuat siswa lebih banyak memilih untuk makan siang di kelas masing-masing yang hangat. Tapi hal itu tidak berlaku untuk tiga orang yang duduk bersedekap melingkar di atas meja. Salah satu dari mereka bahkan tampak bersemangat tidak memperdulikan dingin yang masih terasa meski ia telah memakai jaket yang tebal. Wajahnya memang masih pucat, begitu juga kakinya yang masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Tapi bagi Aira, bisa keluar dari rumah dan bertemu dengan Yuta adalah satu-satunya alasan ia bisa tersenyum akhir-akhir ini. Raut bahagia yang ditunjukkan Aira begitu berbalik dengan Aoi. Gadis berambut hitam dengan rona biru itu belakangan menyadari sesuatu yang salah antara pacar dan sahabatnya. Ia menatap lekat Aira sambil memicingkan sebelah matanya; senyum yang ditujukan Aira untuk Yuta itu, Aoi yakin punya arti lain yang pasti
Aira berdiri perlahan, tubuhnya sudah dibalut seragam sekolah lengkap, tanda bahwa ia siap berangkat ke sekolah. Ia melihat bayangan wajahnya di dalam cermin. Tampak pucat dan layu. Tapi untungnya tidak ada bekas luka yang terlihat di sana. Bekas benturan keras di kepalanya sudah ia akali dengan poni tebal yang menutupi dahinya. Ia mengambil sesuatu di laci meja riasnya; sebuah lip tint dan blush on. Ia bukan tipe siswa yang suka berdandan saat berangkat sekolah. Tapi jika ia tidak menggunakan keduanya, orang pasti akan tahu dia sedang sakit. Maka dengan piawai ia memoleskan lip tint itu di bibirnya tipis-tipis. Tidak perlu terlalu banyak, cukup sedikit saja untuk menutupi bibir kering dan pucatnya. Hal yang sama ia lakukan saat memulas blush on di tulang-tulang pipinya. Selesai. Inoe terlihat jauh lebih baik sekarang. Untung saja seragam Aira memiliki lengan panjang. Jika tidak, bukti kekerasan a
Siang hari di musim dingin selalu menjadi hari yang menyenangkan. Cuaca cerah dengan pandangan putih tertutup salju di setiap sudut menjadikan suasana di luar seperti kota-kota dalam dongeng di buku cerita yang suka Aira baca waktu kecil. Meski orang akan memilih diam di rumah berpenghangat, hal itu tidak berlaku bagi Aira, ia suka sekali bermain ice skating di kolam renangnya yang membeku atau di halamannya yang luas. Selain itu menyenangkan, ia juga tidak perlu memakai pakaian tebal tanpa perlu merasa kedinginan. Tapi sayang sekali ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Jangankan bermain ice skating, untuk berjalan saja ia masih kesulitan karena kakinya masih sakit. Alhasil, ia hanya bisa duduk terbaring di kamarnya sambil menatap jendela yang hanya menyajikan pemandangan ranting pohon yang sedang ditumpangi salju.