Yara duduk bersandar di pintu mobil, berusaha menjaga jarak dengan Yudha.Yudha tentu saja menyadarinya. Dia mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan apa-apa."Katanya kamu mau membicarakan sesuatu?" Yara akhirnya bertanya sendiri setelah melihat Yudha diam saja.Yudha mengangkat alis ke arahnya. "Ada apa? Kamu sedang terburu-buru?"Yara berbalik dan hendak keluar dari mobil. "Kalau nggak ada keperluan apa-apa, aku pergi ..."Satu tangan Yara sudah memegang pegangan pintu. Sebelum dia sempat membuka pintu, Yudha bangkit dan menahan tangannya, mencegahnya membuka pintu.Ruang yang semula luas seketika terasa sempit karena Yudha yang mendekat setengah memeluk.Yara tidak terbiasa dengan jarak sedekat itu. Dia mendesakkan diri ke belakang dengan keras dan menatap Yudha penuh waspada. "Apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?"Yudha menatapnya.Dengan jarak sedekat itu, cahaya berkilauan yang menerpa wajah Yara memperlihatkan rasa tidak suka di matanya.Aroma unik yang hanya dimiliki ole
"Baik." Revan mengalihkan pandangannya, buru-buru menyalakan mobil dan berjalan pergi.Dari kaca spion, Yara terlihat masih berdiri di jalan. Pakaiannya tipis dan dia terlihat lemah tak berdaya.Yudha mengeluarkan ponselnya dan segera mencari nomor Felix."Halo?""Pacarmu hampir mati kedinginan di luar rumah keluarga besar!" Lalu panggilan itu dia akhiri.Felix tertegun sebentar, baru dia menyadari bahwa Yudha sedang membicarakan Yara. Dia pun buru-buru pergi ke arah rumah keluarga besar.Benar saja, dia melihat Yara di pinggir jalan.Yara masuk ke dalam mobil dan mereka berdua pergi bersama.Ketika melewati sebuah persimpangan, Felix melihat sebuah mobil yang diparkir di pinggir jalan dari arah lain. Mobil itu ... mobil Yudha!Melihat Yara telah dijemput, Yudha memejamkan mata dengan lelah. "Kembali ke kantor.""Rara?" Felix melihat tatapan Yara yang hampa. "Kamu ... ketemu Yudha?""Ya, aku pergi menemui kakek, nggak sengaja ketemu dia." Yara terus memandang keluar jendela. Kata-kata
Saat Felix datang, suasananya tampak serius."Apa yang Ibu katakan padamu?" tanya Felix pada Yara tanpa basa-basi.Yara menggeleng. Dia tidak bisa membiarkan Felix melawan Agnes demi dirinya dan anak-anaknya.Dia harus memikirkannya sendiri.Felix mendesah. "Kamu mau pergi ke Meria?"Yara entah kenapa merasa bersalah. Dia mengangguk dan menjelaskan, "TaLa mengundangku belajar di sana dulu. Kandunganmu masih terlalu awal waktu itu, jadi aku menolak.""Ya, ini adalah kesempatan yang bagus, pergilah." Tak disangka, Felix setuju.Mata Siska membelalak kaget. "Kak, kamu mau ikut juga?"Yara seketika menatap Felix dengan gugup. Dia tidak ingin Felix pergi, dia tidak ingin membawa masalah bagi Felix lagi."Pekerjaanku memang nggak ada jadwal pasti setiap hari, tapi aku tetap nggak bisa pergi-pergi sesukaku." Felix tersenyum pada Yara. "Tenang saja, aku nggak akan pergi."Yara menghela napas lega.Tak dapat dipungkiri, Felix merasa sedikit kepahitan dalam hatinya meski dia tersenyum. "Tapi kam
"Iya." Yara setuju sambil menggelengkan kepala tak berdaya.Siska lalu membungkuk dan menepuk-nepuk perut Yara. "Kalian berdua juga nggak boleh nakal, bantu aku menjaga ibu kalian.""Iya, aku bantu jawabkan." Yara benar-benar geli dibuatnya.Dia kemudian menatap Felix. "Kak, aku masuk dulu, ya. Jaga selalu kesehatanmu. Terima kasih banyak untuk beberapa hari ini.""Iya, hati-hati di jalan. Jangan lupa telepon Gio kalau sudah turun dari pesawat." Felix tidak bisa menggambarkan betapa berat hatinya membiarkan Yara pergi.Mereka berdua menyaksikan Yara melewati pemeriksaan keamanan dan menghilang dari pandangan.Siska menatap ekspresi Felix dan bertanya penasaran, "Kak, kamu beneran nggak ikut?""Aku masih ada misi." Felix melihat ke arlojinya dan berpamitan. "Siska, hati-hati menyetir sendirian, aku mau ke kamp.""Iya." Siska tetap merasa ada yang mengganjal di sini. Melihat Felix bergegas pergi, dia berpesan lagi dengan lantang, "Hati-hati."Felix tidak mengatakan secara spesifik misi a
Keesokan paginya, Yara pergi ke kantor pusat TaLa.Tempat itu sangat indah, dengan cita rasa desain yang tinggi. Orang-orang yang masuk dan keluar adalah para fashionista, memamerkan modal desain penuh gaya.Orang yang bertanggung jawab untuk menerima Yara juga berasal dari negara yang sama, bernama Berlina Givani. Wanita itu sedikit lebih tinggi dari Yara, dengan rambut pendek dan kepribadian yang sangat ceria."Selamat datang, Nona Yara, aku sudah lama menjadi penggemarmu." Begitu bertemu, Berlina langsung memeluk Yara erat-erat.Yara mau tak mau merasa tersanjung. "Penggemar?"Berlina mengangguk. "Ya, aku sangat suka karya-karyamu, terutama "Pulau"."Yara tertegun sejenak. Berlina bicara tentang Melanie yang menjiplak karya-karyanya. Tak kusangka, ada orang dari kantor pusat TaLa mengetahui hal itu juga.Dia tersenyum tipis. "Terima kasih.""Sama-sama. Kamu pantas mendapatkannya. Nggak seperti seseorang ..." Berlina mengerutkan bibirnya. "Yang cuma bisa pencuri."Dia berkata lagi di
"Tunggu sebentar, Bibi ambilkan makanan nanti." Berlina mengambil tas di tangan Yara. "Ayo, naik dulu."Amel sangat pintar dan segera mengucapkan sampai jumpa pada Yara."Sampai jumpa, Amel." Yara merasa agak sedih, berjalan mengikuti Berlina ke atas.Dia bertanya penasaran, "Apa yang terjadi? Kenapa anak itu di rumah sendirian? Orang tuanya nggak peduli padanya?""Siapa yang tahu?" Berlina membuka lemari es untuk mencari-cari makanan. "Aku belum pernah lihat ibunya. Ayahnya kadang nggak pulang berhari-hari. Berat sekali bagi anak ini bisa bertahan hidup sampai sekarang. Dia mengandalkan bantuan dari tetangga."Yara mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa sampai begitu? Dia masih sangat kecil."Berlina mengambil susu dan roti sambil mendesah. "Mau bagaimana lagi. Dua orang tuanya kemungkinan bukan orang sini. Entah bagaimana mereka bisa sampai di sini. Mungkin ibunya menyesal punya anak, lalu kabur. Ayahnya juga nggak peduli."Dia bisa melihat bahwa Yara sangat khawatir pada anak itu, jadi
Setelah makan malam, Yara masih merasa khawatir, jadi dia mengeluarkan makanannya lagi.Tak disangka, sesampainya di bawah, dia melihat Amel berdiri di balik pintu terali sambil memandang keluar dengan penuh cemas."Amel?" Yara berjongkok di ambang pintu. "Ayahmu keluar lagi?""Ssst! Pelan-pelan!" Gadis kecil itu menutup mulutnya dengan jari-jari mungilnya. "Ayah sedang tidur, jangan bangunkan dia."Yara mengangguk dan bertanya dengan lembut, "Kamu sudah makan malam?"Amel melihat sekilas ke arah makanan di tangan Yara dan menggeleng. "Nggak. Ayah capek, jadi nggak masak makan malam."Yara pun mengerti bahwa Berlina benar. Pria itu telah memakan makanan yang baru saja dia antarkan.Dia benar-benar kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa ada ayah seperti itu?Amel masih sangat kecil, kenapa ibunya juga tidak peduli padanya?Dengan hati-hati, dia membuka bungkusan yang dia bawa dan menyerahkan roti dan susu itu melalui pintu terali. "Ayo makan, pelan-pelan saja.""Terima kasih, Bibi." Amel s
"Ya, baru pindah tadi, tapi nggak akan lama." Yara menarik sudut mulutnya.Pria itu mengambil satu set kunci dari meja kopi di sebelahnya dan melemparkannya. "Tolong bantu aku menjaganya kalau kamu mau."Yara menangkap kuncinya dan menatap pria itu dengan agak terkejut."Kalau nggak mau, taruh saja kuncinya dan keluar sekarang juga." Nada suara pria itu sangat keras.Yara ragu-ragu sejenak, tapi tidak meletakkan kuncinya. "Oke, tapi aku juga harus pergi kerja di siang hari. Jadi kalau kamu nggak di sini malam-malam, aku akan minta Amel pergi ke rumahku.""Terserah." Lelaki itu memejamkan matanya lagi.Yara mengingatkannya lagi sebelum pergi. "Aku cuma tiga bulan di sini. Setelah itu, kamu harus pikirkan lagi sendiri."Pria itu tertawa kecil. "Mungkin kami juga pindah nggak sampai tiga bulan."Yara mengucapkan selamat tinggal pada Amel dan naik ke lantai atas.Dia segera memberi tahu Berlina tentang hal itu dan berkata dengan wajah meminta maaf, "Maaf, aku mengambil keputusan tanpa seiz