4 tahun yang lalu....
"Pa,sebaiknya kita berpisah saja,"ujar seorang perempuan paruh baya.
"MAKSUD KAMU APA RITA?,"bentak laki laki yang merupakan suaminya.
"Aku lelah pa,kau selalu saja jadikan anak kita sebagai pelampiasan."
"Pawaka tidak salah pa,dia tidak tahu apa-apa tentang kejadian itu,"sambungnya.
"Kau bilang tidak tahu apa-apa?!,jelas-jelas dia ada saat pembunuhan itu.Cih dasar pembawa sial,"cibirnya.
Di lain tempat seorang anak berusia 14 tahun sedang mengintip perdebatan kedua orangtuanya dari celah pintu kamar.
Dia mendengar dengan jelas apa yang di perdebatkan oleh mama dan papanya.Pawaka meneteskan air mata melihat pertengkaran itu.
Anak seusianya yang harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua.Tapi apa,ayahnya malah menyalahkan nya atas pembunuhan yang sama sekali pawaka tidak mengerti."PAWAKA!!."
"KEMARI KAU!."
Dari arah belakang Pawaka berjalan tergesa gesa menghampiri papanya.
"A-ada apa pa.?"
"KAU ANAK PEMBAWA SIAL...KARENA KAU SEMUA MENJADI KACAU!,"
"KENAPA KAU HARUS LAHIR DI KELUARGA INI PAWAKA!"sambung sang papa
Pawaka yang di bentak seperti itu hanya menundukkan kepalanya sambil meneteskan air mata.
Tangan Pawaka bergetar saking takutnya."M-maafkan Pawaka,Pa."
"MAAF UNTUK APA HAH?!!,SEMUANYA SUDAH TERJADI.SAYA HARUS KEHILANGAN IBU KARENA MU,PAWAKA!"
"T-tapi Pawaka..."
"DIAM KAU!"potongnya.
Bugh!
Akara maju selangkah lalu meninju wajah putranya,ia begitu terbawa emosi hingga melakukan kekerasan fisik.
Pawaka jatuh tersungkur dengan lebam dipipinya.Ia memegangi wajahnya yang terkena pukulan.
"PAWAKA!,"dari arah berlawanan datang mamanya dengan membawa surat surat.
"APA-APAAN KAU AKARA,DIA ANAKMU!,"teriak nyalang mamanya sambil membantu Pawaka bangun.
"RITA HARUSNYA KAU SADAR SIAPA YANG MEMBUAT MERTUA MU MENINGGAL,"teriak nya sampai urat dileher nya terlihat.
"Sudah berapa kali aku bilang Akara, bukan Pawaka pelakunya,"
"Aku sudah membawa surat-surat.Kita segera urus semuanya,"lanjutnya.
"Tidak Rita,kita tidak akan berpisah."
"Aku sudah tidak kuat menghadapi sifatmu.Kau selalu kasar dari dulu."
Pawaka lagi-lagi mendengar pertengkaran kedua orangtuanya.
"PUAS KAU?!,ANAK TIDAK TAHU DIRI!,"tunjuk Akara ke arah Pawaka yang sedang bersembunya dibalik punggung sang mama.
***
"Hak asuh anak jatuh padaku Rita,sekarang bagaimana bisa kau melindungi anak itu?,"ujarnya sambil tersenyeum asimetris.
"Tidak... Bagaimana pun caranya aku akan mendapatkan Pawaka.Aku akan mendapat hak asuh Pawaka."
"Hahahaha...Bagaimana caranya Rita?,bahkan kau sendiri tidak memiliki apapun.Kau tidak bisa melawanku."
"Pawaka...Ayo pulang!"titah papanya sambil mengelus lembut rambut Pawaka.
"Ma..."ujar nya sambil memegang erat tangan orang yang sudah melahirkannya.
"Aku tidak mau,Ma."
"Pawaka percaya sama Mama ya,kamu pasti akan pulang sama mama nanti.Sekarang kamu sama Papa dulu ya..."
Rita meneteskan air mata sambil memeluk erat putra satu-satunya.Seandainya ia tidak kalah dalam persidangan itu pasti Pawaka bisa pulang dengannya."Ma..Pawaka takut,"gumamnya sambil mengeratkan pelukannya.
"Pawaka jangan takut ya, sekarang kamu kan sudah besar. Harus jadi anak yang pemberani.Nanti mama pasti sering menjenguk kamu."
"Sudah Pawaka,tidak ada waktu lagi saya harus menghadiri rapat hari ini,"ujarnya menarik kasar tangan anaknya menuju ke mobil.
Hari berganti hari,Pawaka pikir Papanya akan berubah dan menjadi sayang kepadanya.Namun semua itu salah,Pawaka selalu dijadikan sasaran empuk kemarahan sang papa.
Ia kerap kali dipukul oleh papanya.Seperti sekarang,karena Pawaka mendapat nilai yang kurang memuaskan baginya."Ampun..pa..ampun!"pinta Pawaka yang sedang dipukuli dengan ikat pinggang.
"Dasar anak tidak berguna...apa yang bisa saya banggakan darimu,hah?!.Dengan nilai sekecil ini mau jadi apa kau nanti?,"cerca Akara dengan terus melayangkan ikat pinggang ke tubuh anaknya
Ctas!
"Arrggghh..."teriak kesakitan kesekian kali Pawaka,kali ini ikat pinggang itu melayang ke pipinya.
Bisa dipastikan semua tubuh dan wajah Pawaka penuh akan lebam.
"Sekali lagi saya peringati,jangan berani menampakkan wajah mu kalau kau mendapat nilai kecil seperti ini Pawaka!,"ancamnya dengan melamparkan kasar kertas hasil ulangan itu ke depan wajah Pawaka.
Sebelum akhirnya meninggalkan Pawaka yang terkulai lemas di ruang tamu."Kenapa... aku harus lahir di keluarga ini,"lirihnya.
Sekujur tubuhnya terasa perih dan nyeri,matanya mengeluarkan setitik cairan bening.***
"Siapa yang menyuruhmu duduk disitu?.""A-aku lapar pa...aku ingin makan,"ujarnya
Baru saja mendudukan dirinya didepan Akara yang sedang makan."Kau pikir saya mengijinkan?,"tanyanya
Pawaka yang tidak mengerti maksudnya hanya mengerutkan dahinya."Pawaka kalau kau duduk disitu saya tidak berselera untuk makan,"
"Sebaiknya kau duduk dan makan disana"sambungnya menunjuk lantai dibelakangnya.
Akara memberi perintah Pawaka untuk makan di lantai."Tapi pa—"
"Atau tidak makan sama sekali,"potong Papanya.
"I-iya pa."
Pawaka mengambil piring lalu menaruh nasi dan lauk secukupnya.Asisten rumah tangganya ingin membantu tapi dicegah oleh Akara.Selesai menaruh lauk, Pawaka mengambil gelas lalu menuangkan air.Setelahnya ia duduk dilantai sambil menghadap ke punggung sang ayah.
Rasanya ia sudah tidak kuat lagi hidup bersama papanya.
Dadanya terasa sesak,Pawaka mengeluarkan air matanya,sambil sesekali menyuapkan nasi ke mulutnya.Di umur nya yang ke-14 ia harus mendapatkan perlakuan seperti ini oleh sang ayah.Pawaka selalu memimpikan keluarga yang utuh dan kasih sayang dari sang ayah.***
"Pa...a-aku lapar..."
"Apa?,lapar katamu?"
"Kau saja bahkan belum mengerjakaan pekerjaan rumah dengan benar."
"Ta-tapi dari kemarin aku bahkan belum memakan apapun,"ujar anak laki laki berusia 9 tahun.
Plak plak
Pawaka kecil kepalanya ditampar oleh sang ayah.Rasa sakit itu tidak seberapa dengan rasa perih diperutnya.
"Apa kau tidak tahu malu?,meminta-minta makanan kepadaku.Dasar pembunuh!" hina papanya.
"Untuk apa aku...malu kau ayahku,aku...aku berhak meminta semua yang aku mau...."
Kriekk!
"Akkkhhhh!"pekik Pawaka saat tangannya diinjak oleh papanya.
"BERANI-BERANINYA KAU MRLAWANKU! SEKARANG KAU AKAN TAHU AKIBATNYA KARENA SUDAH MELAWANKU AMERTA PAWAKA!" murka Akara seraya menyeret sang anak ke dalam gudang rumah yabg sempit.
Byur!
Ia juga menyiram Pawaka dengan air dingin.
"Pa...tolong jangan...kurung aku disini..."lirih Pawaka yang sudah lemas,ia sudah tidak bisa kabur ataupun memberontak.
"Kau bilang lapar kan?"
Pawaka mengangguk lemah,ada secercah harapan dihatinya untuk bisa makan.
Tidak lama datang Akara dengan membawa piring yang berisi makanan dan segelas air.
"Makanlah dan habiskan!"
Pawaka memandangi piring yang diletakkan didepannya.Makanan itu sudah busuk,bahkan sudah tudak layak makan Pawaka tahu itu.Namun,ia begitu lapar dejgan terpaksa ia memakan makanan busuk itu.
Dan ia dihukum dengan terkunci digudang satu hari.
Semenjak saat itu Pawaka tidak pernah menangis,ia bertekad akan pergi dari rumah terkutuk itu.
Bulir keringat begitu jelas di dahinya,tangannya pun terasa dingin.Jantung nya berpacu dengan cepat.Amerta sudah siap dengan seragam sekolah,sekarang ia duduk di meja makan.Tapi tidak seperti pertama kali,semangat pergi ke sekolahnya seolah olah pudar.Jelas,Amerta ketakutan kembali ke sekolah. Mengapa takdir seolah mempertemukannya lagi dengan sekolah itu.Sarapan nya pun tidak tersentuh sama sekali.Rita yang melihat sang anak dengan gelagat aneh,tidak seperti kamarin begitu semangat untuk sekolah.Bahkan Amerta hanya diam saja dan terus menunduk seperti orang ketakutan."Amerta...kenapa sarapan nya tidak dimakan?.""Ma...aku takut..."ujar AmertaSeolah tahu apa yang ditakutkan Amerta,"Takut kenapa?,takut ke sekolah?,tenang saja paman mu menjadi kepala sekolah disana ,Amerta.""I-iya Ma""Ayo berangkat Amerta,nanti kau telat."ujar mama nya,seraya mengambil kunci mobil.Didalam mobil suasana m
Amerta tidak mengerti dengan dirinya sendiri,mengapa ia bisa seberani itu melawan Dirga.Bahkan tadi saat pulang sekolah Dirga memukul wajahnya,Amerta tidak tinggal diam ia memukul balik Dirga.Kalau saja tidak dipergoki oleh satpam sekolah mungkin saja perkelahian itu belum berhenti. Ah,dulu dia sangat takut dengan Dirga tapi sekarang tidak ada rasa takut sedikit pun,malah ia ingin membalas dendam akan semua perbuatan Dirga dimasa lalu.Walaupun ia tahu balas dendam itu tidak ada gunanya. Apa mungkin karena sifat dari pemilik tubuh yang masih melekat?.Amerta tidak tahu itu.Sebenarnya banyak sekali keuntungan saat memiliki tubuh ini.Tubuh dan wajah yang sempurna,bahkan karena wajah ini ia bisa memiliki banyak teman sekarang. Ya,walaupun kebanyakan perempuan tapi tidak masalah kan?,yang penting memiliki teman. "Belok kiri ya pak,saya turun disebelah gang itu,"kata Amerta kepada supirnya. "Bai
"Makan yang banyak Aruni biar cepat sembuh.Setelah ini kamu minum obat,ya"ujar Amerta sambil menaruh lauk nya ke piring sang adik. "Kamu juga Asa,harus makan yang banyak." Amerta tersenyum,akhirnya ia bisa berkumpul lagi .Melihat adik-adiknya tersenyum berbinar sambil melahap makanan. Seandainya ia tidak bisa mengunjungi adik dan ibunya,pasti mereka tidak akan makan apapun hingga malam.Melihat tadi didapur tidak ada bahan makanan sedikitpun. Amerta begitu bersyukur tuhan masih memberikannya kesempatan. "Mengapa kau menangis?." Amerta tersentak,"Ah aku tidak menangis kok,"seraya menghapus dengancepat jejak air matanya dipipi.Tapi ibunya masih memandangnya dengan penuh selidik. "Ayo Aruni minum obat,"kata Amerta mencoba mengalihkan situasi. "Aku tidak mau kak...pilnya pahit,"ujar Arunk sambil menggelengkan kepalanya. Amerta tahu betul adik bungsunya itu sangat anti minum obat-obatan ketika sakit.Dulu ia ha
Hari ini merupakan hari minggu,itu berarti Amerta tidak sekolah.Ia sekarang sudah siap dengan baju kaos putih dan celana hitam pendek. Selesai bersiap-siap ,ia turun kebawah .Ternyata mamanya sedang berbincang dengan tamu. "Andra sudah lama sekali kamu tidak bermain ke sini." "Iya kak,kau tahu kan akhir-akhir ini aku sangat sibuk.Memiliki dua pekerjaan sekaligus memang sangat melelahkan,"gerutunya. "Iya ... resiko memiliki dua pekerjaan memang begitu.Waktu itu kau disuruh papa memilih,tapi kau tidak mau." "Kak,bagaimana sih.Kalau aku memilih bekerja diperusahaan papa,berarti aku tidak menjadi kepala sekolah.Sedangkan kau tahu daridulu aku sangat ingin menjadi kepala sekolah dan kalau aku memilih tidak mengambil alih perusahaan papa..." "Siapa lagi yang mengambil alih,kalau bukan aku.Dulu kan kau tidak mau kak,karena ingin merawat anakmu Pawaka,"sambung Andra.
Langit yang begitu cerah,disertai bulir-bulir cahaya.Seakan ikut menyambut kebahagiaan kakak beradik itu.Mereka berlarian kesana kemari."Asa...ayo tangkap Aruni!""Aaaaaaa kak Amerta kok jadi akuuu,"pekik Aruni saat Asa dan Amerta berbalik arah menjadi mengejarnya."Hap... dapatt!"seru Amerta yang berhasil menangkap Aruni dengan cara didekap."Kakak curang...tadi kan kita harusnya tangkap bang Asa,kenapa jadi aku ...uuh,"gerutu nya."Kalau tangkap Asa tidak bisa,lihat saja tubuhnya besar begitu bahkan lebih besar daripada kakak.""Ish...kak Amerta apa-apaan tubuh aku tidak besar ya,"rengek Asa yang hanya dihadiahi cengiran lebar oleh Amerta.Dari dulu kebiasaan Amerta tidak pernah hilang selalu saja mengerjai Asa.Padahal tubuh anak itu sama kurus dengannya yang dulu"Hahahhaha..."Aruni dan Amerta tertawa terpingkal-pingkal sampai wajah mereka memerah.Sedangakan Asa mengerucutkan
Setelah berdebat kecil dengan ibunya,perihal siapa yang harus mengeluarkan uang untuk membeli bahan makanan hari ini.Akhirnya,ia memenangkan perdebatan itu.Amerta jadi membayangkan bagaimana kalau kelak ia sudah bekerja dan membiayai semua keperluan rumah,mungkin saja Amerta dan ibunya akan sering berdebat mengenai siapa yang harus membayar.Ibunya itu tipikal orang yang tidak suka merepotkan orang lain,termasuk anaknya.Selagi mampu maka ia tidak mau merepotkan siapapun.Bahkan kalau ibunya mau,adik dan iparnya pasti mau membayari hutang hutang mereka.Butuh waktu 5 menit untuk sampai kepasar dengan berjalan kaki.Sebenarnya bisa saja ia menaiki angkot,hanya saja Amerta harus hemat mulai sekarang,sampai bisa mendapatkan pekerjaan sampingan.Ia sudah mulai memasuki pasar,aroma khas dari pasar tersebut menyeruak ke indra penciumannyaAmerta sangat merindukan suasana pasar,sudah lama ia tidak datang ke tempat ini.Sua
"Wah ... tampan sekali." "Baru pertama kali,aku melihat cowok setampan dia." "kulitnya putih sekali." "Dia murid baru kan?" "Iya ... namanya Amerta." "..." Entah mengapa murid-murid perempuan yang sedang menganggumi murid baru itu,ketika mendengar nama Amerta langsung terdiam sepi.Mereka menunjukkan ekspresi yang susah ditebak. "KAU MURID BARU,AKU MENYURUHMU KERJAKAN TUGASKU!." "Kau pikir kau siapa?,ini tugasmu kerjakan sendiri,"ujar Amerta sambil menghempaskan kasar buku tulis milik Dirga. "DARI KEMARIN KAU BERANI SEKALI DENGANKU,PUNYA KEKUASAAN APA KAU SAMPAI SEBERANI INI DENGANKU HAH?!"murka Dirga menarik kerah baju Amerta. "Hahaha ... kau bertanya kekuasaan denganku Dirga?,lalu kau punya kekuasaan apa disekolah ini? sampai berani menindas orang orang lemah," "Ah... apa perlu aku perkenalkan diriku lebih jauh Dirga?" Buaghk!Sebuah pukulan melayang ke wajah nya.Amerta memejamkan mat
Amerta Pov Bukankah hidup itu terlalu rumit untuk dijalani?,ingin melakukan hal yang membuatmu senang namun ada saja yang menghalangimu.Itulah yang kurasakan aku yang awalnya meminta kepada tuhan untuk memberi sekali lagi kesempatan untuk memperbaiki dan menyelesaikan tugas ku yang belum sempat aku selesaikan.Tapi,semua itu tidak mudah ada konsekuensi didalamnya.Tentu,aku mengerti itu hanya saja ini begitu rumitseperti terjebak di sebuah labirin. Hari ini aku bertemu dengan seseorang yang begitu berharga dalam hidupku.Namun,karena aku hidup sebagai orang lain tentu saja dia tidak mengenaliku.Ingin sekali berbincang dengannya sebatas menanyakan kabar.Aku melihat dia seperti telah layu,bunga matahari yang biasa memancarkan sinar kini telah redup.Seorang perempuan yang ceria,dan ramah kini menjadi sosok yang dingin. Kanagara berarti bunga matahari,nama itu sangat cocok untuknya rambut sebahu dengan wajah yang putih dan senyum yang m
Setelah beberapa menit mencari alamat kedai itu,akhirnya Amerta menemukannya juga.5Kedai itu masih sama seperti trrakhir kali ia kesana.Dinding dari kayu yang masih kokoh dan cat berwarna kuning cerah.Tulisan dipapan bertuliskan kedai paman Yin pun masih sama,bahkan menu yang disediakan tidak ada yang dikurangi maupun ditambahkan.Kedai ini merupakan pemilik dari seorang kakek yang sudah berusia 80, kemudian diturunkan ke anaknya yaitu paman Yin.Mereka merupakan orang China,kedai ini pun tidak pernah sepi oleh pengunjung karena memang rasa makanan nya begitu enak dan murah.Paman Yin tidak memiliki anak dan istrinya sudah meninggal.Pertama kali Amerta bisa bekerja dikedai paman Yin adalah saat ia memungut sampah untuk dijualnya.Saat itu paman Yin memanggil Amerta,lalu memberikan Amerta makanan.Lalu Amerta ditawari untuk bekerja disana.Paman Yin itu begitu baik,ia selalu berbagi kepada anak-anak yatim.Maka dari itu kedainya tida
"Ini harus disambungkan,ke sini.Lalu em..."monolog Amerta.Ia sedang sibuk berkutat dengan kerangka-kerangka besi yang belum menyatu. Pagi ini Amerta begitu berkutat dengan kerangka-kerangka kabel yang melilit satu sama lain.Hari minggu ini ia akan menghabiskan waktunya untuk membuat suatu karya yang daridulu begitu ia idamkan. "Hah...aku mengapa susah sekali.Aku sudah membaca buku panduan berkali-kali tapi tetap saja." "Aku harus bisa menyelesaikannya sampai akhir,"ujar nya pada diri sendiri seraya membolak-balik halaman dibuku panduan tersebut. Tok!tok! "Tuan Amerta...tuan disuruh nyonya keluar sarapan" "Bilang padanya,aku tidak mau sarapan,"ujar Amerta dengan dingin. "Tapi tuan—" "Katakan saja padanya,bu"sambarnya. Amerta masih marah kepada mamanya.Padahal perutnya terasa lapar. Tidak b
Amerta merenung di kamar memikirkan mengapa takdir seolah mempermainkannya.Sekarang ia harus bagaimana,ibunya sendiri bekerja dirumah yang ia tempati ini menggantikan pelayan nya yang sedang cuti lama.Lalu bagaimana ia bersikap,Amerta marah dengan dirinya sendiri.Harusnya ia bisa mencegah hal-hal seperti ini terjadi."Ibu..."lirihnyaTok tok!Amerta segera bangkit dari duduknya,mendengar pintu kamar diketuk."Ibu,ada apa?"tanyanya kepada sosok yang mengetuk pintu tadi dengan membawa nampan."Maaf menganggu tuan,nyonya menyuruh saya mengantarkan makanan ke kamar tuan Amerta"ujar pelayan baru itu seraya menundukkan kepalanya."Ibu jangan memanggilku seperti itu,aku tidak suka"lontar Amerta."Tuan Amerta,sekarang aku adalah pelayanmu.Jadi tolong berhenti memanggilku ibu.""Tapi—""Amerta ibu mohon sekali ini
Plak!"Anak kurang ajar...kau tahu harga guci itu berapa?""Maaf Pa""Kau pikir dengan kata maaf,bisa mengembalikan guci yang mahal ini.Bodoh""Kau tahu Pawaka,aku akan membesarkanmu.Lalu nanti kalau kau sudah besar,aku akan membunuhmu sama seperti yang kau lakukan terhadap ibuku!""J-jangan pa,aku mohon""Arrggghh... ampun pa.Perih pa!""Pa,kepala Pawaka terasa sakit sekali"Blub blub blub"Kau bilang pusing kan Pawaka""Hah...hah...hah a-ampun pa.Aku tidak bisa bern—mmmpp""Hah ternyata mimpi,"monolognya.Ia mengusap keringat dahi yang begitu banyak.Ketika anak itu ditenggelamkan kepalanya disebuah drum Amerta merasakan sesak yang luar biasa.Ini aneh,bukankah seharusnya ia tidak bisa bermimpi ketika tertidur karena Amerta tidak memiliki ikatan apapun pada tubuh ini.Terlebih lagi mimpi tentang Pawaka pemilik tubuh ini.Ia baru sadar kejadian kemarin saat ia merasakan detak jan
Entah mengapa hari ini Amerta merasa perasaannya tidak enak,membuatnya kesiangan untuk datang ke sekolah.Ia berjalan menyusuri koridor yang terasa begitu panjang baginya tidak seperti biasanya.Ia melihat diujung koridor lebih tepatnya di taman yang letaknya diujung koridor,siswa berkerumun disana.Bahkan kelas kelas yang ia lewati tadi kosong,ternyata mereka semua berkerumun disana.Amerta penasaran apa yang sebenarnya terjadi,ia pun menghampiri kerumunan tersebut.Tapi ia masih tidak bisa melihat karena begitu banyak orang orang disana,bahkan mereka berdesakan.Rasa penasarannya belum terobati Amerta mencoba bertanya kepada salah satu yang ada dikerumunan itu."Ada apa ya,m-mengapa disini ramai sekali?"tanya nya sedikit gugup."Itu ... katanya Dirga ingin menyatakan perasaannya kepada seseorang."Amerta yang mendengar nama Dirga tidak tertarik sedikit pun."Oh begitu ... terimaksih ya,"ujarnya.Ia ingin kembali ke kelas
Amerta Pov Bukankah hidup itu terlalu rumit untuk dijalani?,ingin melakukan hal yang membuatmu senang namun ada saja yang menghalangimu.Itulah yang kurasakan aku yang awalnya meminta kepada tuhan untuk memberi sekali lagi kesempatan untuk memperbaiki dan menyelesaikan tugas ku yang belum sempat aku selesaikan.Tapi,semua itu tidak mudah ada konsekuensi didalamnya.Tentu,aku mengerti itu hanya saja ini begitu rumitseperti terjebak di sebuah labirin. Hari ini aku bertemu dengan seseorang yang begitu berharga dalam hidupku.Namun,karena aku hidup sebagai orang lain tentu saja dia tidak mengenaliku.Ingin sekali berbincang dengannya sebatas menanyakan kabar.Aku melihat dia seperti telah layu,bunga matahari yang biasa memancarkan sinar kini telah redup.Seorang perempuan yang ceria,dan ramah kini menjadi sosok yang dingin. Kanagara berarti bunga matahari,nama itu sangat cocok untuknya rambut sebahu dengan wajah yang putih dan senyum yang m
"Wah ... tampan sekali." "Baru pertama kali,aku melihat cowok setampan dia." "kulitnya putih sekali." "Dia murid baru kan?" "Iya ... namanya Amerta." "..." Entah mengapa murid-murid perempuan yang sedang menganggumi murid baru itu,ketika mendengar nama Amerta langsung terdiam sepi.Mereka menunjukkan ekspresi yang susah ditebak. "KAU MURID BARU,AKU MENYURUHMU KERJAKAN TUGASKU!." "Kau pikir kau siapa?,ini tugasmu kerjakan sendiri,"ujar Amerta sambil menghempaskan kasar buku tulis milik Dirga. "DARI KEMARIN KAU BERANI SEKALI DENGANKU,PUNYA KEKUASAAN APA KAU SAMPAI SEBERANI INI DENGANKU HAH?!"murka Dirga menarik kerah baju Amerta. "Hahaha ... kau bertanya kekuasaan denganku Dirga?,lalu kau punya kekuasaan apa disekolah ini? sampai berani menindas orang orang lemah," "Ah... apa perlu aku perkenalkan diriku lebih jauh Dirga?" Buaghk!Sebuah pukulan melayang ke wajah nya.Amerta memejamkan mat
Setelah berdebat kecil dengan ibunya,perihal siapa yang harus mengeluarkan uang untuk membeli bahan makanan hari ini.Akhirnya,ia memenangkan perdebatan itu.Amerta jadi membayangkan bagaimana kalau kelak ia sudah bekerja dan membiayai semua keperluan rumah,mungkin saja Amerta dan ibunya akan sering berdebat mengenai siapa yang harus membayar.Ibunya itu tipikal orang yang tidak suka merepotkan orang lain,termasuk anaknya.Selagi mampu maka ia tidak mau merepotkan siapapun.Bahkan kalau ibunya mau,adik dan iparnya pasti mau membayari hutang hutang mereka.Butuh waktu 5 menit untuk sampai kepasar dengan berjalan kaki.Sebenarnya bisa saja ia menaiki angkot,hanya saja Amerta harus hemat mulai sekarang,sampai bisa mendapatkan pekerjaan sampingan.Ia sudah mulai memasuki pasar,aroma khas dari pasar tersebut menyeruak ke indra penciumannyaAmerta sangat merindukan suasana pasar,sudah lama ia tidak datang ke tempat ini.Sua
Langit yang begitu cerah,disertai bulir-bulir cahaya.Seakan ikut menyambut kebahagiaan kakak beradik itu.Mereka berlarian kesana kemari."Asa...ayo tangkap Aruni!""Aaaaaaa kak Amerta kok jadi akuuu,"pekik Aruni saat Asa dan Amerta berbalik arah menjadi mengejarnya."Hap... dapatt!"seru Amerta yang berhasil menangkap Aruni dengan cara didekap."Kakak curang...tadi kan kita harusnya tangkap bang Asa,kenapa jadi aku ...uuh,"gerutu nya."Kalau tangkap Asa tidak bisa,lihat saja tubuhnya besar begitu bahkan lebih besar daripada kakak.""Ish...kak Amerta apa-apaan tubuh aku tidak besar ya,"rengek Asa yang hanya dihadiahi cengiran lebar oleh Amerta.Dari dulu kebiasaan Amerta tidak pernah hilang selalu saja mengerjai Asa.Padahal tubuh anak itu sama kurus dengannya yang dulu"Hahahhaha..."Aruni dan Amerta tertawa terpingkal-pingkal sampai wajah mereka memerah.Sedangakan Asa mengerucutkan