Sepertinya, ketenangan yang selama ini diimpikan Raska. Bahkan, berhasil dirasakan cukup lama. Memang sudah waktunya, berakhir. Bukan berarti, Raska tidak bisa mendapatkannya lagi. Hanya saja, Raska dengan terpaksa harus bertemu dengan orang sudah tidak ingin dilihatnya lagi.
Di penghujung kegiatan sekolah, kala itu Raska sibuk merapikan buku-buku dan ingin cepat pulang. Kebetulan hari libur kerja, tetapi dibatalkan saat mendapatkan pesan singkat dari Zian. Diperintahkan langsung dari manajer untuk memberitahunya, libur part time bukan hari ini, melainkan diganti esok.
Raska tetap akan menurut, yang membuatnya kesal dan tidak terima setelah mencari tahu informasi siapa yang menyewa restoran. Terlebih lagi, siapa saja tamu yang diundang si penyewa.
"Kau selalu terlihat aneh di mataku!" Zian kembali mencerocos. "Acaranya nanti malam kok, kenapa juga kau badmood begitu?"
Raska mendelik malas, memilih meningggalkan Zian dan melakukan pekerjaan lagi.
****
Manik hitam yang terbingkai cermin mata bulat, terus mengamati pengunjung yang datang. Terkadang dialihkan sejenak ke jam dinding, acara yang direncanakan si penyewa restoran—bernama Rendra sebentar lagi akan dimulai. Entah sudah berapa kali helaan napas kasar terdengar, yang menjadi pendengar tajam tidak lain Zian.
Kembali melirik heran Raska. "Tuh 'kan!"
Raska menatap sekilas, setelahnya memilih ke bagian belakang restoran. Berharap, manajer tidak menugaskannya melayani para tamu undangan. Namun, belum pasti juga. Kalau memang harus, Raska terpaksa melakukannya.
Hah, ini memuakkan!
Raska bisa saja kabur, tetapi restoran ini tempatnya bekerja—meskipun part time. Dari sinilah, Raska bisa membiayai hidupnya sekaligus melanjutkan sekolah.
Tepat acara dimulai, restoran mulai bising karena kemeriahan Rendra buat. Ternyata, merayakan peningkatan bisnis yang mereka jalankan bersama. Bahkan, ada yang mengajak satu keluarga atau sendiri pun ada.
Lagi-lagi Raska mengamati semua tamu undangan dari sudut ruangan, terkadang ambang pintu dari bagian belakang. Ketika ingin melanjutkan pekerjaannya, manajer—Andreas muncul.
"Ada apa?" Raska bersikap biasa lagi, karena yang di hadapannya ini manajer.
"Kau seperti sengaja menjauhkan diri, ada masalah kah?" Andreas mulai curiga. "Atau karena hari liburmu diganti esok?"
Raska menggeleng. "Bukankah setiap bekerja, aku selalu seperti ini? Tidak terlalu mengajak bicara pelanggan?" Selama bekerja, Andreas selalu saja mempertanyakan kenapa dirinya tidak terlalu lama berbaur dengan pelanggan bila ada yang bertanya menu baru di restoran ini atau sebagainya. Juga, berbaur dengan karyawan lain. Raska yakin, Andreas selalu mengamati para karyawan secara langsung atau tidak langsung.
"Memang benar, hanya saja hari ini cara menjauhmu dari semua orang di sini—agak sedikit berbeda."
Raska menghela napas sejenak. "Maaf, kalau buat anda tidak suka."
"Ya, tak apa." Andreas kembali bergabung dengan pengunjung restoran—tepatnya Rendra si penyewa.
Raska merutuki kebodohannya, karena baru menyadari sesuatu hal. Andreas juga menjalin hubungan kerja, tidak heran membiarkan satu dari mereka menyewa restorannya. Memang benar, berusaha menjauh pada akhirnya akan kembali dipertemukan dalam satu tempat.
****
Almeira dan keluarganya termasuk satu dari rekan kerja Rendra yang diundang, kembali melakukan aksinya. Awalnya tidak percaya restoran besar yang menjadi tempat acara, ternyata tempat part time Raska. Saat sampai, semakin bersikeras untuk mendekati. Bahkan, tidak peduli ada keluarganya.
Terbukti, Almeira pura-pura izin ke toilet. Pada dasarnya ingin menemui Raska, yang dicari berhasil tertangkap oleh penglihatannya. Sayangnya, Raska lebih dulu menyadari langsung kembali ke bagian belakang. Membuat Almeira terlambat mengejar.
Zian—selalu saja melihat kejadian aneh yang selalu menimpa Raska, alasan menganggap aneh. Habisnya didekati perempuan, kabur begitu saja. Seakan yang ditemuinya monster.
Phobia kah?
Zian malah menanggap Raska phobia perempuan, selalu menjauh pada akhirnya didekati lagi.
Raska menghela napas lega, di satu sisi semakin muak dan berharap acaranya cepat selesai. Tetapi tidak mungkin, waktu baru saja menunjukan pukul setengah delapan malam. Pastinya, acara berakhir tengah malam.
Avina juga ada, bersama keluarga benar-benar menjadi anak penurut. Terus berada di dekat Reza, terkadang menyahut dengan berdeham kala diajak berbincang. Tetapi tidak dengan penglihatannya, suka sekali mengambil celah untuk melirik ke arah lain.
Avera yang menyadari gelagat Avina, langsung menepuk pelan kepalanya. "Kau boleh ke manapun, asal jangan keluar jauh dari area restoran."
"Bener nih? Nanti, tetep salah gimana?" Avina lambat laun, mulai mencoba membantah dan mencari alasan agar tidak terlalu dituntut oleh Aldian. Pada akhirnya, tetap tidak bisa membantah.
"Kau mau ke mana emang?" Benar saja, Aldian menimpali pembicaraan.
Avina melirik sekilas. "Mana aja, asal menghilangkan bosan." Sengaja menoleh ke arah lain. "Daripada berdiri terus di sini, lebih baik keluar atau singgah ke toko sebelah."
"Ka—"
"Ayah." Avina kembali menatap Aldian, bahkan sorot matanya amat serius. "Selama ini aku bingung, kenapa hanya aku yang tidak bisa bebas. Selalu saja, harus menuruti apa yang ayah katakan. Lantas, kenapa kakak tidak?"
"Itu keinginan ayah."
"Keinginan ya? Tapi kok, egois dan suka sekali membedakan anak."
"Karena kau nggak menurut terus!" timpal seseorang tidak lain—Almeira.
Avina mendelik kesal. "Kau yakin? Bukannya selama ini aku menurut ya? Lagi pun, hampir setiap harinya aku yang selalu dituntut untuk inilah dan itulah. Kau? Bebas."
Almeira, adalah kakak dari Avina. Sayangnya, mereka tidak pernah akur. Semenjak, mulai remaja. Entah kenapa, Avina selalu menjadi target Aldian untuk melakukan semua keinginannya dan kalau dibantah, padahal tujuannya ingin istirahat sejenak dari tuntutan yang diminta Aldian terus dibebankan kepadanya. Tetap salah di matanya, sedangkan Almeria hampir setiap harinya membantah. Langsung dibiarkan begitu saja, beda sekali dengan Avina terpaksa terlibat perseteruan.
"Kalian ribut apa sih?" Rendra mendadak nimbrung, bisa dikatakan selalu penasaran dengan masalah orang.
"Hanya masalah kecil dan sepele." Aldian menjawab cepat.
"Oh." Rendra mengangguk, kemudian melirik ke arah Dafian.
Bila di sana ada Avina dan keluarga, Reza juga. Artinya, Ariska, Risky, dan terutama Dafian pastinya ada. Kali ini menarik perhatian Rendra, untuk mencari tahu sesuatu hal.
"Awalnya saya mengadakan acara ini, untuk bersenang-senang setelah bekerja dan membuahkan hasil yang maksimal. Tetapi, ada satu hal yang ingin saya pastikan pada anda."
Dafian mengernyit heran. "Apa?"
Rendra terkekeh pelan, kemudian terdiam sejenak dan beralih ke arah semua tamu yang diundang. Bahkan, dengan sengaja menyuruh untuk ikut mendengar apa yang ingin ditanyakannya pada Dafian.
Bertepatan, Rendra menangkap keberadaan Raska. Yang hendak kembali ke bagian belakang, setelah ditugaskan Andreas langsung untuk mengisi ulang minuman dingin.
"Maaf nih, saya baru jujur sekarang. Selama ini, saya iseng membuntuti anak sulungmu dan juga istrimu. Walau awalnya, tidak sengaja menangkap hal tidak biasa—mereka berdua menemui orang asing, tapi terkesan seperti sudah mengenal dekat."
