"Tenanglah, serahkan padaku." Yara menawarkan diri. "Aku akan bertemu dengan Yudha beberapa hari lagi.""Kamu ...." Nando menatap perut Yara. "Kamu hamil ... anak Yudha, 'kan?"Setelah interaksi beberapa hari, Yara sudah menganggap Nando sebagai teman. Dia mengangguk. "Iya, tapi Yudha nggak tahu. Dan aku nggak mau dia tahu.""Kenapa?" Nando merasa tidak paham. "Di dalam perutmu ada pewaris ... keluarga Lastana. Kamu tahu betapa beratnya nama itu? Meskipun aku sudah tinggal di Meria, aku tahu betapa kuatnya keluarga Lastana. Rara, nggak ada alasan kamu menutup-nutupinya dari Yudha.""Kita sudah mau bercerai." Yara tertawa getir. "Kalau dia tahu, mungkin aku ... nggak akan bisa mempertahankan bayiku."Dia menegaskan kembali kepada Nando, "Dia mungkin nggak terlalu suka anak-anak, tapi jangan khawatir. Dia bukan tipe orang yang tega menyiksa mereka."Yara teringat saat pergi ke panti asuhan bersama Yudha. Saat itu, Yudha tidak terlalu membenci anak-anak. Dia mungkin hanya kurang sabar saj
"Oke, oke, aku temani kamu pulang." Yara menepuk punggung Berlina pelan-pelan untuk menenangkannya.Berlina saat ini sama sekali tidak menggambarkan ketegasannya yang biasa. Dia hanya mengangguk linglung."Aku pinjam paspormu dulu, mau aku pesankan tiket pesawat untuk besok. Terus kamu izin dulu ke kantor, minta cuti, oke?" Yara bisa memahami perasaan Berlina saat ini. Ibu mana pun pasti akan ketakutan setengah mati jika ada di posisinya."Oke." Berlina menarik napas dalam-dalam, bangkit berdiri dan mengambil paspornya dari laci untuk diserahkan kepada Yara. "Tapi ... bukannya kamu rencana pulang baru beberapa hari lagi?""Nggak apa-apa." Yara menarik sudut mulutnya. "Beberapa hari lebih cepat juga nggak masalah. Sekalian bisa sempat ketemu teman-teman dulu setelah pulang.""Terima kasih, terima kasih Rara." Mata Berlina memerah menahan haru. Dia tidak menolak bantuan Yara kali ini. Dia memang membutuhkan seseorang untuk menemaninya.Yara memeriksa tiket pesawat dan menghela napas lega
"Iya." Berlina kembali ke kamarnya.Yara mengambil ponselnya lagi dan melihat ada notifikasi informasi tiket pesawat. Rupanya, Yudha bergerak begitu cepat dan sudah membelikannya tiket kelas satu untuk besok.Yara mau tak mau jadi bertanya-tanya. Mungkinkah ... Yudha ingin pulang bersamanya besok?Dia segera menelepon Yudha dan tidak menyangka pria itu akan mengangkatnya dalam hitungan detik.Pikiran Yara teralihkan sejenak. Di masa lalu, setelah menikah, dia harus menelepon Yudha setidaknya lima atau enam kali sebelum panggilannya dijawab. Sekarang, keadaan berubah begitu drastis."Ada apa?" Yudha akhirnya mengawali karena Yara tidak kunjung bicara.Malu-malu, Yara bertanya, "Kamu membelikan aku tiket untuk besok juga? Mau pulang bersama?""Iya. Kebetulan aku harus pulang besok, adad urusan mendadak," jawab Yudha dengan suara serius."Oh, begitu." Yara tersenyum pahit. Dia hampir saja mengira Yudha mengubah jadwal karena dirinya."Ada masalah?" Yudha bertanya lagi."Nggak." Karena Yud
"Ya." Sebagai calon ibu, Anita juga merasa sangat prihatin. "Mereka nggak cuma menolak operasi, tapi juga menolak rawat inap. Cuma minta diresepkan obat, lalu pulang."Sungguh keterlaluan. Yara menggenggam ponselnya tanpa berkata-kata.Menurut cerita Berlina, semua uang yang dia hasilkan dari bekerja di sini sejak awal selalu dikirimkan ke keluarga untuk pengobatan Naya.Namun, seperti apa kenyataannya? Rupanya, keluarga Berlina hanya menggunakan sebagian kecil dari uang tersebut untuk mengobati Naya. Mereka juga memarahi Berlina setiap hari karena pergi jauh dan tidak mengurus anaknya. Mengejar-ngejar setiap hari minta dikirim uang dengan berbagai alasan.Karena itulah mereka tidak mengizinkan ibu dan anak itu berhubungan dengan panggilan video. Karena takut kebohongan mereka akan terbongkar.Kemarahan di hari Yara semakin membubung. Keluarga ayah Naya benar-benar sekumpulan orang yang busuk."Untungnya, dokter di rumah sakit yang menangani Naya selalu memantau keadaan Naya, bahkan se
"Oh." Seperti ada kekecewaan dalam suara Felix."Aku mau bicara soal adopsi Amel dengannya." Yara menceritakan tanpa sadar. "'Kan kita nggak bisa apa-apa kalau dia nggak setuju.""Ya, begitu saja." Beberapa saat, Felix lebih tenang. "Kalau begitu, aku boleh ikut denganmu?""Nggak perlu. Aku juga mau balik ke sini lagi setelahnya. Kamu nggak perlu ikut bolak-balik juga." Yara tidak ingin merepotkan Felix."Nggak apa-apa, aku juga ingin pulang menemui Kakek.""Ya sudah." Hati Yara menghangat. Tanpa disadarinya, Felix benar-benar telah menjadi seperti keluarga baginya. Seseorang yang bisa menjadi tempatnya bersandar tanpa syarat, kapan pun, dan di mana pun.Perasaan ini sangat menentramkan.Dia mengirimkan informasi tempat duduknya kepada Felix. "Yudha sudah membelikan tiket kelas satu untukku. Kapan-kapan aku kembalikan uangnya kalau sempat.""Oke." Suasana hati Felix terasa suram entah kenapa. "Tempat dudukku mungkin terpisah dari kalian."Beberapa hari berikutnya, semua orang sangat si
Yara menunduk membaca tiketnya. Dia tidak ingin merepotkan Yudha dan berpikir, lebih baik duduk di kursinya sendiri.Hanya untuk mendengar suara Yudha terngiang di atas kepalanya, "Dua belas kursi, kamu pilih salah satu.""Dua belas?" Mata Yara terbelalak kaget. "Kamu beli semua kursi di sini?"Pantas saja. Saat dia ingin membelikan tiket kelas satu untuk Berlina, keterangannya sudah habis semua."Ya, aku nggak suka diganggu." Dasar, orang-orang kaya memang suka bertingkah semaunya. Yudha menatap Yara dengan wajah datar. "Pilih salah satu."Pramugari di sebelahnya lalu berkata, "Nona Yara sedang hamil empat bulan, 'kan?"Yara mengangguk."Saran saya, pilih kursi sebelah lorong baris pertama. Posisinya relatif lebih stabil dan strategis kalau pergi ke mana saja." Pramugari itu tampak sudah memikirkannya dengan baik. "Tentu saja, kalau ingin lihat pemandangan, duduk di dekat jendela juga nggak masalah.""Di sebelah lorong saja." Yara tidak ingin melihat pemandangan. Dia pun segera duduk,
Namun, karena Yudha membuka topik pembicaraan ini, Yara pun lanjut bicara. "Kamu .... Aku dengar Melanie nggak bisa punya anak.""Ya." Yudha masih menutup matanya."Jadi, bagaimana rencana kalian?" Yara bertanya ragu-ragu. "Teknologi sekarang sudah sangat maju. Kalau kalian mau punya anak ...""Nggak mau!" Yudha membuka matanya dan menatap Yara dengan sorot mata tidak senang.Yara terkejut. Dia tidak menyangka Yudha begitu benci dengan anak-anak. Setelah berjuang mengumpulkan keberanian, dia melanjutkan, "Walaupun anak-anak memang agak merepotkan, mereka bisa jadi penguat hubungan orang tua ..."Yudha tertawa marah. "Yara, kamu sangat ingin aku punya anak dengan perempuan lain?"Maksudnya perempuan lain? Memangnya dia punya wanita lain selain Melanie?"Menurutku, kamu harus menghargai keinginan Melanie soal anak," lanjut Yara. "Mungkin, nggak bisa menjadi seorang ibu akan menjadi penyesalan di hati Melanie.""Sejak kapan kamu dekat dengan dia?" Yudha benar-benar kesal. "Yara, nggak sem
"Sesedih apa pun kamu sekarang, dia nggak akan hidup lagi." Yudha berkata dengan sabar. "Kamu juga sedang mengandung. Pikirkan mereka."Yara tidak berkata apa-apa. Dia juga tahu dirinya harus mengendalikan emosi, tapi dia sangat sedih memikirkan kepergian Okti.Yudha tidak berusaha menghibur lagi dan memberinya waktu untuk menenangkan diri.Benar saja. Setelah sekitar setengah jam, Yara berangsur-angsur tenang.Yudha berkata lagi, "Kalau kamu mau, kita bisa pergi menemui Deka bersama."Deka, kakak yang sangat menyayangi Okti.Yara menatap Yudha dengan penuh haru dan mengangguk, "Iya."Selama sisa waktu perjalanan, Yara tidak banyak bicara. Yudha lebih aktif mengingatkan agar dia minum, mengingatkan untuk bangun dan meregangkan tubuh, dan menanyakan apakah dia lapar.Saat pesawat mendarat, dia berkata kepada Yara, "Aku akan mempertimbangkan soal adopsi anak. Terima kasih untuk saran darimu."Yara tertegun. Yudha yang dia lihat hari ini tampak seperti orang yang berbeda. Dia sangat terke
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid