“Selamat siang Pak,” kata Danang begitu dipersilakan masuk oleh kepala cabang.Pria di hadapannya tampak sinis memandangnya. Jelas kalau ada sesuatu yang tidak menyenangkan terdengar olehnya.Danang menghela napas panjang mencoba untuk menyiapkan mentalnya.“Kamu tahu kenapa saya memanggilmu ke sini?” tanya Pak Bambang selaku kepala cabang tempat Danang bekerja.Sebenarnya Danang menduga kalau kedatangannya ada hubungannya dengan gosip yang saat ini sedang beredar di kantornya. Namun ia tak mau mendahului dan berpura-pura tidak tahu kenapa ia dipanggil.“Saya tidak tahu Pak, apakah ini ada kaitannya dengan pengajuan cuti saya?” tanya Danang sopan.“Hmm ya memang begitu. Namun sebelumnya saya ingin tahu tentang kebenaran cerita yang saat ini beredar. Apa benar kalau kamu melakukan pelecehan terhadap Dinda?” tanya Pak Bambang.Danang pun menghela napas panjang, “Pertanyaan ini lagi,” gumamnya.Ia benar-benar lelah dengan cecaran seperti ini. Belum juga Danang menjawab pertanyaan Pak Bam
Ayu sedang menatap layar komputernya dan berkutat dengan angka-angka di sana. Saat itu ia tengah mengoreksi catatan pengeluaran di kantor Wira. Di tengah kesibukannya ia ditegur oleh akuntan senior yang menyapanya sambil mengajak seorang perempuan muda dengan pakaian putih hitam, seragam khas anak magang."Mbak Ayu, ini Dik Ningsih, pegawai baru dan akan join di tim kalian ya. Mohon dibantu untuk beradaptasi."Ayu menoleh, dia segera berdiri dari duduknya. Menyambut kehadiran kepala bagian bersama seseorang bernama Ningsih tersebut."Siap, Bu,” kata Ayu kemudian membungkuk hormat.”"Baiklah. Ningsih kamu belajar dengan Mbak Ayu ya!" perintahnya kepada staf baru di kantor itu.Ayu tersenyum manis seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah Ningsih yang masih malu-malu."Hallo, Mbak. Saya Ayu, silakan duduk, di situ meja kerja Mbak. Mmm sebelumnya sudah bekerja dimana?" tanya Ayu sambil menunjukkan meja kerja yang berada di samping Ayu."Saya Ningsih, Mbak. Masih berusia 23 tahun, fresh
Menggunakan masker, topi, plus pakaian casual saat ke kantor, sukses membuat Wira tidak dikenali oleh pegawai lainnya. Dengan santai, dia turun ke lantai bawah memakai lift karyawan.Hari ini, dia cuti setengah hari. Wira tengah mempersiapkan acara rahasia untuk Ayu.Saat di lift, pembicara karyawan mengundang rasa penasaran Wira. Sebabnya, mereka tengah menggosipkan sesuatu dengan membawa Ayu.Wira mempersiapkan telinganya untuk menguping~"Wih, serius bunga? Dari siapa coba?""Cowok barunya lah~""Ngaco lo, Sar!""Is, aku serius loh. Padahal kemarin ada rumor kalau Mbak Ayu sama Pak Wir, kan? Lah, barusan saja gue terima paket dari cowok untuk dia.”“Itu bukan rumor, Pak Wira emang tunangannya Mbak Ayu "Emang dari cowok beneran, Sar?""Ya, gatau, sih. Tanpa nama, tapi pas Mbak Ayu nerima tuh jadi salah tingkah gitu. Mukanya merah banget .., siapa lagi coba kalau bukan dari penggemar rahasianya?”Saras menunjukkan tanda bukti di tangannya. "Nih, punya kurir yang masih di depan!!""I
"Ohoo, ketahuan kamu ya Mas? Ini dari kamu kan?" Ayu menatapnya mengejek"Astaga, bener loh, Ay. Aku enggak pesan apapun, malah, ini atas namamu," jelas Wira sedikit frustasi. Sejujurnya ada perasaan cemburu pada diri Wira saat melihat Ayu menerima hadiah misterius untuknya."Bohong, tapi kamu kok yang bawa ke sini~"Wira mengacak-acak rambutnya. "Aku benar-benar serius, Ayu. Aku enggak beli dan ketemu kurirnya di pos satpam. Karena tahu ini buat kamu,jadi aku bawa sekalian kemari,” jelas Wira.Ayu jadi memikirkan segalanya, dia tidak jadi minum boba red velvet yang sangat menggoda itu lalu membuang semua makanan ke kotak sampah."Lah, kok?""Aku takutnya ada racun, lagian, dari orang gak dikenal," jawab Ayu santai.Mereka sedikit berdebat satu sama lain, masih di depan ruang rapat, untung saja hanya ada mereka berdua.Ayu berjalan ke ruangannya diikuti oleh Wira yang berusaha mengajak berbicara.Namun, sesaat Ayu ingin membuka pintu, dia berbalik. "Diem ya? Aku mau ambil sesuatu dul
Anang Besti : Terserah lo saja dah, Yu. Gue sudah jujur ya, tapi kalau mau memastikan sendiri sama Danangnya sendiri mah, oke-oke saja.—Ayu menghela napas singkat, dia memejamkan mata erat kala pesan Agil kembali masuk ke dalam ponselnya. "Haduh, bagaimana ini ya? Aku bingung banget, di satu sisi, aku malas bertemu Danang tuk mengatakan ini. Tapi, di sisi lain, aku enggak mau kalau Mas Wira jadi salah paham begini~"Dia dengan puas mencurahkan pikiran tanpa memikirkan sekitar, sebab, Ayu tengah di ruangan Wira sendirian. Pria itu harus rapat dengan klien yang tiba-tiba merubah schedule secara mendadak. Mau tak mau, dia harus ditinggalkan sendirian."Hmm, atau aku suruh Anang jadi mata-mata saja ya? Eh, tapi kata Mas Wira, dia bisa saja bohong karena kami teman, kan?"Dia berjalan mondar-mandir di depan meja kerja Wira dengan frustasi. "Akhh~ Anang kan ember alias lambe turah jika masalah sepele macam spy, gimana dong ya? Dia nggak bisa diandalkan untuk permintaan begini.""Huh, Anan
Ayu melirik ke arah Wira dan ini kali pertamanya ia melihat calon suaminya itu tampak tidak bersahabat. Wajah Wira tampak memerah karena menahan amarah. Ia benar-benar yakin kalau yang melakukan itu adalah Danang.“Ini nggak bisa dibiarkan Yu,” runtuk Wira lalu meraih kunci mobilnya dan segera bergegas untuk pergi.“Mau kemana Mas?” tanya Ayu yang terlihat khawatir.“Ke rumah Danang lah, aku mau buat perhitungan dengannya. Berani benar dia mengganggumu. Kalau sekedar mengirim hadiah okelah aku masih bisa menerima. Wajar saja namanya orang ngefans, walau aku cemburu tapi setidaknya itu masih sopan. Namun apa yang dilakukannya ini benar-benar mengancam keselamatanmu, dan aku tak bisa menerima hal ini Yu,” kata Wira dengan tegas."Mas, kamu memangnya tahu di mana rumah Danang?" tanya Ayu bingung setelah memasang sabuk pengaman.Wira mengangguk mantap. "Tahu, baru saja tanya ke siapa itu .., gila?"Ayu terkekeh kecil. "Agil," ucapnya meralat."Sama saja, cuma di balik saja itu mah." Wira
Mendung menggelap di wajah Danang usai dipanggil oleh Pak Bambang. Hatinya gundah bukan kepalang karena diskorsing dari pekerjaan. Saking kesalnya lelaki itu memukul setir mobil yang dia kendarai. "Aaarrgh ... lihat aja begitu aku tahu siapa dalang kejadian ini, kubikin remuk tanpa ampun!" Danang meremas rambutnya dengan tangan kiri seraya memaki.Masih dalam keadaan marah, Danang menghubungi Ayu. Cuma pada perempuan yang masih dikasihinya itu dia bisa bercerita. Saat ini dia butuh Ayu untuk mendengarkannya. Dipencetnya tombol pengeras suara setelah panggilan teleponnya direspon."Halo, Yu ... repot nggak?" tanya Danang langsung."Nggak sih. Ada apa, Mas? Tumben jam segini ngubungin aku?" jawab Ayu di ujung sambungan telepon."Bisa ketemu selepas magrib? Di cafe biasanya. Penting. Please," pinta Danang."OK. Aku langsung ke sana. Udah dulu ya. Ada ibuku." Ayu memutus sambungan telepon begitu saja."Siaap! Kenapa masih hidup aja sih itu ibunya Ayu!" Lagi-lagi Danang memukul setir mobi
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep