Danang yang patah hati dan sangat terluka, terpaksa pergi meninggalkan Ayu dengan Wira. Langkah kakinya teramat berat. Dadanya sangat sesak mengetahui apa yang akan Ayu lakukan setelah berpisah dengannya. Bahkan meski pun Danang memakinya dan berpikir bahwa Ayu sudah sangat berubah, tapi Ayu tidak bergeming sama sekali.Danang terus melangkah menjauhi Ayu, sesekali ia berhenti dan berharap bahwa Ayu akan memanggilnya dan menyatakan bahwa itu semua tidaklah benar. Ayu terpaksa berbohong dan menyesali semua yang ia ucapkan hari ini.Ayu ingin kembali bersamanya dan menjalani hari-hari dengan bahagia bersama Danang. Ia terus saja merapalkan bahwa Ayu akan mengatakan semua itu. Namun, hingga Danang sampai di dekat mobilnya. Ayu sama sekali tidak memanggil namanya.Ayu sama sekali tidak menahan kepergiannya. Danang kembali menoleh dan menatap Ayu dengan nanar. Penuh harapan bahwa Ayu akan berlari dan memeluk tubuhnya. Mengatakan bahwa ia menyesal dan sangat merindukan dirinya. Dan memilih
Ayu tersenyum gugup menatap tatapan penuh kebahagian Wira padanya. Wira pun sama merasa gugup akan rencana besar keduanya yang telah membuat hatinya sangat berbunga-bunga. Ia pun mengambil belanjaan yang ada di tangan Ayu.“Yuk kita masuk ke rumah, dan kasih tau orang tuamu dan budhe kalau kita akan menikah dua bulan lagi,” ucap Wira dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Ayu yang semakin merasa gugup tidak karuan.Apa yang sedang Ayu rasakan, apakah ini perasaan bahagia atau rasa kecemasan. Tapi, ia merasa wajahnya memerah hanya memikirkan kata-kata yang akan ia ucapkan untuk kedua orang tuanya serta budhe. Jantungnya berdebar cukup kencang dan membuat Ayu tanpa sadar tersenyum lebar. Ia pun menyusul Wira dan masuk ke dalam.Saat di dalam, Ayu melihat Wira yang sedang sibuk menaruh semua barang belanjaannya langsung membantu Wira dan keduanya saling melempar senyum dengan malu-malu. Hal itu pun bisa dilihat oleh Budhe Ning yang berada tak jauh dari keduanya. Ia bisa melihat gelaga
Wira menunggu Ayu yang sedang bersiap untuk pulang ke rumah ayahnya. Ia merasa sangat gugup karena akan berbicara serius dengan Ayah Ayu dan meminta ijin untuk menikah dengan Ayu. Rasanya benar-benar membuat Wira gugup tidak karuan.Sementara Ayu masih berada di kamarnya. Ia berganti pakaiannya dan menyiapkan apa yang ingin ia bawa ke rumah ayahnya. Tiba-tiba saja Ayu teringat saat dirinya meminta ijin untuk menikah dengan Wira di depan ibunya dan budhe. Terlebih saat melihat kebahagiaan keduanya akan kabar bahagia itu.Dan hal itu membuat Ayu merasa gugup menantikan senyum bahagia di wajah ayahnya saat mendengar kabar bahagia itu. Ayu pun bergegas memasukkan semuanya saat menyadari dirinya sudah terlalu lama di dalam kamar.Setelah selesai, Ayu pun pamit pada Ibunya dan Budhe yang sedang berbincang dengan Wira. Mereka terlihat sangat akrab terlebih Wira yang sangat bisa mengimbangi kedua wanita tua itu.“Sudah selesai?” tanya Wira saat melihat Ayu datang dengan berganti pakaian dan
Danang pulang ke rumahnya. Ia berjalan dengan gontai dan tidak bersemangat. Hatinya benar-benar kacau. Ia tidak mengerti, bagaimana bisa Ayu sangat kejam dan tega terhadapnya. Danang yang sudah memberanikan diri untuk datang dan meminta kesempatan kedua, tapi Ayu tak memberikannya.Ayu justru memilih bersama dengan pria lain yang lebih kaya darinya. Bagaimana bisa, Ayu berubah hanya dalam hitugan hari? Cinta yang mereka rajut selama ini benar-benar tidak berbekas di dalam hati Ayu kah? Atau jangan-jangan Ayu memang tidak pernah tulus padanya.Hingga diberi rintangan seperti ini, dan ditawari pria lain yang lebih mapan darinya membuat Ayu mudah sekali berpaling darinya. Danang yang sangat emosi langsung membanting semua barang-barang yang ada di rumahnya.Ia menendang bantal, melempar semua perabotan hingga seluruh ruangan rumahnya berantakan seperti terkena badai topan. Mata Danang memerah menyiratkan amarah yang sangat besar. Ia benar-benar tidak terima akan perlakuan Ayu terhadap di
