Yoga dan Nala saling diam untuk beberapa saat, kecamuk berbagai pikiran dan perasaan begitu mengganggu mereka.
Jika saja, mereka berdua merasa begitu aneh. Mereka tidak pernah merasa begini canggung jika berdua. Selalu ada candaan yang terlempar juga hati dan pikiran yang selalu dibagi.
Jika ada masalah, biasanya mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan cara baik dan cepat. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk hari ini.
Yoga dan Nala, tampak seperti dua orang yang tidak pernah dekat sebelumya. Mereka menaruh curiga dan dusta hingga Yuda, merasa hubungan mereka tidak sesehat dulu. Ada masalah yang tidak bisa diluruskan dan hubungan mereka sepertinya tidak mudah kembali terjalin.
"Gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira. Kecewa gue sama lo."
Itulah kata-kata terakhir Yoga sebelum meninggalkan Nala saat itu. Tatapannya penuh kekecewaan, tidak lagi memandang Nala seperti dulu. Nala, bukan lagi anak baik yang ia kenal. Cewek itu sudah benar-benar berubah menjadi seorang pendendam yang hampir menyakiti Cecil. Debaman pintu UKS menjadi bukti bahwa pembicaraan mereka telah selesai, begitu juga hubungan pertemanan mereka yang sudah terjalin dari kecil. Berat memang, tapi Yuda tidak ingin berhubungan dengan orang yang salah. Kejadian mengejutkan ini, mengejutkan cowok itu sekaligus membuktikan wajah Nala yang sebenarnya.Sementara itu, Nala hanya terdiam. Ingin sekali ia mengejar Yoga, membujuk Cowok itu untuk tidak meninggalkannya. Tapi, niat itu urung dilakukan. Nala tahu hal itu akan percuma. Butuh dari sekadar bujukan agar Yoga, bisa menerimanya kembali. Untuk sekarang, hal itu mungkin akan sulit dilakukan. Dan juga, ia harus minta maaf pada Cecil.Sementara itu, Cecil sedang berdiam di kamarnya yang penuh dengan dingin udara AC. Cewek itu bergelung di dalam selimut tebalnya, sarapan pagi yang sudah disiapkan Mbok Darmi beberapa jam lalu belum disentuh sama sekali. Ia bahkan tidak mau beranjak dari tempat tidurnya tatkala Mbok Darmi mengetuk pintu kamarnya."Non, ini mbok bawain cemilan. Kue keju kesukaan non," kata Mbok Darmi, mencoba mengajak majikannya itu berbicara. Alih-alih menjawab, Cecil malah merapatkan selimutnya. Ia tidak mau makan, tidak mau minum ataupun yang lainnya. "Non, kalau non ndak mau, mbok bisa ba..""Nggak mau mbok, aku gak mau. Kuenya buat mbok aja," kata Cecil, memotong ucapan Mbok Darmi. Tanda, bahwa ia benar-benar akan menolak apapun yang wanita paruh baya itu coba berikan. Mbok Darmipun, tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti apa kata Cecil. Jujur saja, Mbok Darmi begitu khawatir dengan anak itu. Kemarin, Cecil pulang begitu cepat dari biasanya. Awalnya, Mbok Darmi senang-senang saja, tapi begitu melihat wajah lesu dan sembab Cecil yang saat itu diantar pulang oleh Adrian, memberikan tanda tanya besar bagi wanita paruh baya itu. Terlebih lagi, cewek itu bungkam dan tidak mau menceritakan apapun yang baru saja menimpanya."Yaudah kalau non ndak mau. Tapi, buka pintunya sebentar tolong non. Mbok mau bersihkan kamarnya," kata Mbok Darmi, pada akhirnya mampu membuat Cecil, beranjak dari duduknya dan membukakan pintu untuk orang yang selalu menemaninya itu.Sebenarnya, itu hanya alasan Mbok Darmi saja. Selama ini, tanpa dibantu pun, Cecil sudah terbiasa mengurus ruangan pribadinya sendiri. Wanita itu