Pukul sepuluh malam, Avina terlihat mengendap-endap keluar dari kamar. Bukan bermaksud kabur, melainkan sedang tidak ingin berpapasan dengan Aldian. Memang dirinya juga salah karena pulang larut, di satu sisi karena Avina malas berseteru. Terlebih lagi, bila sifat keras kepala Aldian menguasai.
Seketika lega, karena sudah sepi. Pastinya sudah beristirahat, Avina selalu saja terbangun malam. Padahal tidak mengidap insomnia akut, cara jitu agar bisa tertidur lagi. Makan camilan sebentar, pastinya akan bisa tidur.
"Hm, hm, hm," gumam Avina, masih asik dengan camilan. Bahkan, kedua kakinya digerak-gerakan. Benar-benar menikmati kesendiriannya.
Tidak disangka, Aldian akan terbangun juga. Terbukti, berada di dapur. Anehnya, hanya diam. Biasanya, setiap kali melihat dirinya selalu melontarkan celotehan apapun—berujung permintaan yang terkesan memaksa.
Avina meminum habis air mineral dalam botol, kemudian beranjak dan tidak lupa membuang bungkus camilan yang isinya telah tandas. Memutuskan kembali ke kamar, Aldian melirik sejenak ke arah Avina.
****Tepat di jam istirahat, Avina tumben terlihat di luar kelas. Meski sebentar, tetap saja menurut siswa lain aneh. Habisnya jarang sekali keluar dari kelas ketika istirahat tiba, saat ingin kembali langkah kakinya terpaksa dihentikan. Alasannya, ada yang mencegat secara sengaja.Arka termasuk di antara lelaki di sekolah yang seringkali mendekati Avina, tanpa mengetahui kalau perempuan yang dikejar telah memiliki tunangan—Reza. Bisa dikatakan, sengaja tidak dibeberkan. Akan diberitahu bila sudah mendekat, atau karena kondisi tertentu yang menurut para orang tua—begitu tidak baik.
"Kau betah sekali di kelas," celetuknya.
Avina melirik sekilas, kemudian minggir sedikit dan berjalan melewati Arka. Tetap saja, bersikeras. Terbukti mulai mengekor Avina, dan memulai aksinya. Yap, mengganggu karena bagi Arka amat menyenangkan. Melihat Avina kesal akibat gangguan darinya.
"Bisa kau diam!"
Arka hanya terkekeh, benar-benar tidak mempedulikan kekesalan Avina. Mendadak terdiam dan menatap serius. "Kau kesal bila didekati siswa laki-laki entah itu senior atau lainnya, yang mengherankan. Giliran kau didekati siswa rendah di sekolah ini, apa lagi kalau diperhatikan kau yang lebih dulu mendekatinya—eh?"
Avina berhenti melangkah dan menatap serius. "Salahkah? Itu hakku dong, mau dekat dengan siapa pun dan kau siapa? Langsung mempermasalahkan apa yang kulakukan, siapa orang di dekatku atau apapun itu!"
Arka berdecih. "Tidak setara."
Avina mendelik datar. "Setara, ehm kasta kah? Sayangnya, aku tidak mempedulikan hal itu. Meski keluarga terus mengingatkan agar dekat dengan yang setara statusnya."
Setelah berkata begitu, Avina meninggalkan Arka dengan raut wajah emosi. Menurutnya, orang-orang yang terlalu mengagungkan kesempurnaan hingga status keluarga—egois. Menggunakan semua kekuasaan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan, itu licik dengan merebut milik orang lain. Avina berdecak kesal, bila tanpa sadar mengingat hal memuakkan—begitu egois. Ya, dirinya mengalami. Hingga sekarang, terus terjerat oleh keegoisannya.
Langkah kakinya sengaja dipercepat agar sampai di kelas, terlihat sekilas Avina kembali mengusap kasar wajahnya. Tersentak saat tidak sengaja menabrak keras seseorang, ternyata Raska—ingin masuk kelas juga. Avina melirik sekitar, merasa tidak ada siapa pun yang melintas. Langsung bertindak sesuai responnya.
Raska awalnya heran dengan gelagat Avina, dalam sekejap membiarkan saja. Terlebih lagi, saat Avina lancang memeluk erat lagi. Bisa dikatakan, setiap kali bersama tepatnya Avina yang mendekat selalu saja bertindak di luar dugaan—semaunya.
Avina masih memeluk erat Raska, terlihat tidak mau melepaskan semakin membenamkan wajahnya di dada bidang Raska.
"Kenapa?"
Avina mendongak sebentar, kemudian kembali membenamkan wajahnya. "Sebentar," pintanya amat pelan.
Raska memang membiarkan, akan tetapi ada hal lain yang membuatnya jengkel. Bisa dibilang, kepekaannya amat kuat pada sekitar meski mengabaikan. Banyak pasang mata yang tertuju padanya.
Memuakkan!
Raska menepuk pelan kepala Avina, merasa mulai terlepas. Raska langsung masuk kelas, bahkan bersikap seperti biasa. Kala berpapasan dengan Reza, lagi pun memang bukan dirinya yang memulai. Tepatnya, Avina.
Avina sendiri, melakukan hal sama dan kembali mengekor Raska.
"Apa lagi?" Raska kembali jengkel.
"Nggak!"
Raska berdecih, lain halnya dengan Avina tertawa karena berhasil mempermainkan Raska. Setelahnya diam, seperti biasa menarik bangku dan duduk berdekatan dengan Raska. Terus memperhatikanya, sembari menelungkupkan wajah di kedua tangan yang terlipat.
Raska kembali tidak mempedulikan, mulai membuka buku yang dipinjam kemarin. Melanjutkan rangkum matei, di rumah agak tersendat. Tepatnya sih setelah bertemu dengan keluarga—dulu saat masih dalam lingkup yang sama dengan mereka.
Sial! Kenapa malah mengingat lagi!
Raska meremas kencang pulpen yang kebetulan digenggam, sengaja menampar keras pipi sendiri agar tersadar. Juga, mulai memaksa otaknya agar kembali fokus dengan apa yang ingin dilakukannya.
"Sekarang, kau yang kenapa—eh?" Avina usil lagi.
Sebenarnya, merasa yakin ada sesuatu hal yang terjadi pada Raska. Semenjak terus mendekat, membuatnya tanpa sadar memperhatikan gelagat Raska di setiap harinya. Menurutnya, berubah-ubah dalam jangka pendek. Bisa datar dan tidak mempedulikan, dalam sekejap suka melamun dan sorot matanya jadi amat hampa hingga kembali lagi ke semula. Avina ingin mencari tahu, tetapi takut Raska mengira dirinya terlalu ikut campur dengan urusan pribadi.
Raska tidak menjawab, bahkan kembali bersikap biasa.
"Terjerat dalam keegoisan seseorang itu nggak enak ya?" celetuk Avina.
Raska hanya mendengarkan, sembari terus mencatat rangkuman dari buku paket yang sejak tadi terbuka di atas meja.
"Bisa bebas, anehnya masih terasa terkekang." Avina mulai curhat.
"Egois seseorang nggak bisa dibantah, lebih baik bodo amat meski terus terkekang. Kalau dirasa malah semakin, menekan."
Avina menyipitkan matanya, tidak percaya Raska menyahut ucapannya. Padahal, tidak sengaja curhat dadakan. Seketika sebal, karena wajahnya didorong pelan telapak besar Raska. Bisa dibilang, Raska risi dilihat begitu.
Avina menyingkirkan tangan Raska, anehnya malah menggenggam erat dan kembali tertawa. "Kedua kalinya, kau merespon."
Raska tidak bereaksi apapun, akan tetapi sadar atau tidak mulai mengamati intens Avina. Bukan karena suka seperti siswa lain yang terus saja mengejar Avina dan menyatakan. Melainkan, sesuatu hal yang belum tentu bisa ditebak oleh orang terdekat Avina—lainnya.
"Jangan terlalu terpuruk, karena ...." Raska menghentikan ucapannya, kemudian melanjutkan kegiatannya lagi.
"Kau tau ya?" Avina tidak menyangka Raska bisa menebaknya, padahal sudah mencoba untuk disembunyikan. "Sudah diabaikan, bahkan mencoba membantah dan mengatakan dengan jujur. Tetap saja."
Tawa lepas yang seringkali diperlihatkan pada orang yang memang berhasil membuat Avina nyaman bila dekat, hanya sebuah topeng belaka. Menutupi rasa sebenarnya, entah itu sakit, muak akan sesuatu. Yang tidak bisa dihempaskan dengan mudah, berakhir dipendam.
"Lelah menghadapinya." Setelahnya, Avina menarik kembali kursi yang tadi ditarik dengan sengaja ke posisi semula. Kemudian kembali ke tempat duduknya.
****Sekolah telah usai, Avina kali ini tidak menguntit Raska. Terlihat melangkah sendirian keluar dari area sekolah, sengaja menunggu sepi. Sayangnya, gagal karena seseorang mencegatnya. Almeira, seringkali suka mendekati pastinya karena melihat dirinya bisa dengan mudah dekat dengan Raska."Kau masih saja dekat dengannya ya?"
Bila berkumpul, Almeira bersikap biasa kala melihat keberadaan Avina. Namun, bila berdua begini. Sebaliknya, melontarkan ocehan apapun terhadap Avina dan terkesan paksaan.
"Kau egois."
Almeira berdecih, semakin muak melihat Avina pergi begitu saja.
"Kau itu sudah terikat dengan lelaki pilihan, tapi masih saja gatal dengan yang lain." Almeira sengaja berkata begitu.
"Gatal? Dengan lelaki lain?" Avina tertawa kencang, seketika terdiam. "Bukannya kau ya?" Kedua bola matanya menyorot datar. "Aku merasa, tidak gatal. Hanya dekat sebagai teman sekelas. Tidak sepertimu yang bersama lelaki yang berbeda. Jadi, siapa yang gatal?"
Almeira emosi, wajahnya memerah karena perkataan yang dilontarkan oleh Avina.
Avina melangkah pergi, dengan sengaja mengatakan. "Aku tidak peduli, kau menghasut lagi."
Sementara itu, Raska terlihat berjalan menuju restoran tempat part time. Terhenti sejenak, dan melirik sekitar. Setelahnya berjalan lagi, anehnya berdecih kesal. Tetapi terus berjalan mengingat part time hampir dimulai.
Raska merasa diawasi, memang benar karena Risky selalu saja berhasil mengamati. Terbukti, mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan dengan jendela yang sedikit terbuka. Risky terus mengamati Raska.
"Hm, ketahuan lagi kah?"
Heran, sudah melakukan dengan baik dan sembunyi-sembunyi. Raska tetap berhasil menyadari keberadaannya, sudah menjaga jarak jauh tetap sama saja. Kembali menjalankan mobil hingga memasuki area restoran.
Yap, Risky tidak mau sembunyi-sembunyi lagi. Memilih langsung mengamati adik kandungnya yang pergi lama—tepatnya melepaskan diri dari keluarga sesungguhnya. Sudah terhitung lima tahun, Raska memilih pergi.
Raska baru saja keluar dari ruang ganti, hendak memulai pekerjaannya. Terpaku sejenak, melihat keberadaan Risky. Setelahnya memilih membiarkan, tetapi kesal karena Zian kembali mengusik.
Tanpa pikir panjang menabok wajahnya dengan nampan yang kebetulan berada dalam genggamannya.
"Woy!" pekik Zian, sengaja pelan. Karena tidak mau ketahuan manajer.
Raska pergi begitu saja.Risky yang memperhatikan, tersenyum kecil. Terlebih lagi, sudah lama tidak melihat kelakuan Raska bisa dibilang jarang berbaur dengan orang lain. Bahkan bertingkah usil, walau masih dengan tampang datar.
"Kapan ya? Bisa berkumpul lagi?"
Risky ingin sekali membawa Raska pulang, di satu sisi takut akan dibenci. Risky benar-benar merindukan adik kecilnya—Raska. Terus diam dan mengamati gerak-gerik adiknya, tanpa ada niat memesan apapun.
Anehnya, Zian yang jengkel karena paham situasi. Bahwa pengunjung aneh—tertuju pada Risky. Habisnya, ke manapun Raska bergerak arah matanya terus mengikuti. Anehnya, Raska mudah sekali mengabaikan.
"Sepertinya, ada kenalanmu lagi—eh?" celetuk Zian, dengan sengaja berdiri di dekat Raska.
"Nggak ada hal lain kah? Kau terus saja sibuk dengan kelakuan orang lain!" desis Raska.
"Habisnya, selalu berhubungan denganmu!" balas Zian, amat sewot.
Raska menulikan diri, karena kalau didengar atau dibalas. Zian akan semakin menjadi, mengoceh terus tanpa ada rem. Berakhir telinganya panas mendengar ucapan panjang kaya kereta.
Kenapa harus datang sih?
Raska kesal karena Risky terus saja mengamati, terang-terangan lagi.
Avina terlihat duduk diam di balkon kamar, seperti inilah kegiatannya di rumah. Terlebih lagi, kalau sudah ada Aldian dan kakaknya pulang dan seharian di rumah. Tidak terlalu dekat, faktor dari kehidupan yang dijalani. Selalu menuntutnya untuk menjadi yang sempurna. Keluar kamar kalau memang harus, itu harus tetap bersikap seolah baik-baik saja.Lagi pun yang sering menjadi teman bicara, Avera saja. Selebihnya diam di kamar, memang bisa saja bosan. Tetapi, lebih baik seperti ini dibanding bertemu atau berbincang kecil dengan baik-baik dalam sekejap berganti menjadi sebuah perseteruan.Avina
Sepertinya, ketenangan yang selama ini diimpikan Raska. Bahkan, berhasil dirasakan cukup lama. Memang sudah waktunya, berakhir. Bukan berarti, Raska tidak bisa mendapatkannya lagi. Hanya saja, Raska dengan terpaksa harus bertemu dengan orang sudah tidak ingin dilihatnya lagi.Di penghujung kegiatan sekolah, kala itu Raska sibuk merapikan buku-buku dan ingin cepat pulang. Kebetulan hari libur kerja, tetapi dibatalkan saat mendapatkan pesan singkat dari Zian. Diperintahkan langsung dari manajer untuk memberitahunya, liburpart timebukan hari ini, melainkan diganti esok.Ra
Raska melangkah jauh dari restoran milik Andreas, raut wajahnya penuh kekesalan. Muak karena Rendra terus mengatakan hal yang amat tidak ingin didengar. Meskipun, semuanya kebenaran. Raska sejak awal, sudah melepaskan diri dengan sengaja dari mereka, otomatis kehidupannya bukan lagi sama. Melainkan menyamarkan identitasnya menjadi anak yatim, memang sebelumnya Raska tinggal di panti asuhan. Itu sebabnya, bisa mengubah identitasnya.Tangannya yang sedari tadi terkepal amat erat, kini memerah dan lecet. Raska meluapkan kekesalannya dengan meninju keras pohon yang tumbuh dan menjulang tinggi di pinggir jalan. Kekesalannya semakin menjadi, setelah bertemu dengan orang yang paling tidak inginkan.
Sepanjang lorong hingga koridor kelas, entah sudah berapa kali dengkusan kekesalan terdengar. Ya, Raska risi sekaligus muak. Berita yang menurutnya amat tidak terlalu penting, menyebar begitu cepat.Pastinya, kelakuan anak pebisnis entah siapa. Intinya, kebetulan ikut ke pesta yang dibuat oleh Rendra di restoran milik Andreas. Di satu sisi, Raska memikirkan apa yang akan dijelaskan. Saat diinterogasi Andreas. Usai sekolah, diminta menghadap.Memuakkan! Kenapa harus terbongkar?
Raska menyandarkan punggung tegapnya pada dahan pohon besar di halaman belakang sekolah, sesekali mendengkus kesal juga mengusap kasar wajahnya.Masih tidak terima, kalau identitas aslinya akan kembali disandang. Meskipun, hanya identitas bukan kehidupan. Ya, Raska tidak mengharapkannya.Raska berdecih. "Berharap cepat usai, sepertinya butuh waktu lama ya?" Tangannya mengacak-acak kasar surainya. "Tidak ada yang paham, kalau aku lelah. Keinginan kecil, hanya satu ... hidup biasa dan tenang. Itu saja, kenapa terus dipersulit!"Raska berteriak, kembali mengacak-acak sekaligus menjambak kasar surainya. Napasnya memburu, benar-benar emosi. Setelahnya, terpejam. Membiarkan embusan angin menerpa, setidaknya sebelum masalah besar menyerang. Raska ingin istirahat sejenak, meskipun ketenangan yang didapat begitu singkat.Cermin mata bulat, yang biasa membingkai wajah kini terlepas. Bahkan, dibiarkan tergeletak di rerumputan liar.****
Raska benar-benar memperlihatkan sisi kekanakannya, mungkin efek keseringan berbaur dengan anak panti atau anak kecil yang tinggal di sekitaran kos kecil. Ekspresi yang Raska perlihatkan, tulus bukan karena terpaksa.Kalau dipikir-pikir, Raska sudah lama tidak bebas berekspresi. Semenjak, mengalami hal mengerikan. Berakhir, melarikan diri—melepaskan semuanya.Raska bertanding basket, lebih dominan anak-anak. Di sana sepakat menyediakan lapangan umum, lumayan besar. Bahkan, ada fasilitas sekaligus tempat penyimpanan berbagai macam peralatan olahraga.Raska mengoper bola ke satu anak panti, ya lebih suka menjadipointguard. Tepatnya sih, membiarkan anak-anak yang mencetak angka.Lumayan lama bermain, sekaligus memanfaatkan waktu luang yang amat menyenangkan bagi Raska. Entah kenapa, merasa ini menjadi hal terakhir. Raska mendengkus, sesekali mengusap kasar wajahnya."Kakak kenapa?" Satu anak panti heran, sembari memainkan bo
Dafian melirik sejenak kemudian mendengkus, tidak biasanya David datang terlambat. Lebih lagi tahu, acara rapat cukup penting—meskipun rapat kecil, bisa dibilang rekan tertentu saja. Semakin heran, saat David terpaku sejenak di ambang pintu. Detik berikutnya, baru melangkah dan duduk di sebelahnya.Entah kenapa, Dafian merasa kalau David baru saja melakukan pekerjaan berat dan amat memusingkan. Buktinya, sudah berapa kali terdengar helaan napas panjang nan berat.“Ada apa?” Pada akhirnya, Dafian bertanya spontan.David tersadar dari keterdiamannya. “Ah tid—”Suara bantingan amat kasar, membuat David menghentikan ucapannya. Bukan itu saja, rekan kerja yang diundang ikutan menoleh. Karena, si pelaku pendobrakan pintu adalah anak yang dibicarakan Rendra saat di pesta. Lebih mengejutkan, dalam keadaan mengkhawatirkan—penuh luka dan lumuran darah. Yang memperparah, masih ada satu besi yang dibiarkan tertancap di satu a
Setelah kejadian Raska menampakkan diri untuk meluapkan emosi—intinya semua perasaan sekaligus masalah yang dipendam sendiri meledak begitu saja. Bersamaan, terkuaknya sifat iblis nan licik David. Sejak dulu, berusaha mencari celah untuk membunuh Raska, hingga sekarang setelah bertemu lagi—David melakukannya. Ariska berhasil memaksa David untuk mengaku hingga menyerahkan diri. Tepat setelah diobati lukanya dan memulihkan diri sejenak, David dibawa polisi.Walau begitu, Ariska masih muak karena ulah David Raska memilih kabur dan hidup sendiri, seakan benar yatim piatu. Sekarang, keberadaannya lenyap padahal masih harus pemulihan luka. Lebih lagi, soal luka lama yang nyatanya begitu fatal dan itu karena David.Ariska berkali-kali menghela napas gusar, Risky tidak menemukan keberadaan Raska. “Kau ke mana sih?” Sangat khawatir, dan takut Raska benar-benar pergi. Lalu melirik ke arah Dafian, yang masih saja ,mementingkan ego. Jelas-jelas, sudah terku
Terwujud sesuai keinginan? Tentu, tetapi pasti ada masanya akan mengalami hal sama. Atau sama dan sedikit berbeda.Si kembar sudah menginjak lima belas tahun, kalau lagi berdua lebih lagi dengan keluarga, tingkah mereka akan persis bocah. Kini sedang terjadi."Jangan lari terus! Susah ngejarnya!" Vanya sebal dengan si kakak kembar.Varrel sendiri semakin usil, terus menambah kecepatannya. Seketika terhenti ketika, melihat si adik duduk selonjoran di trotoar sembari cemberut. Bahkan, tidak peduli menjadi tontonan aneh pejalan kaki."Ayo, naik." Varrel berjongkok membelakangi Vanya."Ninggalin mulu!" gerutu Vanya lagi.Varrel hanya terkekeh. "Seru tau lari-larian, setidaknya bisa memanfaatkan waktu luang, kaya berkeliaran gitu."Raska sibuk kembali, di kota kelahiran Dehan bersama Avina. Si kembar mendadak tidak mau ikut, alias
Yang dilakukannya saat ini, memandangi si kembar. Tidak terasa sudah semakin aktif.Kehadiran si kembar, bisa sebagai penghibur di kala penat selesai kerja sekaligus, kuliah online. Yap, Raska lebih dulu meneruskan. Sama halnya, Avina juga."Mereka berdua ada masanya ngeselin sepertimu!" celetuk Avina, kini bergabung di sofa yang sama dengan Raska.Raska menaikkan satu alis. "Ngeselin yang kaya gimana?""Walau masih kecil, tetap mulai terlihat." Avina sengaja menjelaskan lagi. "Kaya, iseng. Tapi, kalo diem itu berlebihan sampai cueknya minta ampun!"Raska hanya terkekeh. "Wajar kali, anak sendiri pasti ada turunan."Avina geregetan, buktinya memukul Raska. Seketika tersentak, kala tubuhnya di dekap. Namun, Avina refleks menahan Raska."Ada anak loh!"Raska mencebik kesal, tetap mendekap erat wanitanya ini
"Kau tau? Sampai saat ini, berasa kaya mimpi." Raska mendadak berkata begitu, saat tanpa sengaja teringat awal permasalahan hidupnya dulu hingga telah usai.Avina hanya mendengarkan, yang pasti mencoba memberi ketenangan. Merasa kalau Raska, dibayangi oleh masa lalu. Tangannya terulur untuk mengelus lembut surai hingga menjalar ke rahang dan dada bidangnya."Bukan sengaja mengingat, lebih bener itu nggak sengaja terbayang." Raska melanjutkan perkataan."Sulit dilupakan, tapi ada masanya bisa lenyap ... walau sebentar." Avina akhirnya membalas. "Atau kau masih ....""Nggak, intinya mendadak keinget gitu loh." Raska mengubah sedikit posisinya, tanpa membuat Avina yang sedari tadi berada di atasnya tidak nyaman.Ya, mendadak dijadikan kasur dadakan. Padahal, sofa panjang yang ditidurinya ini cukup lebar. Anehnya, Avina memilih tidur di atasnya."Ada
Masih terdengar gunjingan merujuk kebaikan ataupun keburukan, tetapi Avina berusaha membiasakan diri. Juga, mencoba melenyapkan rasa takutnya.Terbukti, salam masa tahanan Raska. Avina ke manapun sendiri dan juga hati-hati. Ah iya, sebenarnya ini bulan terakhir masa penahan Raska. Tetapi, tidak tahu kapan Raska dibebasknya.Bebas bukan berarti akan kembali cepat kuliah, mengingat cuti paksa yang dialami Raska lebih lama dibandingkan dirinya.Kini Avina berada di sebuah taman, penuh dengan anak kecil bermain. Hanya itu yang dilakukan Avina bila bosan, terkadang menunggu dijemput Aldian. Mengatakan, dijemput di sini. Itu juga, di awal masuk sehabis masa cuti.Seketika tersentak, kala ada yang menepuk bahu. Avina menoleh perlahan dan juga memberi jarak.Si pelaku terkekeh sejenak. "Masih kah?"Setelah tahu siapa pelakunya, Avina langsung menghamburk
Mendengar kabar Raska ditahan, semua keluarga pasrah menerima. Perlawanan yang dilakukannya memang demi kebaikan. Namun, tetap saja fatal. Harusnya melumpuhkan, bukan membunuh.Hukuman untuk pelaku penculikan Avina sekaligus pembunuhan yang dilakukan saudara tiri Denish. Memang berlapis, akan tetapi pelaku telah tewas. Denish yang mendapat kabar itu menerima, walau ada rasa sedih.Meskipun saudara tiri, yang sebelumnya hanya anak angkat. Hingga tidak terduga, kalau anak tersebut hasil selingkuhan salah satu orang tuanya yang dibuang. Dari situ semua berawal pembunuhan satu keluarga terjadi, menyisakan Denish.Mengingat, di awal memiliki saudara angkat merangkap jadi saudara tiri. Terbilang cukup akrab, sampai Denish senang karena memiliki saudara mengingat terlahir anak tunggal."Dia memang buruk dan menyiksaku, tapi aku sedih juga. Benar-benar kehilangan semuanya." Denish tidak menyalah
Memohon, kesannya terlalu lemah di matanya. Seakan sadar diri lebih parah, hidup dan apapun telah dikendalikan oleh orang lain, tidak akan pernah bisa melawan. Ataupun membantah, kenyataannya harus dibalikkan situasi di mana dirinya yang harusnya berani."Hee, jadi kau benar-benar membantah ya?" Kakinya melangkah, mendekati Denish kini meringkuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Sakit 'kan?"Denish mendadak bisu, tepatnya sih suaranya tercekat. Bahkan, sulit bernapas, sesekali meringis. Ini efek alat penyiksa yang ditanam paksa oleh saudara tiri gila dan biadab sekali."Menurut atau membantah?" Kini berjongkok, dan menepuk pipi Denish. "Cepat jawab! Atau kau memang ingin mati tersiksa, sampai jantungmu berhenti berdetak kah?"Denish muak akan dirinya sendiri, lemah sekali di mata saudara tiri gilanya ini. "Hen-hentikan semuanya!" Hingga akhirnya, berhasil mengeluarkan suara. "Kumo
"Kok sendiri?" Avera heran."Tidur, efek insomnia jadinya terbalik jam tidurnya." Avina memang baru tahu kebiasaan Raska, setelah menjalin hubungan serius. Selalu terkena insomnia.Avera mengangguk paham, hingga penasaran akan sesuatu. "Sudah nggak, ehm ... kacau atau panik gitu?" Jujur, tidak berharap Avina kembali kacau seperti masalah dulu."Nggak, cuma kaya masih takut dikit aja." Avina merasa bersalah, sudah merepotkan semuanya. "Tapi, aku mencoba untuk mengabaikan. Bukan berarti, enggan menyelesaikan dan malah nyuruh orang lain ....""Ibu paham, kok." Avera menepuk pelan lambat laun menyisir sejenak surai anak bungsunya ini.Avina menghamburkan diri pada Avera. "Aku berharap, cepat selesai dan nggak ada lagi masalah, Bu."Avera hanya mendengarkan."Tapi, kenapa selalu ada aja gitu ya?" Avina bingung, tidak berulah seketika bermasalah sampai diuntit.
Di sebuah klub malam, selalu ramai dikunjungi baik remaja yang masih labil, tetapi kelakuannya melebihi orang dewasa. Hingga, yang dewasa atau hampir menua. Namun, bukan itu yang menjadi pusatnya.Melainkan, lelaki yang pernah sekali dekat. Dalam arti biasa, guna menghindar dari kerumunan kaum hawa di kampus tidak lain Denish. Nyatanya bersama seseorang entah siapa, yang jelas membicarakan hal penting sekali.Wajahnya tidak terlalu jelas, efek tudung kepala yang hampir menutupi seluruh wajahnya, yang pasti lelaki."Selesai di sini aja." Denish berkata setelah menenggak minuman yang dipesannya, dan melangkah pergi ketika mendapati satu wanita yang ingin mendekati—menggodanya."Kau nggak seru!" celetuknya dengan sengaja.Denish berdecih dan melirik sengit. "Itu urusanmu! Jadi, lakukan sendiri!"Orang tadi hanya terkekeh, lambat laun membiarkan Denish pergi.
Sesuai janji kemarin, selama di kampus Raska selalu berada bersama Avina. Bila kelas dimulai, meninggalkan Avina sejenak bersama Reza dan Nabila. Ya, Raska menceritakan pada mereka berdua, untuk jaga-jaga.Kini Raska melangkah cepat keluar dari kelas, menuju kantin. Ya, mereka bertiga ada di sana. Ketika Avina ada kelas, Raska juga meminta mereka berdua untuk ikut sekadar menemani."Sangat merepotkan ya?" celetuk Avina.Keberadaan Reza dan Nabila di sini, demi menemani selagi Raska tidak ada. Di satu sisi, Avina merasa seperti pengganggu."Nggak kok." Nabila agak terkejut, jujur tidak pernah menganggap begitu, yakin sekali Reza juga sama.Avina senang mendengarnya, di satu sisi agak menyesal karena tidak jujur akan masalah. Ya, saat itu memikirkan kalau tidak dijelaskan, tidak akan merepotkan orang lain.Tidak disangka, justru sebaliknya. Avina benar-benar merasa bersalah.