Dafian mulai terpaku.
"Setelah saya menjadi penguntit dadakan mereka berdua, hingga berhasil mendengar sesuatu hal yang tidak biasa—amat di luar dugaan." Rendra berbalik dan sengaja menghalangi jalan Raska kembali ke bagian belakang restoran.
Raska sudah menduga sesuatu hal, yakin kalau ini berhubungan dengan orang yang menguntitnya juga.
Meski tidak dicari tau, pada akhirnya terbongkar sendiri.
Itu yang ada dipikiran Raska saat ini, kemudian bergeser dan melangkah melewati Rendra. Namun, terpaksa dihentikan. Kala mendengar penuturan Rendra, dan jalannya kembali dihalangi dengan sengaja olehnya.
"Ayolah jawab." Rendra melirik ke arah Raska dan Dafian secara bergantian. Kali ini terfokus pada Dafian saja. "Anak keduamu yang asli, dia 'kan? Habisnya, istrimu terlebih lagi anak sulungmu selalu menemuinya meski akhirnya dijauhi."
Raska mendelik datar ke arah Rendra.
"Eh salah kah?" Rendra dengan mudahnya bertanya begitu. "Padahal, hanya ingin mengurangi rasa penasaran. Makanya, saya bertanya secara langsung di sini." Lalu beralih ke arah Reza dan berakhir menatap Dafian lagi. "Kalau dia—ehm kalau tidak salah namanya Raska, anak keduamu. Lantas, Reza itu siapa at—"
Raska melangkah pergi, berhasil menghentikan penuturan Rendra. Bukan berarti akan berhenti bertanya, Rendra mengalihkan pembicaran. "Oh iya, maaf loh. Malam itu menguntit dan menyerangmu, habisnya penasaran sekali."
Raska menulikan diri dan benar-benar pergi dari restoran, sudah siap bila Andreas memanggil untuk menghadap.
"Oy, kau tidak terima kah?" Rendra dengan sengaja, kembali bertanya dengan nada agak keras. Benar-benar tidak dijawab oleh Raska.
Raska kini berada di ruang ganti, benar-benar pergi.
"Tung—"
Raska mendelik amat datar—terkesan dingin pada Zian, setelahnya berlalu begitu saja. Bisa dibilang, mengabaikan semua pengunjung restoran yang masih mencerna perkataan Rendra. Raska muak, karena jati dirinya dibongkar. Terlebih lagi, Rendra menguntit Ariskan dan Risky. Pantas saja, setiap kali Risky berada di dekatnya juga merasakan kehadiran orang lain.
Beda orang, tapi masih lebih baik dari sebelumnya.
Raska tidak terlalu mau memperpanjang masalah soal Rendra pernah menguntit dan sengaja menyerang. Yang menjadi masalah sebenarnya itu, Raska muak karena Rendra membeberkan jati diri asli. Meskipun Raska yakin, beberapa dari tamu undangan ada yang belum mempercayai. Tidak menutup kemungkinan, bahwa ada yang langsung mempercayai perkataan Rendra.
Langkah kaki Raska kembali dihentikan sejenak, kala berhadapan dengan orang yang benar-benar memuakkan baginya. David, adik dari Dafian.
"Hee, ketemu lagi."
Raska yakin, David sengaja bersikap seakan berhubungan baik dengannya. Lebih parahnya lagi, sapaan yang dilontarkan David membuat para tamu undangan yakin. Bahwa dirinya, anak kedua dari Dafian.
"Bukankah itu pamanmu? Kenapa kau, terkesan mendelik ti—"
Raska mendelik datar Rendra. "Kau berisik sialan!" Benar-benar muak dengan Rendra, pergi begitu saja. Namun, terdengar jelas apa yang diucapkan David—meski amat pelan.
Raska melangkah jauh dari restoran milik Andreas, raut wajahnya penuh kekesalan. Muak karena Rendra terus mengatakan hal yang amat tidak ingin didengar. Meskipun, semuanya kebenaran. Raska sejak awal, sudah melepaskan diri dengan sengaja dari mereka, otomatis kehidupannya bukan lagi sama. Melainkan menyamarkan identitasnya menjadi anak yatim, memang sebelumnya Raska tinggal di panti asuhan. Itu sebabnya, bisa mengubah identitasnya.Tangannya yang sedari tadi terkepal amat erat, kini memerah dan lecet. Raska meluapkan kekesalannya dengan meninju keras pohon yang tumbuh dan menjulang tinggi di pinggir jalan. Kekesalannya semakin menjadi, setelah bertemu dengan orang yang paling tidak inginkan.
Sepanjang lorong hingga koridor kelas, entah sudah berapa kali dengkusan kekesalan terdengar. Ya, Raska risi sekaligus muak. Berita yang menurutnya amat tidak terlalu penting, menyebar begitu cepat.Pastinya, kelakuan anak pebisnis entah siapa. Intinya, kebetulan ikut ke pesta yang dibuat oleh Rendra di restoran milik Andreas. Di satu sisi, Raska memikirkan apa yang akan dijelaskan. Saat diinterogasi Andreas. Usai sekolah, diminta menghadap.Memuakkan! Kenapa harus terbongkar?
Raska menyandarkan punggung tegapnya pada dahan pohon besar di halaman belakang sekolah, sesekali mendengkus kesal juga mengusap kasar wajahnya.Masih tidak terima, kalau identitas aslinya akan kembali disandang. Meskipun, hanya identitas bukan kehidupan. Ya, Raska tidak mengharapkannya.Raska berdecih. "Berharap cepat usai, sepertinya butuh waktu lama ya?" Tangannya mengacak-acak kasar surainya. "Tidak ada yang paham, kalau aku lelah. Keinginan kecil, hanya satu ... hidup biasa dan tenang. Itu saja, kenapa terus dipersulit!"Raska berteriak, kembali mengacak-acak sekaligus menjambak kasar surainya. Napasnya memburu, benar-benar emosi. Setelahnya, terpejam. Membiarkan embusan angin menerpa, setidaknya sebelum masalah besar menyerang. Raska ingin istirahat sejenak, meskipun ketenangan yang didapat begitu singkat.Cermin mata bulat, yang biasa membingkai wajah kini terlepas. Bahkan, dibiarkan tergeletak di rerumputan liar.****
Raska benar-benar memperlihatkan sisi kekanakannya, mungkin efek keseringan berbaur dengan anak panti atau anak kecil yang tinggal di sekitaran kos kecil. Ekspresi yang Raska perlihatkan, tulus bukan karena terpaksa.Kalau dipikir-pikir, Raska sudah lama tidak bebas berekspresi. Semenjak, mengalami hal mengerikan. Berakhir, melarikan diri—melepaskan semuanya.Raska bertanding basket, lebih dominan anak-anak. Di sana sepakat menyediakan lapangan umum, lumayan besar. Bahkan, ada fasilitas sekaligus tempat penyimpanan berbagai macam peralatan olahraga.Raska mengoper bola ke satu anak panti, ya lebih suka menjadipointguard. Tepatnya sih, membiarkan anak-anak yang mencetak angka.Lumayan lama bermain, sekaligus memanfaatkan waktu luang yang amat menyenangkan bagi Raska. Entah kenapa, merasa ini menjadi hal terakhir. Raska mendengkus, sesekali mengusap kasar wajahnya."Kakak kenapa?" Satu anak panti heran, sembari memainkan bo
Dafian melirik sejenak kemudian mendengkus, tidak biasanya David datang terlambat. Lebih lagi tahu, acara rapat cukup penting—meskipun rapat kecil, bisa dibilang rekan tertentu saja. Semakin heran, saat David terpaku sejenak di ambang pintu. Detik berikutnya, baru melangkah dan duduk di sebelahnya.Entah kenapa, Dafian merasa kalau David baru saja melakukan pekerjaan berat dan amat memusingkan. Buktinya, sudah berapa kali terdengar helaan napas panjang nan berat.“Ada apa?” Pada akhirnya, Dafian bertanya spontan.David tersadar dari keterdiamannya. “Ah tid—”Suara bantingan amat kasar, membuat David menghentikan ucapannya. Bukan itu saja, rekan kerja yang diundang ikutan menoleh. Karena, si pelaku pendobrakan pintu adalah anak yang dibicarakan Rendra saat di pesta. Lebih mengejutkan, dalam keadaan mengkhawatirkan—penuh luka dan lumuran darah. Yang memperparah, masih ada satu besi yang dibiarkan tertancap di satu a
Setelah kejadian Raska menampakkan diri untuk meluapkan emosi—intinya semua perasaan sekaligus masalah yang dipendam sendiri meledak begitu saja. Bersamaan, terkuaknya sifat iblis nan licik David. Sejak dulu, berusaha mencari celah untuk membunuh Raska, hingga sekarang setelah bertemu lagi—David melakukannya. Ariska berhasil memaksa David untuk mengaku hingga menyerahkan diri. Tepat setelah diobati lukanya dan memulihkan diri sejenak, David dibawa polisi.Walau begitu, Ariska masih muak karena ulah David Raska memilih kabur dan hidup sendiri, seakan benar yatim piatu. Sekarang, keberadaannya lenyap padahal masih harus pemulihan luka. Lebih lagi, soal luka lama yang nyatanya begitu fatal dan itu karena David.Ariska berkali-kali menghela napas gusar, Risky tidak menemukan keberadaan Raska. “Kau ke mana sih?” Sangat khawatir, dan takut Raska benar-benar pergi. Lalu melirik ke arah Dafian, yang masih saja ,mementingkan ego. Jelas-jelas, sudah terku
Entah sudah berapa kali helaan napas kasar diselingi dengkusan kekesalan terdengar, pandangannya selalu terpaku ke luar jendela kelas—melamun. Avina bosan, kalau ada Raska pasti bisa mengganggu sekaligus mengkode agar peka. Semenjak keberadaannya lenyap, keseharian Avina di sekolah hanya berdiam diri di kelas. Kerinduannya belum bisa diluapkan, karena yang dirindukan belum ada tanda untuk kembali.Avina sempat berpikir kalau Raska, memilih untuk tidak kembali. Pasalnya, sebelum kabur terlihat jelas Raska lelah dan bernafsu meninggalkan kehidupan rumit. Demi kehidupan yang selama ini didambakannya. Menoleh sejenak, hingga terusik sesuatu. Tepatnya, saat Reza mendatanginya.Reza setelah berbincang dengan Nabila, sekaligus mengingat masa kecil. Saat itu juga, sudah mantap untuk memutuskan keterikatan dengan Avina. Lagi pun, semakin sadar dan yakin perempuan berharga yang bisa mengisi kekosongan hatinya dan paham perasaannya—Nabila.“Apa?” Av
Raska sejak perlajaran pertama berlangsung, bahkan berganti pelajaran kedua. Sama sekali tidak memperhatikan, terus menopang dagu dan manik hitam yang terbingkai cermin mata bula terpaku pada luar jendela. Hingga bel istirahat bunyi, Raska enggan beranjak.“Masih kurang.” Raska mengusap kasar wajahnya. “Ah iya, masalah sudah usai.” Mendadak terkekeh, masih tidak percaya kehidupan rumitnya telah usai. Bisa memanfaatkan kehidupan barunya yang amat tenang dan sederhana.Memindai sejenak ke penjuru kelas, sempat mengerutkan kening. Setelahnya, mendengkus sembari melangkah keluar. Tidak lupa, mengeluarkan setumpuk kertas—berisi tugas tambahan pengganti seminggu tidak masuk. Risiko bolos tanpa alasan, ketika masuk diintrogasi dan beban tugas tambahan.Langkah kaki Raska terhenti, seketika berdecih karena ada yang menghalangi jalannya. Muak, karena masih saja mengusiknya. Padahal Raska berharap, kehidupannya tenang lagi. Tetapi, gangguan k
Terwujud sesuai keinginan? Tentu, tetapi pasti ada masanya akan mengalami hal sama. Atau sama dan sedikit berbeda.Si kembar sudah menginjak lima belas tahun, kalau lagi berdua lebih lagi dengan keluarga, tingkah mereka akan persis bocah. Kini sedang terjadi."Jangan lari terus! Susah ngejarnya!" Vanya sebal dengan si kakak kembar.Varrel sendiri semakin usil, terus menambah kecepatannya. Seketika terhenti ketika, melihat si adik duduk selonjoran di trotoar sembari cemberut. Bahkan, tidak peduli menjadi tontonan aneh pejalan kaki."Ayo, naik." Varrel berjongkok membelakangi Vanya."Ninggalin mulu!" gerutu Vanya lagi.Varrel hanya terkekeh. "Seru tau lari-larian, setidaknya bisa memanfaatkan waktu luang, kaya berkeliaran gitu."Raska sibuk kembali, di kota kelahiran Dehan bersama Avina. Si kembar mendadak tidak mau ikut, alias
Yang dilakukannya saat ini, memandangi si kembar. Tidak terasa sudah semakin aktif.Kehadiran si kembar, bisa sebagai penghibur di kala penat selesai kerja sekaligus, kuliah online. Yap, Raska lebih dulu meneruskan. Sama halnya, Avina juga."Mereka berdua ada masanya ngeselin sepertimu!" celetuk Avina, kini bergabung di sofa yang sama dengan Raska.Raska menaikkan satu alis. "Ngeselin yang kaya gimana?""Walau masih kecil, tetap mulai terlihat." Avina sengaja menjelaskan lagi. "Kaya, iseng. Tapi, kalo diem itu berlebihan sampai cueknya minta ampun!"Raska hanya terkekeh. "Wajar kali, anak sendiri pasti ada turunan."Avina geregetan, buktinya memukul Raska. Seketika tersentak, kala tubuhnya di dekap. Namun, Avina refleks menahan Raska."Ada anak loh!"Raska mencebik kesal, tetap mendekap erat wanitanya ini
"Kau tau? Sampai saat ini, berasa kaya mimpi." Raska mendadak berkata begitu, saat tanpa sengaja teringat awal permasalahan hidupnya dulu hingga telah usai.Avina hanya mendengarkan, yang pasti mencoba memberi ketenangan. Merasa kalau Raska, dibayangi oleh masa lalu. Tangannya terulur untuk mengelus lembut surai hingga menjalar ke rahang dan dada bidangnya."Bukan sengaja mengingat, lebih bener itu nggak sengaja terbayang." Raska melanjutkan perkataan."Sulit dilupakan, tapi ada masanya bisa lenyap ... walau sebentar." Avina akhirnya membalas. "Atau kau masih ....""Nggak, intinya mendadak keinget gitu loh." Raska mengubah sedikit posisinya, tanpa membuat Avina yang sedari tadi berada di atasnya tidak nyaman.Ya, mendadak dijadikan kasur dadakan. Padahal, sofa panjang yang ditidurinya ini cukup lebar. Anehnya, Avina memilih tidur di atasnya."Ada
Masih terdengar gunjingan merujuk kebaikan ataupun keburukan, tetapi Avina berusaha membiasakan diri. Juga, mencoba melenyapkan rasa takutnya.Terbukti, salam masa tahanan Raska. Avina ke manapun sendiri dan juga hati-hati. Ah iya, sebenarnya ini bulan terakhir masa penahan Raska. Tetapi, tidak tahu kapan Raska dibebasknya.Bebas bukan berarti akan kembali cepat kuliah, mengingat cuti paksa yang dialami Raska lebih lama dibandingkan dirinya.Kini Avina berada di sebuah taman, penuh dengan anak kecil bermain. Hanya itu yang dilakukan Avina bila bosan, terkadang menunggu dijemput Aldian. Mengatakan, dijemput di sini. Itu juga, di awal masuk sehabis masa cuti.Seketika tersentak, kala ada yang menepuk bahu. Avina menoleh perlahan dan juga memberi jarak.Si pelaku terkekeh sejenak. "Masih kah?"Setelah tahu siapa pelakunya, Avina langsung menghamburk
Mendengar kabar Raska ditahan, semua keluarga pasrah menerima. Perlawanan yang dilakukannya memang demi kebaikan. Namun, tetap saja fatal. Harusnya melumpuhkan, bukan membunuh.Hukuman untuk pelaku penculikan Avina sekaligus pembunuhan yang dilakukan saudara tiri Denish. Memang berlapis, akan tetapi pelaku telah tewas. Denish yang mendapat kabar itu menerima, walau ada rasa sedih.Meskipun saudara tiri, yang sebelumnya hanya anak angkat. Hingga tidak terduga, kalau anak tersebut hasil selingkuhan salah satu orang tuanya yang dibuang. Dari situ semua berawal pembunuhan satu keluarga terjadi, menyisakan Denish.Mengingat, di awal memiliki saudara angkat merangkap jadi saudara tiri. Terbilang cukup akrab, sampai Denish senang karena memiliki saudara mengingat terlahir anak tunggal."Dia memang buruk dan menyiksaku, tapi aku sedih juga. Benar-benar kehilangan semuanya." Denish tidak menyalah
Memohon, kesannya terlalu lemah di matanya. Seakan sadar diri lebih parah, hidup dan apapun telah dikendalikan oleh orang lain, tidak akan pernah bisa melawan. Ataupun membantah, kenyataannya harus dibalikkan situasi di mana dirinya yang harusnya berani."Hee, jadi kau benar-benar membantah ya?" Kakinya melangkah, mendekati Denish kini meringkuk menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Sakit 'kan?"Denish mendadak bisu, tepatnya sih suaranya tercekat. Bahkan, sulit bernapas, sesekali meringis. Ini efek alat penyiksa yang ditanam paksa oleh saudara tiri gila dan biadab sekali."Menurut atau membantah?" Kini berjongkok, dan menepuk pipi Denish. "Cepat jawab! Atau kau memang ingin mati tersiksa, sampai jantungmu berhenti berdetak kah?"Denish muak akan dirinya sendiri, lemah sekali di mata saudara tiri gilanya ini. "Hen-hentikan semuanya!" Hingga akhirnya, berhasil mengeluarkan suara. "Kumo
"Kok sendiri?" Avera heran."Tidur, efek insomnia jadinya terbalik jam tidurnya." Avina memang baru tahu kebiasaan Raska, setelah menjalin hubungan serius. Selalu terkena insomnia.Avera mengangguk paham, hingga penasaran akan sesuatu. "Sudah nggak, ehm ... kacau atau panik gitu?" Jujur, tidak berharap Avina kembali kacau seperti masalah dulu."Nggak, cuma kaya masih takut dikit aja." Avina merasa bersalah, sudah merepotkan semuanya. "Tapi, aku mencoba untuk mengabaikan. Bukan berarti, enggan menyelesaikan dan malah nyuruh orang lain ....""Ibu paham, kok." Avera menepuk pelan lambat laun menyisir sejenak surai anak bungsunya ini.Avina menghamburkan diri pada Avera. "Aku berharap, cepat selesai dan nggak ada lagi masalah, Bu."Avera hanya mendengarkan."Tapi, kenapa selalu ada aja gitu ya?" Avina bingung, tidak berulah seketika bermasalah sampai diuntit.
Di sebuah klub malam, selalu ramai dikunjungi baik remaja yang masih labil, tetapi kelakuannya melebihi orang dewasa. Hingga, yang dewasa atau hampir menua. Namun, bukan itu yang menjadi pusatnya.Melainkan, lelaki yang pernah sekali dekat. Dalam arti biasa, guna menghindar dari kerumunan kaum hawa di kampus tidak lain Denish. Nyatanya bersama seseorang entah siapa, yang jelas membicarakan hal penting sekali.Wajahnya tidak terlalu jelas, efek tudung kepala yang hampir menutupi seluruh wajahnya, yang pasti lelaki."Selesai di sini aja." Denish berkata setelah menenggak minuman yang dipesannya, dan melangkah pergi ketika mendapati satu wanita yang ingin mendekati—menggodanya."Kau nggak seru!" celetuknya dengan sengaja.Denish berdecih dan melirik sengit. "Itu urusanmu! Jadi, lakukan sendiri!"Orang tadi hanya terkekeh, lambat laun membiarkan Denish pergi.
Sesuai janji kemarin, selama di kampus Raska selalu berada bersama Avina. Bila kelas dimulai, meninggalkan Avina sejenak bersama Reza dan Nabila. Ya, Raska menceritakan pada mereka berdua, untuk jaga-jaga.Kini Raska melangkah cepat keluar dari kelas, menuju kantin. Ya, mereka bertiga ada di sana. Ketika Avina ada kelas, Raska juga meminta mereka berdua untuk ikut sekadar menemani."Sangat merepotkan ya?" celetuk Avina.Keberadaan Reza dan Nabila di sini, demi menemani selagi Raska tidak ada. Di satu sisi, Avina merasa seperti pengganggu."Nggak kok." Nabila agak terkejut, jujur tidak pernah menganggap begitu, yakin sekali Reza juga sama.Avina senang mendengarnya, di satu sisi agak menyesal karena tidak jujur akan masalah. Ya, saat itu memikirkan kalau tidak dijelaskan, tidak akan merepotkan orang lain.Tidak disangka, justru sebaliknya. Avina benar-benar merasa bersalah.