hanya ingin melihat Cecil, memastikan anak itu baik-baik saja Terbukti, saat Mbok Darmi masuk, keadaan kamar itu bersih dan rapi. Tapi, berbeda dengan kondisi Cecil yang tampak pucat dan acak-acakan.Mbok Darmipun, segera menuju meja belajar Cecil. Di sana, sarapan cewek itu masih utuh tanpa disentuh sedikitpun. Ia sempat melirik Cecil sekilas, sungguh jika saja bisa, ia Ngin sekali menghibur Cecil sampai anak itu bisa kembali tersenyum ceria seperti biasanya."Non, kalau butuh sesuatu bilang ya. Mbok ada di dapur, siap masakin non apa aja yang non mau makan. Jangan kelamaan ngambeknya, nanti sakit," hanya itu yang bisa diucapkan seorang Mbok Darmi pada majikan yang disayanginya. Entah didengar atau tidak, Darmi hanya ingin memberi tahu Cecil bahwa dirinya selalu ada untuk cewek itu.Sementara itu, Cecil hanya mengangguk. Merasa tidak sopan jika terlalu lama menghabiskan Mbok Darmi yang sudah begitu baik pada dirinya. Masalahnya ini, tidak ada hubungannya dengan Darmi, tapi perempuan itu justru turut merasakan dampak dari buruk suasana hatinya."Iya, mbok. Makasih ya, nanti kalau aku laper, aku ke dapur," kata Cecil membuat suasana hati Darmi membaik mendengarnya. Jujur, biasanya jika ada satu masalah yang menimpa, Darmi yang selalu menjadi tempatnya bercerita. Tapi, melihat masalahnya, ia jadi ragu akan menceritakannya pada Darmi. Bisa heboh nanti kalau Darmi tahu ia hampir diperkosa. Kalau begitu caranya, bukan hanya dia yang pusing nantinya, melainkan juga Mbok Darmi bahkan ayahnya yang sudah punya banyak beban dalam pekerjaannya. Ia tidak yakin perempuan itu bisa menjaga rahasia jika itu masalahnya."Mbok juga harus jaga kesehatan, gak usah mikirin aku terus. Aku gak apa-apa kok, cuma agak gak enak badan aja. Bentar lagi juga sembuh," kata cewek itu berusaha meyakinkan Darmi.
Mendengar hal itu, Darmi sebenarnya cukup lega. Ia sebenarnya yakin bahwa Cecil anak yang kuat. Tapi, ia juga tahu bahwa Cecil juga sebenarnya butuh teman. Darmi tahu betul Cecil hanya punya beberapa teman yang tidak banyak jumlahnya.
"Kalau gitu, nanti Mbok Darmi bikinkan wedang jahe ya non, supaya badan non seger," kata wanita itu bersemangat.
"Jangan lupa gulanya yang agak banyak ya mbok," balas Cecil menyetujui usulan Darmi meski ia juga tidak begitu ingin.
"Siap non, biar non lebih bertenaga," kata wanita itu lebih bersemangat. Tapi, ada hal yang Cecil tidak tahu.
Begitu Darmi keluar dari kamar Cecil, perempuan itu terdiam sejenak memikirkan sesuatu. Darmi tahu, ada yang disembunyikan Cecil darinya. Meski begitu, ia tidak punya hak apapun untuk memintanya bercerita. Ia sadar, ia bukan siapa-siapa kecuali orang yang dipekerjakan di rumah ini. Tapi, demi bisa melihat Cecil seperti biasa lagi, ia juga tidak boleh diam begitu saja. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Cecil.Darmi membuka hpnya untuk mengambil hp di saku bajunya dan langsung mengutak-atik aplikasi di dalamnya. Ia harus menghubungi seseorang yang pasti bisa menolong dan tidak mungkin bisa dibantah oleh Cecil."Maaf ya non, mbok sayang sama non. Mbok ndak mau lihat non begini terus. Non harus ceria lagi. Non sudah janji mau cerita apa saja sama mbok," kata wanita itu sebenarnya sedikit menyesal karena harusenggadaikan janjinya pada Cecil, untuk menuruti perintah tuannya yang lain.
Ya ini yang bisa ia lakukan untuk nona kecilnya itu.
"Halo bapak, ini saya Darmi."
Pagi ini, lagi-lagi Cecil, enggan berangkat ke sekolah. Ia tahu, tidak baik baginya terus-terusan mogok sekolah seperti ini. Tapi.. sudah lama ia tidak semangat sebenarnya. Toh, tidak ada yang peduli ia berangkat atau tidak. Ia hanya seseorang yang ada dan tiadanya tidak dianggap. Terlebih lagi, ia merasa agak lemas dan pusing. Bagaimana tidak? Dari kemarin, belum ada makanan yang mengisi perutnya. "Cecil, Cil?" Panggilan akrab itu, mengagetkan Cecil dari pembaringannya. Cewek itu, segera menuju pintu dan membukanya secara tidak sabar. Bahkan, pandangannya yang mulai berkunang-kunang tidak ia hiraukan sama sekali demi segera menemui sang pemilik suara yang sudah lama tidak ia temui.Benar saja, dada bidang ayahnya yang masih dibalut jas kerja langsung menyapa pengelihatannya begitu ia membuka pintu. Wajah pucatnya mendongak, mencari wajah teduh yang biasa tersenyum dan sangat jarang ia temui. "Papa!" Ucap cewek itu sembari memeluk sang ayah yang langsung m
Dalam ruang kerjanya, ayah Cecil memijit keningnya yang teramat pusing. Matanya menekusur huruf demi huruf yang tercetak dalam kertas putih yang dipegangnya. Dadanya naik turun menahan amarah, tapi tidak ada yang bisa dilakukan karena semuanya telah terjadi. Ia merasa gagal melindungi Cecil. Pria itu membanting kertas yang dipegangnya ke atas meja, duduknya kini tampak tidak tenang. Sementara sekretarisnya yang sedari tadi memperhatikan terlihat agak takut. Tidak pernah ia melihat bosnya begini marah hingga nafasnya tersengal. "Kamu sudah memastikan semuanya benar kan? Tidak ada kesalahan?" Kata pria itu menatap wanita berblazer hitam itu tajam. Sementara itu, sekretarisnya hanya mengangguk dan mencoba bersikap tenang, berusaha profesional. "Iya, pak. Semuanya sudah saya pastikan benar. Saya mendapat informasinya langsung dari wali kelas, guru dan sahabat Cecilia, Adrian Wiguna Putra," kata perempuan itu menjelaskan. Jujur saja, sebena
Rumah Adrian, seharusnya ramai pada saat ini. Kakaknya yang sedang libur kuliah kini pulang dan sedang bermain game dengan Yoga yang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, Yoga ingin mengajak Adrian mabar. Tapi, cowok itu anehnya masih saja galau, siapa lagi kalau bukan karena Cecil. "Lo kenapa sih Rian, kerjaannya galau mulu? Kalau kuatir, samperin aja ke rumahnya kan beres," ujar Yoga memberi saran pada Adrian yang pandangannya masih sedih sambil memetik gitar asal-asalan. "Gue udah ke rumahnya, tapi dia gak mau nemuin gue. Gak tau deh kenapa, kalau gue punya salah kan dia biasanya ngomong, gak diem kayak gini," kata Adrian, masih dengan ketidak jelasan kabar Cecil yang menggunakan dirinya. "Yaudah lah, gue tau kok Cecil orangnya gimana. Nanti kalau udah baikan, dia pasti kabarin Lo kok," kata Yoga yang masih berusaha meyakinkan Adrian. Cowok itu tahu benar, Adrian menyukai Cecil. Pasti, sebuah siksaan baginya karena tidak bisa berkomunikasi dengan ce
Tidak seperti biasanya, Adrian begitu menantikan Hari Senin. Jantungnya berdebar-debar menantikan pelajaran pertama untuk hari ini. Bukan karena pelajaran tentu saja, melainkan karena hari ini ia akan bertemu kembali dengan Cecil. Agak aneh sebenarnya, karena pada hari saat Cecil mengirimkan sebuah jam tangan untuknya, cewek itu masih tidak bisa dihubungi. Ia kira semua masalahnya sudah. Teratasi, tapi bagaimana mungkin Cecil masih begitu tertutup seperti ini? Maka dari itu, Adrian berangkat sekolah terburu-buru pada hari ini. Ia sampai begitu pagi, tidak ada seorangpun yang ada di kelas selain dirinya. Entahlah, apa yang sedang merasukinya hingga sampai seperti ini. Pun, jika Cecil benar-benar datang, ia tidak akan seniat itu bukan untuk berangkat sekolah pukul enam pagi. "Drian, tumben banget lo dateng pagi-pagi banget?" Setelah menunggu lima belas menit, bukannya Cecil, malah Nala yang datang. Cewek itu memandang Adrian, penuh tanya. Sementara
