"SAYA kan udah bilang, jangan deketin Kenta." Vino mengulang kata-kata itu. Mereka duduk di Kantin sekarang. Khika hanya diam tak membalas perkataan Vino, boro-boro mau memikirkan kejadian tadi. Otaknya telak disumbat oleh tatapan-tatapan dingin yang berseliweran di kantin. Gimana bisa mikir kalau dilihatin kayak pertunjukan sirkus begini?
Iya, tanpa sungkan anak-anak di Kantin memandangi mereka le
LELAKI tua itu mengetuk-ngetuk buku tangannya di meja kerja. Memantulkan bunyi yang menguasai kesunyian malam itu, hanya cahaya remang dari lampu meja yang menyorot lurus kearah satu demi satu jepretan foto. Ia membulak-baliknya, berulang kali. Tak perlu memastikan lebih dalam lagi, ia segera mengacungkan satu tangannya ke hadapan tuan Brooke yang tampak menanti dengan taat dipinggir meja.
Khika baru saja muncul dari arah belakang Gor, sampai tiba-tiba pundaknya diraih dari belakang, dan diputar dengan cepat menghadap satu sosok yang mencekalnya.
TANGAN lelaki itu menyerahkan sebuah benda mungil berwarna hitam yang sedari tadi ia genggam. Sebuah flashdisk yang ditatap puas oleh si penerima.
LELAKI itu menjadi pusat perhatian di depan kelas, dalam sekejap saja posisinya sudah bergeser ke tengah, didorong desakan para siswi yang menggiring Vino ke dalam lingkaran kerumunan. Dihadapannya sudah terpajang sebuah kue tart dengan lilin usianya yang menari-nari. Tart itu di topang oleh tiga cewek sekaligus---yang sedari tadi sudah berebut untuk mendapatkan posisi pamungkas yaitu sang pemegang kue. Yang katanya kalo di foto nanti, bisa lebih banyak nampang sekaligus posisi menjadi lebih dekat dengan yang ulang tahun, ngakunya semua buat kenang-kenangan.
Gadis itu berlari kearah lain. Entah mengapa. Yang lain dengan intuisinya berlari ke bagian depan sekolah, ke tempat yang mereka rasa a
GADIS itu menghirup aroma teh jahe yang ia senyap setelahnya. Udara sejuk serta senja yang menampakan diri di balkon sore itu menjadi temannya, menyusuri setiap rasa sepi yang menelusup ke hati.
Hari sabtu tiba juga, sudah pagi tapi Khika semalaman malah kepikiran dengan omongan Adam
Dalam deruan napas yang tersengal Khika sampai dikamar Bang Ardy ditemani Vino yang mengikuti dibelakangnya. Hal yang pertama Khika lihat adalah tangisan Umi dipelukan Ayah. Membuat pikirannya menjalar ke peristiwa terburuk yang mungkin terjadi pada Bang Ardy. Sesungguhnya gadis itu belum siap.Tidak, pokoknya jangan sekarang Ya Tuhan, gumamnya dalam hati.
"Kamu ikut saya aja ya?" kata Vino."Kemana?" tanya Khika lagi."Bantuin tugas saya," jelas Vino sambil mengemudikan mobilnya. Tentu saja kalau untuk membantu Khika bersedia. Gadis itu menyetujuinya. Lalu memberikan kabar pada Umi kalau dia akan terlambat pulang. Tapi nyatanya Umi juga s
Gadis itu kini mengerti, kenapa Vino memilih menghilang setelah ibunya siuman. Lelaki itu memang benar-benar telah dibenci ibunya. Ironisnya, ia dibenci justru karena mengambil keputusan untuk menyelamatkannya hidup ibunya. Satu-satunya pelita dalam hidupnya.Rasanya gadis itu seperti sedang menyelami lubang menganga yang tersembunyi dalam kesempurnaan kehidupan Vino.
VINO baru saja menghadapi kenyataan yang lagi-lagi tak sesuai harapannya. Tanpa ia sadari untuk kesekian kalinya, Ayahnya mampu memegang kendali penuh dalam kehidupannya. Kini Vino dibebankan tugas yang baru, yang pasti akan menyita semua pikiran bahkan waktunya."Saya menolak Pah, kali ini mereka benar, saya terlalu muda untuk jadi CEO," tegas Vino.
ADAM memperhatikan Alexa sedari tadi, ia tampak sempurna dalam senyumnya. Tak ada sedikitpun rasa resah, padahal permandangan kedekatan Vino dan Khika harusnya membuat Alexa jengah. Tapi nyatanya gadis itu santai luar biasa. Adam tak tahan juga lama-lama hanya memandang Alexa, ia memutuskan untuk mendekati gadis yang sedang meneguk winenya itu.
KHIKA terlambat hampir tiga puluh menit dari waktu pembukaan acara jam delapan tadi.Adam menunggunya di depan kamar.
Hari sabtu tiba juga, sudah pagi tapi Khika semalaman malah kepikiran dengan omongan Adam
GADIS itu menghirup aroma teh jahe yang ia senyap setelahnya. Udara sejuk serta senja yang menampakan diri di balkon sore itu menjadi temannya, menyusuri setiap rasa sepi yang menelusup ke hati.
Gadis itu berlari kearah lain. Entah mengapa. Yang lain dengan intuisinya berlari ke bagian depan sekolah, ke tempat yang mereka rasa a