Nando benar-benar seperti tersambar petir. Kata-kata Melanie seperti sebuah pukulan telak baginya.Semua yang dimilikinya di masa lalu, sampai nama Amel, kini menjadi begitu konyol. Bahkan membuatnya tertawa terbahak-bahak."Melanie, Melanie." Dia tertawa sangat keras sampai kesulitan bicara. "Sebegitu irinya kamu dengan Yara?""Tutup mulutmu," kata Melanie, cemberut. "Aku iri dengan Yara? Memangnya siapa dia?"Dia menyilangkan kedua lengannya dengan wajah penuh kesombongan. "Orang tuanya, suaminya, aku rebut semua dari dia. Apa lagi yang pantas aku irikan dari dia?""Benar sekali. Rebut, kata ini sangat tepat." Nando berhenti tertawa dan menatap Melanie dengan penuh simpati. "Karena di dalam hatimu, kamu tahu, semua itu adalah miliknya.""Nando!" Melanie diserang tepat di titik sensitifnya. Amarahnya langsung melonjak. "Menurutmu kamu pintar di sini? Cih, kamu cuma orang bodoh dan pengecut."Dia tertawa mengejek. "Kamu berani menyatakan perasaanmu kepada Yara?""Dulu kamu nggak berani
"Tenanglah, serahkan padaku." Yara menawarkan diri. "Aku akan bertemu dengan Yudha beberapa hari lagi.""Kamu ...." Nando menatap perut Yara. "Kamu hamil ... anak Yudha, 'kan?"Setelah interaksi beberapa hari, Yara sudah menganggap Nando sebagai teman. Dia mengangguk. "Iya, tapi Yudha nggak tahu. Dan aku nggak mau dia tahu.""Kenapa?" Nando merasa tidak paham. "Di dalam perutmu ada pewaris ... keluarga Lastana. Kamu tahu betapa beratnya nama itu? Meskipun aku sudah tinggal di Meria, aku tahu betapa kuatnya keluarga Lastana. Rara, nggak ada alasan kamu menutup-nutupinya dari Yudha.""Kita sudah mau bercerai." Yara tertawa getir. "Kalau dia tahu, mungkin aku ... nggak akan bisa mempertahankan bayiku."Dia menegaskan kembali kepada Nando, "Dia mungkin nggak terlalu suka anak-anak, tapi jangan khawatir. Dia bukan tipe orang yang tega menyiksa mereka."Yara teringat saat pergi ke panti asuhan bersama Yudha. Saat itu, Yudha tidak terlalu membenci anak-anak. Dia mungkin hanya kurang sabar saj
"Oke, oke, aku temani kamu pulang." Yara menepuk punggung Berlina pelan-pelan untuk menenangkannya.Berlina saat ini sama sekali tidak menggambarkan ketegasannya yang biasa. Dia hanya mengangguk linglung."Aku pinjam paspormu dulu, mau aku pesankan tiket pesawat untuk besok. Terus kamu izin dulu ke kantor, minta cuti, oke?" Yara bisa memahami perasaan Berlina saat ini. Ibu mana pun pasti akan ketakutan setengah mati jika ada di posisinya."Oke." Berlina menarik napas dalam-dalam, bangkit berdiri dan mengambil paspornya dari laci untuk diserahkan kepada Yara. "Tapi ... bukannya kamu rencana pulang baru beberapa hari lagi?""Nggak apa-apa." Yara menarik sudut mulutnya. "Beberapa hari lebih cepat juga nggak masalah. Sekalian bisa sempat ketemu teman-teman dulu setelah pulang.""Terima kasih, terima kasih Rara." Mata Berlina memerah menahan haru. Dia tidak menolak bantuan Yara kali ini. Dia memang membutuhkan seseorang untuk menemaninya.Yara memeriksa tiket pesawat dan menghela napas lega
"Iya." Berlina kembali ke kamarnya.Yara mengambil ponselnya lagi dan melihat ada notifikasi informasi tiket pesawat. Rupanya, Yudha bergerak begitu cepat dan sudah membelikannya tiket kelas satu untuk besok.Yara mau tak mau jadi bertanya-tanya. Mungkinkah ... Yudha ingin pulang bersamanya besok?Dia segera menelepon Yudha dan tidak menyangka pria itu akan mengangkatnya dalam hitungan detik.Pikiran Yara teralihkan sejenak. Di masa lalu, setelah menikah, dia harus menelepon Yudha setidaknya lima atau enam kali sebelum panggilannya dijawab. Sekarang, keadaan berubah begitu drastis."Ada apa?" Yudha akhirnya mengawali karena Yara tidak kunjung bicara.Malu-malu, Yara bertanya, "Kamu membelikan aku tiket untuk besok juga? Mau pulang bersama?""Iya. Kebetulan aku harus pulang besok, adad urusan mendadak," jawab Yudha dengan suara serius."Oh, begitu." Yara tersenyum pahit. Dia hampir saja mengira Yudha mengubah jadwal karena dirinya."Ada masalah?" Yudha bertanya lagi."Nggak." Karena Yud
"Ya." Sebagai calon ibu, Anita juga merasa sangat prihatin. "Mereka nggak cuma menolak operasi, tapi juga menolak rawat inap. Cuma minta diresepkan obat, lalu pulang."Sungguh keterlaluan. Yara menggenggam ponselnya tanpa berkata-kata.Menurut cerita Berlina, semua uang yang dia hasilkan dari bekerja di sini sejak awal selalu dikirimkan ke keluarga untuk pengobatan Naya.Namun, seperti apa kenyataannya? Rupanya, keluarga Berlina hanya menggunakan sebagian kecil dari uang tersebut untuk mengobati Naya. Mereka juga memarahi Berlina setiap hari karena pergi jauh dan tidak mengurus anaknya. Mengejar-ngejar setiap hari minta dikirim uang dengan berbagai alasan.Karena itulah mereka tidak mengizinkan ibu dan anak itu berhubungan dengan panggilan video. Karena takut kebohongan mereka akan terbongkar.Kemarahan di hari Yara semakin membubung. Keluarga ayah Naya benar-benar sekumpulan orang yang busuk."Untungnya, dokter di rumah sakit yang menangani Naya selalu memantau keadaan Naya, bahkan se
"Oh." Seperti ada kekecewaan dalam suara Felix."Aku mau bicara soal adopsi Amel dengannya." Yara menceritakan tanpa sadar. "'Kan kita nggak bisa apa-apa kalau dia nggak setuju.""Ya, begitu saja." Beberapa saat, Felix lebih tenang. "Kalau begitu, aku boleh ikut denganmu?""Nggak perlu. Aku juga mau balik ke sini lagi setelahnya. Kamu nggak perlu ikut bolak-balik juga." Yara tidak ingin merepotkan Felix."Nggak apa-apa, aku juga ingin pulang menemui Kakek.""Ya sudah." Hati Yara menghangat. Tanpa disadarinya, Felix benar-benar telah menjadi seperti keluarga baginya. Seseorang yang bisa menjadi tempatnya bersandar tanpa syarat, kapan pun, dan di mana pun.Perasaan ini sangat menentramkan.Dia mengirimkan informasi tempat duduknya kepada Felix. "Yudha sudah membelikan tiket kelas satu untukku. Kapan-kapan aku kembalikan uangnya kalau sempat.""Oke." Suasana hati Felix terasa suram entah kenapa. "Tempat dudukku mungkin terpisah dari kalian."Beberapa hari berikutnya, semua orang sangat si
Yara menunduk membaca tiketnya. Dia tidak ingin merepotkan Yudha dan berpikir, lebih baik duduk di kursinya sendiri.Hanya untuk mendengar suara Yudha terngiang di atas kepalanya, "Dua belas kursi, kamu pilih salah satu.""Dua belas?" Mata Yara terbelalak kaget. "Kamu beli semua kursi di sini?"Pantas saja. Saat dia ingin membelikan tiket kelas satu untuk Berlina, keterangannya sudah habis semua."Ya, aku nggak suka diganggu." Dasar, orang-orang kaya memang suka bertingkah semaunya. Yudha menatap Yara dengan wajah datar. "Pilih salah satu."Pramugari di sebelahnya lalu berkata, "Nona Yara sedang hamil empat bulan, 'kan?"Yara mengangguk."Saran saya, pilih kursi sebelah lorong baris pertama. Posisinya relatif lebih stabil dan strategis kalau pergi ke mana saja." Pramugari itu tampak sudah memikirkannya dengan baik. "Tentu saja, kalau ingin lihat pemandangan, duduk di dekat jendela juga nggak masalah.""Di sebelah lorong saja." Yara tidak ingin melihat pemandangan. Dia pun segera duduk,
Namun, karena Yudha membuka topik pembicaraan ini, Yara pun lanjut bicara. "Kamu .... Aku dengar Melanie nggak bisa punya anak.""Ya." Yudha masih menutup matanya."Jadi, bagaimana rencana kalian?" Yara bertanya ragu-ragu. "Teknologi sekarang sudah sangat maju. Kalau kalian mau punya anak ...""Nggak mau!" Yudha membuka matanya dan menatap Yara dengan sorot mata tidak senang.Yara terkejut. Dia tidak menyangka Yudha begitu benci dengan anak-anak. Setelah berjuang mengumpulkan keberanian, dia melanjutkan, "Walaupun anak-anak memang agak merepotkan, mereka bisa jadi penguat hubungan orang tua ..."Yudha tertawa marah. "Yara, kamu sangat ingin aku punya anak dengan perempuan lain?"Maksudnya perempuan lain? Memangnya dia punya wanita lain selain Melanie?"Menurutku, kamu harus menghargai keinginan Melanie soal anak," lanjut Yara. "Mungkin, nggak bisa menjadi seorang ibu akan menjadi penyesalan di hati Melanie.""Sejak kapan kamu dekat dengan dia?" Yudha benar-benar kesal. "Yara, nggak sem