Aurora terbangun, dia memandang ke sampingnya namun tidak ada William. Lelaki itu sudah pergi. Aurora menghela napas panjang.Aurora spontan melirik ke jam dinding yang berada di dalam kamarnya. Pukul dua malam, seperti biasa Aurora terbangun. Kini, tengorokannya sangat kering. Di butuh secangkir air mineral.Aurora kemudian turun dari tempat tidur lalu berjalan ke arah dapur. Seharusnya Margaret menyediakan air mineral di dalam kamarnya. Perempuan paruh baya itu pasti sudah tidur, pikir Aurora kemudian.Aurora berjalan dengan sangat pelan menuju dapur. Kamarnya berada di lantai satu dan kamar William dan Maya berada di lantai dua. Di dalam dapur, Aurora menuangkan secangkir air ke dalam gelasnya dan menyeruputnya dengan hati-hati.“Kau baru pulang?” suara itu membuat Aurora membulatkan matanya. Dia berjalan menuju pintu dan menatap Maya sedang tergesa-gesa naik ke atas tangga. Perempuan itu tampak panik saat William berdiri di depan pintu kamar.Dari arah dapur, Aurora bisa melihat p
“Saya menyukaimu!”“Menyukai?”“Ya, saya menyukai dirimu!”Aurora membulatkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang sedang didengarnya hari ini. Lelaki itu menyukainya? Prof. John mengatakan cinta? Apakah ini semacam lelucon?“Prof. John, aku tidak bisa!”“Banyak hal yang harus aku selesaikan di Nevada ini, aku tidak punya urusan tentang cinta dan sejenisnya. Sebaiknya aku pergi!”“Saya tidak main-main mengatakan hal ini!” ucap Prof. John tegas. Ekspresi wajahnya benar-benar datar namun sorot matanya sangat dalam. Pandangan mereka bertemu beberapa detik di udara.“Aku tidak bisa!”Aurora membalikan badan dan bergegas berjalan meninggalkan lelaki itu. Prof. John membiarkan Aurora pergi meninggalkannya. Prof. John terus memandangi Aurora hingga dia masuk ke sebuah mobil.“Ya, seharusnya aku datang lebih cepat!” batinnya.Di dalam mobil, Aurora terdiam cukup lama. Pesan dari Joanna sudah begitu banyak masuk di ponselnya dan Aurora tidak ingin membacanya dulu. Ya, prof. John lelaki aneh
“Aurora?”“Boleh aku masuk?”Mendengarkan suara itu, membuat Aurora bergegas membuka pintu. Ada William yang berada di depannya saat ini. Wiliam memandangi Aurora dengan tatapan yang sangat dalam. Wajah William berbeda. Lelaki itu tampak pucat dan ada bekas air mata di pipinya. Apa yang terjadi? Pikirnya.“Aku lagi bingung.”“Bingung?” Aurora mengerutkan kening tidak mengerti. William bergegas masuk ke dalam kamar. Dia segera memeluk Aurora yang berdiri di depan pintu. Bola mata Aurora terbelalak.“Hai, lepaskan aku Tuan William!”“Apa yang sedang kau lakukan?” gerutu Aurora kesal. William terus memeluknya dan tidak membiarkan Aurora melepaskan tangannya.“Lelaki mesum!”“Lepaskan aku!”“Aku ingin seperti ini, beberapa detik saja!” bisik William lirih.Aurora terdiam sejenak. Dia membiarkan William terus memeluknya. Aurora tidak mengerti. William sedang apa? Dia baru saja melihatnya berciuman dengan istrinya, Maya. Namun, apa yang terjadi?“Tuan William, ada apa?”Tidak ada suara, Wil
“Kau serius mau menginap di rumahku?” tanya Joanna sambil menatap Aurora dengan ekspresi serius. Aurora menganggukan kepala.“Dia tidak akan marah?” tanyanya lagi.“Siapa?”“Suamimu!” jawab Joanna segera.“Tidak, William sedang sibuk mengurus istrinya. Sepertinya mereka sedang marahan. Aku juga tidak terlalu mengerti.”Mereka berdua berjalan menuju parkiran dan menatap Edward yang sudah berjaga di depan sana. Joanna tersenyum saat lelaki itu tersenyum menatapnya. Sumpah, Joanna merasa pengawal keluarga Keller terlalu berlebihan. Dia memiliki ketampanan yang luar biasa. Lebih cocok menjadi seorang model dari pada menjadi pengawal.“Joanna, masuklah!” sahut Aurora segera. Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Edward menatap Aurora.“Nona, apakah kita akan ke rumah yang lain?”“Edward, aku ingin menginap di rumah Joanna sahabatku, kau harus mengantar kami ke sana,” jelas Aurora segera. Di dalam mobil, Joanna hanya terdiam membisu. Entah mengapa pipinya tiba-tiba memanas. Apalagi saat Edwar
Aurora menunggu prof. John tepat di depan Cafe Lola. Dia sudah menunggu lima belas menit namun batang hidung lelaki tampan itu tidak terlihat.“Uhft!” Aurora menghela napas panjang.“Atau … dia tidak datang? Atau prof. John hanya mempermainanku?” gerutunya kemudian. Aurora terus menatap benda persegi yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanda-tanda kedatangan prof. John belum terlihat. Aurora merasa lelaki itu berbohong.Seorang lelaki berjas hitam segera menarik tangannya dan membuat Aurora kaget bukan main. Dia membulatkan mata menatap prof. John yang memandanginya dengan ekspresi dingin. Lelaki itu tanpa malu segera memeluknya dan membuat Aurora memberontak.“Hai, lepaskan aku!”“Prof. John, apa yang kau lakukan!” gerutu Aurora kemudian. Prof. John melepaskan pelukannya dan melihat Aurora yang sedang panik.“Maafkan saya, tadi saya terlambat karena beberapa hal. Saya memelukmu karena kau dalam bahaya,” jelas prof. John. Aurora semakin tidak paham dengan jalan pikiran lelaki itu
“Jadi, apa yang prof. John ingin katakan?”“Aku tidak punya waktu banyak di sini!” gerutu Aurora sambil memandangi lelaki di depannya.“Jika William tahu, bagaimana?” sambungnya lagi. Prof. John hanya terdiam sambil membuka laptopnya dan menunjukan beberapa gambar kepada Aurora.“Kau harus berusaha untuk tetap tenang saat melihat gambar ini,” ucap prof. John. Aurora mengigit bibir bawahnya ketakutan. Apa yang akan ditunjukan lelaki itu? Pikirnya.“Kau sudah siap?” tanyanya lagi. Aurora mengangguk meskipun dia sepenuhnya tidak yakin. Aurora menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Prof. John bergegas membalikan laptopnya lalu bola mata Aurora terbelalak.“Apa ini?”“Gambar ayahmu,” ucap prof. John. Wajahnya terlihat tenang sedangkan wajah Aurora terlihat pucat pasi.“A-ayahku?”“Mengapa dibungkus seperti itu?” gerutunya tidak mengerti. Prof. John membalikan laptopnya kembali. Dia tidak menunjukan gambar itu lagi kepada Aurora.“Karena kepolisian menemukan hal yang ane
“Sekarang jelaskan kepadaku, apa hubunganmu dengan prof. John?”“Sepasang kekasih?” tanyanya. William menatap Aurora dengan sorot mata yang tajam.“Apa urusanmu?”“Aku ingin mencari pamanku dan bisa jadi lelaki itu tahu!” sahut Aurora membela dirinya. Dia memandangi William dengan tatapan tidak suka. William mencondongkan wajahnya dan membuat Aurora spontan memundurkan tubuhnya.Edward segera mengalihkan pandangan saat William semakin dekat ke arah Aurora. Tanpa berpikir panjang, William bergegas mencium bibir ranum itu.“Aku sudah katakan kepadamu, selama kau menjadi istriku. Tidak ada yang bisa bersamamu!” bisiknya. William melepaskan ciumannya dan mengatur posisi duduknya kembali.Aurora merasa tubuhnya sangat aneh. Apalagi saat William menciumanya. Mengapa dia tidak memberontak? Mengapa Aurora diam saja dan membiarkan William melakukan itu? Mengapa harus menikmatinya?Selama di perjalanan, Aurora terdiam membisu. Pikirannya berkecamuk. Sesekali dia menyentuh bibirnya.“Aku sedang
“Kau lihat tatapan prof. John, dia selalu melihatmu, Aurora!”“Aku kasihan saja, mungkin dia benar-benar menyukaimu. Bagaimana kalo kau mendekati prof. John dan menyuruhnya membantumu?” bisik Joanna saat berada di dalam kelas. Perempuan berkuncir kuda itu sesekali menatap ke arah prof. John yang sibuk mengetik di balik keybord laptopnya.Aurora menongakan wajahnya dan menatap prof. John yang sedang memandanginya. “Aku sepertinya salah masuk perangkap, aku ngak suka dia,” ucap Aurora lagi. Joanna menggeleng terheran.“Kurang tampan apa lagi? Dia single dan tidak beristri,” sahutnya.“Menyukai William, keluarga Keller yang terkenal tertutup itu? Aku rasa, prof. John memiliki hati yang lembut!” sambung Joanna. Aurora menghela napas panjangnya. Dia menatap ke depan dan Prof. John masih memandanginya.“Ya, dia sangat tampan.”“Tapi misterius,” sahutnya lirih.“Misterius?” seru Joanna tidak mengerti. Aurora menganggukan kepala.“Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di Inggris lalu sege
“Hai, jangan mendekati!”“Prof. John ingin berbuat apa?” Aurora sangat panik. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tidak memandangi Prof. John. Deru napas lelaki itu jelas terdengar. Aurora merasa, prof. John sudah semakin dekat dengannya.“Prof. John, hentikan dirimu!”“Apa yang kau lakukan!” Aurora mendorong tubuh Prof. John menjauh. Dia tidak ingin lelaki itu semakin mendekatinya. Prof. John tertawa melihat wajah Aurora yang ketakutan. Prof. John benar-benar suka saat Aurora panik.“Aku hanya mengujimu.”“Kau selalu mengatakan kalo aku guy, tentu saja aku bukan guy!” protesnya. Prof. John melajukan mobilnya lagi.Sesampai di hotel Bellagio, Prof. John bergegas turun. Tidak lupa dia mengengam tangan Aurora saat perempuan itu melangkah. Aurora sebenarnya tidak suka berdekatan namun prof. John yang selalu ingin mengengam tangannya.Kilatan cahaya kamera memenuhi wajahnya. Prof. John tersenyum saat wartawan mengambil gambar mereka. Aurora menutup matanya karena ketakutan. Mimi
Aurora duduk di ruang tunggu. Sudah dua kali dia menatap benda persegi yang melingkar di pergelangan tangannya. William dan Maya belum mengizinkannya masuk. Aurora semakin kesal.Dari kejauhan. Aurora menyipitkan matanya. Seorang lelaki bertubuh tinggi berpakaian sangat formal sedang berjalan ke arahnya. Lelaki itu sangat tampan. Sepatunya mengkilat dan Aurora merasa dia bukan lelaki sembarangan.Edward bergegas menahan lelaki itu.“Tuan Dominic, Nona Maya belum bisa ditemui,” sahutnya. Lelaki itu tampak kecewa. Aurora secara cermat memperhatikan gerak-geriknya. Lelaki itu benar-benar berbeda dari William. Tubuhnya tinggi dan rambutnya sangat rapih. William juga memiliki kharisma sendiri. Namun mengenai lelaki yang dilihatnya, dia sangat menarik.Edward mencondongkan wajahnya dan membisikan sesuatu kepada lelaki itu. Aurora tidak bisa mendengarkannya secara jelas.“Oke, aku akan menunggunya di luar,” jawab Dominic kemudian. Lelaki itu lalu bergegas pergi. Edward menatap Aurora sambil
Aurora menghela napas panjang melihat William yang sudah rapi. Lelaki itu menunggunya di depan pintu. Aurora yang memakai bot hitam hingga selutut memandangi suaminya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak lupa senyuman menawan terukir di wajah tampannya. Aurora menghela napas panjang.“Kau tahu? Aku sudah memesan banyak baju bayi.” William memasukan tangannya ke dalam saku dan memandangi Aurora dengan serius.“Baju bayi?” Aurora tidak mengerti dengan ucapan William. Lelaki itu menganggukan kepala dengan penuh keyakinan. “Ya, aku membeli baju bayi, sayang!”“Ini terlalu cepat, Tuan William. Ini juga terlalu berlebihan!” serunya.Aurora keluar dari dalam kamar. William terus mengekor di belakang istrinya. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan bayi mereka. Aurora sebenarnya tidak ingin pergi. Dia harus meminta izin kepada prof. John untuk tidak ikut ujian hari ini. Tuan Damian langsung yang memerintah untuk rutin memeriksa kandungannya.Aurora menatap William. Lelaki itu cemberut menat
Aurora memainkan jemarinya sambil menunggu Tuan Damian di ruang tamu. Hari ini, dia secara khusus bertemu dengan mertuanya. Suara langkah kaki seseorang terdengar dengan jelas mengalun di ruang persegi itu.Aurora menatap Tuan Damian yang tersenyum. Aurora menghela napas panjang. Ucapan prof. John menari-nari di kepalanya dan menganggu perasaanya. Seharusnya dia bahagia karena hanya Tuan Damian yang memperlakukannya dengan baik. Sangat mustahil jika lelaki sebaik Tuan Damian membunuh ayahnya. Ah, Aurora menjadi bimbang. Dia bingung dan tidak mengerti.“Aurora,” sahut suara itu. Aurora berusaha tersenyum. Dia memandangi Tuan Damian.“Ayah mengajakku bertemu?”“Ya,” jawabnya.“Ada apa?” Aurora menatap serius wajah lelaki paruh baya itu. Tuan Damian duduk tepat di depannya sambil menyilangkan kakinya. Edward, sang pengawal berdiri di samping Tuan Damian. Dia mengeluarkan berkas yang diminta majikannya itu.“Aku ingin menawarkanmu pekerjaan,” serunya.“Aku masih kuliah, Ayah. Pekerjaan ap
Aurora dan Joanna bergegas pergi namun Roy segera berlari dan berdiri di depannya. Lelaki itu berkacak pingang dan berdecak kesal.“Nona-nona yang cantik, aku sudah katakan. Tidak mungkin aku berniat jahat kepada kalian berdua. Lagian juga ini rumah sahabatku, John. Jadi, silahkan masuk dan kita minum teh hangat dulu. Aku baru saja membawahnya dari Turkey.” Roy mengedipkan mata sambil tersenyum. Joanna merasa mual melihat wajah centil lelaki itu.“Kau tidak berniat jahat kan?” Joanna menyipitkan matanya. Dia memandangi Roy dengan ekspresi menyelidik.“Astaga, kau pikir aku lelaki jahat?”“Wajah semanis ini kau pikir lelaki jahat? Sungguh, kau gadis yang aneh!” keluh Roy.“Ikut aku! Aku akan buatkan teh hangat lalu kita bercerita!” Roy berjalan sambil menarik Joanna dan membuat gadis itu merintih ketakutan. Bola mata Joanna membulat sempurna.“Hai, lepaskan aku!”“Dasar lelaki mesum!” protes Joanna kesal. Aurora mengekor di belakang. Terpaksa dia harus mengikuti Roy masuk ke dalam ruma
William Keller dituduhkan berselingkuh. Berita mengenai perselingkuhan William menjadi headline news dan membuat lelaki itu mengaruk kepalanya yang tidak gatal. William membuang majalah di atas meja lalu berjalan menuju jendela.“Berita murahan!”William menatap Edward yang berdiri di depannya. “Bagaimana bisa mereka menuduhku berselingkuh?”“Benar-benar lucu!” William menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. William memandangi Edward yang masih berjaga di depan pintu. Lelaki itu sejak beberapa hari selalu terdiam.“Kau menemui Maya dan Dominic selama ini. Bagaimana dengan mereka berdua?”“Apa ada yang mencurigakan dari mereka berdua?”“Apa benar kasus perselingkuhan itu?” William menatap Edward dengan bola mata menyipit. Edward menggelengkan kepala. “Tidak ada yang mencurigakan, Tuan!”“Semua sama saja, aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.” Edward menunduk ke bawah dan terus bercerita. Dia tidak berani memandangi William.“Sepertinya nona Maya tidak berse
“Sial, hampir saja!”William memandang keluar jendela. Untung saja Edward melajukan mobilnya dengan cepat sehingga wartawan itu tidak menangkapnya. Apa jadinya jika wartawan itu mengambil foto Aurora dan menyebarkannya? William menyeka peluh yang menetes di dahinya saat ini.“Kau seharusnya tahu, tidak mudah menghindari paparazzi itu!” gerutu William kesal. Aurora sepertinya tidak mendengarkannya. Bola mata perempuan itu berbinar memandangi tas indah yang ada di tangannya.“Hai, apa kau mendengarkanku?”“Jika wartawan itu mengejar kita, pastinya semua akan berantakan!”“Kau mau jika di kampus, kau akan kesulitan?” protes William. Aurora menghela napas panjang. Dia meletakkan tas itu di sampingnya sambil memandangi William.“Itu bukan urusanku! Seharusnya kau tahu bahwa menikahiku memiliki konsekuensi. Aneh saja kalian!” balas Aurora secepat mungkin. Dia memandangi bola mata William. Aurora tidak takut, dia akan melawan lelaki itu. Entah keberanian dari mana yang tiba-tiba merasukinya.
“Haruskah aku kembali ke rumahmu?” Aurora memandangi William yang duduk di sampingnya. Lelaki itu tidak bersuara.“Aku tidak ingin membuat Maya marah.” Aurora memandang keluar jendela dengan pandangan sendu. Kabut memenuhi jendela mobil.“Kau membenciku?” tanyanya. Aurora menggeleng.“Kau mengandung bayiku, tentu saja aku ingin bayiku.”“Aku bisa memberikan anak ini setelah aku melahirkannya,” sergap Aurora. William tidak mengubris. Lelaki itu mengambil ponselnya. Sepertinya dia sedang menghubungi seseorang saat ini.“Edward, antar aku dan Aurora ke pusat perbelanjaan. Aku ingin memberikan tas kepadanya!” perintah William. Aurora spontan menoleh ke arah William.“Aku tidak mau!” protesnya.“Lihat! Tas yang kau gunakan sangat lusuh. Aku bahkan malu melihat tas ini. Apa kau tidak punya uang sepeser pun untuk mengantinya? Ah sungguh, kau benar-benar miskin!”William menghela napas panjang. Aurora menatap tas ransel yang sangat disukainya. Barang itu adalah pemberian ayahnya. Sejak dulu,
“Mengapa tidak tinggal bersama ayah dan ibumu?” tanya Aurora saat mobil perak itu berhenti tepat di depan sebuah mension berwarna putih. Aurora sangat takjub melihat bangunan mewah itu.“Saya suka jika sendiri,” jawab prof. John.“Oh, jadi begitu. Apa ayahmu berada di dalam juga?”Prof. John menganggukan kepala. Dia segera turun dan membantu Aurora untuk membuka pintu mobilnya. Aurora mengikuti prof. John dari belakang.“Yakin, bisa tinggal sendiri?”“Aku punya dua apartemen di Nevada ini.” Prof. John menatap Aurora dan masih menawarkan niat baiknya. “Aku suka jika kau menempatinya,” sambungnya lagi.“Tidak usah, aku tidak ingin merepotkan orang lagi,” jawabnya. Aurora mempercepat langkahnya mengikuti prof. John. Saat berada di depan pintu, ada dua pengawal berjas hitam yang berdiri dan memberi hormat.“Masuklah Aurora, orang tuaku pasti bahagia melihatmu.” Aurora dan prof. John berjalan menuju ruang keluarga. Aurora tersenyum. Seorang perempuan paruh baya langsung memeluk tubuhnya. N