"Sudah gila!" Siska memutar bola matanya."Benar, benar, tadi aku juga memikirkan hal yang sama," jawab Tanto tanpa malu-malu."Apa sih maumu?" Siska sedang tidak ingin melayani omong kosongnya. Perpisahan terakhir mereka yang tidak menyenangkan itu telah membuatnya jijik pada Tanto dan Liana, sepasang anjing itu. Dia benar-benar tidak ingin berurusan dengan mereka berdua lagi."Aku ingin bertemu denganmu.""Aku nggak mau!" Siska menolak dengan tegas."Bertemu saja. Aku janji nggak akan melakukan apa-apa." Suara Tanto lamat-lamat seperti memohon. "Aku sebentar lagi sampai di rumahmu.""Gila ya ..." Siska baru setengah mengucapkan umpatannya dia seperti mendengar suara tangisan yang tertahan.Dia mendengarkan dengan tenang beberapa saat. Sepertinya benar-benar suara tangisan Tanto."Halo?" Dalam ingatan Siska, sepertinya ini pertama kalinya Tanto menangis.Tanto pasti agak emosional. Dia beberapa kali mencoba untuk berbicara, tetapi selalu gagal."Aduh, iya, iya, aku keluar sekarang." S
Siska membuang muka dan tersenyum, "Masih ingat kapan terakhir kali kita bertemu?"Tanto berpikir keras. Terakhir kali, Siska mendorong Liana ke dalam kolam dan dia menampar Siska.Teringat akan hal itu, dia tersentak dan menampar dirinya sendiri.Siska kaget. "Apa-apaan? Apa yang kamu lakukan? Kamu gila kenapa sih?""Tamparan yang kemarin itu, aku balaskan untukmu, atau ..." Tanto menatapnya dengan sedih, "Kamu ingin menamparku sendiri?"Siska tertawa karena jengkel. "Bikin sakit tanganku saja."Wajahnya lalu berangsur serius. "Kubilang, aku nggak pernah mendorong Liana, apa kamu percaya?"Tanto diam saja.Amarah Siska langsung memuncak dan dia menarik kembali tangannya. "Kalau kamu nggak percaya, mau apa kamu datang menemuiku?""Cuaca hari itu sangat dingin dan air di kolam renang juga dingin. Mana mungkin Liana terjun sendiri?"Tanto menjelaskan penuh cemas, "Aku di sini, karena meskipun kamu menjatuhkan dia, aku tetap mencintaimu."Saat ini juga, Siska seperti memahami suatu ungkap
"Kantor pusat TaLa di Meria?"Yara mengangguk."Tapi kamu nggak tahu jalan-jalan di sana. Kamu sedang hamil. Kamu yakin bisa bertahan sendirian?" Siska tidak bisa ikut. Dia harus tetap di sini merawat ibunya."Nggak apa-apa, aku akan bekerja. Dari perusahaan pasti ada perjanjian." Yara membulatkan tekad. "Jangan beri tahu Kak Felix dulu. Aku sudah menolak tawaran TaLa waktu itu. Aku mungkin sudah kehilangan kesempatan."Siska tidak bisa menghilangkan rasa tidak tenang dalam hatinya."Percayalah, nggak apa-apa." Yara memeluknya dengan lembut.Pada saat itu, bel pintu berbunyi. Itu pasti Felix.Yara bangkit membukakan pintu, sekali lagi berpesan agar Siska menjaga rahasianya.Pintu terbuka dan Felix masuk membawa beberapa barang. Saat melihat Yara, dia teringat perkataan Gio semalam dan seketika tersipu malu."Selamat pagi, Kak Felix." Yara menyapanya dan ingin membantunya membawakan barang-barang itu."Nggak usah, aku bisa sendiri." Felix menunduk, bahkan tidak berani menatap Yara."Di
Pagi harinya, Yara pergi seorang diri ke rumah keluarga Lastana untuk menemui Kakek Susilo."Kakek, aku mungkin harus pergi ke luar negeri sebentar." Dia duduk di samping ranjang rumah sakit dan bicara dengan nada enggan sambil mengupas jeruk."Ke luar negeri? Ke mana?" Kakek Susilo juga tahu bahwa keadaannya semakin memburuk. Dia juga sangat tidak ingin menyerah saat ini."Ke Meria." Yara berkata lirih. "Aku mungkin akan pergi selama tiga bulan dulu. Kalau keadaan di sana memang bagus, aku mungkin akan mempertimbangkan untuk tinggal di sana juga."Mata Kakek Susilo memerah untuk beberapa saat. "Rara, perayaan tahun baru tinggal kurang dari sebulan lagi. Apa nggak bisa tunggu sebentar sampai lewat hari itu?"Yara mencoba tersenyum, tetapi senyumannya pahit.Hari perayaan tahun baru adalah hari yang penting bagi orang-orang negara mereka karena melambangkan reuni keluarga dan awal yang baru.Namun, baginya, di manakah rumah dan keluarganya?Satu-satunya anggota keluarga yang dia miliki
Wajah Yara lebih dingin lagi. "Mereka anak-anakku.""Anak-anakmu?" Agnes tertawa jengkel. "Sehebat itukah kamu sampai bisa hamil sendiri tanpa peran laki-laki?"Yara menatap Agnes penuh amarah. Dia tidak menyangka orang ini akan berbalik melawannya secepat itu."Kamu nggak perlu menatapku seperti itu," kata Agnes dingin. "Kamu mengandung darah daging anakku, calon pewaris keluarga Lastana. Mana mungkin aku diam saja?"Dia mengatakan kepada Yara sejelas mungkin, "Kamu cuma punya dua pilihan. Pertama, menikah dengan Felix. Kedua, melahirkan sendiri dan memberikan mereka kembali ke keluarga Lastana.""Mustahil." Yara spontan menolak. "Mereka anak-anakku. Nggak ada yang akan mengambil mereka dariku.""Menikah dengan Felix kalau begitu." Agnes mengerutkan keningnya. "Meskipun aku juga nggak mau, Felix menginginkannya. Aku menghormati keputusannya."Yara merasa hal itu sungguh membingungkan. "Aku nggak akan menikah dengan Kak Felix. Aku nggak mencintai dia. Dia nggak mencintai aku. Nggak ada
Yara duduk bersandar di pintu mobil, berusaha menjaga jarak dengan Yudha.Yudha tentu saja menyadarinya. Dia mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan apa-apa."Katanya kamu mau membicarakan sesuatu?" Yara akhirnya bertanya sendiri setelah melihat Yudha diam saja.Yudha mengangkat alis ke arahnya. "Ada apa? Kamu sedang terburu-buru?"Yara berbalik dan hendak keluar dari mobil. "Kalau nggak ada keperluan apa-apa, aku pergi ..."Satu tangan Yara sudah memegang pegangan pintu. Sebelum dia sempat membuka pintu, Yudha bangkit dan menahan tangannya, mencegahnya membuka pintu.Ruang yang semula luas seketika terasa sempit karena Yudha yang mendekat setengah memeluk.Yara tidak terbiasa dengan jarak sedekat itu. Dia mendesakkan diri ke belakang dengan keras dan menatap Yudha penuh waspada. "Apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?"Yudha menatapnya.Dengan jarak sedekat itu, cahaya berkilauan yang menerpa wajah Yara memperlihatkan rasa tidak suka di matanya.Aroma unik yang hanya dimiliki ole
"Baik." Revan mengalihkan pandangannya, buru-buru menyalakan mobil dan berjalan pergi.Dari kaca spion, Yara terlihat masih berdiri di jalan. Pakaiannya tipis dan dia terlihat lemah tak berdaya.Yudha mengeluarkan ponselnya dan segera mencari nomor Felix."Halo?""Pacarmu hampir mati kedinginan di luar rumah keluarga besar!" Lalu panggilan itu dia akhiri.Felix tertegun sebentar, baru dia menyadari bahwa Yudha sedang membicarakan Yara. Dia pun buru-buru pergi ke arah rumah keluarga besar.Benar saja, dia melihat Yara di pinggir jalan.Yara masuk ke dalam mobil dan mereka berdua pergi bersama.Ketika melewati sebuah persimpangan, Felix melihat sebuah mobil yang diparkir di pinggir jalan dari arah lain. Mobil itu ... mobil Yudha!Melihat Yara telah dijemput, Yudha memejamkan mata dengan lelah. "Kembali ke kantor.""Rara?" Felix melihat tatapan Yara yang hampa. "Kamu ... ketemu Yudha?""Ya, aku pergi menemui kakek, nggak sengaja ketemu dia." Yara terus memandang keluar jendela. Kata-kata
Saat Felix datang, suasananya tampak serius."Apa yang Ibu katakan padamu?" tanya Felix pada Yara tanpa basa-basi.Yara menggeleng. Dia tidak bisa membiarkan Felix melawan Agnes demi dirinya dan anak-anaknya.Dia harus memikirkannya sendiri.Felix mendesah. "Kamu mau pergi ke Meria?"Yara entah kenapa merasa bersalah. Dia mengangguk dan menjelaskan, "TaLa mengundangku belajar di sana dulu. Kandunganmu masih terlalu awal waktu itu, jadi aku menolak.""Ya, ini adalah kesempatan yang bagus, pergilah." Tak disangka, Felix setuju.Mata Siska membelalak kaget. "Kak, kamu mau ikut juga?"Yara seketika menatap Felix dengan gugup. Dia tidak ingin Felix pergi, dia tidak ingin membawa masalah bagi Felix lagi."Pekerjaanku memang nggak ada jadwal pasti setiap hari, tapi aku tetap nggak bisa pergi-pergi sesukaku." Felix tersenyum pada Yara. "Tenang saja, aku nggak akan pergi."Yara menghela napas lega.Tak dapat dipungkiri, Felix merasa sedikit kepahitan dalam hatinya meski dia tersenyum. "Tapi kam
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid