Carlos berusaha menenangkan dirinya sendiri, lalu mulai menyantap makanannya. Begitu suapan pertama masuk, aroma daging iga asam manis itu nyaris membuatnya pingsan saking nikmatnya. Perasaan puas dan bahagia langsung mencapai puncak.Dari samping, terdengar suara makan yang semakin cepat dan rakus. Orang yang tidak tahu mungkin akan mengira ada yang sedang kelaparan. Tamara menoleh sekilas, ekspresinya tidak bisa menyembunyikan rasa jengkelnya.Seberapa dalamnya perasaan cinta Tamara pada pria ini dulu, sebesar itu juga kebenciannya pada Carlos sekarang. Hanya saja, untuk saat ini, dia belum bisa pergi. Dia masih harus menumpang hidup di rumah Carlos.Hanya dalam waktu 10 menit, tiga jenis lauk, sepiring nasi, dan semangkuk sup itu dihabiskan Carlos hingga tak bersisa.Dengan puas, dia menyeka mulut dan tangannya dengan tisu basah. Sementara itu, Tamara sudah maju untuk membereskan kotak makan. Setelah itu, dia langsung berbalik dan pergi tanpa banyak bicara.Melihat betapa cepatnya T
"Memangnya dulu kamu pernah peduli sama aku?" tanya Tamara dengan ekspresi datar saat mendongak menatapnya.Carlos terdiam seketika dan ekspresinya tampak tercengang.Tamara kembali ke kamar tamu kecil dan meninggalkan pria itu berdiri terpaku di tempat. Tatapannya kosong. Namun, tebersit sorot mata penyesalan dan rasa bersalah di dalamnya.Melihat Carlos pulang lebih awal, Tamara pun bersiap untuk keluar membeli bahan makanan."Kamu mau ke mana?" tanya Carlos saat melihat Tamara baru saja pulang, sekarang malah hendak pergi lagi."Supermarket," jawab Tamara dengan suara datar.Dulu, Carlos tidak pernah peduli, bahkan hampir tidak pernah berbicara dengannya. Entah kenapa hari ini dia jadi banyak bicara.Setelah mendapatkan jawabannya, Carlos melihat tas belanja berbahan kain di tangan Tamara. Tiba-tiba, dia juga ikut-ikutan memakai sepatu dan diam-diam mengikuti dari belakang.Suara langkah kaki terdengar dari belakang, tapi Tamara tidak menoleh. Mereka pun sampai di lift bersama. Tama
Setelah menjemput Verona dan tiba di rumah, Carlos mendapati Tamara sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Dia masuk ke dapur dan berdiri di samping Tamara sambil memperhatikannya menggoreng masakan.Bahkan, dia sempat mencuri sepotong daging sapi rebus. Jarak mereka begitu dekat hingga nyaris bersentuhan.Di pintu dapur, Verona yang melihat pemandangan ini sontak menggertakkan giginya dengan kuat. Entah itu hanya perasaannya atau bukan, Verona merasa Carlos jadi semakin dekat dengan Tamara sejak kepulangannya."Rara, kamu lagi masak apa? Wanginya ...." Verona tersenyum tipis sambil menyelip di antara kedua orang itu."Carlos ini ya, kamu baru pulang masa langsung nyuruh Rara masak? Seperti pembantu saja," ucap Verona sok membela.Sorot mata Tamara tampak dingin. Dia paham bahwa Verona sedang menyindirnya."Masak itu memang tugasnya," jawab Carlos seolah-olah itu adalah hal yang wajar."Kamu ini ya .... Sepertinya kamu merasa masakanku nggak enak ya? Selama Rara dirawat set
"Tamara, kamu kenapa sih? Tambah garam lagi?" tanya Carlos sambil menoleh."Duh, dua masakan lainnya juga asin sekali ...." Verona ikut mencicipi dan langsung berkomentar.Kemudian, dia menatap Tamara sambil menggigit bibirnya, lalu berkata pelan, "Satu hidangan asin mungkin masih bisa dibilang nggak sengaja, tapi kalau semuanya asin ....""Rara, aku tahu kamu nggak senang lihat aku makan masakanmu. Tapi Carlos juga harus makan, lho. Kamu begini ...."Verona berpura-pura menahan diri, lalu mengubah ekspresinya menjadi seolah-olah besar hati dan menoleh ke Carlos, "Carlos, jangan marah ya .... Rara cuma cemburu sama aku. Aku numpang di rumah kamu, terus minta dia masakkin juga .... Dia cuma terlalu cinta sama kamu.""Tamara, kamu ini umur berapa? Masih main beginian? Kekanak-kanakan sekali kamu ini?" bentak Carlos sambil menepuk meja dengan keras."Verona cuma numpang sebentar. Bukannya aku sudah bilang dari awal? Gantiin kamarmu juga cuma sementara. Bisa nggak kamu lebih dewasa sedikit
"Carlos, jangan ngomong lagi ...," pungkas Verona.Di dalam kamar, Tamara diam-diam mengambil earphone, memutar musik, dan memutuskan untuk tidak menggubris semua percakapan mereka. Terserah saja kalau mereka mau sandiwara, tapi dia sama sekali tidak tertarik untuk menontonnya.Dua jam pun berlalu begitu saja. Tamara berniat pergi cuci muka dan sikat gigi lebih awal agar tidak bertemu dengan dua orang itu.Saat membawa perlengkapan mandi ke luar kamar, dia mendengar obrolan mesra Carlos dan Verona dari ruang tamu. Begitu mendengar suara pintu, Carlos menoleh dan langsung melihat pintu kamar mandi tertutup.Hari ini, Tamara terasa sangat berbeda. Bukannya sedang marah, tapi lebih terkesan seperti tidak acuh.Selama Tamara berada di kamar mandi, Carlos terus menatap pintunya. Di sisi lain, Verona yang melihatnya begitu terpaku, matanya sekilas memancarkan tatapan penuh dengki.Sepuluh menit berlalu, saat pintu kamar mandi terbuka, Carlos langsung berdiri dan melangkah cepat untuk mendeka
Carlos masuk dapur, mencoba mengakali sedikit makanan. Nasi sisa diseduh dengan air panas. Jangan salah, rasanya ternyata lumayan juga. Mungkin karena nasi itu dimasak oleh Tamara? Rasanya manis dan harum saat dimakan.Keesokan paginya, saat Tamara bangun lebih awal seperti biasa, dia langsung sadar nasi di penanak nasi tinggal setengah. Dia mengernyit sambil mencoba mengingat.'Apa nasinya terbuang sedikit waktu aku buang lauk semalam ya?'Tamara malas memikirkan lebih lanjut. Karena nasinya tidak cukup lagi untuk dimasak nasi goreng, dia akhirnya menggoreng telur dan sosis.Carlos bangun pagi-pagi demi sarapan. Namun, saat melihat menunya ternyata adalah makanan barat, dia langsung mengernyit. "Kenapa bukan nasi goreng?""Nasinya nggak cukup," jawab Tamara dengan tanpa ekspresi.Carlos terdiam sejenak saat teringat bahwa dia yang menghabiskan nasinya semalam. Dia merasa bersalah, tetapi tidak berani mengakuinya. "Kalau begitu, yang sisa itu tetap masakkin nasi goreng untukku saja."T
"Kaget karena lihat aku yang datang ya?" Verona tersenyum, lalu berkata dengan setengah bercanda, "Atau kamu kecewa karena yang datang bukan Rara?"Carlos langsung mengerutkan kening. Tanpa berpikir panjang, dia membantah, "Mana mungkin. Jangan buat aku jijik."Verona tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat. Saat itu Carlos menambahkan, "Ngantar makanan itu kewajiban dia. Masa aku pelihara dia cuma untuk numpang hidup? Aku cuma nggak mau kamu capek, kamu nggak seharusnya kerjakan hal begitu.""Aku cuma sekalian lewat saja, kok. Lagi pula, belakangan ini aku nggak ada jadwal peragaan busana, jadi cuma kerja setengah hari," jawab Verona."Taruh saja di meja. Nanti aku suruh asisten antarin kamu ke studio," kata Carlos sambil bangkit menuju sofa."Nggak usah buru-buru, aku temanin kamu sebentar ya," kata Verona sambil tersenyum dan duduk merapat di sebelahnya.Carlos tidak menjawab. Begitu kotak makan dibuka, aroma yang sedap langsung menyebar. Dia mencicipi sesuap makanan dengan hati-ha
