Saat Felix mengingatnya, kenangan saat dia berumur enam tahun hingga kembali lagi dari luar negeri kemarin seolah tersamarkan. Sebaliknya, semua yang terjadi setelah bertemu kembali dengan Yara terasa sangat jelas, seperti baru kemarin.Jadi, untuk membalas budi? Ataukah dia benar-benar jatuh cinta? Dia sendiri tidak tahu pasti.Satu-satunya hal yang dia tahu adalah dia ingin melindunginya dan membuatnya bahagia.Gio memang layak disebut sebagai ahli psikologi. Meski Felix tidak mengatakan apa-apa, dia bisa melihat semuanya."Perbedaan terbesar di antara keduanya ..."Felix langsung mengangkat kepalanya yang tertunduk."Apa kamu punya hasrat fisik kepada Rara?" Gio menatapnya. "Apa kamu ingin memegang tangannya, memeluknya, menciumnya ... atau bahkan, benar-benar punya anak sendiri dengannya."Wajah Felix memerah dan sekujur tubuhnya seperti membeku.Gio tertawa lepas dan mengulurkan tangan, menyentuh kepalanya. "Anak baru, jangan terburu-buru. Mulailah dari pegangan tangan. Coba saja
"Sudah gila!" Siska memutar bola matanya."Benar, benar, tadi aku juga memikirkan hal yang sama," jawab Tanto tanpa malu-malu."Apa sih maumu?" Siska sedang tidak ingin melayani omong kosongnya. Perpisahan terakhir mereka yang tidak menyenangkan itu telah membuatnya jijik pada Tanto dan Liana, sepasang anjing itu. Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan mereka berdua lagi."Aku ingin bertemu denganmu.""Aku nggak mau!" Siska menolak dengan tegas."Bertemu saja. Aku janji nggak akan melakukan apa-apa." Suara Tanto lamat-lamat seperti memohon. "Aku sebentar lagi sampai di rumahmu.""Gila ya ..." Siska baru setengah mengucapkan umpatannya dia seperti mendengar suara tangisan yang tertahan.Dia mendengarkan dengan tenang beberapa saat. Sepertinya benar-benar suara tangisan Tanto."Halo?" Dalam ingatan Siska, sepertinya ini pertama kalinya Tanto menangis.Tanto pasti agak emosional. Dia beberapa kali mencoba untuk berbicara, tetapi selalu gagal."Aduh, iya, iya, aku keluar sekarang." S
Siska membuang muka dan tersenyum, "Masih ingat kapan terakhir kali kita bertemu?"Tanto berpikir keras. Terakhir kali, Siska mendorong Liana ke dalam kolam dan dia menampar Siska.Teringat akan hal itu, dia tersentak dan menampar dirinya sendiri.Siska kaget. "Apa-apaan? Apa yang kamu lakukan? Kamu gila kenapa sih?""Tamparan yang kemarin itu, aku balaskan untukmu, atau ..." Tanto menatapnya dengan sedih, "Kamu ingin menamparku sendiri?"Siska tertawa karena jengkel. "Bikin sakit tanganku saja."Wajahnya lalu berangsur serius. "Kubilang, aku nggak pernah mendorong Liana, apa kamu percaya?"Tanto diam saja.Amarah Siska langsung memuncak dan dia menarik kembali tangannya. "Kalau kamu nggak percaya, mau apa kamu datang menemuiku?""Cuaca hari itu sangat dingin dan air di kolam renang juga dingin. Mana mungkin Liana terjun sendiri?"Tanto menjelaskan penuh cemas, "Aku di sini, karena meskipun kamu menjatuhkan dia, aku tetap mencintaimu."Saat ini juga, Siska seperti memahami suatu ungkap
"Kantor pusat TaLa di Meria?"Yara mengangguk."Tapi kamu nggak tahu jalan-jalan di sana. Kamu sedang hamil. Kamu yakin bisa bertahan sendirian?" Siska tidak bisa ikut. Dia harus tetap di sini merawat ibunya."Nggak apa-apa, aku akan bekerja. Dari perusahaan pasti ada perjanjian." Yara membulatkan tekad. "Jangan beri tahu Kak Felix dulu. Aku sudah menolak tawaran TaLa waktu itu. Aku mungkin sudah kehilangan kesempatan."Siska tidak bisa menghilangkan rasa tidak tenang dalam hatinya."Percayalah, nggak apa-apa." Yara memeluknya dengan lembut.Pada saat itu, bel pintu berbunyi. Itu pasti Felix.Yara bangkit membukakan pintu, sekali lagi berpesan agar Siska menjaga rahasianya.Pintu terbuka dan Felix masuk membawa beberapa barang. Saat melihat Yara, dia teringat perkataan Gio semalam dan seketika tersipu malu."Selamat pagi, Kak Felix." Yara menyapanya dan ingin membantunya membawakan barang-barang itu."Nggak usah, aku bisa sendiri." Felix menunduk, bahkan tidak berani menatap Yara."Di
Pagi harinya, Yara pergi seorang diri ke rumah keluarga Lastana untuk menemui Kakek Susilo."Kakek, aku mungkin harus pergi ke luar negeri sebentar." Dia duduk di samping ranjang rumah sakit dan bicara dengan nada enggan sambil mengupas jeruk."Ke luar negeri? Ke mana?" Kakek Susilo juga tahu bahwa keadaannya semakin memburuk. Dia juga sangat tidak ingin menyerah saat ini."Ke Meria." Yara berkata lirih. "Aku mungkin akan pergi selama tiga bulan dulu. Kalau keadaan di sana memang bagus, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk tinggal di sana juga."Mata Kakek Susilo memerah untuk beberapa saat. "Rara, perayaan tahun baru tinggal kurang dari sebulan lagi. Apa nggak bisa tunggu sebentar sampai lewat hari itu?"Yara mencoba tersenyum, tetapi senyumannya pahit.Hari perayaan tahun baru adalah hari yang penting bagi orang-orang negara mereka karena melambangkan reuni keluarga dan awal yang baru.Namun, baginya, di manakah rumah dan keluarganya?Satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki
Wajah Yara lebih dingin lagi. "Mereka anak-anakku.""Anak-anakmu?" Agnes tertawa jengkel. "Sehebat itukah kamu sampai bisa hamil sendiri tanpa peran laki-laki?"Yara menatap Agnes penuh amarah. Dia tidak menyangka orang ini akan berbalik melawannya secepat itu."Kamu nggak perlu menatapku seperti itu," kata Agnes dingin. "Kamu mengandung darah daging anakku, calon pewaris keluarga Lastana. Mana mungkin aku diam saja?"Dia mengatakan kepada Yara sejelas mungkin, "Kamu cuma punya dua pilihan. Pertama, menikah dengan Felix. Kedua, melahirkan sendiri dan memberikan mereka kembali ke keluarga Lastana.""Mustahil." Yara spontan menolak. "Mereka anak-anakku. Nggak ada yang akan mengambil mereka dariku.""Menikah dengan Felix kalau begitu." Agnes mengerutkan keningnya. "Meskipun aku juga nggak mau, Felix menginginkannya. Aku menghormati keputusannya."Yara merasa hal itu sungguh membingungkan. "Aku nggak akan menikah dengan Kak Felix. Aku nggak mencintai dia. Dia nggak mencintai aku. Nggak ada
Yara duduk bersandar di pintu mobil, berusaha menjaga jarak dengan Yudha.Yudha tentu saja menyadarinya. Dia mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan apa-apa."Katanya kamu mau membicarakan sesuatu?" Yara akhirnya bertanya sendiri setelah melihat Yudha diam saja.Yudha mengangkat alis ke arahnya. "Ada apa? Kamu sedang terburu-buru?"Yara berbalik dan hendak keluar dari mobil. "Kalau nggak ada keperluan apa-apa, aku pergi ..."Satu tangan Yara sudah memegang pegangan pintu. Sebelum dia sempat membuka pintu, Yudha bangkit dan menahan tangannya, mencegahnya membuka pintu.Ruang yang semula luas seketika terasa sempit karena Yudha yang mendekat setengah memeluk.Yara tidak terbiasa dengan jarak sedekat itu. Dia mendesakkan diri ke belakang dengan keras dan menatap Yudha penuh waspada. "Apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?"Yudha menatapnya.Dengan jarak sedekat itu, cahaya berkilauan yang menerpa wajah Yara memperlihatkan rasa tidak suka di matanya.Aroma unik yang hanya dimiliki ole
"Baik." Revan mengalihkan pandangannya, buru-buru menyalakan mobil dan berjalan pergi.Dari kaca spion, Yara terlihat masih berdiri di jalan. Pakaiannya tipis dan dia terlihat lemah tak berdaya.Yudha mengeluarkan ponselnya dan segera mencari nomor Felix."Halo?""Pacarmu hampir mati kedinginan di luar rumah keluarga besar!" Lalu panggilan itu dia akhiri.Felix tertegun sebentar, baru dia menyadari bahwa Yudha sedang membicarakan Yara. Dia pun buru-buru pergi ke arah rumah keluarga besar.Benar saja, dia melihat Yara di pinggir jalan.Yara masuk ke dalam mobil dan mereka berdua pergi bersama.Ketika melewati sebuah persimpangan, Felix melihat sebuah mobil yang diparkir di pinggir jalan dari arah lain. Mobil itu ... mobil Yudha!Melihat Yara telah dijemput, Yudha memejamkan mata dengan lelah. "Kembali ke kantor.""Rara?" Felix melihat tatapan Yara yang hampa. "Kamu ... ketemu Yudha?""Ya, aku pergi menemui kakek, nggak sengaja ketemu dia." Yara terus memandang keluar jendela. Kata-kata