Di rumah Cecil, di pagi yang sama. Cecil menatap wajahnya di dalam cermin. Ia memperhatikan segala yang terpahat di sana. Matanya, hidungnya, alis, pipi, semuanya. Ia tahu, benar-benar tahu jika kecantikan adalah hal yang diinginkan oleh semua perempuan. Iapun bersyukur karena diberikan pahatan wajah yang sama persis dengan sang ibu, yang sukses menjerat hati ayahnya begitu dalam. Hingga saat ini, setelah tahun ke sepuluh kematian ibunya, tidak ada satu wanitapun yang bisa menggantikan posisi ibunya meski ayahnya tergolong masih muda pada saat meninggalnya sang ibu dan banyak pilihan yang menunggu jawab. Itu semua, karena ibunya sosok yang cantik, persis seperti dirinya. "Tapi sayangnya, cantik nggak selalu membawa keberuntungan," itulah yang Cecil rasakan saat ini. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya dia seorang yang merasakannya, tapi juga sang ibu. Karena cantik itulah, ibunya mati muda. Seorang pria h
Cecil mebghembuskan nafas, mencoba mengendalikan degup jantungnya yang masih bergemuruh. Ia tentu saja khawatir, bagaimana tanggapan orang tentang penampilan barunya ini? Tapi, keputusan adalah keputusan, bila ia seperti dulu, kemungkinan hal buruk yang lalu juga akan terjadi dan ia tidak mau itu. "Ayo Cecil, sekolah baru, lembaran baru. Harus semangat!" Kata Cecil menyemangati dirinya sendiri. Iapun keluar dari mobil, mengetuk kaca depan mobil untuk sebentar berbincang dengan supir yang sudah mengantarnya. "Makasih ya, Pak Sarto. Hati-hati pulangnya," kata cewek itu tersenyum manis pada laki-laki yang sudah lama bekerja dengan keluarganya itu. Laki-laki berperawakan tinggi kurus itupun balas tersenyum padanya. "Iya non, makasih. Nanti saya jemput lagi jam dua siang ya," jawab laki-laki itu dengan nada medok sebelum berpamitan pulang pada Cecil, melaju dengan mobil sedannya kembali ke rumah Cecil yang sudah lama pula jadi tempat tinggalnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, waktu makan malam sudah lama berlalu dan kedai sudah beberapa menit lalu tutup. Tapi bukan berarti pekerjaan Aira sudah selesai. Gadis itu sedang mencuci tumpukan panci dan dan piring yang menumpuk bekas makan malam kedai yang begitu ramai dan hampir membuatnya kewalahan. Meski sudah satu bulan bekerja di kedai itu, Aira belum sepenuhnya terbiasa dengan rasa lelahnya seusai bekerja dan Aira rasa itu memalukan. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan aktivitas fisik yang berat karena sudah biasa berolah raga dengan intensitas tinggi dan bahkan sudah membawanya hampir menyandang status atlet profesional. Tapi kenapa bekerja begini saja sudah membuatnya kewalahan? Aira tidak habis pikir. Aira menyeka keringat di dahinya dengan lengannya yang berbalut kaos panjang. Tangan lembutnya sedang dibalut sarung tangan karet yang selalu ia gunakan saat mencuci piring tampak begitu gesit me
