Silvia selalu mengabarkan tentang kehidupan pernikahan Yudha dan Yara padanya. Hanya ini satu-satunya rasa manis dalam kehidupannya saat itu.Lalu, saat Amel lahir, dia akhirnya memutuskan untuk pulang dan kembali kepada Yudha.Kini, setahun telah berlalu sejak dia pulang. Yudha mengucapkan kata-kata itu di depannya sekali lagi. "Aku nggak akan pernah mencintaimu."Melanie tersenyum sendiri."Melly, pernahkah kamu berpikir kalau menikah denganku bukanlah pilihan yang terbaik untukmu?" Sampai di sini, Yudha mengungkapkan seluruh isi pikirannya. "Ada banyak hal yang bisa aku berikan kepadamu selain pernikahan."Melanie merasa konyol. "Ya, sangat banyak. Uangmu sangat banyak sampai nggak bisa dihabiskan seumur hidup. Yudha, kalau aku melakukannya demi uang, aku nggak akan sampai sejauh ini.""Sudah sejauh ini. Semuanya nggak bisa kembali lagi." Tiba-tiba dia berteriak pada Yudha, "Yudha, apa kamu nggak mengerti? Nggak ada yang bisa kembali lagi."Semua hal yang telah dia lakukan, semua or
Yara mengira dia akan bertemu Sophia lagi di ruang sidang. Tak disangka, pertemuan itu akan terjadi di kedai kopi."Nona Yara, senang bertemu denganmu lagi." Masih dengan rambut pendek dan lesung pipitnya, Sophia merasa lebih dekat dengan Yara."Bu Sophia, kita ketemu lagi." Yara tersenyum canggung."Maaf memanggilmu keluar saat jam kerja." Sophia tersenyum lembut. "Sebenarnya, ini masih soal gugatan ceraimu. Menurut saya ... sebaiknya dipertimbangkan kembali."Yara mengerutkan kening tidak senang. "Bu Sophia, saya tahu ini memang tugasmu, tapi saya merasa sudah menjelaskan dengan jelas. Saya nggak akan berubah pikiran."Setelah bertemu Yudha, Sophia mau tidak mau sedikit terkejut saat dihadapkan dengan Yara yang masih begitu teguh."Nona Yara, mohon tetap tenang. Kalau boleh saya tahu, kenapa kamu bersikeras?" Dia masih penuh tanda tanya. "Saya sudah bertemu dengan Pak Yudha. Setelah menangani begitu banyak perceraian, terus terang, saya merasa kondisi Pak Yudha sangat menguntungkan,
Konyol!Semua yang dia lakukan saat ini sangat konyol!"Gila!" Yara mengumpat ke arah ponselnya. Meski dia sudah menduga bahwa Yudha tidak mungkin berubah pikiran soal perceraian, Yara mau tak mau merasa dongkol menerima ejekan pria itu.Dia kembali ke tempat duduk dan tersenyum lemah. "Bu Sophia, kamu salah paham. Yudha setuju ingin bercerai.""Benarkah?" Sophia merasa penilaiannya tidak mungkin salah. Yudha kemarin jelas-jelas tidak ingin bercerai."Kalau kamu nggak percaya, silakan telepon dia sekarang dan tanyakan sendiri," tambah Yara. "Tapi aku sarankan nggak usah telepon, daripada kena marah."Sophia tersenyum canggung."Karena kami berdua nggak ada yang keberatan, proses cerainya bisa langsung dimulai, 'kan?" Yara bertanya dengan khawatir."Sidangnya akan dijadwalkan untuk minggu depan. Kalau kedua belah pihak setuju dan nggak ada keberatan soal pembagian harta serta urusan lain-lain," ucap Sophia memperkirakan. "Kalian bisa resmi bercerai dalam waktu sekitar tujuh hari kerja s
Siska menjulurkan lidahnya karena malu. "Aku yang bilang kamu suka makanan di sini."Yara tertawa karenanya. "Oke, oke. Kamu sepertinya sudah sangat suka padanya."Pintu restoran terbuka dan keduanya masuk beriringan.Saat Yara datang bersama Yudha, seluruh tempat biasanya penuh. Anehnya, hari ini hampir tidak ada seorang pun di sana.Saat sedang bertanya-tanya dalam hati, tiba-tiba dia mendengar sapaan dari suara yang sangat familier. "Siska, Rara, akhirnya kalian datang juga."Yara menoleh, tidak percaya. "Tanto?"Dia berbalik lagi ke arah Siska, masih tak percaya. Bertanya, "Pacarmu?""Ya." Siska bergegas mendekat dan menggenggam tangannya. "Rara, banyak hal terjadi selama tiga bulan kamu pergi. Tanto sudah menjelaskan ke Liana dan dia juga sudah sadar isi hatinya yang sebenarnya."Dia ragu-ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Aku ... aku juga nggak bisa melupakan dia. Jadi, aku cuma ingin memberi kesempatan kepada dia dan diriku sendiri."Yara tetap diam tanpa kata.Meskipun dia tida
Rasa terima kasih Tanto pada Liana mungkin setinggi langit.Memikirkan semua yang Yudha lakukan untuk Melanie demi membalas budi, Yara merasa Liana sangat berbahaya."Jangan khawatir, aku akan selalu waspada." Siska sedang berbunga-bunga. Sebuah senyuman selalu tersungging di wajahnya.Bibir Yara berkedut dan dia tidak mengatakan apa-apa lagi.Di tempat lain, Tanto memanggil semua orang ke ruang tamu begitu dia pulang."Kebetulan, semua orang ada di sini hari ini." Pria itu menatap sekelilingnya. "Beberapa hari lagi, aku ingin membawa Siska ke sini untuk bertemu dengan kalian dan mengenalkannya kepada Ayah."Beberapa saat, tidak ada orang yang bicara. Kecuali Yudha yang terlihat tidak peduli, semua orang melihat ke arah Liana."Syukurlah." Liana tersenyum. "Tanto sudah nggak muda lagi. Memang sudah waktunya untuk menikah."Agnes mengerutkan kening. "Siska? Si artis itu lagi?""Bukan, Siska teman baik Rara." Melanie menawarkan diri untuk menjelaskan."Teman Yara?" Agnes semakin merasa a
Yudha meneguk anggurnya, lalu berkata perlahan, "Kalau aku jawab anakku, apa kamu akan menganggapku konyol?"Tanto tertawa kecil dan tidak menjawab lagi."Tapi kalau memang iya, aku nggak mengerti kenapa Yara melakukan semua ini." Suara Yudha seperti menahan rasa sakit."Kalau memang iya." Tanto menatapnya. "Alasannya sederhana, dia ingin meninggalkanmu."Yudha menatapnya kembali. Berbagai emosi berkecamuk di matanya. "Jelas-jelas, dia sangat mencintaiku ....""Dulu, mungkin dia mencintaimu." Tanto merasa harus membenarkannya. "Yudha, perempuan itu lebih kejam dari yang kamu duga."Dia sudah belajar hal itu dari pengalamannya dengan Siska. Siska yang tidak pernah menoleh padanya sedikit pun ketika dia sangat rindu dan menganggap wanita itu sebagai penyelamatnya.Perasaan itu ... Tanto menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah ingin merasakannya lagi dalam seumur hidupnya.Yudha tidak bicara lagi. Paman dan keponakan itu pun diam membisu.Di taman, Melanie menemani Liana beberapa saat s
"Dia telepon dua kali. Aku blokir nomornya." Siska melemparkan ponselnya ke samping. "Aku buta. Nggak seharusnya aku percaya omongannya."Air mata membasahi wajahnya tanpa dia sadari. "Kukira, masalah antara aku dan dia cuma Liana. Tapi aku lupa dia aslinya buaya."Matanya sangat sedih menatap Yara. "Rara, apa memang perempuan selalu kehilangan akal sehat kalau sudah jatuh cinta?""Siska, jangan mikir yang macam-macam dulu. Daripada menebak-nebak sendiri, mending kamu tanya langsung." Yara berpikir sejenak dan berkata lagi, "Walaupun aku nggak akan memaafkan dia karena pernah menyakitimu dulu, tapi menurutku ..."Dia berpikir lagi. "Dia bukan orang yang nggak setia. Dia mungkin pernah pergi-pergi keluar bersama artis entah siapa di masa lalu. Tapi dia memang mengakuinya, 'kan? Dia nggak pernah bohong kepada siapa pun."Siska mengangguk dan tersenyum pahit. "Jadi, apa aku harus merasa terhormat kalau nanti dia menghubungi aku dan berbohong padaku?"Pada saat itu, terdengar suara ketukan
"Siska." Tanto menggenggam tangan Siska. "Malam ini, ayo kita ke rumahku."Ekspresinya sangat serius. "Asal kita bertunangan secepatnya, semua orang pasti tahu kalau aku sudah ada yang punya. Jadi mereka nggak akan berani macam-macam. Oke?"Dia sangat sayang kepada Siska dan tidak ingin kehilangan dia lagi.Tanto tahu dengan jelas dalam hatinya. Jika Siska pergi lagi, wanita itu mungkin tidak akan kembali padanya lagi.Hati Siska sedikit tergerak. "Kamu sudah benar-benar yakin?"Tanpa menunggu Tanto menjawab, dia sendiri melanjutkan, "Tanto, aku nggak ingin memaksamu. Beberapa hal nggak bisa diburu-buru, kita ...""Siska, kamu mungkin menganggap aku mengambil keputusan ini karena masalah gosip tadi."Tanto tersenyum getir. "Tapi kamu nggak tahu sudah berapa lama aku memikirkan keputusan ini. Bahkan, di hari aku berpisah dengan Liana, keputusan ini nggak pernah berubah.""Aku akan menikah denganmu. Aku hanya akan menikah denganmu." Tanto menggenggam tangan Siska dengan kedua tangannya.