“Hallo Maya, apa yang terjadi di sana?”“Aku sudah meneleponmu hingga dua kali namun tidak pernah aktif,” ucap William kesal.Pagi ini, di kantor Clound Corp. Dia sengaja menghubungi Maya.“Maaf sayangku, aku kelelahan pagi tadi. Pesta di sini sangat meriah, aku benar-benar lupa menghubungimu,” ucap Maya.“Apakah sekarang New York membuatmu melupakanku?”“Setelah pulang dari Paris, kau lalu segera ke New York, betapa tidak pentingnya aku di hidupmu, Esme!” Suara William sangat sedih. Dia merindukan kehadiran istrinya.“Tidak sayang, jangan seperti ini,” ucap Maya. Bunyi dentuman musik begitu jelas terdengar. William menghela napas panjang. Dia menunggu penjelasan Maya secara jujur.“Mengapa kamu sekarang berbeda, Maya?”“Aku seperti tidak mengenalmu, sayang. Apa yang terjadi?” ucap William. Maya terdiam cukup lama. Suara William perlahan mendadak serak, dia menumpahkan segala kegelisahannya pagi ini.“Apa kau sengaja membawah Aurora di kehidupan kita?” ucapnya segera. “Kau bersama sia
“Hai, siapa itu?!” teriak Aurora.Dia berusaha berdiri. Namun sialnya, kakinya terasa sakit. Seorang lelaki segera menginjak gaunnya dan membuatnya kesusahan untuk berdiri.“Hai, lepaskan gaunku!”“Sial!”Aurora spontan mendorong tubuh lelaki berbaju hitam itu. Dia lalu bergegas berlari menuju aula pesta dansa yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya sekarang. Deru napas Aurora memburu. Dia sangat kebingungan.Melihat lelaki itu mengejarnya, Aurora segera mempercepat larinya. Dia menatap ke sekelilingnya. “Joanna, di mana kamu?”“Hai, kau siapa? Mengapa mengikutiku?” sahut Aurora ketakutan.Brak!Kakinya menginjak sebuah penghalang dan membuat Aurora terjatuh. Lututnya terluka dan akhirnya dia hanya bisa menangis.“Help me!”“Tolong aku!”“Siapa pun itu!” ucap Aurora. Aurora bisa melihat bayangan kayu berada di tangan lelaki aneh itu. Semakin lama, Aurora bisa melihat wajahnya secara nyata.“Kau?” ucapnya. Tatapan tajam dan penuh dendam membuat Aurora segera ingin membunuh lelaki di
Aurora terbangun. Kepalanya benar-benar sakit. Dia perlahan turun dari tempat tidur lalu bergegas berjalan menuju kamar mandi.“Nona,” ucap Margaret yang datang ke kamar dan meletakkan secangkir susu cokelat di meja rias. Aurora yang membersihkan wajahnya segera menatap perempuan paruh baya itu. Aurora harus mencari tahu, mengapa Margaret berbohong kepadanya. Apa yang diinginkan dari kebohongan itu?“Maafkan saya, Nona!” sahutnya segera. Aurora menghela napas panjang dan berkacak pingang.“Aku tidak tahu, mengapa kau melakukan ini, Margaret. Tapi, kau sudah membuatku terlihat buruk!” jelas Aurora. Perlahan, dia berjalan mendekati Margaret yang berdiri di depan pintu. Perempuan paruh baya itu menunduk ke bawah dengan perasaan bersalah.Aurora menghela napas panjang sambil memijit pelipisnya.“Aku tahu, pasti ada yang ingin kau dapatkan,” sambungnya. Dia menatap Margaret dengan sorot mata yang tajam. Margaret menggelengkan kepala.“Tidak Nona!” jawabnya.Ch!“Kau berbohong,” sergap Auro
“Mengapa kau selalu dalam masalah?”Pertanyaan itu membuat Aurora terdiam cukup lama. Di dalam kelas, saat seluruh mahasiswa sudah keluar, Aurora malah terjebak dan kini, prof. John menahannya.“Aku juga tidak tahu,” ucap Aurora lirih.“Saya akan mengantarmu pulang,” jawab Prof. John sambil merapikan buku dan memasukannya di dalam tas.“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri,” jawab Aurora yang bergegas melangkah keluar dari dalam kelas. Namun, Prof. John bergegas menarik tangannya. Menahannya dan tidak membiarkannya pergi.“Ceritakan kepada saya, mengapa kau bisa menjadi istri kedua di keluarga Keller,” ucap Prof. John dengan sorot mata yang tajam. Aurora menunduk.“A-aku …,”“Jelaskan!” desaknya. Aurora menghela napas panjang.“Aku menjelaskan hal seperti ini, itu bukan urusanmu!” ucap Aurora. Dia membalas tatapan Prof. John dengan ekspresi tidak bersahabat. Prof. John mengangguk.“Kau hanya sebagai dosen di sini, kebetulan saja kau membantuku!” sambung Aurora lagi. Prof. John menghela
Aurora menyentuh kepalanya yang terasa sakit. Dia berusaha untuk duduk. Apa yang terjadi dengannya? Mengapa dia terlihat sangat lelah. Aurora berusaha menyeruput segelas air mineral yang tersedia.Di depan tempat tidurnya, ada William yang terlelap tidur di sofa. Lelaki itu tampak kelelahan. Aurora tersenyum menatap wajah William yang sangat lucu.“William!”“Tuan William!” seru Aurora.William sama sekali tidak mendengarkan suaranya. Aurora berusaha berdiri dan berjalan menuju sofa. Tubuhnya terasa aneh, pingangnya sangat sakit. Biasanya dia merasakan hal seperti ini saat datang bulan.“Tuan William!” ucap Aurora lagi. Dia berbicara di telinga William. Berusaha untuk menyadarkan lelaki itu dari tidurnya.William spontan menongakan wajahnya saat menatap Aurora sudah berada di depannya sambil tersenyum.“Kau seharusnya tidak boleh banyak gerak!” protes William seketika. Dia menatap Aurora lalu mengengam tangan perempuan itu menuju tempat tidur lagi. Aurora menghela napas panjang. Willi
“Tuan William, bisa berikan aku Farro Porridge Roy Ellamar, aku mau makan bubur itu!” ucap Aurora yang mengintip dari balik pintu. Kamarnya berhadapan dengan ruang kerja William sekarang. Ide itu tiba-tiba saja terbesit di pikiran William.William yang fokus menatap ke layar laptop spontan menongakan wajahnya dan menatap ke arah Aurora. Perempuan itu tersenyum. Hanya kepalanya saja yang terlihat.“Kamu mau makan sekarang?”“Oke, aku akan telepon Edward untuk membelikan bubur itu,” ucap William sambil bergegas mengambil ponselnya. Kedua alis Aurora bertautan. Dia tidak ingin orang lain yang membelinya. Aurora ingin William sendiri yang membelikan bubur itu.“Aku tidak mau jika Edward yang membelinya!”“Aku mau kau yang membelikan untukku!” gerutu Aurora sedikit kesal. William menghela napas panjang. Dia mengusap wajahnya lalu bergegas beranjak dari tempat duduk. William berjalan keluar dari ruangannya dan bergegas menuju garasi mobil. Aurora hanya senyum-senyum saat suaminya itu melewa
“Habiskan makananmu dan jangan manja kepadaku,” ucap William yang menatap Aurora. Perempuan itu tersenyum melihat makanan yang ingin dia pesan.“Oh yah, bukankah kau harus mencari pamanmu bernama Robert yah?” sahut William segera.“Kau tahu dari mana?” Aurora membulatkan matanya menatap William. Dia menunggu jawaban lelaki itu. William mengaruk kepalanya yang tidak gatal.“A-aku tahu saja!”“Makanlah!”Aurora menghela napas panjang. Dia segera menikmati bubur Farro Porridge Roy Ellamar yang sangat dia inginkan. William terus memperhatikan Aurora tanpa berkedib. Perempuan itu sangat manis jika diam dan tidak banyak bicara.“Kau mengenal keluarga ayahmu?” serunya kemudian. Aurora menghela napas panjang. Dia menggelengkan kepala.“Kau tidak tahu?” sergap William tidak percaya. Aurora mengangguk. Dia memasukan satu sendok bubur ke dalam mulutnya lagi. William membulatkan matanya. Bola mata lentik itu seakan sengaja mengodanya. Ah, William menepis pikiran kotor yang terbesit di otaknya saa
Aurora terbangun, dia memandang ke sampingnya namun tidak ada William. Lelaki itu sudah pergi. Aurora menghela napas panjang.Aurora spontan melirik ke jam dinding yang berada di dalam kamarnya. Pukul dua malam, seperti biasa Aurora terbangun. Kini, tengorokannya sangat kering. Di butuh secangkir air mineral.Aurora kemudian turun dari tempat tidur lalu berjalan ke arah dapur. Seharusnya Margaret menyediakan air mineral di dalam kamarnya. Perempuan paruh baya itu pasti sudah tidur, pikir Aurora kemudian.Aurora berjalan dengan sangat pelan menuju dapur. Kamarnya berada di lantai satu dan kamar William dan Maya berada di lantai dua. Di dalam dapur, Aurora menuangkan secangkir air ke dalam gelasnya dan menyeruputnya dengan hati-hati.“Kau baru pulang?” suara itu membuat Aurora membulatkan matanya. Dia berjalan menuju pintu dan menatap Maya sedang tergesa-gesa naik ke atas tangga. Perempuan itu tampak panik saat William berdiri di depan pintu kamar.Dari arah dapur, Aurora bisa melihat p
“Hai, jangan mendekati!”“Prof. John ingin berbuat apa?” Aurora sangat panik. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tidak memandangi Prof. John. Deru napas lelaki itu jelas terdengar. Aurora merasa, prof. John sudah semakin dekat dengannya.“Prof. John, hentikan dirimu!”“Apa yang kau lakukan!” Aurora mendorong tubuh Prof. John menjauh. Dia tidak ingin lelaki itu semakin mendekatinya. Prof. John tertawa melihat wajah Aurora yang ketakutan. Prof. John benar-benar suka saat Aurora panik.“Aku hanya mengujimu.”“Kau selalu mengatakan kalo aku guy, tentu saja aku bukan guy!” protesnya. Prof. John melajukan mobilnya lagi.Sesampai di hotel Bellagio, Prof. John bergegas turun. Tidak lupa dia mengengam tangan Aurora saat perempuan itu melangkah. Aurora sebenarnya tidak suka berdekatan namun prof. John yang selalu ingin mengengam tangannya.Kilatan cahaya kamera memenuhi wajahnya. Prof. John tersenyum saat wartawan mengambil gambar mereka. Aurora menutup matanya karena ketakutan. Mimi
Aurora duduk di ruang tunggu. Sudah dua kali dia menatap benda persegi yang melingkar di pergelangan tangannya. William dan Maya belum mengizinkannya masuk. Aurora semakin kesal.Dari kejauhan. Aurora menyipitkan matanya. Seorang lelaki bertubuh tinggi berpakaian sangat formal sedang berjalan ke arahnya. Lelaki itu sangat tampan. Sepatunya mengkilat dan Aurora merasa dia bukan lelaki sembarangan.Edward bergegas menahan lelaki itu.“Tuan Dominic, Nona Maya belum bisa ditemui,” sahutnya. Lelaki itu tampak kecewa. Aurora secara cermat memperhatikan gerak-geriknya. Lelaki itu benar-benar berbeda dari William. Tubuhnya tinggi dan rambutnya sangat rapih. William juga memiliki kharisma sendiri. Namun mengenai lelaki yang dilihatnya, dia sangat menarik.Edward mencondongkan wajahnya dan membisikan sesuatu kepada lelaki itu. Aurora tidak bisa mendengarkannya secara jelas.“Oke, aku akan menunggunya di luar,” jawab Dominic kemudian. Lelaki itu lalu bergegas pergi. Edward menatap Aurora sambil
Aurora menghela napas panjang melihat William yang sudah rapi. Lelaki itu menunggunya di depan pintu. Aurora yang memakai bot hitam hingga selutut memandangi suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak lupa senyuman menawan terukir di wajah tampannya. Aurora menghela napas panjang.“Kau tahu? Aku sudah memesan banyak baju bayi.” William memasukan tangannya ke dalam saku dan memandangi Aurora dengan serius.“Baju bayi?” Aurora tidak mengerti dengan ucapan William. Lelaki itu menganggukan kepala dengan penuh keyakinan. “Ya, aku membeli baju bayi, sayang!”“Ini terlalu cepat, Tuan William. Ini juga terlalu berlebihan!” serunya.Aurora keluar dari dalam kamar. William terus mengekor di belakang istrinya. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan bayi mereka. Aurora sebenarnya tidak ingin pergi. Dia harus meminta izin kepada prof. John untuk tidak ikut ujian hari ini. Tuan Damian langsung yang memerintah untuk rutin memeriksa kandungannya.Aurora menatap William. Lelaki itu cemberut menat
Aurora memainkan jemarinya sambil menunggu Tuan Damian di ruang tamu. Hari ini, dia secara khusus bertemu dengan mertuanya. Suara langkah kaki seseorang terdengar dengan jelas mengalun di ruang persegi itu.Aurora menatap Tuan Damian yang tersenyum. Aurora menghela napas panjang. Ucapan prof. John menari-nari di kepalanya dan menganggu perasaanya. Seharusnya dia bahagia karena hanya Tuan Damian yang memperlakukannya dengan baik. Sangat mustahil jika lelaki sebaik Tuan Damian membunuh ayahnya. Ah, Aurora menjadi bimbang. Dia bingung dan tidak mengerti.“Aurora,” sahut suara itu. Aurora berusaha tersenyum. Dia memandangi Tuan Damian.“Ayah mengajakku bertemu?”“Ya,” jawabnya.“Ada apa?” Aurora menatap serius wajah lelaki paruh baya itu. Tuan Damian duduk tepat di depannya sambil menyilangkan kakinya. Edward, sang pengawal berdiri di samping Tuan Damian. Dia mengeluarkan berkas yang diminta majikannya itu.“Aku ingin menawarkanmu pekerjaan,” serunya.“Aku masih kuliah, Ayah. Pekerjaan ap
Aurora dan Joanna bergegas pergi namun Roy segera berlari dan berdiri di depannya. Lelaki itu berkacak pingang dan berdecak kesal.“Nona-nona yang cantik, aku sudah katakan. Tidak mungkin aku berniat jahat kepada kalian berdua. Lagian juga ini rumah sahabatku, John. Jadi, silahkan masuk dan kita minum teh hangat dulu. Aku baru saja membawahnya dari Turkey.” Roy mengedipkan mata sambil tersenyum. Joanna merasa mual melihat wajah centil lelaki itu.“Kau tidak berniat jahat kan?” Joanna menyipitkan matanya. Dia memandangi Roy dengan ekspresi menyelidik.“Astaga, kau pikir aku lelaki jahat?”“Wajah semanis ini kau pikir lelaki jahat? Sungguh, kau gadis yang aneh!” keluh Roy.“Ikut aku! Aku akan buatkan teh hangat lalu kita bercerita!” Roy berjalan sambil menarik Joanna dan membuat gadis itu merintih ketakutan. Bola mata Joanna membulat sempurna.“Hai, lepaskan aku!”“Dasar lelaki mesum!” protes Joanna kesal. Aurora mengekor di belakang. Terpaksa dia harus mengikuti Roy masuk ke dalam ruma
William Keller dituduhkan berselingkuh. Berita mengenai perselingkuhan William menjadi headline news dan membuat lelaki itu mengaruk kepalanya yang tidak gatal. William membuang majalah di atas meja lalu berjalan menuju jendela.“Berita murahan!”William menatap Edward yang berdiri di depannya. “Bagaimana bisa mereka menuduhku berselingkuh?”“Benar-benar lucu!” William menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. William memandangi Edward yang masih berjaga di depan pintu. Lelaki itu sejak beberapa hari selalu terdiam.“Kau menemui Maya dan Dominic selama ini. Bagaimana dengan mereka berdua?”“Apa ada yang mencurigakan dari mereka berdua?”“Apa benar kasus perselingkuhan itu?” William menatap Edward dengan bola mata menyipit. Edward menggelengkan kepala. “Tidak ada yang mencurigakan, Tuan!”“Semua sama saja, aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.” Edward menunduk ke bawah dan terus bercerita. Dia tidak berani memandangi William.“Sepertinya nona Maya tidak berse
“Sial, hampir saja!”William memandang keluar jendela. Untung saja Edward melajukan mobilnya dengan cepat sehingga wartawan itu tidak menangkapnya. Apa jadinya jika wartawan itu mengambil foto Aurora dan menyebarkannya? William menyeka peluh yang menetes di dahinya saat ini.“Kau seharusnya tahu, tidak mudah menghindari paparazzi itu!” gerutu William kesal. Aurora sepertinya tidak mendengarkannya. Bola mata perempuan itu berbinar memandangi tas indah yang ada di tangannya.“Hai, apa kau mendengarkanku?”“Jika wartawan itu mengejar kita, pastinya semua akan berantakan!”“Kau mau jika di kampus, kau akan kesulitan?” protes William. Aurora menghela napas panjang. Dia meletakkan tas itu di sampingnya sambil memandangi William.“Itu bukan urusanku! Seharusnya kau tahu bahwa menikahiku memiliki konsekuensi. Aneh saja kalian!” balas Aurora secepat mungkin. Dia memandangi bola mata William. Aurora tidak takut, dia akan melawan lelaki itu. Entah keberanian dari mana yang tiba-tiba merasukinya.
“Haruskah aku kembali ke rumahmu?” Aurora memandangi William yang duduk di sampingnya. Lelaki itu tidak bersuara.“Aku tidak ingin membuat Maya marah.” Aurora memandang keluar jendela dengan pandangan sendu. Kabut memenuhi jendela mobil.“Kau membenciku?” tanyanya. Aurora menggeleng.“Kau mengandung bayiku, tentu saja aku ingin bayiku.”“Aku bisa memberikan anak ini setelah aku melahirkannya,” sergap Aurora. William tidak mengubris. Lelaki itu mengambil ponselnya. Sepertinya dia sedang menghubungi seseorang saat ini.“Edward, antar aku dan Aurora ke pusat perbelanjaan. Aku ingin memberikan tas kepadanya!” perintah William. Aurora spontan menoleh ke arah William.“Aku tidak mau!” protesnya.“Lihat! Tas yang kau gunakan sangat lusuh. Aku bahkan malu melihat tas ini. Apa kau tidak punya uang sepeser pun untuk mengantinya? Ah sungguh, kau benar-benar miskin!”William menghela napas panjang. Aurora menatap tas ransel yang sangat disukainya. Barang itu adalah pemberian ayahnya. Sejak dulu,
“Mengapa tidak tinggal bersama ayah dan ibumu?” tanya Aurora saat mobil perak itu berhenti tepat di depan sebuah mension berwarna putih. Aurora sangat takjub melihat bangunan mewah itu.“Saya suka jika sendiri,” jawab prof. John.“Oh, jadi begitu. Apa ayahmu berada di dalam juga?”Prof. John menganggukan kepala. Dia segera turun dan membantu Aurora untuk membuka pintu mobilnya. Aurora mengikuti prof. John dari belakang.“Yakin, bisa tinggal sendiri?”“Aku punya dua apartemen di Nevada ini.” Prof. John menatap Aurora dan masih menawarkan niat baiknya. “Aku suka jika kau menempatinya,” sambungnya lagi.“Tidak usah, aku tidak ingin merepotkan orang lagi,” jawabnya. Aurora mempercepat langkahnya mengikuti prof. John. Saat berada di depan pintu, ada dua pengawal berjas hitam yang berdiri dan memberi hormat.“Masuklah Aurora, orang tuaku pasti bahagia melihatmu.” Aurora dan prof. John berjalan menuju ruang keluarga. Aurora tersenyum. Seorang perempuan paruh baya langsung memeluk tubuhnya. N