Resepsionis itu menundukkan kepala dan tidak berani membantahnya. Ihsan yang mengikuti di belakang Verona, memutar matanya dengan sinis saat melihat sikap Verona yang angkuh ini. Bahkan istri sah saja tidak searogan pelakor ini. Hanya saja, entah kenapa Carlos menyukai wanita ini ....Saat ini, di rumah.Tamara sedang sibuk memperbarui dan menyunting CV miliknya. Ada celah dua tahun di riwayat kerjanya. Meskipun dia bisa saja masuk lewat koneksi perusahaan kakak seniornya, tetap saja bagian HR harus menyetujuinya dulu.Ponselnya sudah bergetar tujuh atau delapan kali. Tamara bahkan tidak meliriknya sama sekali.Pasti Carlos lagi. Mungkin terlalu senggang sehabis makan, sekarang dia mulai bertingkah lagi. Marah-marah sambil membela Verona-nya. Memangnya tadi siapa yang nyuruh Verona ngantar makanan? Jelas-jelas dia sendiri yang ngotot ingin pergi.Namun, karena dokumen perceraian sudah diberikan, Tamara pikir seharusnya Verona tidak akan main kotor lagi dengan meracuni makanan lalu menj
Di lorong, Verona mengepalkan tangannya hingga kukunya menusuk telapak tangannya. Pada akhirnya, dia kembali ke kamarnya dengan amarah meluap-luap. Kemudian, dia menelepon Tamara berkali-kali.Namun, tak peduli berapa kali dia menelepon, yang terdengar hanya suara operator otomatis. Mengirim pesan pun tak dibalas. Verona hampir gila karena marah.Di kamar utama, Carlos mandi dengan wajah muram. Dia kembali menelepon Ihsan, menanyakan apakah ada perkembangan. Mendapat jawaban yang sama seperti sebelumnya, dia frustrasi dan melempar ponselnya ke sofa.Carlos berbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lebar. Dia tidak mungkin bisa tidur. Tamara sudah pergi sejak kemarin dan malam ini adalah malam kedua.Begitu dia membayangkan kemungkinan Tamara sedang bersama pria sialan itu, mungkin tidur sekamar, berciuman, atau bahkan ....Kepalanya seperti mau meledak. Amarahnya menghanguskan sisa-sisa rasionalitas yang masih tertinggal.Di kamar sebelah, Verona juga tidak bisa tidur. Tak lama kemu
Verona menunduk melihat bekas jari merah di lengannya, lalu berpura-pura tidak tahu dan bertanya, "Sebenarnya ada apa sih?"Carlos duduk di sofa. Kepalanya tertunduk, seluruh tubuhnya seperti diliputi kekecewaan. Dia bergumam pelan, "Tamara ... sudah pergi.""Tamara 'kan di rumah sakit, kamu masih mabuk ya?" balas Verona."Nggak, dia nggak di rumah sakit. Kata perawat, dia sudah keluar dari kemarin pagi," ucap Carlos linglung."Eh? Masa sih? Kok kita nggak tahu apa-apa?" Verona berpura-pura terkejut."Kamar dia sudah diberesin. Dia cuma ninggalin ponsel yang kubelikan sama ...." Carlos terdiam, suaranya semakin lirih."Sama apa?" Verona sengaja memancing.Carlos menggertakkan gigi, mengepalkan tangannya sambil berkata, "Kertas-kertas nggak berguna. Fotokopian. Dia pikir bisa menakutiku pakai itu? Dasar bodoh!"Verona yang mendengar kata fotokopian itu langsung mengernyit. Fotokopi? Bukannya itu surat cerai?Dia buru-buru berdiri dan berjalan ke kamar Tamara. Begitu masuk, dia melihat se
Tamara sampai tidak sanggup lagi berkomentar. Menikah dan hidup selama dua tahun dengan orang seperti Carlos. Kalau hal ini tersebar, dia sendiri yang malu."Rara, kamu ngapain sih?" Zoya datang sambil membawa bir. Begitu melihat ekspresi Tamara yang tampak pasrah, dia tak kuasa bertanya."Nggak apa-apa. Cuma kesal gara-gara sales tolol," jawab Tamara sambil tersenyum.Dia sendiri juga cari masalah. Sudah tahu Carlos mengirim permintaan pertemanan, seharusnya jangan dibaca satu per satu."Makanya, aku bilang biar aku maki sales itu. Kamu sih terlalu baik sampai nggak tega nolak." Zoya duduk dan membuka birnya."Sudah aku tolak, sudah aku hapus juga. Cuma ... tetap saja kesal liat isi pesannya," sahut Tamara.Mereka bersulang, lalu Tamara melemparkan ponselnya ke samping, tak lagi menyentuhnya.Tamara sama sekali tidak peduli, sementara Carlos benar-benar emosional. Dia marah, gelisah, dan mengamuk sendiri."Bagus, Tamara! Kamu pikir aku cuma bisa ngancam doang? Kamu kira aku siapa hah?"
Kapan dia tanda tangan? Tamara sama sekali tidak pernah memberinya dokumen itu! Kalau memang sempat melihatnya, mana mungkin dia akan menandatanganinya!Otak Carlos berputar-putar, berusaha mengingat bagian mana yang salah. Jemarinya memainkan sobekan kertas itu. Tiba-tiba, dia merasa ada yang aneh dengan teksturnya. Tanda tangan itu tidak ada goresan tinta. Itu ....Carlos mendekatkan kertas ke matanya, menatap lebih saksama. Ini salinan?Dia menggosok permukaannya beberapa kali, ternyata itu memang hasil fotokopi. Kepanikannya sempat mereda sesaat, tetapi segera berubah menjadi kemarahan membara."Tamara! Gila kamu! Berani-beraninya pakai salinan palsu buat menipuku!" Carlos menggertakkan giginya.Barusan, dia benar-benar mengira itu surat cerai dengan tanda tangannya yang asli. Ternyata ini hanya permainan bodoh wanita itu! Dia malah bingung dan panik sendiri.Tidak, dia bukan panik! Hanya kesal dan tidak bisa ingat kapan dia menandatanganinya, itu saja!Carlos berdiri lagi, menatap
Kenapa dia tidak tahu?"Kamu siapanya Bu Tamara?" Suster yang melihat reaksinya seperti itu, tak bisa menahan diri untuk bertanya."Aku ... suaminya," gumam Carlos dengan suara pelan.Suster itu mengernyit, mengamati pria itu dari atas sampai bawah, tampak tidak terlalu percaya. "Kalau kalian suami istri, kok kamu nggak tahu dia sudah keluar rumah sakit?" tanya suster itu lagi.Carlos tidak menjawab. Tatapannya kosong, pikirannya mendadak hampa. Beberapa detik berlalu begitu saja sampai akhirnya dia tiba-tiba tersadar dan langsung berlari turun ke lantai bawah.Kalau Tamara sudah keluar rumah sakit sejak kemarin pagi, kenapa dia tidak pulang? Selimut dan bantal yang hilang itu dibawa ke mana? Apa dia tinggal di tempat lain? Di kota ini, dia tidak punya kenalan. Apa dia sewa tempat tinggal baru?Namun, Tamara sudah dua tahun tidak bekerja. Dari mana uang untuk menyewa tempat tinggal? Dari Arham? Tidak, bisa jadi ....Tamara tinggal bersama kakak kelasnya itu!Begitu pemikiran itu terlint
Carlos mengepalkan bibir, ragu-ragu dan bimbang selama beberapa menit. Pada akhirnya, dia memutar arah dan mengemudi pulang.Tamara tidak mengangkat teleponnya. Apakah karena dia memang tidak punya ponsel atau karena sengaja memblokirnya?Carlos sudah membelikannya ponsel baru. Jika Tamara tidak ada di rumah, berarti dia membawa ponselnya. Kalau begitu, kemungkinan besar wanita itu memblokirnya. Setidaknya kalau bertengkar, dia tidak akan kalah telak.Namun, jika ternyata Tamara memang tidak memakai ponsel itu .... Bagaimana dia melewati hari-harinya di rumah sakit? Melihat komputer?Dengan sedikit harapan untuk membuktikan pikirannya sendiri, Carlos kembali ke apartemen. Dia naik lift ke atas, membuka pintu, dan langsung menuju kamar tamu.Pintu tak terkunci. Begitu didorong, dia langsung terpaku. Selimut dan bantal di atas ranjang sudah tidak ada, hanya menyisakan kasur polos.Carlos membeku. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat, punggungnya menegang, ada rasa panik yang muncul tanpa
Carlos memandang ke arah pintu, terpaku dalam lamunannya. Menghadapi perasaannya sendiri? Apa maksudnya? Kapan dia pernah tidak menghadapi perasaannya?Menyesal? Apa yang perlu dia sesali? Konyol sekali. Selama hidupnya, dia belum pernah menyesali satu pun tindakannya!Carlos mengambil dokumen di sampingnya, tetapi tak satu pun bisa dia baca dengan benar. Dia meletakkan ponselnya tepat di tengah meja, memastikan tak akan melewatkan satu pun panggilan.Namun, selama sejam berikutnya, yang menelepon hanyalah bawahan, bukan orang yang dia tunggu.....Di sisi lain, sore hari.Tamara sedang berbelanja kosmetik bersama Zoya. Mereka membeli kosmetik, parfum, tas, serta perhiasan. Setelah puas, mereka makan hot pot bersama.Di atas meja, ponsel Tamara bergetar lagi. Dia melirik sekilas, lalu menutup layar dengan telapak tangan."Kenapa nggak diangkat? Siapa yang telepon?" tanya Zoya dari seberang meja."Cuma telepon promosi nggak jelas," jawab Tamara dengan senyuman tipis.Sebenarnya itu adala
Di tengah gejolak emosi dan pertentangan batin, akhirnya egonya yang mengambil alih. Carlos menghapus noda kopi di mejanya dengan wajah masam."Tamara sekarang benar-benar hebat ya. Empat hari berturut-turut bersikap begitu. Dia sudah lupa siapa dirinya ya," dengus Carlos sambil bergumam pada diri sendiri."Dengan temperamen seperti itu, kalau di keluarga lain pasti udah diusir dari dulu. Nggak punya latar belakang atau kekuatan apa pun, tapi nggak tahu diri mempertahankan posisi sebagai Nyonya Suratman.""Punya mulut tapi nggak bisa ngomong yang benar. Padahal jelas-jelas salahnya sendiri, tapi seolah-olah seluruh dunia yang salah sama dia."....Di sampingnya, Ihsan hanya bisa menatap bosnya yang terus mengeluh tiada henti. Akhirnya, dia hanya bisa mendongak menatap langit-langit dengan pasrah.Lain di mulut, lain di hati. Kalimat ini paling cocok untuk menggambarkan orang seperti Carlos. Setiap ucapannya mengatakan bahwa dia tidak ingin bertemu Tamara. Semua keluhannya penuh kebencia
Ihsan menatap wajah Carlos yang tampak sangat normal, lalu berkata, “Pak, Anda nggak kelihatan mabuk sama sekali. Buktinya masih bisa kenali saya.”Carlos memang berniat menelepon istrinya, tapi entah bagaimana malah menelpon asistennya.“Dia benar-benar mabuk,” tegas Verona. “Kalau nggak, mana mungkin dia duduk di pinggir jalan begini tanpa memedulikan citranya?"Ihsan meliriknya tajam. Dalam hati dia berpikir, kalau Carlos sampai dibawa pulang sama wanita ini, bisa-bisa habis dilahap tanpa sisa. Oleh karena itu, dia langsung berkata dengan nada tegas, “Pak Carlos masih sangat sadar. Siang ini dia ada dua rapat internasional penting. Nggak bisa izin.”Verona hendak berargumen dan bilang rapatnya bisa dijadwalkan ulang, tapi Ihsan lebih dulu menambahkan, “Itu proyek bernilai triliunan. Kalau ditunda, kamu bisa tanggung jawab? Kamu sanggup menanggung risikonya?”Verona langsung terdiam. Triliunan ... angka yang bikin lidah kelu. Kalau Carlos sadar nanti dan tahu dia dipaksa pulang oleh V