Mereka jauh-jauh sampai di tempat tujuan.Begitu Yudha turun dari mobil, dia merasa pikiran, tubuh dan telinganya terbebas.Kakek Susilo sedang menunggu di dalam mobil dan mereka berdua memindahkan barang-barang bersama-sama.Yudha tidak menyukai Yara. "Aku nggak tahu kalau kamu begitu berisik.""Aku nggak nyangka kamu begitu membosankan, pria pendiam!" Yara tidak mau kalah.Peralatan yang disiapkan Revan sangat lengkap dan profesional, benar-benar cukup untuk berkemah liar dan menginap.Sayang sekali Yudha tidak tahu apa-apa tentang hal-hal ini dan tidak bisa mendirikan tenda."Yudha, minggir." Yara tidak tahan lagi.Yudha dengan canggung berjalan ke samping dan masih bersikeras berkata, "Aku nggak percaya kamu bisa melakukannya."Tanpa diduga, Yara bahkan tidak perlu membaca instruksinya dan langsung berhasil. Dia bahkan memerintahkan Yudha dari waktu ke waktu."Sini, kencangkan yang ini.""Bagian ini, kencangkan."Pada awalnya, Yudha enggan, tetapi lambat laun, dia menyadari bahwa d
Yara tidak punya pilihan selain memilih permainan baru yang bisa mereka mainkan bersama.Hanya saja waktu bermain, Yudha yang pemula dan mendominasi, membuat keduanya bertengkar.Tidak jauh dari sana, Kakek Susilo yang mendengarkannya merasakan kenyamanan di dalam hatinya. Karena sekarang Yudha terdengar lebih hidup.Dia tidak salah, Yara itu adalah penyelamat Yudha.Menjelang tengah hari, tugas memasak secara alami jatuh ke tangan Yara lagi.Dia sibuk memasak dan membuat pasta untuk mereka bertiga.Yudha tidak terlalu peduli dengan makanannya. Tetapi, entah kenapa dia merasa pasta di tangannya sangat harum, mungkin karena Kakek Susilo terlalu banyak memujinya."Ini sangat harum, Yara pandai memasak.""Warnanya bagus dan harum, lebih baik dari masakan restoran berbintang.""Kenapa Yara bisa sehebat ini? Kakek bisa makan tiga piring."Yara tertawa terbahak-bahak, Kakek Susilo memujinya berlebihan sampai dia merasa malu.Sementara itu, Agnes di rumah tua akhirnya menyadari Kakek Susilo s
Revan tiba segera setelah Yudha pergi.Yara dan Kakek Susilo tinggal di danau untuk sementara waktu dan kemudian memutuskan untuk kembali.Dalam perjalanan, Kakek Susilo tampak lesu, sama sekali tidak terlihat kegembiraan seperti ketika baru tiba."Kakek" Yara sengaja menggodanya. "Hari ini semuanya berkat Kakek, sudah lama aku nggak bersenang-senang seperti ini."Kakek Susilo menoleh untuk menatapnya, wajahnya penuh dengan rasa sakit hati. "Benar-benar senang?"Yara mengangguk dengan serius.Setahun ini, jangan bilang perjalanan, duduk bersama Yudha untuk makan santai saja belum pernah terjadi."Meski anak bajingan itu kabur di tengah jalan?" Makin memikirkannya, Kakek Susilo makin marah dan nadanya sedikit meningkat."Nggak masalah." Yara menarik sudut bibirnya. "Terkadang, akhir cerita nggak terlalu penting, setelah menikmati prosesnya, aku puas.""Gadis konyol." Kakek Susilo menyentuh kepala kecil Yara dengan perasaan sedih.Setelah kembali ke rumah, Agnes sudah menunggu di depan p
Agnes menatap Yudha dengan serius. "Kalau begitu, kamu bisa bilang sama Ibu dulu. Ibu bisa membantumu mengaturnya, kenapa kamu harus diam-diam pergi?""..." Yudha terdiam."Itu karena kamu tahu itu bukan hal yang benar dan Ibu nggak akan setuju." Agnes menjawab untuknya."Ibu!" Yudha menunduk. "Maafkan aku.""Kamu nggak perlu meminta maaf pada Ibu, hari ini kakekmu kembali dengan selamat dan sehat, kalau ada yang terjadi padanya ...."Agnes menghela napas berat, "Kamu mau minta maaf sama siapa juga nggak ada gunanya.""Kamu sudah dewasa." Agnes melihat ke arah jendela. "Kamu punya pemikiranmu sendiri dan kata-kata tidak mendengarkan kata-kata Ibu lagi. Tapi, jangan lupa bagaimana kamu bisa sampai di posisimu sekarang."Yudha masih menundukkan kepalanya, tulang belakangnya yang lurus dipenuhi dengan sikap keras kepala yang samar-samar tidak terdeteksi.Agnes memahami putranya dan juga tahu kata-katanya berpengaruh.Setidaknya sekarang, Yudha masih dalam kendalinya, jika ini menjadi masa
Begitu Agnes pergi, Yudha duduk di sofa."Berhenti pura-pura!" katanya tajam sambil memandang wanita di tempat tidur itu.Yara membalikkan badan dengan canggung, menguap dan berkata, "Aku ngantuk, mau tidur. Kamu cepat tidur juga.""Yara!" Rahang Yudha terkatup rapat. "Kamu bilang apa ke ibu tadi pagi?"Yara diam-diam menarik selimut menutupi kepalanya.Yudha bangkit berdiri, mengambil beberapa langkah mendekat dan mengangkat selimutnya dengan kasar. "Ngaku!"Yara saat ini mengenakan baju tidur, berbaring menyamping. Selimutnya tiba-tiba terangkat, memperlihatkan leher dan sebagian bahunya.Dia cepat-cepat duduk dan merapikan pakaiannya. "Kalau bukan sesuatu menarik minatnya, mana mungkin dia mau mendengarkanku?""Apa yang kamu bilang?" Yudha memaksakan diri untuk tidak menatap dada Yara."Cuma ...." Yara menundukkan kepalanya dan mendesak keluar kata demi kata. "Cuma sesuatu yang membuatnya peduli, tentang ... kita nggak punya anak, itu ... itu karena ... kamu ada masalah di bagian sa
Yudha merasa sangat tidak tahan dan ingin pergi ke kamar mandi untuk meredakannya sendiri.Dia berdiri, memandang Yara yang duduk meringkuk, dan memberi tahunya tanpa basa-basi, "Sebagai istri, memangnya sebagai apa lagi?"Dia merasa wanita ini terkadang sulit dinalar.Setelah Yudha pergi, Yara berbaring lagi.Sebenarnya, dia tidak sedang datang bulan. Dia bahkan sudah terlambat seminggu.Namun, masih wajar-wajar saja.Dia kehilangan banyak darah setelah pergelangan tangannya disayat, kemudian dua kali donor darah untuk Zaina. Yara semakin curiga darah di tubuhnya hanya tinggal sedikit.Dia sudah sangat mengantuk dan akhirnya terlelap dalam waktu singkat.Saat Yudha keluar dan melihat ke arah Yara yang sudah tertidur, dia benar-benar tertawa marah.Di vila dulu, mereka kadang-kadang berbagi ranjang yang sama. Saat itu, ketika dia terbangun di tengah malam, dia selalu melihat Yara masih terjaga.Entah itu memandanginya dalam kegelapan, atau memang kesulitan tidur.Sekarang, di rumah kel
"Tunggu."Kakek Susilo menghentikan kepergian Yudha."Ajak istrimu beli baju baru hari ini.""Kakek." Yara memandang lelaki tua itu dengan tatapan penuh pinta. "Nggak perlu, aku sudah punya baju, nggak perlu beli baru lagi."Yudha seketika teringat waktu itu di Bar Mistique, saat Yara memakai pakaian yang sangat terbuka.Wajahnya berubah gelap. Dia mengeluarkan sebuah kartu black card dan menyerahkannya kepada Yara. "Aku ada pertemuan penting hari ini. Kamu pergi sama temanmu saja.""Oke." Yara cepat-cepat mengangguk, takut Kakek mengatakan sesuatu lagi.Setelah sarapan, Yara pergi berpamitan kepada Kakek saat hendak keluar."Sana, jalan-jalan sama temanmu. Siangnya cari tempat makan yang enak." Kakek Susilo selalu ingin memanjakan Yara."Ya." Yara sudah sangat lama tidak pergi jalan-jalan bersama Siska.Semua rencana jalan-jalan dengan Siska selalu gagal akhir-akhir ini. Gadis itu rupanya sedang dimabuk kepayang dengan pacarnya sampai lupa dia punya teman."Oh iya, jangan lupa beli pe
Tiba-tiba, suara tidak asing terdengar dari belakang mereka."Ngobrol nggak penting tentang apa kalian perempuan?"Saat Yara berbalik, ternyata itu Tanto."Paman, kamu di sini juga?"Mata Tanto menyapu wajah mereka berdua. "Tentu saja, aku juga sedang mencari persiapan untuk pesta besok."Yara mengangguk mengerti. Dia melihat ada seorang gadis di sebelah Tanto. Wajah itu seperti tidak asing, sepertinya seorang artis.Seolah melihat tatapannya, Tanto mengambil inisiatif dan berkata, "Perkenalkan, ini Rita Ramana. Dia yang menemaniku ke pesta besok."Gadis bernama Rita Ramana ini menggelendot di tubuh Tanto seakan tidak punya tulang.Seperti bandul yang tidak bisa lepas."Halo, Kakak-Kakak." Begitu bibirnya terbuka, suara yang keluar sungguh sangat lembut.Yara tertawa datar. Dia sudah tahu sejak lama bahwa Tanto adalah seorang playboy sejati.Dan dia memang benar-benar ahli. Setelah bertahun-tahun lamanya, dia tidak pernah terjerat skandal sekali pun.Setelah meraih tangan Siska, Yara m
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid