Sejak saat itu, Kanaya Kanaya kembali mengganti nomor ponselnya karena ia tak ingin lagi membuat Eddo semakin tersiksa. Dan Angkasa tentu saja selalu mengetahui dan kembali meminta Daniel untuk menyabotase ponselnya. Ia harus tetap tahu pergerakan perempuan itu. Tak terasa sudah lewat dua bulan. Kanaya mulai terbiasa jika Angkasa pergi berhari-hari lalu pulang tiba-tiba. Ia tak mempersoalkan semua itu. Lagipula ia seperti kehilangan kehendak bebasnya. Ia selalu kalah jika menyangkut kebahagiaan orangtuanya yang selalu berapi-api kala membicarakan Angkasa.Apalagi, ucapan Ayahnya dua bulan lalu semakin membuat dirinya menyerah. "Ayah sangat senang dengan suami kamu. Saat Ayah ajak bertemu dengan teman-teman Papa, mereka semua memuji suami kamu. Angkasa sangat cerdas dan rendah hati. Padahal uangnya banyak. Ayah baru di beri lagi tadi. Ayah merasa bahagia. Terimakasih Nak!" Sebenarnya, justru Talita lah yang memiliki kecenderungan sifat seperti sang Ayah. Materialistis dan cenderu
Malam itu suasana sedang riuh sekali. Lampu-lampu yang memancarkan warna warni dengan dentuman musik yang memekakkan telinga semakin menambah hingar-bingar diskotik kelas kakap."Naya, kamu kenapa sih? Gelisah banget?"tanya Reni, sahabat Naya."Eddo kok belum sampai ya? Katanya dia nyusul kesini!""Coba telepon!"Namun hingga tiga kali Naya menelpon pria bernama Eddo itu, belum juga mendapatkan hasil. Membuatnya semakin frustasi.Sementara itu di lain pihak, pria yang sedang di tunggu rupanya sedang berada di kamar bersama seorang perempuan yang wajahnya tampak pucat. Pria itu tengah sibuk memberikan obat sembari berkali-kali melirik jam yang semakin lama semakin membuatnya gelisah."Mas mau pergi? Aku nggak apa-apa kalau mas tinggal. Mas udah jaga aku dari tadi. Aku...udah mendingan juga." Ya, perempuan itu baru saja mengalami sesak napas sebab ia kelelahan hari ini."Beneran ga apa-apa? Aku cuman sebentar saja kok!" kata Eddo tampak muram.Wanita berwajah layu itu mengangguk lemah.
Angkasa Dana Wijaya, pria ini sekarang sedang berusia 37 tahun. Ia merupakan anak pertama dari pasangan Hernandia Kusuma Wijaya dan Adipati Rangga Wijaya. Ia saat ini memegang tongkat estafet kepemimpinan selepas orangtuanya meninggal pada insiden kecelakaan mobil delapan tahun silam.Kini ia tak hanya menjadi pemegang tanggung jawab banyaknya perusahaan, tapi ia juga bertanggungjawab terhadap adik perempuan satu-satunya yang sangat ia kasihi, Tiara Adinda Wijaya.Tiara mengalami penyakit paru-paru basah sejak ia masih duduk di bangku sekolah. Ia menikah dengan Eddo yang menjadi cinta pertamanya semasa SMA. Meskipun tak suka, Angkasa tetap mewujudkan keinginan adiknya itu karena ia tak ingin kehilangan Tiara.Tiara dan kakaknya tidak tahu jika suaminya memiliki seseorang yang tak bisa ia lupakan sekalipun dia(Eddo) sudah menjadi bagian dari keluarga Wijaya. Dan Angkasa yang belakangan ini baru mengetahui hal ini tentu tak akan mengatakan kepada Tiara, karena ia begitu menyayangi adikn
Angkasa akhirnya pergi meninggalkan wanita itu sendirian. Ia benar-benar marah dengan semua ini. Wanita tadi adalah selingkuhan adik iparnya, Eddo. "Dan, aku di lobi!" ucap Angkasa menelpon orang kepercayaannya dengan raut mengeras. "Siap bos, saya sudah di basement. Saya akan segera ke sana!"Dalam benak Angkasa saat ini hanyalah ingin membuat hidup Tiara tentram dan damai sebisanya dan dengan cara apapun. Meskipun ia sangat ingin menghajar Eddo dan membuat perhitungan tak main-main, tapi ia selalu kalah sebab jika itu dilakukan itu akan menyakiti Tiara. Tidak, ia harus merahasiakan semua ini dan membuat perempuan itu berhenti berhubungan dengan Eddo.Lamunan Angkasa seketika buyar ketika mobil mewah yang di kendarai Daniel tiba. Pria yang selalu tampil rapih dan wangi itu tampak sigap membukakan pintu untuk bos-nya."Bos!"Angkasa hanya mengangguk membalas sapaan anak buahnya. Setelah masuk, Angkasa langsung melemparkan punggungnya ke sandaran kursi mobil lalu memejamkan matanya s
Eddo baru bisa menemui Kanaya malam hari dimana pagi harinya Kanaya bertemu dengan Angkasa. Ia harus bisa mencari waktu yang pas agar semua berjalan lancar tanpa ada kecurigaan dari kedua belah pihak. Apalagi, Kanaya juga tidak tahu kalau Eddo sebenarnya sudah menikah.Eddo menikahi Tiara yang penyakitan karena desakan ekonomi. Ia juga ingin membantu Kanaya melebarkan sayap bisnisnya dengan posisi yang ia miliki saat ini karena telah menjadi bagian dari keluarga Wijaya."Nay, maaf malam itu aku harus ninggalin kamu sendirian di kamar karena asistenku nelpon mendadak. " kata Eddo berbohong. Ia tak mau mengatakan yang sejujurnya karena ini bisa membuat Kanaya gelisah."Iya nggak apa-apa." jawabnya dengan pikiran yang berkelana kepada ucapan Angkasa tadi pagi. Ia terpaksa tak jujur sebab takut akan penilaian Eddo kepadanya."Oh ya, Kamu pulang sama siapa? Sory banget ya Nay, waktu itu, aku harus pulang karena ada pekerjaan mendadak. Kamu mabuk dan aku terpaksa ninggalin kamu di kamar hot
Angkasa menghela napas terlebih dahulu dan berusaha meyakinkan diri bahwa inilah yang terbaik untuk dirinya terlebih keluarganya."Kami....telah melakukan sesuatu hal yang seharusnya baru boleh di lakukan oleh pasangan suami istri!"DUAR!Iriana yang semula hanya diam menyimak, tampak syok begitu mendengar kalimat tersebut."Apa maksud kamu?" teriak Talita yang merupakan kakak kandung Kanaya dan terlihat tidak terima."Sebaiknya, Kanaya juga harus ada di sini. Saya ingin segera membicarakan soal pernikahan ini karena takut kalau..."PLAK!"Kurang aja kamu!""Hey!" kata Daniel yang seketika gusar.Angkasa memberikan kode mata kepada Daniel untuk tenang dan dia tidak apa-apa meskipun di tampar oleh Irwan. Daniel akhirnya mundur. Mereka tidak tahu saja siapa yang barusan mereka tampar."Anda benar-benar terlalu baik bos!" kesal Daniel dalam hati sebab ia benar-benar ingin menghajar Irwan yang telah seenaknya saja menempeleng wajah bosnya."Dengan segala kerendahan hati, kita harus segera
Kanaya mengunci dirinya di kamar. Ia tak menghiraukan gedoran membabi-buta Ibu dan kakaknya. Hatinya di jejali kesesakan akibat kejadian barusan. Bagaimana sekarang? Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia lari dari semua ini? Ia memang belum pernah memperkenalkan Eddo kepada keluarganya, tapi saat ini ia hanya mencintai satu orang yaitu Eddo, pria yang sudah ia kenal sejak dulu. Dan rencana memperkenalkan Eddo tinggallah rencana. Ayahnya terlanjur berang dengan keterusterangan pria bernama Angkasa itu. Seandainya saja Eddo mau di kenalkan lebih awal, hal seperti ini mungkin tidak akan pernah terjadi."Naya, buka pintunya. Kakak perlu bicara!" seru sang kakak dari balik pintu berpelitur.Tapi air mata Naya semakin menganak sungai. Hatinya sakit terhimpit kenyataan. Malu, sedih, sakit, kecewa. Entah kekecewaan itu ia tujukan kepada siapa. Yang jelas, tidak seharusnya pria bernama Angkasa itu datang ke rumahnya dengan cara seperti ini."Sudah Ta. Biarkan adikmu sendiri dulu. Nanti biar I
Seminggu setelahnya akhirnya Angkasa dan Kanaya akan menikah. Irwan yang mendengar soal Angkasa yang rupanya merupakan orang kaya menjadi terhipnotis. Tak lagi mempermasalahkan soal tindakan amoral mereka beberapa waktu yang lalu. Baginya kebahagiaan selalu berbanding lurus dengan kekayaan. Ia bahkan mengabaikan perkataan istrinya.Sementara itu, sang Ibu tak lagi bisa banyak mendebat karena ia selalu kalah ketika berargumen dengan suaminya. Sedangkan Talita lebih takut karena ia tahu jika Angkasa sepertinya bukan orang sembarangan. Ia memilih cari aman untuk dirinya sendiri dan juga karirnya.Kanaya, dalam balutan gaun cantik yang mahal ia justru diam dengan tatapan kosong cenderung sedih saat pria yang ditugaskan untuk menikahi mereka mulai bersuara. Kata demi kata yang terucap membuat kesedihan di relung hatinya kian bertalu-talu.Hingga beberapa saat kemudian," Apa yang telah di satukan oleh Tuhan, tak dapat di ceraikan oleh manusia!"Ia semakin tenggelam dalam tangisannya ketika
Sejak saat itu, Kanaya Kanaya kembali mengganti nomor ponselnya karena ia tak ingin lagi membuat Eddo semakin tersiksa. Dan Angkasa tentu saja selalu mengetahui dan kembali meminta Daniel untuk menyabotase ponselnya. Ia harus tetap tahu pergerakan perempuan itu. Tak terasa sudah lewat dua bulan. Kanaya mulai terbiasa jika Angkasa pergi berhari-hari lalu pulang tiba-tiba. Ia tak mempersoalkan semua itu. Lagipula ia seperti kehilangan kehendak bebasnya. Ia selalu kalah jika menyangkut kebahagiaan orangtuanya yang selalu berapi-api kala membicarakan Angkasa.Apalagi, ucapan Ayahnya dua bulan lalu semakin membuat dirinya menyerah. "Ayah sangat senang dengan suami kamu. Saat Ayah ajak bertemu dengan teman-teman Papa, mereka semua memuji suami kamu. Angkasa sangat cerdas dan rendah hati. Padahal uangnya banyak. Ayah baru di beri lagi tadi. Ayah merasa bahagia. Terimakasih Nak!" Sebenarnya, justru Talita lah yang memiliki kecenderungan sifat seperti sang Ayah. Materialistis dan cenderu
Eddo menarik tangan Kanaya sedikit kencang karena perasaan ingin tahu yang teramat menggelegak. Selain itu, ia yang lama tak bertemu memiliki kerinduan yang mendalam. "Apa benar kalau kau sudah menikah?" Kanaya, dengan kacamata yang masih belum terlepas menatap Eddo yang terlihat kecewa. Ia menelan ludah gugup. Bom yang selama ini ia bawa kemana-mana meledak sudah. "Maaf!" Hanya itu, hanya itu yang bisa Kanaya ucapkan dengan wajah tertunduk. Seketika suasana sunyi, hening. Ada sejumput rasa sesak yang tiba-tiba hadir. Andai saja ia lebih cepat, andai saja ia tak menunda, andai...andai...andai.... Eddo tak bisa menjawab dan air mukanya terlihat sangat kecewa. Eddo menitikkan air mata. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. "Siapa suami mu? Dengan siapa kau menikah?" Dengan leher yang serasa tercekat Eddo berusaha angkat suara. "Eddo, aku sudah berusaha memutuskan hubungan kita agar kau tak merasa tersakiti, tapi..." "Tapi bukan itu seharusnya jalan keluarnya!" teria
"Ada apa mas?" Tiara bertanya sembari menatap heran suaminya yang terlihat seperti orang shock. Eddo membuka selimutnya dan mendapati jika dirinya memang telah telanjang. Kini jelas sudah, dia pasti semalam mabuk dan akhirnya melakukan hubungan dengan Tiara. Ah sial! "Mas kenapa pucat begitu, mas masih pusing?"Eddo menggeleng dengan frustasi. Ia frustasi bukan karena apapun, ia frustasi karena teringat dengan Kanaya. Ya, pria itu benar-benar hanya memikirkan Kanaya saat ini. "Aku mau mandi dulu!"Tiara diam dan tampak kebingungan ketika Eddo langsung pergi dengan muka suntuk. Pria itu di kamar mandi semakin tampak terpukul. Ia mabuk karena tak kuasa menerima kabar dari Reny, dan ketika sadar justru ia semakin merasakan sakit. Ia harus mencari Kanaya, ia harus membicarakan masalah ini, begitu pikir Eddo. Di kediaman Irwan, Talita yang di jam siang ini tumben sudah pulang terkejut dengan keberadaan Angkasa dan Kanaya di dalam rumahnya. "Naya?" pekik Talita tak menyangka."Surpris
"Mas, kamu mabuk?" Tiara dengan perasaan campur aduk langsung memapah suaminya yang hampir ambruk karena tak kuat menjaga keseimbangan. "Eugghhh!" racau Eddo yang merasa kepalanya sangat berat. Tiara yang khawatir langsung mengajak masuk suaminya lalu merebahkannya di atas ranjang. Dengan cemas, Tiara membantu melepaskan sepatu Eddo, kaos kaki juga jasnya dengan susah payah. Setalah itu, Tiara mengambil air hangat untuk menyeka leher, tangan juga wajah suaminya. Tiara dengan telaten menyeka tubuh suaminya dan berharap mengurangi rasa tak nyaman yang pasti mendera suaminya. Sebenarnya ada apa? Tumben suaminya mabuk sampai seperti ini. Apa ada masalah di kantor? "Naya!" DEG Tiara mengerutkan kening melihat suaminya yang meracau. Dan, tunggu sebentar. Siapa yang di panggil suaminya itu? "Mas!" Tiara menepuk pipi suaminya. Tapi sentuhan itu tiba-tiba membuat Eddo membuka matanya. Tangan lembut itu seolah membuat bangkit sisi maskulinnya. Eddo membuka matanya dan dia seolah
Karena dorongan rasa penasaran, setibanya di rumah Kanaya cepat-cepat menelpon nomor Eddo. Semula Kanaya ragu, tapi desakan dalam diri nya seolah menuntut untuk mencari jawaban. Dan dalam beberapa detik saja pria itu menjawab panggilannya. "Naya, tumben kamu telepon malam-malam. Ada apa?" Dan Kanaya pun menjadi bingung harus mengatakan apa. Apalagi, nada suara Eddo terdengar cemas. "Nggak apa-apa. Aku, cuman belum bisa tidur." jawabnya sembari menggigit bibir. "Aku juga. Kangen banget sama kamu!" "Kamu, lagi dimana?" tanya Kanaya kembali ingin memvalidasi apa yang ia lihat tadi tanpa merespon kalimat mendayu Eddo. "Di rumah lah di mana lagi sayang?" Kanaya tercenung. Jelas-jelas dia melihat Eddo tadi di rumah sakit. Tapi, kenapa pria itu bisa ke sana? Siapa yang sakit? "Halo!" seru Eddo karena komunikasi tiba-tiba berubah sunyi. "Emmm Do, maaf... tapi, setelah aku berpikir panjang, aku beneran pingin kita udahan!" Tapi Eddo justru tergelak, tentu saja laki-laki tak
Kanaya menepis tangan pria berkemeja putih bercelana pendek berwarna krem itu dengan takut. Orang macam itu mungkin saja bakal punya niat buruk kepadanya. Alhasil, meskipun sakit yang ia rasa di kaki luar biasa perih, tapi Kanaya terus berlari dan membuat luka di kakinya makin koyak. Pria yang masih berdiri mematung di sana akhirnya hanya bisa menatap Kanaya yang pergi sembari tercenung. Setelah berlari ngos-ngosan, Kanaya buru-buru membuka pintu gerbang ketika Tian tampak berjalan keluar. Membuat pria itu terkejut bukan main . "Ibu, Ibu sudah pulang?" tanya Tian yang heran dengan penampilan Kanaya yang bajir keringat Kanaya tak langsung menjawab. Ia kesal, tapi ia segera pergi sebab kakinya benar-benar sakit. Ia berjalan terpincang-pincang dan membuat si pembantu membulatkan matanya. "Astaga, kaki Ibu kenapa?" tanya Tian seketika berubah panik demi melihat cara berjalan Kanaya. "Yura, Yura! Cepat kemari!" teriak Tian sembari berjalan mengejar sang majikan. Maka yang di
Eddo yang menunggu sendiri di depan ruang tindakan, tampak mengambil ponsel dari dalam pouchnya. Ia langsung membelalakkan matanya ketika melihat jejak nomor Kanaya yang beberapa menit yang lalu menelponnya. Ah sialan, ponselnya rupanya dalam mode silent sebab beberapa waktu yang lalu sengaja ia matikan. Ia sangat mengharapkan kabar Kanaya, tapi saatnya sangat tidak pas. Namun bukan Eddo namanya jika tidak memprioritaskan Kanaya. Ia tiba-tiba beranjak pergi dan menelpon kembali nomor perempuan kesayangannya itu. Tapi hingga panggilan ke dua, gantian Kanaya yang tak membalasnya. Ia kini memilih mengirimkan pesan kepada Kanaya dan berharap perempuan itu nanti akan membacanya. "Sayang, kenapa tidak di jawab? Kamu lagi apa? Maaf tadi aku di jalan!" Dan Daniel yang rupanya mengetahui hal itu karena telah menyabotase ponsel Kanaya malah terdiam. Ia sungguh di landa kebingungan. Ia bisa saja mengatakan hal ini kepada Angkasa, tapi di lain sisi ini akan membuat semua masalahnya menjadi
Angkasa baru saja akan memejamkan matanya di samping Kanaya. Tapi getaran masif di ponselnya kian mengganggu. Angkasa lalu menyambar teleponnya dan terdengarlah suara Daniel. "Bos, Nona Tiara kambuh. Saya sedang perjalanan ke rumah sakit!" Detik itu juga Angkasa langsung menyambar jaket, kunci mobil lalu bergegas turun tanpa berpamitan kepada Kanaya yang kini menatap bingung. Mau kemana lagi suaminya itu? Bukankah beberapa menit yang lalu Angkasa berkata jika dia tidak akan kemana-mana? Angkasa bahkan langsung pergi dengan bermanuver kasar dan membuat Tian yang semula mencuci beberapa mobil terlihat kebingungan. Bos-nya tadi itu tampak gusar dan panik. Yura yang melihatnya hal itu turut menyusul suaminya. "Ada apa?" tanya Yura begitu ingin tahu. Tian mengendikkan bahunya sembari berucap, "Aku nggak tahu, tapi Bos kelihatan panik!" Di jalan, Angkasa menginjak pedal gasnya dengan sangat kencang. Tak pedulikan klakson dan makian yang berbunyi karena ulahnya. Dadanya bergemuruh
"Kamu mau pergi lagi?" kata Kanaya menebak. Semula, Angkasa kesal karena Kanaya tiba-tiba menyusulnya lalu menyuguhkan raut tak suka ketika dia akan pergi. Ia memang harus pergi karena Tiara pasti sedang membutuhkannya. "Kamu sungguh akan pergi? Kamu bahkan tidak menjawab pertanyaan ku?" desak Kanaya yang tidak tahu mengapa malah menjadi kesal. Alih-alih marah, Angkasa jutsru reflek merengkuh tubuh Kanaya. Ia terpaksa harus memanipulasi keadaan sebelum menjadi besar. " Pergi, pergi kemana? Istriku lebih membutuhkan ku. Aku tidak akan pergi!" Kanaya melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Angkasa mencari kebenaran. Apakah itu bukan bualan semata? Perempuan itu bahkan mendengar dengan jelas kalimat terakhir Angkasa. "Tapi..." Dan Angkasa segera menyumpal mulut Kanaya dengan ciuman supaya wanita itu tak lagi mendebatnya. Sementara di tempat lain, Tiara menangis seorang diri usai menutup teleponnya. Ia terpaksa menelpon kakaknya karena hingga larut malam ponsel suaminya tak bisa