“Jadi, kalian menikah secara mendadak dan …,”
“Aurora akan mengandung bayi kami,” potong Maya. Tuan Damian yang asik berbicara dengan Aurora spontan menatap Maya yang sedang memotong pembicaraan mereka.
“Aku tidak berbicara kepadamu!”
Tuan Damian menghunuskan pandangan tajam ke arah Maya. Perempuan itu terlihat kesal. William yang melihat istrinya sedih segera mengengam tangan Maya. Dia tahu bahwa ayahnya tertarik dengan Aurora karena perempuan itu akan melahirkan cucu untuk keluarga Keller.
“Mengapa kamu mau, Aurora?” tanya Tuan Damian. Dia tersenyum menatap Aurora yang masih terlihat ketakutan. Aurora menghela napas panjang.
“A-aku …,”
“Karena dia mau menjadi istriku!” Kini giliran William yang berbicara. Aurora menunduk ke bawah. Sebenarnya dia bisa jujur kepada Tuan Damian agar lelaki tua itu menyelamatkannya dari permainan Maya dan William. Aurora hanya ingin rumahnya kembali tanpa dirobohkan oleh kedua manusia itu.
“Oh, jadi begitu.” Tuan Damian menganggukan kepala mengerti. Seluruh tamu yang datang memperhatikan Aurora.
Maya selama perjamuan makan malam tidak tenang. Dia sangat kesal kepada Aurora. Mengapa perempuan itu terlihat tenang di samping mertuanya? Bahkan Tuan Damian menyediakan kue kukus kepada Aurora. Makanan itu adalah makanan kehormatan keluarga Keller. Hanya menantu kesayangan yang akan diberikan kue kusus.
Melihat istrinya sedang marah, William mengusap dengan lembut tangan Maya. Dia berharap sentuhan tangannya membuat Maya tenang.
“Ayah, aku dan William akan melakukan perjalanan bulan madu yang kelima kalinya,” ucap Maya di tengah-tengah makan malam. Tuan Damian yang asik berbicara dengan Aurora memandangi menantunya.
“Tidak perlu!”
Kening Emeralda berkerut. Biasanya mertuanya itu akan bahagia. Mengapa mertuanya itu terlihat tidak bahagia lagi?
“Kau tidak perlu melakukan itu,” sambungnya.
“Mengapa Ayah?” tanya William.
“Walaupun kalian berbulan madu sampai seribu kali, kau akan kembali dan tidak memberitahukan kabar bahagia untukku.”
“Sekarang William, jaga Aurora dengan baik!” ucap Tuan Damian. Bunyi decak lidah dari bibir Maya jelas terdengar. Dia mencoba mengatur emosinya saat ini.
***
Perjamuan makan malam telah selesai. Sama seperti Maya, istri dari tuan Betrix juga mendapatkan kata-kata yang tidak mengenakan hati. Hanya Aurora yang disambut baik di perjamuan makan malam keluarga Keller.
Di dalam mobil, Maya memandangi Aurora dengan ekspresi tidak suka.
“Aku seharusnya tidak membawahmu,” sahutnya. Aurora menghela napas panjang. Sejujurnya dia tidak nyaman berada di keluarga Keller.
“Kau mengambil hati Tuan Damian, tapi itu tidak masalah,” ucap Maya lagi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Maya mencoba menenangkan hatinya saat ini.
“Aurora, kau harus tahu perjanjian kita di kertas itu. Kau cukup melahirkan bayi untuk suamiku dan segera pergi dari keluarga Keller. Jangan pernah berharap lebih hanya karena jamuan malam ini,” jelas Maya.
“Aku tahu,” jawab Aurora segera. William sibuk menyetir mobil. Dia bisa menangkap eskpresi cemburu dari istrinya itu.
Sesampai di rumah, Maya segera mengengam tangan William masuk ke dalam kamar. Aurora yang berdiri di ruangan keluarga hanya bisa menghela napas panjang. Margaret memandanginya dari balik pintu.
“Nona Aurora, bagaimana jamuan makan malamnya?”
“Siapa yang diberikan kue kukus dari Tuan Damian?”
“Nona Maya atau nona Ladifa?” gerutu Margaret penasaran. Aurora menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Nona Ladifa mendapat perlakukan yang tidak baik dari Tuan Damian.
“Aku!” ucap Aurora singkat. Bola mata Margaret membulat sempurna. Dia menggelengkan kepala tidak percaya.
“Bagaimana bisa nona Aurora yang diberikan kue itu? Aku tidak percaya,” ucap Margaret. Aurora berjalan masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak mengubris ucapan pelayannya itu.
Aurora duduk di meja rias sambil memandangi wajahnya. Ada beberapa pertanyaan Tuan Damian yang menganggu pikirannya. Seperti, apakah dia yakin akan menjadi istri kedua William. Padahal dia tidak pernah bertemu dengan William sebelumnya.
Aurora memijit pelipisnya yang terasa memanas. Dia menatap wajahnya lalu menyentuh pipinya.
“Antoni, mengapa kau pergi begitu saja?”
“Apakah kau tidak tahu, aku sedang berada dalam kesulitan, rumahku akan di jual. Itu hanya satu-satunya peninggalan ayahku,” ucap Aurora. Bola matanya berkabut dan beberapa detik kemudian, air matanya menetes di pipi.
Klek~
Pintu terbuka, Aurora spontan menatap William yang sedang memandanginya.
“Buat apa kau di sini?” tanya Aurora segera. Dia berdiri lalu berjalan mendekati William.
“Apa yang ayah katakan kepadamu saat kue kukus itu berada di tanganmu?” tanya William segera. Aurora menghela napas panjang.
“Dia hanya bertanya mengenai aku dan kamu, apakah siap menjadi istri ke dua. Kau tahu kan, ini sangat konyol!” gerutu Aurora segera. William mengengam tangan Aurora secara spontan dan membuat perempuan itu kaget bukan main.
“Jangan sentuh aku!” rintih Aurora saat gengaman tangan William begitu erat.
“Aurora, aku mohon kepadamu, jangan pernah jelaskan kepada ayahku mengenai semua ini. Sebutkan saja bahwa kau jatuh cinta kepadaku dan siap menjadi istri kedua!”
Aurora menggelengkan kepala secepat mungkin. “Aku tidak mau!”
“Kau harus mau, kau akan sulit keluar dari keluarga Keller jika tidak mengikuti perintahku!” ucap William sambil membulatkan matanya. Aurora terdiam sejenak, tujuannya yaitu keluar dari keluarga aneh ini lalu mencari Robert dan membunuh lelaki tua itu.
“Katakan bahwa kau mencintaiku, hanya itu!” ucap William lagi.
“Oke, tapi jangan pernah menyentuh aku!” ucap Aurora sambil menatap tajam ke arah William. Lelaki itu menganggukan kepala setuju. William kemudian melepaskan gengamannya.
“Aku ingin kamu segera hamil!”
“Makanlah makanan yang diberikan Margaret, jangan membantah di rumah ini atau rumah ayahmu akan kami musnahkan,” jelas William.
“Haram hukumnya jika kau atau aku jatuh cinta dalam perjanjian pernikahan itu!” tegasnya. Dia kemudian keluar dari dalam kamar. Aurora menatapnya dengan ekspresi yang tidak bersahabat.
***
Salju yang berjatuhan jelas terlihat dari balik jendela. Aurora menatap salju-salju itu menumpuk di depan kamarnya. Rumah tuan William dan Maya begitu luas. Entah berapa banyak pengawal yang disewanya untuk menjaga rumah mewah ini.
Klek~
Margaret menatap Aurora yang sedang asik duduk di balik jendela.
“Nona, tuan William memberikan ini,” ucap Margaret. Aurora menatap benda pipi yang diberikan Margaret kepadanya.
“Apa ini?”
“Ini adalah benda untuk memeriksa kehamilan, kata tuan William, nona harus rutin memeriksanya,” jelas Margaret. Aurora menghela napas panjang.
“Oke, baiklah!” serunya.
Aurora menyimpan alat cek kehamilan itu. Bibi Gali segera keluar dari dalam kamar. Matanya fokus melihat ponsel yang terletak di meja rias.
“Nona,” ucap bibi Gali kemudian.
“Nona tidak bisa membawah ponsel di rumah ini, biar tuan William memberikan ponsel baru!”
Aurora menggelengkan kepala secepat mungkin.
“Tidak usah, aku membutuhkan ponsel. Berada di dalam kamar membuatku bosan,” jelas Aurora. Dia segera mengambil ponselnya itu lalu meletakkan di bawah bantal.
“Jangan katakan hal ini kepada tuan William!” seru Aurora segera.
Margaret menganggukan kepala lalu segera keluar dari dalam kamar. Aurora menghela napas lega. Dia harus keluar dari rumah ini, setidaknya dia harus mencari Robert dan membunuh pamannya itu.
Bersambung …
Setiap musim salju, menantu keluarga Keller akan memberikan pakaian rajut kepada mertuanya. Tuan Damian mendapatkan baju rajut dari nona Ladifa. Perempuan muda itu adalah istri dari tuan Anor, anak angkat dari Tuan Damian. “Maya, apakah kau akan ke Paris?” tanya Tuan Damian saat menatap Maya yang baru saja datang. “Iya Ayah, ada beberapa pekerjaan di sana,” ucap Maya kemudian. Tuan Damian menganggukan kepala mengerti. “Ayah sebenarnya kecewa dengan sikapmu, tapi saat William menjelaskan bahwa Aurora akan melahirkan penerus keluarga Keller, ayah tidak jadi marah kepadamu.”“Ajari Aurora menjadi perempuan yang elegant di keluarga Keller, jangan pernah menceritakan rahasia dari keluarga Keller,” ucap Tuan Damian sambil memandangi wajah Maya. Perempuan cantik itu menganggukan kepala mengerti. Maya hanya memberikan topi rajut kepada Tuan Damian. Selama berada di rumah, Tuan Damian ingin menikmati masa tuanya. “Kau tidak membawah Aurora ke sini?” tanya Tuan Damian segera.“Dia harus me
William menatap Aurora yang terlihat tidak senang. William tersenyum menatap wajah lucu Aurora yang menatapnya dengan pandangan tajam. “Kau sekarang istriku, mengapa selalu ketakutan jika berada di sampingku?” tanya William kemudian. Aurora menghela napas panjang. Sejujurnya dia tidak suka wajah bahagia dari lelaki itu. “Kau menyekapku, mengambil apa yang berharga di hidupku dan sekarang mengatakan aku istrimu?”William menghentikan laju mobilnya. Aurora segera turun dan William mempercepat langkahnya agar dia bisa mengengam tangan perempuan itu segera. “Kau tidak perlu mengengam tanganku!” ucap Aurora kesal. “Tidak ada salahnya, aku hanya takut kau kabur, bagaimana kalo kau kabur dalam keadaan sedang mengandung anakku?” ucap William. Aurora berdecak lidah. Lelaki itu mengengamnya dan Aurora tidak bisa bebas berjalan. Aurora merapatkan jacketnya, dia sangat suka bermain salju. Untung saja lelaki dingin itu ingin mengantarnya keluar. Kalo tidak, Aurora akan memberontak dan menghan
Maya memakai bajunya dan segera menuju jendela besar. Kamar hotel yang ditempati begitu indah. Menampilkan menara Eiffel yang begitu sempurna. Sejak dulu, Maya selalu menikmati malamnya di hotel Shangri-La Hote di Paris.Sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang. Maya tersenyum, dia membalikan badan dan melilitkan tangannya di tubuh lelaki itu. “Kau~”“Permainanmu begitu sempurna, sayang!” ucapnya kemudian. Maya mengecup pipi lelaki itu dengan lembut. “Bagaimana dengan William, dia akan …,”“Tidak akan Dominic, sahabatmu itu tidak akan tahu hubungan kita. Kau tahu kan kalo William sangat mencintaiku,” ucap Maya. Antoni menganggukan kepala. “Ya, aku tahu itu. Tapi …,” Wajah Dominic terlihat murung. Lelaki itu sedang memikirkan sesuatu saat ini. “Tapi apa Dominic?” sergap Maya. Dia melepaskan tangannya yang melingkar di leher lelaki itu. Maya kemudian berjalan sedikit menjauh. Dia menuangkan air mineral ke dalam gelasnya. “Kapan William akan menceraikanmu?” “Kau tahu kan kami t
Maya memakai bajunya dan segera menuju jendela besar. Kamar hotel yang ditempati begitu indah. Menampilkan menara Eiffel yang begitu sempurna. Sejak dulu, Maya selalu menikmati malamnya di hotel Shangri-La Hote di Paris.Sebuah tangan kekar memeluknya dari belakang. Maya tersenyum, dia membalikan badan dan melilitkan tangannya di tubuh lelaki itu. “Kau~”“Permainanmu begitu sempurna, sayang!” ucapnya kemudian. Maya mengecup pipi lelaki itu dengan lembut. “Bagaimana dengan William, dia akan …,”“Tidak akan Dominic, sahabatmu itu tidak akan tahu hubungan kita. Kau tahu kan kalo William sangat mencintaiku,” ucap Maya. Antoni menganggukan kepala. “Ya, aku tahu itu. Tapi …,” Wajah Dominic terlihat murung. Lelaki itu sedang memikirkan sesuatu saat ini. “Tapi apa Dominic?” sergap Maya. Dia melepaskan tangannya yang melingkar di leher lelaki itu. Maya kemudian berjalan sedikit menjauh. Dia menuangkan air mineral ke dalam gelasnya. “Kapan William akan menceraikanmu?” “Kau tahu kan kami t
Aurora memikirkan rencana William yang akan memberikan fasilitas pendidikan kepadanya. Tidak masalah, dia bisa keluar dari rumah yang bagaikan neraka ini. Setidaknya dia punya waktu untuk mencari pamannya bernama Robert. Lelaki itu pastinya ada hubungannya dengan kematian ayahnya.Aurora duduk sambil memandang keluar jendela. Salju turun perlahan. Aurora melihat ke bawah taman. Kamarnya yang berada di lantai dua benar-benar memberikan pemandangan yang indah di malam hari. Sepertinya Edward begitu telaten merawat taman kecil itu sehingga terlihat sangat indah. Setelah puas melihat taman, Aurora bergegas mengambil ponselnya. “Halo?”“Ada apa lagi, Aurora. Aku sudah katakan bahwa kau tidak berguna di kehidupanku!” “Aku sudah bertunangan!” ucap suara lelaki itu. Aurora menghela napas kasar ke udara. “Ya, aku tahu itu Antoni. Aku ingin bertemu!” “Entah jika kau mau membawah kekasihmu, aku tidak peduli. Aku ingin bertemu!” ucap Aurora secepat mungkin. Deru napas saling berkejaran jelas
Aurora memakai mantel cokelat dan sepatu bot hitam. Tidak lupa dia menatap dirinya melalui cermin besar. Hari ini, lelaki itu mengatakan akan mengantarnya ke kampus. “Untuk melahirkan penerus keluarga Keller, aku tidak seharusnya kuliah,” batinnya. Aurora membuka pintu kamar. Dia menatap William yang sudah bersiap mengantarnya bersama Edward. Sang pengawal itu menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Kampusmu ini sangat dekat, kau bisa cuti jika sudah mengandung anakku,” ucap William. Aurora menghela napas kasar ke udara. Mimik wajah William terlihat tidak suka menatapnya. Aurora menahan tawanya saat lengan lelaki itu dibalut perban. Bekas gigitannya benar-benar berbahaya, pikirnya. William berjalan keluar dari rumah dan diikuti Edward dari belakang. Aurora dengan sangat lemas harus mengikuti lelaki itu. Di dalam mobil, Aurora duduk sendiri. Sesekali William menatapnya melalui kaca spion. “Bagaimana kalo di kampus, orang-orang tahu kalo aku istri kedua?”“Itu tidak pentin
Aurora menghela napas panjang. Dia menatap William yang sibuk di ruang kerjanya. Lelaki itu sedang bervideo call dengan istrinya, Maya. Sebenarnya Aurora kesal bertemu dengan William, namun dia harus bertanya mengenai ponselnya. “Masuk saja, jangan seperti patung di situ!” Aurora membuka pintu lalu berjalan menuju meja kerja William. Aurora menunduk ke bawah. “Aku butuh ponsel, Edward sudah menemukan ponselku dan benda itu sudah tidak bisa digunakan.” Aurora memandangi wajah William dengan serius.“Katakan kepada Edward untuk memberikanmu ponsel baru, masalah remeh seperti itu kau harus segera ke Edward. Dia akan mengurusnya!”Aurora menghela napas panjang. “Baiklah,” jawabnya. Dia berbalik badan lalu bergegas menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, William memanggilnya. “Aurora Aderson?” “Ada apa?”“Selama di kampus, apapun yang berkaitan dengan keluarga Keller, jangan jelaskan kepada siapa pun!” Aurora menganggukan kepala mengerti. “Kau juga harus menjaga rahasia di kelua
Aurora menatap William yang sedang duduk di meja kerjanya. Sepertinya lelaki itu adalah pekerja keras. Namun, wajah suaminya sangat dingin. Aurora mencoba masuk. Langkah kakinya sangat pelan.“Ponselku bagaimana?”“Aku membutuhkannya!” ucap Aurora segera. William perlahan menonggakan wajahnya dan menatap wajah Aurora yang terlihat murung. William mengangkat salah satu alisnya lalu menghela napas panjang.“Edward mengatakan apa?”“Dia mengatakan, aku akan menerima ponsel atas persetujuanmu,” ucap Aurora.“Oke, suruh pengawal itu memberikanmu segera!” ucap William. Bola matanya segera menatap layar laptopnya kembali. Aurora mendengus kesal. Dia segera berbalik arah dan bergegas pergi dari ruangan itu. Percuma saja berbicara dengan William.Di depan ruang kerja William, ada Edward yang sudah menunggu. Lelaki itu tersenyum sejenak lalu menyerahkan satu bungkusan plastik.“Nona, pergunakan benda ini untuk hal yang penting!”Lelaki berjas hitam itu lalu pergi. Aurora mengambil kantong plast
“Kau cemburu?”“Ya, aku cemburu?”“Apa kau tidak tahu bahwa aku cemburu dengan apa yang kau lakukan dengan lelaki lain! Kamu berpelukan dengan prof. John!”“Apa kamu pikir itu tidak membuatku marah?” William berdecak kesal. Sorot matanya sangat tajam memandangi Aurora.“Apa maksudmu, William?”“Aku sama sekali tidak mengerti?” Aurora mengerutkan kening. William segera mengambil ponselnya dan menunjukan foto Aurora dan Prof. John yang saling berpelukan. Aurora mengusap wajahnya secara kasar. Siapa yang mengambil gambar mereka? Pikirnya.“Apa ini Aurora? Kau pikir aku tidak tahu?” William semakin keras mengengam tangan Aurora dan membuat perempuan itu merintih kesakitan.“William, lepaskan tanganku!”“Aku tidak mau ikut denganmu!”“Kau terlalu kasar, menganggap aku sampah dan tidak memperhatikanku, lepaskan aku!”Prof. John segera mengengam tangan William. Dia berusaha melepaskan Aurora dari tarikan kasar lelaki itu.“Tuan William, istri anda sakit!”“Jangan lakukan ini!” Prof. John men
“Sial!”William melempar ponselnya saat melihat gambar Aurora dan prof. John berpelukan di depan apartemen. “Perempuan itu benar-benar murahan!” gerutunya.“Aku memberikannya apartemen, dia malah bersama lelaki lain!” Wajah William memerah, dia menahan emosi yang memuncak di dada. Secepat kilat dia memanggil Edward yang berjaga selalu di depan pintu kerjanya.“Edward!” teriaknya. Lelaki bertubuh tinggi itu segera menghampirinya.“Ada apa Tuan?”“Cepat jemput Aurora segera di kampus, bawah dia ke sini!” perintahnya.“Lihat, apa yang dia perbuat?” William mengambil ponselnya lalu menunjukan kepada Edward gambar yang baru saja diterimanya saat ini. Edward mengerutkan kening tidak mengerti.“Perempuan itu bersama lelaki lain.”“Paksa dia datang ke sini sekarang!”“Baik, Tuan!” Edward segera keluar. Tidak ada yang bisa menolak perintah William. Apapun yang dikatakan lelaki itu.“William?”Maya menghampiri suaminya. Wajahnya sangat pucat. Dia mengelus perutnya yang buncit. Maya menatap Wil
Aurora memandangi jam dinding yang berada di dalam kamarnya saat ini, sudah pukul dua malam dan bola matanya belum bisa diajak bekerja sama. Aurora ingin terlelap tidur agar dia bisa ke kampus dan menyelesaikan tugas akhirnya. Aurora sudah memasuki semester terakhir tahun ini.Aurora menatap ponselnya. Semua baik-baik saja. Tidak ada yang menghubunginya sampai sekarang. Bahkan William tidak mengirimkannya pesan. Aurora semakin terheran, apa lelaki itu sama sekali tidak cemas kepadanya?Aurora menghela napas panjang. Dia berajalan menuju meja riasnya dan memandangi dirinya dari balik cermin.Seluruh isi media sosialnya mengabarkan mengenai kehamilan Maya. Tidak sedikit yang mengulas mengenai nasibnya ke depan. Tapi, Aurora tidak peduli. Dia sungguh sangat kesal dan sakit hati.Aurora berjalan mengambil air minum. Saat tangannya baru saja ingin mengambil gelas, Aurora mendengarkan langkah seorang sedang berjalan menuju apartemennya. Langkah kaki lelaki itu terdengar jelas dan membuat Au
Maya membuka matanya. Dia meraba ke sampingnya dan William tidak ada. Maya berusaha untuk duduk. Dia mencari William di dalam kamar.“William?” panggilnya. Nihil, suaminya itu tidak berada di sampingnya atau dimana pun.“Di mana William?” serunya. Maya menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dia berjalan keluar dari dalam kamar sambil terus mencari William. Sudah pukul dua malam dan suaminya itu tidak berada di dalam kamar.“Di mana dia?”Maya menuju ruang kerja William. Ruangan itu terang dengan cahaya lampu. Maya berjalan pelan menuju pintu. Dari kejauhan, William sedang duduk di meja kerjanya sambil memegang ponsel.“Apapun itu, pantau dia dari jauh.”“Aku tidak ingin Aurora dalam keadaan bahaya di luar.”“Walaupun aku terlihat tidak memperdulikannya, namun aku menyayanginya.” Bola mata Maya terbelalak mendengarkan perkataan William.“Dia menyanyangi perempuan itu?” batinnya.“Tidak, itu tidak mungkin!”“William tidak mungkin semudah itu menyanyangi perempuan lain,” serunya kemudian
Prof. John merasakan sesuatu yang dingin sedang mengecup tubuhnya. Kepalanya sangat sakit dan dia berusaha membuka matanya. Kecupan itu semakin nyata, memberikan sensasi tersendiri di tubuhnya.“Cicilia!” Bola mata prof. John terbelalak. Secara cepat, dia mendorong tubuh perempuan itu menjauh.“Apa yang kau lakukan di sini?” hardiknya. Cicilia memandangi prof. John. Dia mengerutkan kening tidak mengerti.“John, mengapa kau kasar sekali?” rintih Cicilia sambil menyentuh tangannya. Dia menangis di sudut tempat tidur karena dorongan prof. John yang melukainya. Prof. John segera mengambil bajunya dan berjalan keluar dari dalam kamar.“Pakai pakaianmu dan jangan lakukan itu!” perintah Prof. John ketus. Dia berjalan meninggalkan Cicilia yang menangis di depannya.Prof. John menghela napas panjang. “Aku tidak suka dengan tindakanmu seperti ini, Cicilia!” serunya dari luar. Cicilia mengambil bajunya yang tercecer di lantai. Dia menggunakannya kembali lalu turun dari tempat tidur. Cicilia frus
Sudah ada tiga gelas wiski yang terjatuh dari atas meja. Roy mengusap wajahnya kesal. Prof. John sama sekali tidak ingin berhenti minum malam ini.“John, aku tahu kau sedang frustasi. Tapi, kamu pasti bisa berpikir cerdas.”“Kamu memiliki karier yang bagus, kamu tampan dan kaya raya. Kamu bisa mendapatkan perempuan mana pun. Hanya karena Aurora, perempuan asing itu, kau seperti ini?”“Ah, John. Kamu benar-benar lemah!” hardik Roy. Dia duduk di atas meja sambil menyilangkan kakinya. John tidak peduli ucapan lelaki itu.“Aku mencintai, Aurora!”Prof. John menoleh ke arah Roy. Bola mata prof. John berkabut. Dia melepaskan kacamatanya dan menundukan wajahnya ke bawah. Roy menghela napas panjang.“Oke, apa yang kamu butuhkan sekarang, John?”“Meminta Aurora untuk menghubungimu?” tanyanya. Prof. John menggelengkan kepala.“Aku akan hubungi Cicilia, kamu sepertinya sedang mabuk. Tunggu di sini!” Roy bergegas menuju tangga yang menghubungkan kamarnya dengan lantai dua. Roy mengambil ponselnya
Aurora terbangun lebih awal. Dia memikirkan mengenai rencana Cicilia untuk membawahnya keluar dari Nevada demi kelangsungan hubungan dirinya dengan Prof. John. Cicilia sudah mengirimkan tiket dan juga foto rumah yang bisa ditempati Aurora di Italia.Aurora menghela napas panjang. Hubungan dengan ibunya tidak baik saat ini. Hari ini, nyonya Rebeca sudah bisa keluar dari rumah sakit. Namun, perempuan paruh baya itu tidak ingin jika Aurora yang menjemputnya.“Ibu, aku akan menyuruh pengawal William untuk menjemputmu,” ucap Aurora melalui sambungan telepon.“Aku tidak mau!”“Apapun itu, aku tidak mau, Aurora! Aku ingin prof. John saja. Lelaki itu lebih lembut dan juga lebih jelas.”“Maksud ibu, apakah William tidak jelas?” sergap Aurora kemudian.“Putriku, kau tahu kan kalo William sudah beristri dan hanya menjadikanmu simpanan di rumah itu? Ah, ibu terluka mendengarkannya.”“Bahkan di ruang publik pun, dia tidak ingin mengakuimu. Ibu tidak mau putri ibu diperlakukan buruk.”“Aku akan men
Cicilia menangis terisak di taman kampus. Luka hatinya tidak akan terobati. Prof. John begitu kasar. Padahal saat di Inggris, lelaki itu selalu menyanyanginya dan bersikap lembut. Prof. John sangat mencintainya dan entah mengapa, dia tiba-tiba berubah seketika.Cicilia berusaha menenangkan dirinya namun air matanya terus mengalir. Dia sudah menghubungi Aurora agar segera menemaninya.“Cicilia!”Aurora panik saat melihat wajah Cicilia penuh dengan air mata. Tubuh perempuan itu bergetar bahkan suaranya sangat pelan, hampir tidak terdengar. Cicilia memeluk Aurora dan terisak di dalam pelukan perempuan itu.“Aurora, tolong aku!”“Aku sangat mencintai Prof. John. Dia adalah lelaki yang aku sayangi. Apa kau bisa menolongku?” Cicilia terus menangis. Aurora menghela napas panjang. Dia melepaskan pelukan Cicilia.“Ada apa?”“Aku sudah menghindarinya. Apa dia melukaimu?” Aurora memandangi Cicilia. Perempuan itu menganggukan kepala.“Aurora, aku mohon kepadamu. Aku mohon kepadamu!” pinta Cicilia
“Jadi, pernikahan ini hanya secara paksa?” Nyonya Rebeca memandangi Aurora yang duduk di depannya. Aurora menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Dia menganggukan kepala secara perlahan.“Kau mencintainya?” Nyonya Rebeca menyipitkan mata memandangi putrinya itu. Aurora menongakan wajahnya dan menggelengkan kepala.“Aku tidak mencintainya.”“Tapi apa? Mengapa kau melakukan ini Aurora?” sergap Nyonya Rebeca kemudian. Aurora menghela napas kasar di udara.“Aku tidak memiliki uang sepeser pun untuk biaya ibu, aku melakukan ini untuk ibu.”“Kamu hamil?” tanya nyonya Rebeca. Dia menatap Aurora yang tertunduk lemas di hadapannya. Aurora menganggukan kepala.“Tuhan, mengapa kau mengorbankan dirimu sendiri, Aurora?”“Apa kau tidak tahu? Prof. John menyukaimu dan lelaki itu bisa membantu kita! Ah, kau benar-benar bodoh!” cetus nyonya Rebeca. Dia tidak mengerti dengan jalan pikiran putrinya sendiri.Aurora terlihat sangat lemas. “Bagaimana jika William membuangmu? Prof. John b