Beranda / Fiksi Remaja / Contradiction / Nasib yang Berbeda

Share

Nasib yang Berbeda

Penulis: Saya Syakrila
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-05 02:41:27

Adakalanya, seseorang membutuhkan banyak usaha untuk sekadar diterima di lingkungannya. Begitulah yang dirasakan oleh Cecil sekarang. Pihak sekolah dan kepolisian sudah menyelidiki penyebab kebakaran itu. Terbukti bahwa Cecil, tidak ada hubungannya dengan kejadian dini hari itu. 

Kebakaran yang menghanguskan laboratorium kimia itu, disebabkan oleh kosleting listrik yamg disebabkan oleh kabel yang terbuka. Tidak besar sebenarnya, tapi tetap saja, jika percikan  api itu sudah menyambar tumpahan cairan kimia mudah terbakar yang tidak terlihat, akan menimbulkan api kecil yang lama kelamaan membesar dan akhirnya membakar seluruh isi laboratorium. Salahkan saja para tikus yang menggigiti kabel itu. Bukannya menemukan makanan, tikus itu malah membuat Cecil, untuk kesekian kalinya ditolak oleh orang-orang. 

Hal itu jelas terlihat pada hari ini. Cecil, mencoba mendatangi kelas Ririn, untuk melihat kondisi teman barunya itu, memastikan Ririn, baik-baik saja. Tapi bukannya Ririn yang ia temui, malah cewek julit yang tidak ia kenal datang dengan wajah masamnya 

"Ririn ada?" Tanya Cecil di depan kelas Ririn di waktu istirahat itu. Bukannya menjawab, cewek julit itu malah memandangi Cecil, dari atas ke bawah membuat Cecil, tidak nyaman. Ia mendekapkan kedua tangannya di dada seolah sedang menantang Cecil.

"Ririn gak ada, dia gak berangkat sekolah, masih sakit di rumah. Gara-gara lo kan?!" Ucap cewek itu membuat Cecil, kembali sedih. Tapi, ia masih berusaha tersenyum di depan cewek itu meski berat. Ia tidak akan kalah hanya dengan ucapan seperti itu bukan? 

"Oh, gitu. Oke, makasih ya," kata Cecil, sambil berbalik untuk kembali menuju kelasnya. Begitu ia melangkah, ia melihat banyak mata menatapnya begitu sinis. Ia tidak tahu apa salahnya pada mereka. Yang jelas, semua itu bukan salahnya.

"Sok kecantikan banget tuh anak. Dasar pembawa sial," Cecil, masih bisa mendengar nada sinis yang diucapkan seseorang padanya. Cecilpun, melangkah lebih cepat, berharap, ia bisa segera sampai di kelasnya dan tidak lagi perlu mendengar sindiran tidak jelas yang mengarah langsung pada dirinya. Ia memang berhasil mengabaikan hal itu untuk beberapa saat, tapi kalau terus diucapkan begitu, siapa pula yang bisa tahan.

Tapi, begitu sampai di kelasnyapun, Cecil tidak langsung terhindar dari "sapaan akrab" teman-temannya yang tidak bisa menahan sindiran oleh Cecil yang sebenarnya tidak punya salah pada mereka. Ayolah, sejak awal, mereka memang selalu iri dengan segala hal yang dimiliki Cecil. Ini adalah kesempatan bagus bagi mereka untuk bisa membuat Cecil, merasakan penyakit hari mereka yang sudah sekian lama ditahan. Sama seperti sebelumnya, mereka memandang Cecil, seperti makhluk luar angkasa yang belum pernah mereka lihat. Cecil selalu saja dilihat dari atas sampai bawah dengan tatapan nyinyir. 

Bukan hanya itu saja, begitu sampai di bangkunya yang terletak paling belakang, Cecil dikejutkan dengan mejanya yang sudah kotor dengan cat semprot permanen bertuliskan "Anak Pembawa Sial Ke Laut Aja." Tentu saja hal itu membuat Cecil, begitu marah. Kenapa semua orang menyalahkannya tanpa tahu kenyataan sebenarnya.

"Eh! Ulah siapa nih? Kalo berani, hadepin gue dong, jangan main sembunyi-sembunyi kayak gini. Beraninya kalau gue lagi gak ada doang!" Kata Cecil, dengan nada tinggi menantang orang yang yang berani mencoret-coret mejanya itu.

Ia memandang ke seisi kelas, tidak ada seseorangpun yang mengindahkannya membuat Cecil, semakin sedih. Ia tidak masalah kalau dimusuhi, tapi ia tidak suka diabaikan. Jika seperti ini, Cecil benar-benar merasa tidak dianggap.

