“Dengarkan saja semua yang dikatakan oleh dia,” ucap Wira pada Ayu. Tunangan Ayu pun memalingkan wajah. Ia benar-benar kesal dengan tingkah lagu Egi sepupunya itu. Apa maksudnya menguliti semua borok Wira di depan ayu. Sejak dulu Egi memang selalu bersaing dengan Wira, dan tidak pernah menang. Dalam hal akademis, karir, kekayaan bahkan wanita pun juga bersaing. Karena selalu kalah, Egi pun kesal dengan Wira dan menganggap kalau Wira telah mengacau semuanya.Berulang kali Egi menyukai wanita, medekati mereka bahkan telah mengeluarkan banyak uang dan berkorban, tapi ujung-ujungnya mereka semua hanya memanfaatkannya untuk bisa dekat dengan Wira. Tampaknya dendam pada Wira sudah begitu mendalam sampai-sampai ia tak bisa menahan diri.Kini kehadiran Ayu benar-benar dimanfaatkan oleh Egi. Ia juga tertarik dengan Ayu dan ingin memilikinya. Wira memang terkenal playboy dan punya banyak perempuan. Tak jarang Wira keluar masuk hotel dengan perempuan yang dikencaninya, dan ketika bosan, ia a
Ayu berjalan terus meninggalkan Wira menuju balkon untuk menghirup udara segar. Wira pun membuntuti Ayu, dan berusaha untuk kembali merebut hatinya.Perasaannya pada Ayu adalah murni, ia sama sekali tidak bermain-main. Gadis ini benar-benar berbeda dari yang pernah dikencaninya selama ini.Kalau memang Wira ber niat main-main dengan Ayu, sudah dari dulu ia melakukan perbuatan terlarang seperti wanita yang dulu dikencaninya. Beberapa kali ia diminta untuk menginap ke rumah Ayu oleh Bu Ratmi, tapi sama sekali ia tidak pernah macam-macam.Jangankan membawa Ayu ke tempat tidur, berciuman saja mereka belum pernah. Ayu benar-benar suci di mata Wira. Ia berusaha keras untuk menahan diri tidak berbuat mesum pada gadisnya.Kini kehadiran Egi mengacaukan segalanya, dan Wira benar-benar takut kalau harus kehilangan Ayu. “Yu, tolong jangan tinggalkan aku. Kamu boleh bertanya hal yang masih kamu ragukan.” Ayu tak menghentikan langkahnya. Ia terus berjalan. “Yu,” panggil Wira menahan tanga
Di sebuah kamar hotel, terdapat dua insan yang sama-sama tidak mengenakan pakaian secara utuh. Siapa lagi kalau bukan Dinda dan Danang. Danang yang tadinya tertidur pulas pun tiba-tiba terbangun. Ia mengerjapkan kedua matanya. Pandangan awalnya mengabur. Danang pun mengucek matanya berkali-kali agar lebih jelas. Danang sangat terkejut mendapati Dinda yang ada di sampingnya dengan keadaan tidak memakai baju, hanya ada pakaian dalam saja.“Hah, Dinda tidak pakai baju? Kok bisa?” tanyanya keheranan. Danang melihat ke arah badannya. Ia hanya mengenakan celana dalam saja. Ia pun segera bangun dari rebahannya.“Tidak, ini tidak mungkin kenapa aku bisa seperti ini bersamanya,” Dinda yang kaget dengan pergerakan Danang pun membuka matanya. Ia mengernyitkan dahi melihat sekitarnya. Ia pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia menoleh ke arah tubuhnya kemudian Dinda menegakkan punggungnya seraya menutupi dadanya dengan selimut. Ia menatap Danang penuh tanya. “Kamu ngapain aku,
“Apa yang harus dipertanggung jawabkan? Aku tidak melakukan apa-apa. Buktinya saja sudah jelas, lihat sprei ini, semua masih rapi!” tanya Danang pada Dinda. Kali ini ia mulai bicara dengan nada tinggi. Dinda melongo. Ia tidak habis pikir dengan cara berpikir Danang. Mengapa dia tidak juga percaya pada dirinya. “Mas, aku saja ingat sekali saat kamu bawa aku ke sini dan paksa aku buat muasin nafsu bejat kamu. Sekarang kamu masih menyangkal akan hal ini? Kenapa kamu bersikap seperti itu?” ungkap Dinda dengan nada yang tak kalah tinggi. “Hah? Jangan halu, Dinda. Aku tidak merasa melakukan apa-apa padamu.” Danang masih bersikeras untuk mengelak fakta yang Dinda ucapkan. Kalau memang ia dirinya melakukan sesuatu pada Dinda. Pasti juga berbekas pada dirinya. Danang tidak menemukan jejak apa pun 0ada tubuhnya.Dia sendiri sangat yakin kalau bercak merah di tubuhnya ini bukan perbuatan Danang. Tentunya kalau Danang melakukannya, ia pasti akan bisa merasakan. Setidaknya tubuhnya akan t
Suasana begitu kaku setelah Dinda tidak kembali lagi ke acara gathering. Keduanya tidak lagi bertegur sapa. Dinda pun mengembalikan ponsel Danang lewat temannya.Ini benar-benar pemandangan yang tak biasa, karena selama ini jika Dinda harus berurusan dengan Danang, ia selalu antusias. Kini malah berkesan untuk menghindar dari sales manager itu.“Emang dia kenapa sih? Kesambet ya?” tanya salah satu peserta gathering yang melihat kejanggalan antara Dinda dan juga Danang. Setiap Dinda berpapasan dengan Danang. Dia selalu menunduk. Perasaan Dinda selalu malu ketika bersitatap langsung dengan Danang. Perempuan dengan rambut berwarna itu seakan berusaha untuk menghindar dari Danang, tak lagi punya keberanian untuk saling beradu pandang. Danang terus menatap ke arah perut Dinda saat mereka berpapasan. Ia selalu bertanya-tanya dalam hati. Apakah dirinya benar melakukan hal itu pada Dinda? Namun hati kecilnya selalu berkata kalau ia tidak yakin akan hal itu.“Kok kayaknya nggak ada peruba
“Aku yakin sih kamu nggak hamil, karena aku bener-bener inget kalau aku nggak melakukan apa-apa sama kamu.”"Huh, terserahlah Mas mau ngomong apa, aku nggak peduli lagi. Lagian aku nggak butuh belas kasihan darimu Mas," jawab Dinda kemudian beralih. Dinda dilanda bingung saat Danang menyarankan untuk membeli testpack. Ia takut ketahuan dirinya tidak benar-benar hamil. ia yakin betul kalau misalnya dia hamil sudah pasti ini anaknya Wira bukan Danang. Karena memang saat itu Danang dan Dinda memang tidak melakukan apa-apa.Saat itu Dinda memang memberikan obat tidur pada makanan dan minuman Danang, hingga akhirnya Danang pun tidak sanggup membuka mata. Saat itu kedua mata Danang terasa berat dan membuatnya tidak sanggup untuk mengemudi.Saat itu Dinda berinisiatif untuk mengemudikan mobil Danang, tapi mereka berdua tidak kembali ke villa tempat gathering. Ia justru membelokkan mobilnya ke arah hotel yang memang sudah dipesan olehnya. saat berada di hotel Danang pun sempat mengusap mat
Telinga Danang terasa panas begitu mendengar berita yang santer di kantornya saat itu. Ia berulang kali menghembusan napas panjang mencoba menahan emosi di dadanya. Tak tahan rasanya Danang untuk menahan amarah, jika tidak ingat sedang di kantor, mereka sudah dihajar habis-habisa oleh Danang."Eh, kalian tahu nggak? Itu loh, rumor tentang Pak Danang yang maksa Mbak Dinda untuk terlibat hubungan semalam!"Langkah kaki Danang terhenti saat suara bisikan yang tak enak didengar di telinganya, sehingga siapapun di dalam ruangan 5×5 tersebut dapat mendengarnya. Dia memutuskan tuk melipir, bersembunyi di balik tembok dan menguping pembicaraan para kurcaci tersebut.Dia pun menutupi sebagian bawahnya menggunakan kertas yang dibawa."Mmm aku dengar sih memang begitu. Emang bener ya Pak Danang suka dan Bu Dinda ada hubungan khusus, eh tapi bukannya Pak Danang dan Bu Dinda itu udah deket, Bu Dinda juga dengernya ngejar-ngejar Pak Danang kan?"Decakan sinis terdengar dari wanita yang memulai gosi
“Selamat siang Pak,” kata Danang begitu dipersilakan masuk oleh kepala cabang.Pria di hadapannya tampak sinis memandangnya. Jelas kalau ada sesuatu yang tidak menyenangkan terdengar olehnya.Danang menghela napas panjang mencoba untuk menyiapkan mentalnya.“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Pak Bambang selaku kepala cabang tempat Danang bekerja.Sebenarnya Danang menduga kalau kedatangannya ada hubungannya dengan gosip yang saat ini sedang beredar di kantornya. Namun ia tak mau mendahului dan berpura-pura tidak tahu kenapa ia dipanggil.“Saya tidak tahu Pak, apakah ini ada kaitannya dengan pengajuan cuti saya?” tanya Danang sopan.“Hmm ya memang begitu. Namun sebelumnya saya ingin tahu tentang kebenaran cerita yang saat ini beredar. Apa benar kalau kamu melakukan pelecehan terhadap Dinda?” tanya Pak Bambang.Danang pun menghela napas panjang, “Pertanyaan ini lagi,” gumamnya.Ia benar-benar lelah dengan cecaran seperti ini. Belum juga Danang menjawab pertanyaan Pak Bam
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep