Keduanya memasuki rumah beriringan. Nando merapikan baju-baju di sofa dan mempersilakan Yara, "Duduklah."Yara mengangguk dan duduk.Beberapa saat, keduanya masih tanpa kata.Nando mengawali terlebih dahulu. "Siapa sangka kita ketemu lagi dalam keadaan seperti ini. Sebagai kakak kelas ... aku pasti membuatmu kecewa."Nando di depannya telah menanggalkan penampilan acak-acakan beberapa waktu yang lalu. Jadi lebih mirip dengan bintang sekolah di masa lalu."Apa yang sebenarnya terjadi saat itu?" Yara benar-benar penasaran. "Kenapa ... Melanie tiba-tiba ikut bersamamu? Bahkan punya anak di luar negeri?"Dia benar-benar tidak mengerti semua ini."Aku juga nggak tahu persisnya." Nando menggeleng. "Aku pernah mendekatinya di sekolah, tapi dia sudah punya Yudha. Mana mungkin dia melirikku?"Pria itu tertawa getir. "Tapi suatu hari, dia tiba-tiba mengajakku ke hotel dan mengatakan ingin menyerahkan dirinya kepadaku."Kerutan di keningnya semakin dalam. "Aku sudah menyadari ada yang janggal pad
"Eh?" Yara tidak begitu mengerti.Nando tiba-tiba menatapnya dalam-dalam, tapi tidak menjelaskan. Dia hanya berdiri membelakangi Yara dan berkata, "Semua orang bisa melihat bahwa hidupku sudah berakhir."Dia mengambil beberapa langkah ke jendela, menatap kesibukan dan keindahan di luar. Namun, dalam hatinya, dia menyadari bahwa semua itu tidak ada hubungannya dengan dia lagi."Kak Nando, jangan putus asa." Yara bangkit dan mengikutinya. "Kamu masih muda. Amel juga masih sangat muda. Semuanya masih mungkin."Nando masih memunggungi Yara. "Nggak, semuanya sudah berakhir. Sudah berakhir sejak lama.""Kak Nando ...." Yara sedikit cemas."Yara." Nando tiba-tiba berbalik. "Kamu belum tahu? Aku sudah kecanduan barang itu. Masih ada harapan katamu? Harapan apa? Di mana harapan itu?"Matanya membelalak, sangat menakutkan.Yara refleks mundur selangkah, tetapi masih bersikeras. "Kamu bisa pergi ke tempat rehabilitasi. Berhenti. Mulai kehidupan yang lebih baik.""Mustahil." Ekspresi Nando seperti
Setelah Yara pergi, Nando memanggil Amel kembali."Bibi Rara sudah pergi?" tanya Amel."Iya, mau istirahat." Nando membelai kepala si kecil. "Amel suka dengan Bibi Rara?""Suka. Bibi Rara sangat lembut dan baik ke Amel." Amel bertanya lagi pada Nando penuh penasaran, "Kalau Ayah? Ayah juga suka Bibi Rara, 'kan?""Eh?" Nando tertegun sejenak. "Kenapa Amel tanya begitu?"Amel tidak menjawab. Dia hanya naik ke atas sofa dan mengambil sebuah buku berdebu dari rak samping.Nando mengerutkan kening.Amel menyeka debu yang menempel di buku itu. Dia duduk di sebelah Nando sambil memegang buku itu dan membukanya, menuju sebuah foto yang terselip di dalamnya.Foto itu memperlihatkan langit biru, awan putih, rumput hijau dan sekelompok orang yang berlarian. Satu-satunya wajah yang terlihat jelas dalam foto itu adalah Yara.Amel menatap Nando, menunggu untuk dipuji.Pertama melihat Bibi Rara, dia merasa tidak asing, tapi tidak ingat di mana pernah melihatnya. Beberapa hari yang lalu, baru akhirnya
"Kenapa?" Nando semakin terkejut.Amel menatap mata Nando. "Ibu jahat. Dia menyakiti hati Ayah dan membuat Ayah sedih, jadi Amel nggak suka Ibu."Nando semakin mengerutkan keningnya. "Amel bohong ya? Bukannya Amel selalu ingin membuat Ibu senang setiap kali bertemu?"Amel menggeleng. "Amel memang berharap Ibu suka Amel. Tapi waktu itu karena Amel ingin Ibu dan Ayah bersama lagi, nggak meninggalkan Amel lagi."Si kecil melompat ke dalam pelukan Nando. "Amel paling suka Ayah. Amel ingin bersama Ayah selamanya."Nando merasa tidak percaya. "Tapi Ayah pernah mukul Amel.""Nggak apa-apa, Amel nggak sakit," jawab si kecil dengan mantap.Mata Nando seketika berkaca-kaca. Dia memeluk anaknya dengan sangat erat dan menoleh ke luar jendela mobil.Dia mengerti, Amel selalu bergantung padanya sejak lahir. Namun, Amel tidak akan memiliki hidup yang baik jika terus hidup bersamanya. Dia harus menyerahkan Amel kepada Melanie.Di apartemen, Felix dan Gio bersikeras datang setelah mengetahui Yara akan
"Cukup!" Yara tidak bisa berkata-kata lagi. "Nggak bawa-bawa orang lain. Semua ini salahmu sendiri. Kamu nggak pantas menghina Nando!""Persetan." Melanie telah mengabaikan segalanya. "Kalau sejak awal dia nggak pura-pura hebat dan punya masa depan bagus, mana mau aku ikut dengannya?""Aku nggak akan hamil, nggak akan memberikan kesempatan padamu dan anak-anak sialanmu dalam perutmu itu." Kata-katanya begitu penuh amarah, seakan ingin menyeret Yara ke dalam neraka juga.Orang ini sudah tidak ada harapan lagi, pikir Yara. "Melanie, apa kamu cuma mementingkan dirimu sendiri? Pernahkah kamu membayangkan bagaimana hidup Nando kalau kamu nggak pernah menghancurkannya?""Dia? Dia tetap akan menjadi pecundang gagal tanpa aku." Penghinaan menjiwai setiap kata-katanya.Yara benar-benar muak. "Melanie, kamu selalu saja seperti ini. Kamu selalu menyalahkan orang lain atas kesalahanmu. Selalu merasa nasibmu yang paling menyedihkan. Tanpa menyadari bahwa orang-orang memulai hidup yang menyedihkan s
Melanie terbakar amarah, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menggertakkan gigi dan memelototi Yara. "Apa maumu? Setelah semua yang terjadi, kamu masih ingin bersama Yudha? Kamu pikir kalian masih bisa kembali?"Yara tiba-tiba tertawa. Dia harus mengakui bahwa Melanie memang cukup tenang sepanjang waktu."Kamu benar. Kami nggak akan bisa kembali lagi dan aku nggak mau kembali lagi." Yara merespons santai. "Bagiku sekarang, Yudha hanyalah mi yang sudah dingin. Aku sudah nggak selera memakannya lagi. Sana, kamu ambil saja kalau memang suka."Mata Melanie membelalak kaget. Dia tidak menyangka Yara akan berkata seperti itu.Apalagi, ekspresi wajah Yara saat ini tidak seperti sedang memancing kemarahannya. Dia terlihat sangat tulus.Yang selama ini dia rebut dan perjuangkan mati-matian, ternyata Yara benar-benar sudah tidak peduli lagi?Melanie sungguh tidak percaya. Terlebih lagi, dia sungguh tidak bisa menerimanya. "Kamu, serius?"Sebelum Yara sempat menjawab, dia bertanya pada dirinya se
Perhitungan Melanie tergambar jelas di wajahnya.Jika yang dia hadapi orang lain, Yara hanya akan bersumpah bahwa dia tidak akan ingkar janji.Akan tetapi, orang itu Melanie, orang yang paling dia benci. Dia tersenyum licik dan berkata, "Kalau begitu, berdoalah dengan tulus agar aku nggak berubah menjadi orang sepertimu.""Kamu!" Melanie sangat marah karena perhitungannya gagal. "Ya sudah, aku menolak.""Nggak apa-apa." Yara tidak khawatir. "Aku akan telepon Yudha sekarang dan membongkar yang sebenarnya."Melanie memelototinya.Yara tiba-tiba tertawa. "Jadi begini rasanya jadi orang jahat. Melanie, apa perlu aku ingatkan? Di sini, aku yang mengancam. Kamu nggak punya pilihan."Melanie sangat ingin memukul orang di depannya.Dia mencoba menenangkan diri sejenak sebelum berkata, "Aku mungkin terima kalau kamu punya syarat lain. Tapi kalau ... kamu ingin kembali bersama Yudha lagi, aku ....""Nggak akan." Yara memotong pembicaraan Melanie dengan nada tegas."Kenapa aku harus percaya kata-
"Rara!" Gio tidak bisa diam. "Kamu sudah kelewatan kali ini."Karena dia tahu betapa bersemangatnya Felix tadi dan betapa terpukulnya dia sekarang."Maaf, maafkan aku." Yara buru-buru meminta maaf. Hanya itu yang bisa dia pikirkan untuk membuat Melanie percaya.Dia benar-benar tidak mempertimbangkan perasaan Felix. "Kak Felix, aku minta maaf," katanya sambil menatap mata Felix dengan hati-hati."Nggak apa-apa." Felix tersenyum hangat pada keduanya. "Walaupun cuma kebahagiaan sesaat, masih lebih baik daripada nggak pernah sama sekali."Gio hanya menggeleng tanpa kata."Kak Felix, maaf." Yara sungguh sangat menyesal."Nggak apa-apa, tenang saja." Felix mengepalkan tangannya dengan tatapan penuh semangat, "Aku akan selalu berusaha membuat kebohongan itu menjadi kenyataan."Yara memandangi lengan Felix yang terluka dan merasa semakin tidak enak.Dia benar-benar tidak pantas menerima Felix. Dia juga tidak pantas menerima kebaikan Felix.Dia saat ini tidak punya perasaan lain terhadap Felix.