"Gue yang nulis," kata seseorang secara tiba-tiba membuat Cecil, sedikit terkejut. Tidak disangka, bukan teman satu kelas yang melakukannya. Melainkan Nala, orang yang dari awal menuduhnya macam-macam sejak kejadian di malam itu.

"Nala?"

"Kenapa? Lo berani sama gue? Udah pembawa sial, sok cantik lagi. Kenapa lo gak pergi aja sih?" Ujar cewek itu menyindir Cecil habis habisan. Cecil benar-benar tidak mengerti apa yang ada dalam pikiran cewek itu. Kenapa Nala selalu mengganggunya? Padahal, ia tidak terlalu mengenal cewek itu selain fakta kecil bahwa ia adalah teman sebangku Ririn di kelas sebelah.

"Eh, emangnya lo siapa ngatur-ngatur gue harus kemana? Yang harusnya pergi tuh elo. Pulang sana ke kelas lo, ngapain lo bela-belain ke sini buat ngerjain gue?" Tanya Cecil, pada Nala yang seolah sedang mengajaknya beradu hantam itu. Cecil merasa, ia tidak perlu takut pada cewek satu ini. Sebab, ia tidak merasa pernah melakukan kesalahan. Tapi, cobaan lain datang mendekat.

"Eh! Cewek pembawa sial! Gak usah nyolot ya lo. Masih untung lo gak diusir dari sekolah ini. Lo tau gak? Ririn hampir celaka gara-gara lo, lo nggak punya hak buat berlagak songong kayak gitu tau gak!" Kali ini, Nala membentak sambil mendorongnya hingga punggungnya membentur meja dengan keras. Bukan hanya itu, cewek itu bahkan berusaha menarik rambutnya. Beruntung, sebuah tangan kekar menahan gerakan cewek itu hingga Cecil, bisa terlepas dari serangan fisik lain yang akan menyakitinya.

"Heh, cewek gila! Jangan berani main kasar ya sama Cecil. Jangan main fisik dong, gue laporin BK baru tau rasa lo," kata Adrian sambil mencengkram kuat lengan Nala, yang hendak menyerang Cecil itu.

"Apaan sih, lepasin gue!" Nala meronta berusaha melepas cengkraman tangan Adrian pada lengannya. Adrianpun, akhirnya melepaskan tangan Nala yang langsung memegangi pergelangan tangannya yang terasa perih karena perbuatan Adrian.

"Kasar banget sih lo jadi cowok, gak jentle banget. Beraninya  sama cewek!" Kata Nala, dengan mata nyalang terlihat tidak takut pada Adrian. Tentu saja hal itu membuat Adrian tergelak. Jujur, ia cukup terkesan dengan keberanian Nala, cewek ini boleh juga. Jika saja ia bukan termasuk cewek yang main serang dengan Cecil, ia akan cukup untuk membawa seorang laki-laki ke pelukannya.

"Gue gak pernah punya urusan sama cewek kayak lo. Tapi kalo lo gangguin Cecil, lo berarti punya urusan sama gue," kata Adrian, menantang Nala yang menurutnya sudah keterlaluan. Meski sering mendapat nyinyiran pedas, Cecil tidak pernah mendapat serangan fisik sebelumnya. Dilihatnya, Cecil sudah berkaca-kaca. Ia tahu banyak orang yang tidak menyukai Cecil, tapi... Haruskah sampai seperti ini?

Adrian melihat kesekeliling, ada banyak orang di tempat ini. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang punya inisiatif untuk melerai pertikaian antara Cecil dan Nala sedari tadi. Mereka malah asyik menonton, seolah, Cecil dan Nala sedang memainkan pertunjukan untuk menghibur mereka.

Tidak lama setelahnya, suara bel masuk berbunyi membuat mereka harus menyudahi segalanya. Tentu saja, Nala tampak tidak puas. Cewek itu masih ingin berurusan dengan Cecil sebenarnya. Tapi apa daya, ia harus kembali ke kelas dan melanjutkan tujuan utamanya datang ke sekolah.

"Awas ya! Urusan kita belum selesai. Lo lonte, gue gak takut walaupun Lo punya anjing penjaga kayak dia," katanya sebelum pergi tentu saja merujuk pada Cecil dan Adrian. 

"Kalian punya hati gak sih? Percuma sekolah kalo ada kayak gini kalian gak berbuat apa-apa. Banci kalian semua!" Kata Adrian, merasa kesal pada teman-teman sekelasnya yang hanya menonton melihat Cecil dirundung oleh Nala.

"Udah, udah. Jangan marah-marah lagi, gue gak papa kok," ujar Cecil, menenangkan Adrian yang tampak gusar dengan kelakuan kelasnya. Sungguh, ia tidak bisa melihat Cecil, diperlakukan tidak adil seperti ini.     

Bab terkait

  • Contradiction   Sebuah Tragedi

    "Pokoknya, gue nggak mau tau. Cecil, harus jauh dari Yoga, apapun caranya," begitulah yang selalu ada dalam kepala Nala, akhir-akhir ini. Cewek itu benar-benar kesal dengan keberadaan Cecil, yang menurutnya sudah mengganggu ketentraman pertemanannya dengan Yoga. Cewek itu, kembali mengetuk-ngetuk layar ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tapi, belum sempat ia menekan tombol untuk menelpon orang yang dimaksud, orang itu sudah ada di belakangnya, ia menyentuh punggung Nala, untuk memberitahukan eksistensinya. "Kenapa lo manggil gue?" Kata orang itu tiba-tiba membuat Nala terkaget. Cewek itu pun, berbalik, menghadapkan wajah ayunya pada laki-laki berbadan kekar dengan tato melingkar di lengannya. "Ngangetin aja sih, salam kek gitu," kata Nala, protes namun diabaikan begitu saja oleh pria bertato yang tampak mengerikan itu. Laki-laki itu malah memutar bola matanya, tanda bahwa ia benar-benar tidak peduli dengan perkataan Nala yang sedang menyindirnya i

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-06
  • Contradiction   Fakta dan Pengakuan

    Jam istirahat telah membuat seisi kelas gaduh. Para siswa terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil dengan saling mengobrol dan berbagi makanan, tidak terkecuali Nala. Cewek itu tampak begitu bersenang senang dengan beberapa kawannya. Ia tertawa begitu lepas menanggapi candaan seseorang dan turut membagi cerita lucu pada mereka. Tanpa ia sadari, Yoga telah memasuki kelasnya dan langsung menuju tempat duduknya. Cowok itu melangkah dengan cepat seakan tergesa. Ia tidak ingin membuang waktu untuk mengetahui kebenaran atas apa yang terjadi kepada Cecil kemarin. "Nala," panggil cowok itu pada Nala, yang masih belum mengetahui eksistensi Yoga di belakangnya. Rekahan senyum langsung terbit dari wajah cewek itu begitu melihat Yoga. "Yoga? Sejak kapan lo di sini?" Tanya cewek itu masih dengan senyum di wajahnya. Tapi, Yoga tidak datang untuk berbasa-basi. Tatapan cowok itu begitu dingin pada Nala yang masih menyambut baik kedatangannya itu. "G

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Contradiction   Pergulatan Hati

    Yoga dan Nala saling diam untuk beberapa saat, kecamuk berbagai pikiran dan perasaan begitu mengganggu mereka. Jika saja, mereka berdua merasa begitu aneh. Mereka tidak pernah merasa begini canggung jika berdua. Selalu ada candaan yang terlempar juga hati dan pikiran yang selalu dibagi. Jika ada masalah, biasanya mereka selalu bisa menyelesaikannya dengan cara baik dan cepat. Tapi, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk hari ini. Yoga dan Nala, tampak seperti dua orang yang tidak pernah dekat sebelumya. Mereka menaruh curiga dan dusta hingga Yuda, merasa hubungan mereka tidak sesehat dulu. Ada masalah yang tidak bisa diluruskan dan hubungan mereka sepertinya tidak mudah kembali terjalin. "Gue tau ternyata gue salah. Lo bukan cewek sebaik yang gue kira. Kecewa gue sama lo."Itulah kata-kata terakhir Yoga sebelum meninggalkan Nala saat itu. Tatapannya penuh kekecewaan, tidak lagi memandang Nala seperti dulu. Nala, bukan lagi anak baik yang ia kenal.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09
  • Contradiction   Sebuah Pelukan

    Pagi ini, lagi-lagi Cecil, enggan berangkat ke sekolah. Ia tahu, tidak baik baginya terus-terusan mogok sekolah seperti ini. Tapi.. sudah lama ia tidak semangat sebenarnya. Toh, tidak ada yang peduli ia berangkat atau tidak. Ia hanya seseorang yang ada dan tiadanya tidak dianggap. Terlebih lagi, ia merasa agak lemas dan pusing. Bagaimana tidak? Dari kemarin, belum ada makanan yang mengisi perutnya. "Cecil, Cil?" Panggilan akrab itu, mengagetkan Cecil dari pembaringannya. Cewek itu, segera menuju pintu dan membukanya secara tidak sabar. Bahkan, pandangannya yang mulai berkunang-kunang tidak ia hiraukan sama sekali demi segera menemui sang pemilik suara yang sudah lama tidak ia temui.Benar saja, dada bidang ayahnya yang masih dibalut jas kerja langsung menyapa pengelihatannya begitu ia membuka pintu. Wajah pucatnya mendongak, mencari wajah teduh yang biasa tersenyum dan sangat jarang ia temui. "Papa!" Ucap cewek itu sembari memeluk sang ayah yang langsung m

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • Contradiction   Keputusan

    Dalam ruang kerjanya, ayah Cecil memijit keningnya yang teramat pusing. Matanya menekusur huruf demi huruf yang tercetak dalam kertas putih yang dipegangnya. Dadanya naik turun menahan amarah, tapi tidak ada yang bisa dilakukan karena semuanya telah terjadi. Ia merasa gagal melindungi Cecil. Pria itu membanting kertas yang dipegangnya ke atas meja, duduknya kini tampak tidak tenang. Sementara sekretarisnya yang sedari tadi memperhatikan terlihat agak takut. Tidak pernah ia melihat bosnya begini marah hingga nafasnya tersengal. "Kamu sudah memastikan semuanya benar kan? Tidak ada kesalahan?" Kata pria itu menatap wanita berblazer hitam itu tajam. Sementara itu, sekretarisnya hanya mengangguk dan mencoba bersikap tenang, berusaha profesional. "Iya, pak. Semuanya sudah saya pastikan benar. Saya mendapat informasinya langsung dari wali kelas, guru dan sahabat Cecilia, Adrian Wiguna Putra," kata perempuan itu menjelaskan. Jujur saja, sebena

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • Contradiction   Hadiah

    Rumah Adrian, seharusnya ramai pada saat ini. Kakaknya yang sedang libur kuliah kini pulang dan sedang bermain game dengan Yoga yang berkunjung ke rumahnya. Tadinya, Yoga ingin mengajak Adrian mabar. Tapi, cowok itu anehnya masih saja galau, siapa lagi kalau bukan karena Cecil. "Lo kenapa sih Rian, kerjaannya galau mulu? Kalau kuatir, samperin aja ke rumahnya kan beres," ujar Yoga memberi saran pada Adrian yang pandangannya masih sedih sambil memetik gitar asal-asalan. "Gue udah ke rumahnya, tapi dia gak mau nemuin gue. Gak tau deh kenapa, kalau gue punya salah kan dia biasanya ngomong, gak diem kayak gini," kata Adrian, masih dengan ketidak jelasan kabar Cecil yang menggunakan dirinya. "Yaudah lah, gue tau kok Cecil orangnya gimana. Nanti kalau udah baikan, dia pasti kabarin Lo kok," kata Yoga yang masih berusaha meyakinkan Adrian. Cowok itu tahu benar, Adrian menyukai Cecil. Pasti, sebuah siksaan baginya karena tidak bisa berkomunikasi dengan ce

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-11
  • Contradiction   Selamat Tinggal

    Tidak seperti biasanya, Adrian begitu menantikan Hari Senin. Jantungnya berdebar-debar menantikan pelajaran pertama untuk hari ini. Bukan karena pelajaran tentu saja, melainkan karena hari ini ia akan bertemu kembali dengan Cecil. Agak aneh sebenarnya, karena pada hari saat Cecil mengirimkan sebuah jam tangan untuknya, cewek itu masih tidak bisa dihubungi. Ia kira semua masalahnya sudah. Teratasi, tapi bagaimana mungkin Cecil masih begitu tertutup seperti ini? Maka dari itu, Adrian berangkat sekolah terburu-buru pada hari ini. Ia sampai begitu pagi, tidak ada seorangpun yang ada di kelas selain dirinya. Entahlah, apa yang sedang merasukinya hingga sampai seperti ini. Pun, jika Cecil benar-benar datang, ia tidak akan seniat itu bukan untuk berangkat sekolah pukul enam pagi. "Drian, tumben banget lo dateng pagi-pagi banget?" Setelah menunggu lima belas menit, bukannya Cecil, malah Nala yang datang. Cewek itu memandang Adrian, penuh tanya. Sementara

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-12
  • Contradiction   Bersembunyi

    Di rumah Cecil, di pagi yang sama. Cecil menatap wajahnya di dalam cermin. Ia memperhatikan segala yang terpahat di sana. Matanya, hidungnya, alis, pipi, semuanya. Ia tahu, benar-benar tahu jika kecantikan adalah hal yang diinginkan oleh semua perempuan. Iapun bersyukur karena diberikan pahatan wajah yang sama persis dengan sang ibu, yang sukses menjerat hati ayahnya begitu dalam. Hingga saat ini, setelah tahun ke sepuluh kematian ibunya, tidak ada satu wanitapun yang bisa menggantikan posisi ibunya meski ayahnya tergolong masih muda pada saat meninggalnya sang ibu dan banyak pilihan yang menunggu jawab. Itu semua, karena ibunya sosok yang cantik, persis seperti dirinya. "Tapi sayangnya, cantik nggak selalu membawa keberuntungan," itulah yang Cecil rasakan saat ini. Kalau dipikir-pikir, bukan hanya dia seorang yang merasakannya, tapi juga sang ibu. Karena cantik itulah, ibunya mati muda. Seorang pria h

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13

Bab terbaru

  • Contradiction   Pergi untuk Tinggal

    Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat

  • Contradiction   Sirius

    Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku

  • Contradiction   Berkorban untuk Mendapatkan

    Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b

  • Contradiction   Mengikatmu

    Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang

  • Contradiction   Sayang dan Benci

    "DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun

  • Contradiction   Dalam Keterasingan

    Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m

  • Contradiction   Yang Tidak Dapat Terucap

    Siang hari di kantin sekolah tidak begitu ramai, musim dingin yang menggigit membuat siswa lebih banyak memilih untuk makan siang di kelas masing-masing yang hangat. Tapi hal itu tidak berlaku untuk tiga orang yang duduk bersedekap melingkar di atas meja. Salah satu dari mereka bahkan tampak bersemangat tidak memperdulikan dingin yang masih terasa meski ia telah memakai jaket yang tebal. Wajahnya memang masih pucat, begitu juga kakinya yang masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Tapi bagi Aira, bisa keluar dari rumah dan bertemu dengan Yuta adalah satu-satunya alasan ia bisa tersenyum akhir-akhir ini. Raut bahagia yang ditunjukkan Aira begitu berbalik dengan Aoi. Gadis berambut hitam dengan rona biru itu belakangan menyadari sesuatu yang salah antara pacar dan sahabatnya. Ia menatap lekat Aira sambil memicingkan sebelah matanya; senyum yang ditujukan Aira untuk Yuta itu, Aoi yakin punya arti lain yang pasti

  • Contradiction   Sahabat

    Aira berdiri perlahan, tubuhnya sudah dibalut seragam sekolah lengkap, tanda bahwa ia siap berangkat ke sekolah. Ia melihat bayangan wajahnya di dalam cermin. Tampak pucat dan layu. Tapi untungnya tidak ada bekas luka yang terlihat di sana. Bekas benturan keras di kepalanya sudah ia akali dengan poni tebal yang menutupi dahinya. Ia mengambil sesuatu di laci meja riasnya; sebuah lip tint dan blush on. Ia bukan tipe siswa yang suka berdandan saat berangkat sekolah. Tapi jika ia tidak menggunakan keduanya, orang pasti akan tahu dia sedang sakit. Maka dengan piawai ia memoleskan lip tint itu di bibirnya tipis-tipis. Tidak perlu terlalu banyak, cukup sedikit saja untuk menutupi bibir kering dan pucatnya. Hal yang sama ia lakukan saat memulas blush on di tulang-tulang pipinya. Selesai. Inoe terlihat jauh lebih baik sekarang. Untung saja seragam Aira memiliki lengan panjang. Jika tidak, bukti kekerasan a

  • Contradiction   Kenyataan Tersembunyi

    Siang hari di musim dingin selalu menjadi hari yang menyenangkan. Cuaca cerah dengan pandangan putih tertutup salju di setiap sudut menjadikan suasana di luar seperti kota-kota dalam dongeng di buku cerita yang suka Aira baca waktu kecil. Meski orang akan memilih diam di rumah berpenghangat, hal itu tidak berlaku bagi Aira, ia suka sekali bermain ice skating di kolam renangnya yang membeku atau di halamannya yang luas. Selain itu menyenangkan, ia juga tidak perlu memakai pakaian tebal tanpa perlu merasa kedinginan. Tapi sayang sekali ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Jangankan bermain ice skating, untuk berjalan saja ia masih kesulitan karena kakinya masih sakit. Alhasil, ia hanya bisa duduk terbaring di kamarnya sambil menatap jendela yang hanya menyajikan pemandangan ranting pohon yang sedang ditumpangi salju.

DMCA.com Protection Status