Lilly menghempas-hempaskan ujung gaunnya yang basah. Tangannya yang pegal ia pijat beberapa kali agar rasa kebas dan berdenyut itu bisa hilang setelahnya. Hari ini, ada lima bak besar baju dari istana harus ia bersihkan seluruhnya. Tapi baru satu bak saja rasanya punggungnya sudah mau patah.Ember-ember besar dari kayu itu teronggok di sampingnya seolah ingin mengejek nasibnya yang sulit sekali berubah. Hidupnya memang sudah sulit sedari kecil, ayahnya yang pemabuk dan ibunya yang seolah tidak peduli padanya memaksanya untuk hidup mandiri sejak kecil. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja ia terpaksa mencuri segenggam roti dari para pedagang di pasar yang sedang abai pada dagangannya.Beruntung, seorang wanita menemukannya saat tidur di sudut kota saat ia demam enam tahun lalu. Dengan kebaikan hatinya, wanita itu bersedia mengadopsi Lilly dan merawatnya. Tapi sayangnya, beberapa bulan lalu perempuan baik hati yang ia panggil Madame Emma itu meninggal dunia ka
Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m
Siang hari di kantin sekolah tidak begitu ramai, musim dingin yang menggigit membuat siswa lebih banyak memilih untuk makan siang di kelas masing-masing yang hangat. Tapi hal itu tidak berlaku untuk tiga orang yang duduk bersedekap melingkar di atas meja. Salah satu dari mereka bahkan tampak bersemangat tidak memperdulikan dingin yang masih terasa meski ia telah memakai jaket yang tebal. Wajahnya memang masih pucat, begitu juga kakinya yang masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Tapi bagi Aira, bisa keluar dari rumah dan bertemu dengan Yuta adalah satu-satunya alasan ia bisa tersenyum akhir-akhir ini. Raut bahagia yang ditunjukkan Aira begitu berbalik dengan Aoi. Gadis berambut hitam dengan rona biru itu belakangan menyadari sesuatu yang salah antara pacar dan sahabatnya. Ia menatap lekat Aira sambil memicingkan sebelah matanya; senyum yang ditujukan Aira untuk Yuta itu, Aoi yakin punya arti lain yang pasti
Aira berdiri perlahan, tubuhnya sudah dibalut seragam sekolah lengkap, tanda bahwa ia siap berangkat ke sekolah. Ia melihat bayangan wajahnya di dalam cermin. Tampak pucat dan layu. Tapi untungnya tidak ada bekas luka yang terlihat di sana. Bekas benturan keras di kepalanya sudah ia akali dengan poni tebal yang menutupi dahinya. Ia mengambil sesuatu di laci meja riasnya; sebuah lip tint dan blush on. Ia bukan tipe siswa yang suka berdandan saat berangkat sekolah. Tapi jika ia tidak menggunakan keduanya, orang pasti akan tahu dia sedang sakit. Maka dengan piawai ia memoleskan lip tint itu di bibirnya tipis-tipis. Tidak perlu terlalu banyak, cukup sedikit saja untuk menutupi bibir kering dan pucatnya. Hal yang sama ia lakukan saat memulas blush on di tulang-tulang pipinya. Selesai. Inoe terlihat jauh lebih baik sekarang. Untung saja seragam Aira memiliki lengan panjang. Jika tidak, bukti kekerasan a
Siang hari di musim dingin selalu menjadi hari yang menyenangkan. Cuaca cerah dengan pandangan putih tertutup salju di setiap sudut menjadikan suasana di luar seperti kota-kota dalam dongeng di buku cerita yang suka Aira baca waktu kecil. Meski orang akan memilih diam di rumah berpenghangat, hal itu tidak berlaku bagi Aira, ia suka sekali bermain ice skating di kolam renangnya yang membeku atau di halamannya yang luas. Selain itu menyenangkan, ia juga tidak perlu memakai pakaian tebal tanpa perlu merasa kedinginan. Tapi sayang sekali ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Jangankan bermain ice skating, untuk berjalan saja ia masih kesulitan karena kakinya masih sakit. Alhasil, ia hanya bisa duduk terbaring di kamarnya sambil menatap jendela yang hanya menyajikan pemandangan ranting pohon yang sedang ditumpangi salju.