"Eh bocil, biasa aja dong kalo liatin cewek, jijik banget gue liatnya," kata Nala pada Yoga yang sedang tersenyum sendiri melihat Cecil dari jauh. Perempuan cantik itu terlihat sedang mengantri di kasir dengan beberapa makanan ringan di tangannya.
"Galak amat lu kayak macan. Eh, gua lupa elu kan emang singa; galak," jawab laki-laki itu sambil meledek Nala dengan menjulurkan lidahnya. Alhasil, Nala pun tidak segan-segan mendeplak bahu Yoga yang sudah seenaknya menyamakan dirinya dengan Nala pacar Simba dalam film Lion King itu."Enak aja lu kalo ngomong!" Kata gadis itu sambil melotot ke arah Yoga yang sedang mengelus-elus bahunya yang panas akibat ulah Nala yang tidak ia duga.
"Enak banget sih lu ngeplak-ngeplak orang. Lagian salah gua ke elu apaan? Marah-marah mulu kayak nenek-nenek," cerocos Yoga lagi dengan nada kesal pada Nala. Sementara itu, Nala akhirnya terdiam, memilih kembali menyantap baksonya yang sudah dingin dengan wajah maupun karena kesal.Yoga, sahabatnya itu, tidak tahukah dia kalau Nala kesal setiap kali ia melihat ke arah cewek lain? Cowok tengil itu memang tidak peka, tidak tahu kalau dirinya sebenarnya menyukainya. Seandainya saja cowok itu bisa memahami tanda-tanda kecil yang ia berikan, pasti tidak begini jadinya."Yah kan, Cecil udah pergi. Elu sih, gangguin gua mulu," kata Yoga lagi membuat Nala kehilangan kesabaran. Gadis itu pun menghampar paha Yoga sekali lagi dan memilih pergi dari kantin."Ce ilah, ni mak lampiran satu. Eh, bayar dulu tuh bakso!" Teriak Yoga lagi sembari menahan sakit di pahanya karena ulah Nala yang suka main tangan itu. Sementara, gadis itu tidak memperdulikannya dan terus berjalan ke arah kelas."Bayarin!" Kata Nala membuat Yoga lagi-lagi menggelengkan kepalanya menghadapi sikap Nala yang ajaib itu. Tanpa ragu, ia pun mendekatkan mangkuk bakso yang masih penuh itu ke depannya dan langsung menyantapnya nikmat."Nala, Nala. Kalo bukan temen dari TK udah gua tinggalin lu," kata Yoga sambil menambahkan kecap ke dalam mangkuk bakso yang menurutnya masih terlalu pedas.Sementara itu, gadis yang tengah dibicarakan tadi; Cecil sedang duduk di kursinya dalam kelas. Gadis cantik itu duduk paling belakang. Sendirian. Dia memang selalu sendirian. Walaupun banyak yang memuji kecantikannya, hal itu malah membuatnya dibenci oleh cewek-cewek di kelasnya. Tidak jarang, gadis itu mendapat labrakan dari cewek yang tidak ia kenal dengan tuduhan macam-macam. Seperti halnya hari ini.Cecil tidak menyadari jika ada seseorang cewek yang sedang melangkah terburu-buru ke arahnya. Wajah cewek itu memerah penuh amarah. Cecil yang sedang menikmati roti coklat yang dibelinya tidak tahu apa-apa ketika cewek itu menggebrak mejanya keras."Eh, cewek ganjen! Berani ya lo rebut-rebut cowok gue!" Kata perempuan itu keras membuat Cecil yang sedang meminum teh dalam botol langsung memuncratkan isi mulutnya ke kemeja cewek itu. Ia tidak sengaja. Ia kaget, salah siapa datang tiba-tiba dan langsung berteriak begitu."AAAAAAA jijik banget!" Cewek itu berteriak lagi, kali ini bukan dengan nada marah melainkan dengan histeris meratapi nasib kemeja putihnya yang sekarang kotor terkena semprotan air teh manis yang lengket."Maaf, maafin gue. Gue bersihin sini," kata Cecil yang tidak kalah terkejut dengan korbannya. Cewek cantik itu kemudian berniat merogoh tas ranselnya. Seingatnya, ia membawa satu kotak tisu di dalam tas yang ia tempatkan bersama buku-buku sekolah yang ia bawa. Tapi, sebelum itu terjadi, Cecil malah tidak sengaja menyenggol botol berisi teh berpengawet itu hingga menyiram cewek yang suka marah-marah tadi. Alhasil, bukan cuma kemeja putihnya saja yang sekarang basah, melainkan juga rok abu-abu yang ia pakai.Aaaaaaaa, ya ampun. Lo sengaja ya?" Tuduh cewek itu semakin marah kepada Cecil, dengan tatapan merasa bersalah yang amat kentara, cewek berambut panjang itu berkali-kali berusaha meraih kemeja dan rok di depannya untuk dibersihkan dengan tisu. Meski ia tahu hal itu tidak akan bisa membantu sama sekali, tetapi paling tidak ia ingin melakukan sesuatu."Gak usah! Males banget gue sama lo. Udah suka ngrebut pacar orang, pembawa sial lagi. Gak lagi-lagi gue mau liat muka lo!" Kata cewek itu membentak Cecil di depan banyak teman Cecil di kelas yang tidak mau ikut campur. Tidak ada di antara mereka yang mau melerai, mereka sudah terbiasa dengan pemandangan seperti itu meski mereka tahu Cecil pastilah tidak seperti yang dituduhkan."Cowok yang mana mba? Saya nggak ngerti," ujar Cecil membela diri. Ia tidak tahu, sungguh benar benar tidak tahu. Jangankan merebut cowok, selama tujuh belas tahun usianya, tidak pernah sekalipun dirinya berpacaran."Halah, gak usah sok polos deh lo! Gua liat sendiri, di hp pacar gue foto lo tubuh banyak banget tau gak? Lo kan yang udah pengaruhin cowok gua biar putus sama gue? Ngaku aja lo!" Kata cewek itu lagi sambil melotot ke arah Cecil yang sama sekali tidak mengerti."Heh! Yang bener dong kalo ngomong, emang lo punya buktinya? Seenaknya banget nuduh-nuduh orang!" Akhirnya, ada juga yang membela Cecil. Adrian, satu-satunya teman Cecil di kelas itu akhirnya datang. Cowok itu kaget setengah mati ketika menyadari cewek yang melabrak Cecil itu kini basah kuyup terkena tumpahan teh botol. Botol tidak bersalah itu dilihatnya sudah tidak berisi dengan air beraroma teh melati itu telah berserak di atas meja dan lantai."Eh, cowok gak jelas, gak usah ikut campur deh lo, gua ada urusan sama nih cewek. Bukan sama elo!" Kata cewek itu masih ngotot. Kali ini, dengan berani ia menatap marah ke arah Adrian tanpa ragu sama sekali."Apa urusan lo sama Cecil? Dia ngrebut pacar lo? Lagu lama, paling juga cowok lo yang keganjenan," ujar Adrian membela temannya itu. "Lagian lo gak malu apa marah-marah di kelas orang diliatin?" Mendengar tuturan dari Adrian, cewek itu pun melihat ke sekeliling. Ternyata benar, mereka memang sedang menjadi pusat perhatian seisi kelas. Meskipun di jam istirahat penghuni kelas tidak banyak, tapi tetap saja itu memalukan."Adrian bener," akhirnya ada pula seorang cewek dari teman kelas Cecil yang membela. Bukan karena benar-benar peduli sebenarnya, hanya saja suara berisik itu mengganggunya yang ingin beristirahat dengan tenang di dalam kelas. "Cecil udah biasa dilabrak sama cewek yang ngaku pacarnya direbut sama dia. Padahal mah Cecil nggak tau apa-apa, kenal aja nggak sama pacar lo itu," lanjut cewek itu dengan harapan keributan itu bisa segera berhenti.Mendengar hal itu, si cewek galak pun merasa malu dan akhirnya memilih keluar kelas setelah nemberikan peringatan kepada Cecil. Terlebih lagi, ia sudah merasakan sensasi gatal di pakaiannya akibat ulah cewek ceroboh itu."Bener-bener ya tu cewek, gak punya otak apa?" Ujar Adrian yang masih merasa emosi karena perlakuan cewek ceroboh yang sudah memarahi Cecil tanpa alasan yang jelas. Tapi, ngomong-ngomong soal ceroboh, siapa yang bisa mengalahkan kecerobohan Cecil? Lihat saja cewek itu tadi, belum apa-apa, kemeja dan roknya sudah basah kena tumpahan minuman.Begitulah Cecil. Cantik memang, tidak ada yang bisa membantah. Tubuhnya yang semampai, rambutnya yang hitam lurus dan kulitnya yang bersih membuat siapa saja setuju akan keanggunan cewek itu. Ditambah lagi, wajahnya yang imut dengan mata besar dan lesung pipi yang semakin membuatnya menggemaskan. Hanya saja... Ya begitu, Cecil itu ceroboh. Saking cerobohnya, banyak yang mengatakan kalau Cecil itu pembawa sial. Ada saja kejadian yang membuat orang-orang di dekatnya terkena masalah. Itu sebabnya, meski banyak cowok yang suka padanya karena Cecil cantik, tidak ada satu pun dari mereka yang berani menembak atau sekadar mendekati. Jangankan pacaran, teman saja Cecil tidak punya selain Adrian."Udah Drian, gak usah dipikirin. Lagian dia kan udah pergi," kata Cecil sambil berjalan ke sudut kelas untuk mengambil pel, membersihkan kekacauan yang sudah ia buat tanpa sengaja. Tapi, karena ia tidak begitu memperhatikan langkahnya, Cecil tidak sengaja terpeleset dan tangkai pel yang panjang itu menghantam kepala Adrian dengan keras."Aduh!" Kata Adrian sambil memegangi pelipisnya yang sedikit memar."Astaga, Adrian!" Cecil pun menghampiri cowok itu untuk memberikan pertolongan. Tanpa mereka sadari, jam istirahat telah berakhir dan hampir semua siswa sudah memasuki kelas, termasuk juga Pak Guru yang menatap mereka berdua seolah sedang bermesraan. "Ruangan serba putih itu memang seharusnya nyaman. Tapi, berbeda dengan situasi kali ini. Adrian, memandang Cecil, dengan canggung. Cewek yang sedang mengubek-ubek kotak P3K itu tampak sibuk mencari plester luka untuk ditempelkan ke dahi Adrian, yang terluka karena kecerobohannya. Sebelumnya, cewek itu sudah membersihkan lukanya dengan kapas dan cairan pembersih luka. Bukannya Adrian tidak suka, tapi masalahnya, Cecil juga tidak sedang tampak baik sekarang. Kemeja dan roknya kotor belum sempat dibersihkan, tapi dia malah sibuk mengurusinya di sini. "Rian, gua minta maaf ya, gara-gara gua lu jadi apes gini," kata Cecil meminta maaf entah sudah beberapa kalinya. Cewek itu, kini sudah menemukan benda yang ia cari. Dengan segera, cewek itupun melepaskan kertas pelindung dan menempelkannya pada dahi Adrian yang sudah ia beri obat sebelumnya. "Cil, gua kan udah bilang, gua bisa sendiri. Mendingan lo ke toilet deh, bersihin baju lo itu," jawa
Ruangan temaram, lampu di dalam laboratorium kimia memang hanya dinyalakan satu. Sudah cukup sebenarnya, seluruh isi ruangan terlihat jelas, merekapun tidak sedang melakukan aktivitas yang membutuhkan banyak cahaya, hanya sedang mengobrol ringan menunggu para murid baru berdatangan dan memberi pertanyaan. Sejak beberapa saat lalu, Cecil, begitu terganggu dengan getar ponsel di sakunya. Adrian, menelpon sejak tadi, sedangkan dirinya begitu takut ada yang memergokinya masih menyimpan benda pipih itu dalam sakunya. Bukan apa-apa, sama seperti sahabatnya yang satu ini, ayahnya yang sedang bekerja di luar kota itu juga sangat overprotektif. Ia tidak mengizinkan Cecil, untuk mengikuti eskul yang mengharuskannya untuk menginap di sekolah seperti ini. Ayahnya itu, biasa menelpon paling tidak dua kali dalam semalam. Jika Cecil, tidak menjawab telepon dari pria paruh baya itu, ayahnya akan langsung khawatir. Ia bisa ketahuan kalau ia sedang berada di
Hujan masih turun begitu deras, Cecil dan Ririn, masih terjaga di tempatnya tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Di situasi seperti ini, mereka seharusnya mengambil kesempatan untuk tidur mengingat sudah dua hari mereka tidak punya cukup waktu untuk tidur karena kegiatan kemah pramuka yang melelahkan ini. Tapi, mereka tidak bisa melakukannya dan akhirnya hanya bisa menatap langit-langit ruangan tanpa bersuara. Merasa bosan, Cecil, bangkit dari pembaringannya dan duduk bersandar pada dinding laboratorium yang dingin. Cewek itu memegangi perutnya, sebuah suara lirih keluar dari sana membuatnya malu. Wajah Cecil, semakin memerah ketika menyadari bahwa Ririn, juga ternyata masih terjaga di sampingnya. "Kenapa lo? Laper?" Tanya cewek itu pada Cecil, dengan senyum samar yang tidak Cecil lihat karena lampu sudah lama dimatikan. "Iya, nih," jawab Cecil, malu-malu dengan memperlihatkan cengirannya. Tidak diduga, Ririn, bangkit dari tidurnya, meraih sebungku
Hangat, kenapa semuanya menjadi hangat? Cecil, masih bisa mendengar rintik hujan di luar, sebelum tidurpun, segalanya masih terasa begitu dingin. Tapi, kenapa sekarang begitu hangat begini? Tapi, tunggu. Semakin lama kok semakin panas ya? Begitulah yang ada dalam benak Cecil, dalam tidurnya. Rasa gerah mulai menguasainya kali ini, pun keringat telah membasahi dahi dan lehernya membuat cewek itu tidak nyaman. Perlahan, cewek itu membuka matanya, semburat cahaya menyilaukan langsung menerpa iris matanya membuat Cecil, secara otomatis menyipitkan matanya. Bukan hanya itu, bau asap membuatnya langsung terbatuk-batuk. Tunggu, apa? Bau asap? Cecil langsung terkesiap, ia langsung terbangun dari posisi tidurnya dan terbelalak melihat kobaran api yang sudah membakar banyak perabotan di dalam laboratorium kimia yang memang terdapat banyak benda mudah terbakar. "AAAAAAAAA API, API APIIII," teriak Cecil, membuat Ririn yang masih terlelap d
Hujan masih deras mengguyur kota Jakarta kala itu. Tapi, di tengah guyuran hujan yang menderas, justru laboratorium kimia mengapi, berkobar memakan segala yang ada di dalamnya. Peristiwa yang tidak pernah ada dalam sejarah SMA Nusa Bangsa yang sudah berdiri selama empat puluh lima tahun. Pemadam kebakaran masih berusaha untuk menjinakkan api. Tapi, bukan hal itu yang menjadi perhatian dalam peristiwa ini melainkan adu mulut antara Yoga dan Nala. "Kok lo malah belaian si cewek pembawa sial ini sih? Liat tuh Ririn, kasihan kan dia? Trus ini laboratorium juga gosong kayak gini. Kita tiap taun ngepos di sini Ga, baru kali ini kan ada kejadian kayak gini, setelah ada tu cewek," kata Nala dengan nada penuh amarah di hadapan Yoga, yang mencoba membela Cecil, yang notabenenya juga korban dalam kecelakaan ini. Sebagai teman, seharusnya Nala juga senang Cecil tidak kenapa-kenapa. "La, lo tu kenapa sih? Kenapa lo benci sama Cecil? Lo kan
Adakalanya, seseorang membutuhkan banyak usaha untuk sekadar diterima di lingkungannya. Begitulah yang dirasakan oleh Cecil sekarang. Pihak sekolah dan kepolisian sudah menyelidiki penyebab kebakaran itu. Terbukti bahwa Cecil, tidak ada hubungannya dengan kejadian dini hari itu. Kebakaran yang menghanguskan laboratorium kimia itu, disebabkan oleh kosleting listrik yamg disebabkan oleh kabel yang terbuka. Tidak besar sebenarnya, tapi tetap saja, jika percikan api itu sudah menyambar tumpahan cairan kimia mudah terbakar yang tidak terlihat, akan menimbulkan api kecil yang lama kelamaan membesar dan akhirnya membakar seluruh isi laboratorium. Salahkan saja para tikus yang menggigiti kabel itu. Bukannya menemukan makanan, tikus itu malah membuat Cecil, untuk kesekian kalinya ditolak oleh orang-orang. Hal itu jelas terlihat pada hari ini. Cecil, mencoba mendatangi kelas Ririn, untuk melihat kondisi teman barunya itu, memastikan Ririn, baik-baik s
"Pokoknya, gue nggak mau tau. Cecil, harus jauh dari Yoga, apapun caranya," begitulah yang selalu ada dalam kepala Nala, akhir-akhir ini. Cewek itu benar-benar kesal dengan keberadaan Cecil, yang menurutnya sudah mengganggu ketentraman pertemanannya dengan Yoga. Cewek itu, kembali mengetuk-ngetuk layar ponselnya untuk menghubungi seseorang. Tapi, belum sempat ia menekan tombol untuk menelpon orang yang dimaksud, orang itu sudah ada di belakangnya, ia menyentuh punggung Nala, untuk memberitahukan eksistensinya. "Kenapa lo manggil gue?" Kata orang itu tiba-tiba membuat Nala terkaget. Cewek itu pun, berbalik, menghadapkan wajah ayunya pada laki-laki berbadan kekar dengan tato melingkar di lengannya. "Ngangetin aja sih, salam kek gitu," kata Nala, protes namun diabaikan begitu saja oleh pria bertato yang tampak mengerikan itu. Laki-laki itu malah memutar bola matanya, tanda bahwa ia benar-benar tidak peduli dengan perkataan Nala yang sedang menyindirnya i
Jam istirahat telah membuat seisi kelas gaduh. Para siswa terlihat membentuk kelompok-kelompok kecil dengan saling mengobrol dan berbagi makanan, tidak terkecuali Nala. Cewek itu tampak begitu bersenang senang dengan beberapa kawannya. Ia tertawa begitu lepas menanggapi candaan seseorang dan turut membagi cerita lucu pada mereka. Tanpa ia sadari, Yoga telah memasuki kelasnya dan langsung menuju tempat duduknya. Cowok itu melangkah dengan cepat seakan tergesa. Ia tidak ingin membuang waktu untuk mengetahui kebenaran atas apa yang terjadi kepada Cecil kemarin. "Nala," panggil cowok itu pada Nala, yang masih belum mengetahui eksistensi Yoga di belakangnya. Rekahan senyum langsung terbit dari wajah cewek itu begitu melihat Yoga. "Yoga? Sejak kapan lo di sini?" Tanya cewek itu masih dengan senyum di wajahnya. Tapi, Yoga tidak datang untuk berbasa-basi. Tatapan cowok itu begitu dingin pada Nala yang masih menyambut baik kedatangannya itu. "G
Orang-orang terpana melihat kecantikan dan keanggunan Sang putri yang melintas di tengah jalan yang memisahkan pasar dan pertokoan di kedua sisinya. Gaun sutra merah yang ia kenakan begitu mewah sangat kontras dengan pakaian mereka yang terbuat dari kain murahan yang telah kusam dan kotor sana sini.Lilly yang tadinya kerepotan dengan banyaknya barang bawaan di tangannya pun teralihkan karena banyaknya orang-orang di sekelilingnyayang berdengung membicarakan putri yang baru saja lewat itu. Semua orang menunduk hormat dan menepi untuk memberi jalan. Sangat berbeda dengan dirinya yang dulu sering kali diusir dan dimarahi tanpa alasan yang jelas oleh para orang dewasa di sekitarnya.Gadis itu menatap iri pada sang putri yang tidak henti-hentinya memasang senyuman yang membuat wajah cantiknya semakin mempesona. Ia yang berdiri tepat di sisi jalan melihat dengan jelas bagaimana putri itu menyelipkan anak rambut di belakang telinganya kemudian tidak sengaja menatapnya dengan mat
Hari ini, ayah Aira pergi ke luar negeri, lagi. Kesempatan itu digunakan Aira untuk mengundang kedua sahabatnya ke rumah. Ya, meskipun ia harus membujuk Aoi lebih keras dari biasanya karena pengalaman buruknya saat bertamu terakhir kali memanglah tidak menyenangkan. "Tidak, Aira. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan ayahmu. Jujur saja perlakuannya membuatku sakit hati," kata sahabatnya itu mengungkapkan perasaanya dengan jujur. Aira tahu dan jelas paham apa yang dirasakan Aoi. Kalau Aira berada dalam posisi yang sama dengan Aoi, mungkin bukan hanya sakit hati, ia juga pasti sudah membenci ayahnya, orang yang jelas telah menginjak harga dirinya. Tapi, sungguh. Ia hanya ingin menyenangkan sahabatnya itu. "Ayolah Aoi, ayahku tidak akan pulang selama satu minggu ke depan, kali ini aku sudah memastikannya sendiri. Aku tidak mungkin salah, asisten pribadi ayahku
Malam terlewati begitu saja, dua sejoli yang baru pertama kali merasakan indah bercinta itu kini sudah harus meninggalkan mimpinya. Aoi menggerakkan kelopak matanya perlahan, hingga iris coklat muda itu terbuka dan langsung menyadari jika hari sudah terang. Meski di luar masih banyak salju, cuaca cenderung cerah sama seperti wajah Aoi saat bagun. Ini pengalaman pertama baginya menghabiskan malam bersama seorang pria. Ia sudah menjadi milik Yuta, begitu pula sebaliknya. Di sampingnya, Yuta masih tertidur lelap dengan tubuh polos yang hanya ditutupi selimut. Ada sedikit bercak darah di sprei yang Aoi tiduri. Bercak darah, yang akan mengikatnya dengan Yuta mulai hari ini. Sama halnya dengan Aoi, Yuta pun membuka matanya perlahan. Saat sadar dirinya masih ada di dalam kamar Aoi, bibirnya menyungging senyum. Ia tidak menyangka kepercayaan Aoi padanya ternyata begitu b
Jalanan lengang, itulah yang pertama kali tersaji di hadapan Aira saat duduk memandang jendela di dalam mobil. Kendaraan besi itu melaju mulus di atas aspal tertutup salju, meninggalkan bekas jejak hitam yang memanjang menuju tujuannya beristirahat. Gadis itu menghela nafas perlahan, berharap hal itu bisa meringankan hatinya walau sedikit. Bukan keinginannya untuk terjebak di antara Yuta dan Aoi. Sejak awal dunianya memang sempit, tidak banyak teman yang tulus yang ia temui di sepanjang hidupnya, hanya ada mereka; Yuta dan Aoi. Terlebih lagi di saat sekarang ini di saat seisi sekolah membullynya. Jadi janngan salahkan Aira yang tidak bisa berpaling dari Yuta meski ia tahu hubungan yang ia harapkan tidak akan menjadi nyata dengan mudah. "Sampai kapan akan seperti ini?" Ujar gadis itu pada dirinya sendiri. Jika saja ia bisa mengendalikan perasaannya, akann lebih mudah jika ia bisa menghilang
"DARAH DARAH DARAAAAAAH!!!!" Aira berteriak ketakutan mendapati seekor burung mati berbau amis di dalam lokernya. Aira tidak mampu berbuat apa-apa selain menjauh dari lokernya itu. Gadis itu pun menutup telinga rapat-rapat mendengar suara tawa dari sekelilingnya. Ia benar-benar takut pada burung mati. Itu mengingatkannya pada burung nuri kesayangannya yang dibakar dengan sengaja oleh ayahnya dulu. Aira melihat sendiri bagaimana burung itu terbang dilepaskan dari kandang dan akhirnya mati di udara jatuh entah dimana karena tubuhnya terbakar. "Belajar! Kamu terlalu banyak bermain dengan burung ini!" Begitu alasan ayahnya dulu. Aira benar-benar kasihan pada burungnya, makhluk kecil itu pasti kesakitan. Saat itu Aira menangis meraung-raung, apalagi burung itu pemberian ibunya yang biasa ia ajak bercerita. Tapi ayahnya tidak peduli, ia meninggalkan Aira begitu saja tanpa mengatakan apapun
Jam pelajaran terakhir memang selalu membosankan, beberapa anak bahkan terlihat tidur dengan menutupi wajahnya dengan buku besar. Suara Air Conditioner mendengung pelan, menghantarkan udara sejuk yang malah membuat semakin mengantuk. Sementara itu, Mizuno yang tidak memperhatikan sekitar tetap menerangkan pelajaran matematika yang sama sekali tidak cocok dengan suasana seperti ini.Di pojok belakang, Aira pun sama tidak fokusnya. Gadis cantik berambut cokelat vanilla yang dikuncir kuda itu melamun seenaknya tanpa bersusah payah menutupinya. Raga gadis itu boleh saja berada di kelas, tapi pikirannya melayang jauh pada wajah kecewa Aoi yang dilihatnya saat jam istirahat makan siang. Saat itu di toilet, Aoi benar-benar berbeda dari biasanya. Tidak ada raut wajah manis dan ramah seperti biasanya. Gadis itu tampak tidak bersahabat, wajahnya datar penuh pertanyaan. Aira yang sebenarnya lebih tinggi dari Aoi itu m
Siang hari di kantin sekolah tidak begitu ramai, musim dingin yang menggigit membuat siswa lebih banyak memilih untuk makan siang di kelas masing-masing yang hangat. Tapi hal itu tidak berlaku untuk tiga orang yang duduk bersedekap melingkar di atas meja. Salah satu dari mereka bahkan tampak bersemangat tidak memperdulikan dingin yang masih terasa meski ia telah memakai jaket yang tebal. Wajahnya memang masih pucat, begitu juga kakinya yang masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Tapi bagi Aira, bisa keluar dari rumah dan bertemu dengan Yuta adalah satu-satunya alasan ia bisa tersenyum akhir-akhir ini. Raut bahagia yang ditunjukkan Aira begitu berbalik dengan Aoi. Gadis berambut hitam dengan rona biru itu belakangan menyadari sesuatu yang salah antara pacar dan sahabatnya. Ia menatap lekat Aira sambil memicingkan sebelah matanya; senyum yang ditujukan Aira untuk Yuta itu, Aoi yakin punya arti lain yang pasti
Aira berdiri perlahan, tubuhnya sudah dibalut seragam sekolah lengkap, tanda bahwa ia siap berangkat ke sekolah. Ia melihat bayangan wajahnya di dalam cermin. Tampak pucat dan layu. Tapi untungnya tidak ada bekas luka yang terlihat di sana. Bekas benturan keras di kepalanya sudah ia akali dengan poni tebal yang menutupi dahinya. Ia mengambil sesuatu di laci meja riasnya; sebuah lip tint dan blush on. Ia bukan tipe siswa yang suka berdandan saat berangkat sekolah. Tapi jika ia tidak menggunakan keduanya, orang pasti akan tahu dia sedang sakit. Maka dengan piawai ia memoleskan lip tint itu di bibirnya tipis-tipis. Tidak perlu terlalu banyak, cukup sedikit saja untuk menutupi bibir kering dan pucatnya. Hal yang sama ia lakukan saat memulas blush on di tulang-tulang pipinya. Selesai. Inoe terlihat jauh lebih baik sekarang. Untung saja seragam Aira memiliki lengan panjang. Jika tidak, bukti kekerasan a
Siang hari di musim dingin selalu menjadi hari yang menyenangkan. Cuaca cerah dengan pandangan putih tertutup salju di setiap sudut menjadikan suasana di luar seperti kota-kota dalam dongeng di buku cerita yang suka Aira baca waktu kecil. Meski orang akan memilih diam di rumah berpenghangat, hal itu tidak berlaku bagi Aira, ia suka sekali bermain ice skating di kolam renangnya yang membeku atau di halamannya yang luas. Selain itu menyenangkan, ia juga tidak perlu memakai pakaian tebal tanpa perlu merasa kedinginan. Tapi sayang sekali ia tidak bisa melakukan hal itu sekarang. Jangankan bermain ice skating, untuk berjalan saja ia masih kesulitan karena kakinya masih sakit. Alhasil, ia hanya bisa duduk terbaring di kamarnya sambil menatap jendela yang hanya menyajikan pemandangan ranting pohon yang sedang ditumpangi salju.