Berhari-hari Danang meratapi kegalauannya yang ditinggal menikah oleh Ayu. Tak terasa hari sudah memasuki weekend. Kali ini ia tidak lagi memangku tangan dengan memikirkan mantan kekasihnya. Pagi ini ia tengah prepare untuk pergi ke Tawangmangu. Ada acara gathering dengan teman-teman kantornya. Daripada terus larut dalam kesedihan. Danang akan mencoba keluar dari zona tidak nyamannya. Bersenang-senang dan melupakan sejenak. Grup chat kantornya sudah ramai. Menentukan titik berangkat bersama. Ia menuliskan pesan akan jalan secepatnya. “Bu, Danang izin keluar, ya, ada acara gathering di Tawangmangu,” ucapnya setelah izin pada Ibu Asih. “Berapa hari, Nduk?” “Dua hari, Bu. Danang pamit dulu.” “Hati-hati di jalan.” Danang niatnya akan menggunakan motor agar tidak terkena macet di jalan. Saat ia menaiki motornya, ponsel Danang berdering. Nama Dinda terpampang pada layar ponsel. Ia pun mengangkat telepon dari Dinda, teman kantornya. “Halo, Din, ada apa?” tanya Danang. “M
Danang kembali dari toilet. Ia melihat Dinda yang sudah menghabiskan makanannya setengah. Dirinya memang cukup lama di toilet. “Maaf, ya, lama.” Dinda mengangguk. “Ndak apa-apa, Mas. Dimakan makanannya, keburu dingin ndak enak.” Danang meminum jus jeruk terlebih dahulu. Kemudian menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Dinda terus memperhatikan Danang yang tengah makan begitu lahap. Ia tersenyum puas. Ia pun melanjutkannya makannya. “Aku jadi ngerepotin kamu gini, Mas. Maaf, ya, sebelumnya.” “Santai aja kali, Din. Kamu juga teman aku. Ndak usah sungkan.” Dinda mengaduk jusnya. “Yah, aku maunya, sih, lebih dari teman.” “Eh?” Danang menghentikan kunyahannya. Kemudian Dinda tertawa sumbang. “Ndak, Mas. Bercanda doang, kok. Lanjut makan lagi.” Danang menatap Dinda. Ia tadi sebenarnya debga4 apa yang telah diucapkan oleh Dinda. Namun ia sengaja pura-pura tidak dengar. Menurut Danang, Dinda adalah gadis cantik. Ia merasa menang gadis itu menaruh hati padanya. Sepe
Dalam sebuah rumah joglo yang dihuni tiga wanita. Terdapat satu gadis yang tengah mematut diri di depan cermin. Gaun hitam yang bagian dadanya cukup rendah, menampilkan kulit putih mulus nan lembut. Rambut yang digerai semakin membuat penampilan anggun dan elegan. Gaun berbahan brokat premium itu semakin berkelas dikenakan oleh Ayu. “Weh lahdalah. Ayu tenan anak ibu. Wangi juga kaya perawan,” puji Ibu Ratmi. Ayu memanyunkan bibirnya. “Aku emang masih perawan, Ibu ....” Ibu Ratmi menoel pipi Ayu. “Iya, Nduk. Kamu nanti jangan malu-maluin ibu ya di rumah Wira. Ingat, harus sopan dengan kedua orangtua Wira. Ambil hatinya juga jangan lupa. Ibu aja gampang ngasih restu ke kamu dan Wira. Jadi kamu harus bisa. Paham?” “Iya, Bu.” Suara derum mobil terdengar. Sepertinya itu adalah mobil Wira yang akan menjemput Ayu. “Nah, itu mobil Wira datang. Kamu udah selesai dandan ‘kan, Nduk?” “Udah, Bu.” Ibu Ratmi menggandeng anaknya keluar dari kamar. Ia sudah seperti menggiring Ayu
“Jangan dekat-dekat atau aku akan teriak,” ancam Ayu pada Egi yang mendekatkan wajahnya. Egi tidak takut dengan ancaman Ayu. Ia menyunggingkan senyum miring. “Teriak saja, aku bisa saja mengelaknya dan menjebak balik.” Ayu dalam posisi serba salah. Maju kena, mundur pun kena. Ia menoleh ke belakang. Berharap Wira cepat datang. “Cari siapa? Aku ada di sini, Cantik.” Egi memegang dagu Ayu. Ia hendak mengecup bibir Ayu. Ayu mendorong dada Egi. “Jangan macam-macam kamu.” Ia menunjukkan jari telunjuknya pada Egi. “Aku mau satu macam saja, Sayang.” Kini Egi membelai rambut halus Ayu. Tidak dapat dipungkiri, malam ini Ayu tampil cantik. Sampai Egi saja tidak bisa berpaling dari Ayu. Gadis yang menjadi tunangan Wira itu menyita perhatiannya. Ia jadi suka berlama-lama untuk menatap wajah Ayu dari dekat. Ayu bergidik ngeri mendengar ucapan Egi yang yang menyebut dirinya sayang. Laki-laki macam Egi memang sudah berpengalaman dalam merayu wanita. Namun Ayu tidak gampang dirayu beg
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep